"Biarkan saja Dirga tahu. Belum tentu juga Serena bersedia memaafkan dia. Sudah waktunya dia tahu jika hati Zena sudah dimiliki oleh Dewa." "Serena dan Zena ada di kota Bandung. Akan aku beritahu alamatnya jika kau ingin menyusulnya." Kalimat yang di ucapakan Gibran tadi siang masih terngiang-ngiang di telinga Dirga. Sudah dua tahun lebih Dirga berpisah dengan istri dan anaknya. Selama itu tidak sekalipun Serena menghubungi Dirga padahal Dirga tidak pernah mengganti nomor ponselnya. Ia berharap jika suatu hari hati istrinya itu akan terbuka dan menghubunginya. Namun sekalipun Serena tidak pernah membalas pesan yang telah ribuan kali ia kirim. Hatinya mulai ragu akankah cinta Serena masih ada untuknya. Apalagi ada Dewa diantara mereka. Seperti yang pernah dikatakan Aira, Dewa diminta oleh Kaisar untuk menjaga Serena. Bukan tidak mungkin seiring berjalannya waktu Dewa juga mencintai Serena. Terbukti dengan sikap Dewa yang sangat menyayangi dan memanjakan Zena. Untuk yang kesekian
"Salim dulu," perintah Serena sambil menyentuh pundak putrinya. "Assalamualaikum," ucap Zena memandang Dirga lalu bergegas masuk ke dalam rumah ketika Dirga hendak mendekatinya. DEGH... Seketika raut muka Dirga memerah. Dirga tidak menyangka akan mendapat respon sedingin ini dari putri semata wayangnya. Hatinya seperti di sayat sayat dengan pisau. Ngilu dan perih terasa di dalam dadanya melihat putrinya yang menolak untuk ia dekati. Matanya memandang sendu pada punggung kecil yang bejalan menjauh masuk ke dalam rumah. Serena hanya bisa menghela nafas panjang, ia tidak pernah menginginkan sang putri membenci ayah kandungnya sendiri. Itulah sebabnya dulu ia mencoba untuk bertahan meski hatinya sakit dengan semua sikap Dirga dan keluarganya. Bagi Serena asalkan Dirga bisa memberi perhatian lebih pada putrinya semua sakit hatinya tak ada artinya. Namun sekali lagi Serena kalah oleh takdir. Dirga bukan hanya mengecewakannya. Pria itu juga mengkhianatinya dengan bermain api di belakang
"Maaf, apa benar dia suami Bu Serena?" Pak Rt menunjuk pada pria yang berdiri di belakangnya dengan pakaian yang sudah basah kuyup. "Mas Dirga," Mata Serena membulat melihat Dirga yang basah kuyup sambil menggigil kedinginan. Bukankah pria itu sudah pergi sejak tadi? Mengapa dia masih disini? Pikir Serena. "Benar, pria ini suami Bu Serena?" tanya seorang pria yang berjalan ke depan Serena. "Sejak tadi siang dia berdiri sambil mengawasi rumah Bu Serena," sahut yang lain. "Iya," Serena menjawab dengan tak enak hati. "Maaf sudah membuat tidak nyaman.""Oh jadi benar," ucap bapak-bapak bersamaan. "Kalau ada masalah diselesaikan baik-baik Bu, tidak baik suami jauh-jauh datang dari jakarta malah dilarang masuk." Cibir seorang ibu yang sejak tadi mengintip dari pagar rumah depan. "Iya, Maaf." Serena menunduk sungkan. "Bukan salah istri saya, Bu. Saya yang salah sudah membuatnya marah," Dirga membantah ucapan ibu-ibu tersebut. "Sudah sudah. Sebaiknya kita balik ke rumah masing-masing
Pagi ini Serena hampir tidak bisa bisa mempercayai penglihatannya. Ketika Serena memasuki dapurnya berniat untuk membuat sarapan, betapa terkejutnya saat melihat Dirga sedang membuat roti bakar di ruangan yang hanya berukuran tiga kali empat meter yang hanya dibatasi meja bar. Pria itu sedang sibuk membalik dua roti di atas teflon yang dipanggangnya dia tas kompor. Ketika melihat kehadiran istrinya Dirga meminta Serena untuk membiarkannya untuk membuat sarapan dan menyarankan Serena agar membangunkan putri mereka yang masih bergelung di lautan mimpi. "Bangunkan saja putri kita! Ini sudah siang takut nanti telat sekolahnya," ujar Dirga sambil tersenyum pada Serena yang masih tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dirgantara Putra, laki-laki cuek dan angkuh yang jangankan membantunya memasak, sekedar menungguinya saat memasak saja tidak mau. Lalu apa yang Serena lihat sekarang? lelaki sombong itu sedang membuat roti bakar untuk sarapan pagi mereka. 'Apa dia kembarannya Mas Dirga? Be
Setelah mengantar Zena ke sekolah, Dirga memaksa untuk mengantar Serena ke kafe. Mereka sempat berdebat di parkiran kafe sehingga menyita perhatian beberapa karyawan kafe yang baru datang. Serena meminta Dirga untuk segera pergi dan tidak perlu mengurusi hidupnya dan Zena namun bukan Dirga namanya kalau tidak keras kepala dan kekeh menolak permintaan Serena. Karena tidak ingin menjadi bahan tontonan beberapa karyawannya, Serena memilih mengakhiri perdebatan lalu berjalan masuk ke dalam kafe dengan Dirga yang mengikuti di belakang Serena. "Apa lagi?" sentak Serena mendelik saat menyadari Dirga mengikutinya masuk ke ruang kerja. "Kamu mau apa ikut masuk ke ruang kerja aku?" tanyanya dengan nada kesal. "Kamu belum jawab pertanyaan aku," jawab Dirga santai, "Jam berapa Zena pulang sekolah? Juga jam berapa istriku pulang kerja? Aku akan pergi setelah kamu menjawab dua pertanyaan itu," sambungnya mengulangi pertanyaannya dengan pandangan menelisik setiap sudut ruang kerja Serena. Serena
Pukul setengah satu Serena meninggalkan kafe untuk menjemput putrinya. Sekolah Zena adalah salah satu sekolah swasta favorit dan terbaik di daerah itu. Jika biasanya Zena pulang jam 3 sore, berbeda dengan hari sabtu sekolahnya berakhir lebih awal yaitu pukul satu siang.Serena memilih memesan taksi online untuk menjemput Zena. Sebelumnya Serena sudah menyuruh salah satu karyawannya untuk memeriksa motornya di parkiran, dan ternyata motornya tidak ada. Kemungkinan Dirga membawa motor Serena. Entah kemana perginya pria itu Serena sama sekali tidak ingin tahu. Ia bahkan sudah merelakan motornya asalkan pria itu tidak mengganggu hidupnya lagi. Sekitar lima belas menit Serena sudah sampai di sekolah Zena. "Tolong tunggu sebentar Pak," pesan Serena pada sang sopir. Tidak menunggu lama Zena berjalan keluar dari gerbang sekolahnya setelah Serena berbicara pada guru yang bertugas mengantar siswa keluar. Setiap siswa yang pulang harus di jemput oleh orang gua atau pengasuh yang sudah di ketahu
Pov Serena. Suara ketukan terdengar dari luar kamar seiring dengan suara Mas Dirga setelahnya. "Serena, ini aku." ujarnya dari balik pintu. "Ya," jawabku sembari mengelus kening Zena lembut. Seperti kebiasaannya selama ini jika sakit Zena tidak bisa di tinggal. Dia akan terus memelukku, meski sudah tertidur dia akan seketika terbangun jika aku tinggal. "Bagaimana keadaan Zena? Apa masih panas?" tanyanya berjalan masuk setelah membuka pintu lalu duduk di sisi ranjang. "Iya," Lagi-lagi aku menjawab singkat. "Apa tidak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja?" katanya dengan wajah khawatir. Tangannya ikut terulur membelai pipi Zena. Aku sedikit tertegun melihat ekspresi khawatirnya. Sejak kemarin sore Mas Dirga sudah berulang kali bertanya, tentang keadaan Zena dan terus mengajakku membawa Zena ke rumah sakit. Aku merasa laki-laki di depanku ini bukan Mas Dirga tapi Orang lain. Muncul rasa perasaan di hatiku, benarkah laki-laki ini sudah berubah? Apa dia benar-benar sudah menyayan
Pov Serena. Sekitar pukul setengah empat aku terbangun karena mendengar rengekan Zena. "Kenapa sayang? Mau minum?" Suara Mas Dirga sedang berusaha menenangkan Zena yang merengek sambil menggoyangkan lenganku. "Sama Papa saja ya! Mama capek," bujuknya namun tetap tidak bisa membuat Zena berhenti merengek. Aku segera bangun dan menenangkan Zena, "Iya sayang. Maaf Mama gak dengar," ucapku sembari memeluknya. "Ma, pusing.." rengek Zena yang membuat hatiku terasa nyeri. Rasanya tidak tega melihat Zena September ini. "Iya, nanti ke dokter ya!" bujukku sambil mengelus keningnya supaya sedikit mengurangi rasa pusing yang dirasakannya. "Gendong,," pinta Zena menangis. "Iya, Mama gendong," Aku beranjak bangun dan mengulurkan kedua tanganku ke depan Zena. Saat aku hendak mengangkat Zena, tiba-tiba Mas Dirga menarik tanganku pelan. "Biar aku saja. Zena sudah besar nanti kamu kelelahan." ujarnya menahan tanganku. "Gak papa aku sudah biasa," Aku menarik tanganku dan segera mengangkat Zena y
"Sah" pekik sang penghulu yang langsung di sambut riuh para saksi. "Sah," Suara para saksi terdengar kompak disusul. lantunan do'a dari sang penghulu dan segera diaminkan oleh seluruh yang hadir di ruangan itu. "Alhamdulillah,," Suara lirih Rahma penuh syukur. "Iya Alhamdulillah ya Bun. Akhirnya Mas, Gibran menikah juga," sahut Serena sambil mengelus punggung wanita paruh baya itu. Rahma hanya menghela nafas dengan pandangan yang sendu kearah sepasang pengantin yang nampak bahagia dengan senyum sumringah di wajah keduanya. "Bunda, senyum dong. Pengantinnya mau minta do'a restu," ujar Serena saat Gibran dan Nurida mendekati sang Bunda untuk sungkem. Hari ini adalah pernikahan Gibran dan Nurida. Setelah satu tahun meminta berjuang akhirnya hari ini mereka bisa melangsungkan akad nikah dengan restu dari Rahma. Ya, awalnya Rahma menolak memberi restu Gibran menikahi sahabat Serena itu. Rahma menginginkan menantu yang statusnya sama dengan Gibran. Bukan seorang janda dengan satu ana
"Ru rujuk? maksudnya?" tanya Serena menoleh pada Dirga. "Beberapa bulan yang lalu Anita mengajukan gugatan cerai pada Andika." Dirga menjawab pertanyaan Serena lalu mengalihkan pandangannya pada Hendrawan. "Bukannya perceraian mereka sudah di putuskan pengadilan?" "Iya tapi belum mengikrarkan talak. Selama perpisahan mereka Andika belum pernah mengucap talak." penjelasan Hendrawan mendapat anggukan mengerti dari Dirga. Serena hanya diam tanpa berniat berkomentar. Ia masih tidak percaya mendengar berita perceraian adik iparnya itu. Apalagi selama ini Hendra dan Mirna selalu membanggakan rumah tangga putri bungsunya itu sangat harmonis. "Rena, kenapa tamunya tidak di ajak masuk?" Rahma ikut keluar menyambut besannya itu. Dengan senyum ramah ibu Serena mengulurkan tangannya menyalami kedua orang tua menantunya itu. "Ayo silahkan masuk!" ajak Rahma menggiring besannya itu untuk masuk ke sisi lain ruang tamu yang memang di peruntukkan untuk menjamu tamu yang datang. "Maaf duduknya di
Sudah dari kemarin Dirga dan Serena menempati rumah baru mereka. Tak ketinggalan Rahma dan Gibran juga keluarga kecil Indira ikut menginap sejak semalam. sudan dari selesai sholat shubuh Rahma sibuk mengatur persiapan acara ulang tahun sekaligus tasyakuran rumah baru putri bungsunya. Di bantu dua orang asisten rumah tangga ia sibuk di dapur. Rencananya pada jam 9 pagi akan diadakan pengajian bersama dengan mengundang para tetangga juga saudara dan teman-teman Dirga. Untuk ulang tahun Zena akan diadakan setelah dhuhur. Bukan hanya Rahma, Indira pun begitu. Kakak kedua Serena itu juga sibuk mengatur tempat dan bingkisan untuk para undangan. "Inah, kamu taruh semua bingkisan itu di depan. Di bawah tenda ya!" perintahnya pada seorang asisten rumah tangga yang baru di pekerjakan oleh Dirga sejak dua hari yang lalu. "Periksa juga bingkisan untuk undangan ulang tahun Zena! Jumlahnya kurang atau tidak?" sambungnya lalu berjalan menuju dapur. "Rena, cateringnya datang jam berapa? Acaranya
"Siapa yang akan mengacaukan? Dirga bisa sesukses ini juga karena kita. Enak sekali keluarga Serena, tidak merasakan susahnya sekarang ikut menikmati hasil kesuksesan Dirga," gerutu Hendrawan. "Minta alamatnya. Minggu depan kita berangkat ke sana," "Apa Ayah Tidak malu bicara seperti itu?" Mirna menatap tajam suaminya. "Sudah lupa apa yang Ayah lakukan pada Dirga?" Pertanyaan Mirna sontak menyulut emosi di dada Hendrawan. Dengan rahang yang mengeras pria paruh baya itu membalas tatapan Mirna tak kalah tajam. Namun kali ini Mirna tidak takut apalagi segan. Ia sudah sangat jengah dengan dengan sikap dan perangai suaminya itu. "Aku pikir beberapa bulan ini kamu sudah berubah, tapi nyatanya aku salah. Kamu tetap egois dan tidak mau mengakui salah." "Apa maksudmu?" sentak Hendrawan emosi. "Apa perlu aku mengulangi perkataan Dirga dua tahun lalu? Apa perlu aku mengulik kesalahan suamiku yang tidak pernah mau kamu akui?" Mirna menarik nafas panjang untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya
Sekitar pukul setengah tujuh malam, mobil dirga memasuki pelataran rumah besar mertuanya. Serena membuka pintu rumah bersamaan dengan Dirga yang keluar dari mobilnya dengan membawa banyak bawaan di kedua tangannya. "Biar kubantu Mas," ujar Serena segera mendekat dan mengambil satu kotak besar dari tangan kanan Dirga. "Hati-hati itu kue ulang tahun untuk Zena," sahut Dirga sedikit khawatir. "Iya," jawab Serena tersenyum lalu berjalan masuk lebih dulu. "Dimana Zena?" tanya Dirga berjalan dibelakang Serena. "Zena lagi di kamar Bunda bersama Rendy dan Raka." Serena segera meletakkan kuenya di sisi meja makan. "Malam Ga," sapa Indira yang berjalan keluar dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Malam juga Mbak. Mana Mas Abimana?" sahut Dirga bertanya bersikap ramah."Tu," indira menunjuk ke arah ruang tengah. Dua orang pria duduk sambil berbincang. "Halo Ga," Abimana mengangkat tangannya menyapa yang di jawab anggukan oleh Dirga. Merasa sungkan Dirga hendak berjalan untuk
Setelah sholat shubuh Dirga mendatangi ibu mertuanya untuk memberia tahu jika nanti malam dia akan membuat kejutan ulang tahun untuk putrinya. Dirga meminta Rahma untuk memberi tahu Indira dan Gibran untuk ikut datang. Sebenarnya Dirga ingin mengadakan pesta ulang tahun putrinya itu di rumah baru mereka namun dikarenakan rumah baru mereka belum siap untuk ditempati akhirnya Serena menyarankan untuk memberikan kejutan kecil dan nanti setelah rumah mereka sudah siap akan membuat pesta ulang tahun Zena bersamaan dengan tasyakuran rumah baru mereka. Setelah semua anaknya dan menantunya berangkat Rahma segera menelpon putri ke duanya untuk memintanya datang malam ini seperti permintaan menantu sulungnya. "Tentu saja kami akan datang Bun. Tanpa Bunda telfon aku dan anak-anak sudah berniat ke rumah Bunda sepulang sekolah nanti dan Mas Aby akan menyusul sepulang kerja. Kami tidak akan lupa dengan ulang tahun princess Zena," jawab Indira saat Rahma memintanya datang. Mendengar jawaban putr
"Kamu percaya sama aku kan? Aku bersumpah aku hanya menganggapnya teman. Kami bertemu hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran saja." Kembali ia berusaha menyakinkan istrinya itu. Ia tahu jika kediaman Serena karena masih ada kerguan di hati istrinya itu. "Kenapa dulu kamu tidak ingin berbincang dan bertukar pikiran denganku?" tanya Serena yang membuat Dirga terdiam lalu perlahan menegakkan kembali punggungnya. "Apa karena aku tidak enak diajak bicara?" "Karena aku bodoh. Aku tidak tahu caranya berbicara denganmu sehingga kita selalu berakhir dengan bertengkar," jawab Dirga dengan ekspresi khawatir.Dirga sangat menyesal mengapa harus membahas Meysa. Mungkin seharusnya ia tidak membahas sahabat lamanya itu. Ia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Serena kembali merenggang hanya karena seseorang yang sama sekali tidak penting bagi Dirga. "Hemm," Serena menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Pergilah mandi! Lalu keluar untuk makan malam." Kembali Dirga menghela nafas, mes
Beberapa hari ini Dirga harus pulang terlambat karena harus menyelesaikan persiapan launching produk baru perusahaanya. Jika seminggu kemarin ia sampai rumah pada pukul 10 malam, namun hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sekitar pukul delapan malam Dirga sudah sampai di rumah. Serena segera menyambut Dirga begitu mendengar suara mobil suaminya itu memasuki pelataran rumah. Saat Dirga hendak masuk kamar nampak putrinya sedang belajar di ruang tengah. Zena terlihat sangat serius dengan buku-buku di depannya. Gadis kecil itu duduk di atas karpet dengan meja kecil yang menjadi tumpuannya. Zena sama sekali tidak menyadari kepulangan ayahnya. "Mandi dan ganti baju dulu, setelah itu baru menyapanya," ujar Serena setelah menepuk pundak Dirga yang berdiri di depan pintu kamar sembari memandang putri mereka yang sedang serius belajar. "Besok dia ada lomba matematika. Dia agak minder karena ini di Jakarta makanya ia sangat serius belajar," tambahnya bercerita. Dirga menoleh sambil mengerutkan
Serena menggeliat ketika tidurnya merasa terganggu sesuatu yang keras menempel erat di perutnya yang ramping. Satu tangannya meraba pada benda yang terasa keras dan berotot. Seketika matanya terbuka lebar saat ia sadar benda yang melingkar di perutnya adalah sebuah tangan kekar entah milik siapa? Serena mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Astaga.," pekiknya tertahan. Dirga memeluknya dari belakang. "Bikin kaget saja, kamu kenapa tidur di sini?" Serena memukul lengan kekar yang memeluknya itu. Masih dalam keadaan setengah sadar Dirga membuka matanya, "Apa Rena? aku ngantuk besok aja bicaranya," keluh Dirga dengan suara serak dan mata menyipit. "Kamu itu ngapain tidur disini?" tanya Serena. Meski sudah beberapa hari ini Dirga tinggal serumah dengannya tapi Serena belum mengizinkan Dirga untuk tidur satu ranjang dengan dirinya. Jika Dirga tidur dengan Zena maka Serena akan memilih tidur di kamar Bundanya. Serena beranjak bangun dari tidurnya. Dengan posisi duduk ia menatap