Pov Serena. Suara ketukan terdengar dari luar kamar seiring dengan suara Mas Dirga setelahnya. "Serena, ini aku." ujarnya dari balik pintu. "Ya," jawabku sembari mengelus kening Zena lembut. Seperti kebiasaannya selama ini jika sakit Zena tidak bisa di tinggal. Dia akan terus memelukku, meski sudah tertidur dia akan seketika terbangun jika aku tinggal. "Bagaimana keadaan Zena? Apa masih panas?" tanyanya berjalan masuk setelah membuka pintu lalu duduk di sisi ranjang. "Iya," Lagi-lagi aku menjawab singkat. "Apa tidak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja?" katanya dengan wajah khawatir. Tangannya ikut terulur membelai pipi Zena. Aku sedikit tertegun melihat ekspresi khawatirnya. Sejak kemarin sore Mas Dirga sudah berulang kali bertanya, tentang keadaan Zena dan terus mengajakku membawa Zena ke rumah sakit. Aku merasa laki-laki di depanku ini bukan Mas Dirga tapi Orang lain. Muncul rasa perasaan di hatiku, benarkah laki-laki ini sudah berubah? Apa dia benar-benar sudah menyayan
Pov Serena. Sekitar pukul setengah empat aku terbangun karena mendengar rengekan Zena. "Kenapa sayang? Mau minum?" Suara Mas Dirga sedang berusaha menenangkan Zena yang merengek sambil menggoyangkan lenganku. "Sama Papa saja ya! Mama capek," bujuknya namun tetap tidak bisa membuat Zena berhenti merengek. Aku segera bangun dan menenangkan Zena, "Iya sayang. Maaf Mama gak dengar," ucapku sembari memeluknya. "Ma, pusing.." rengek Zena yang membuat hatiku terasa nyeri. Rasanya tidak tega melihat Zena September ini. "Iya, nanti ke dokter ya!" bujukku sambil mengelus keningnya supaya sedikit mengurangi rasa pusing yang dirasakannya. "Gendong,," pinta Zena menangis. "Iya, Mama gendong," Aku beranjak bangun dan mengulurkan kedua tanganku ke depan Zena. Saat aku hendak mengangkat Zena, tiba-tiba Mas Dirga menarik tanganku pelan. "Biar aku saja. Zena sudah besar nanti kamu kelelahan." ujarnya menahan tanganku. "Gak papa aku sudah biasa," Aku menarik tanganku dan segera mengangkat Zena y
Sejak kemarin Zena masih terus saja rewel. Sudah dua hari setelah dari dokter namun belum ada perubahan karena gadis kecil itu menolak makan dan minum obat, sehingga membuat kesabaran Serena seperti sedang di uji. Sudah sejak satu jam yang lalu Serena berusaha membujuk putri semata wayangnya dengan berbagai janji dan hadiah, namun bukan putri Dirga jika tidak keras kepala seperti papaya. Serena menghela nafas panjang untuk mengurai rasa lelah yang sudah mulai menjalar di tubuh dan pikirannya. Ia sudah kehabisan cara untuk membujuk Zena supaya mau makan meski sedikit. Gadis kecil itu akan menggeleng lalu menyembunyikan wajahnya di dada bidang papanya ketika Serena mencoba menyuapinya. "Dudukkan Zena di kursi!" perintah Serena yang mau tak mau langsung di turuti oleh Dirga. Dengan cepat Dirga menurunkan Zena dari gendongannya. "Kamu harus makan Zena!" ucap Serena berusaha menekan suaranya ketika gadis kecil itu menutup mulut dengan tangannya sendiri."Kalau kamu tidak mau makan, kapa
"Papa juga jahat sama Mama tidak seperti Om Dewa yang selalu jagain Mama sama aku," Sekali lagi kata-kata polos putrinya ibarat sebuah tamparan untuk Dirga. Wajahnya memerah dengan pundak yang langsung meluruh seperti tidak punya tenaga. Rasa bersalah di hatinya kembali menyeruak memenuhi relung-relung di dalam dadanya. "Maafkan Papa," pinta Dirga sembari memegang tangan Zena lalu menciumi tangan kecil itu bersamaan dengan butiran bening yang merembes keluar dari kedua matanya. "Papa sangat menyesal telah menyakiti kamu dan Mama. Tolong maafkan Papa! Papa janji mulai sekarang Papa akan jagain Zena dan Mama." Lanjutnya meminta maaf."Apa Papa tidak jagain pacar Papa dan anak baru Papa?" Kembali pertanyaan Zena ibarat petir yang menyambar tepat di atas kepalanya. "Siapa yang mengatakan hal itu sama kamu?" tanya Dirga setengah tak percaya dengan pertanyaan putri kecilnya. Bagaimana bisa putrinya yang belum genap 10 tahun bisa bertanya tentang hal itu. "Itu sama sekali tidak benar. Pa
Sudah seminggu lebih Dirga tinggal di rumah Serena. Setiap hari Dirga mengantar dan menjemput Zena sekolah juga mengantar Serena kerja. Dirga juga tak segan membantu pekerjaan rumah, dari menyapu, menyiapkan sarapan sampai mencuci pakaian. Meski Serena sudah melarangnya mencuci baju namun Dirga tetap melakukannya ketika Serena masih di kafe. Dirgantara putra yang sekarang sangat berbeda dengan Dirga yang dulu. Semua pekerjaan rumah yang tidak pernah ia kerjakan sekarang seperti hal yang wajib dan biasa untuk dilakukannya. Sore ini setelah menjemput Serena dari kafe, Dirga langsung sibuk di dapur bersama Zena. Mereka sibuk untuk membuat hidangan makan malam karena akan ada tamu yang datang.Tadi pagi Serena memberitahu jika Dewa akan datang dengan calon istrinya. Mendengar itu Zena langsung cemberut dan sedih. Berbeda dengan Dirga, ia langsung bersemangat dan terlihat sangat bahagia. "Kalian sedang apa?" tanya Serena pada ayah dan anak yang sedang sibuk di depan kompor. "Ma, Zena s
"Aku tidak mau kembali padamu. Meski semua orang di keluargaku menerima kamu," geram Serena dengan suara tertahan. "Kenapa?" "Karena aku sudah tidak mencintaimu lagi." Jawaban Serena ibarat pisau yang menghujam tepat di jantung Dirga. Sakit dan perih yang saat ini Dirga rasakan. Tapi ia tahu semua ini adalah harga yang harus ia bayar atas kesalahannya dulu, "Tidak masalah. Meski kamu tidak mencintaiku, aku akan tetap mencintaimu. Aku tidak apa-apa kamu membenciku tapi aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Kecuali jika aku mati." Ucap Dirga serius. "Hukum aku sepuas hatimu, tapi aku tidak akan lelah meluluhkan hatimu," tambahnya lalu berbalik berjalan keluar dari kamar Serena. "Tidak tahu malu," gumam Serena pelan sambil menutup pintu kamarnya. "Dia pikir dirinya itu siapa? Apa dia bilang, tidak selingkuh katanya? Cih, siapa yang akan percaya laki-laki seperti dia? Aku bukan Serena yang dulu, aku tidak akan tertipu lagi." Serena menggerutu lalu mengambil ponselnya untuk menelfon
Sekitar jam 7 malam bel rumah Serena berbunyi. Ketika itu Dirga sedang bersama Zena di ruang tengah menonton televisi. Sedangkan Serena sibuk menata makanan di meja makan tak jauh dari posisi Dirga dan Zena. "Papa saja yang buka pintu. Itu pasti Om Dewa yang datang," Dirga beranjak bangun dari duduknya lalu berjalan ke depan. Serena hanya menengok sebentar lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Zena yang sendirian di sofa beranjak turun. "Ma," panggilnya lalu mengekori Serena sambil memegang ujung dari kemejanya. Serena tersenyum melihat tingkah putrinya itu, "Kenapa? Bukannya kamu senang Om Dewa datang?" "Zena gak suka kalau ada Tante Sarah," jawab gasis mungil itu sambil mencebikkan bibirnya. Serena menghela nafas panjang, putrinya itu memang sulit sekali untuk menerima orang baru. Zena sangat pendiam dan introvert. "Zena tidak boleh cemberut gitu, nanti cantinya hilang loh," tutur Serena yang langsung membuat gadis mungil itu langsung tersenyum malu-malu. "Zena anak yang bai
Pov Dirga. Sejak semalam aku sama sekali tidak bisa tidur. Setiap kali aku menutup mataku, penjelasan Serena tentang kondisi mental putri kami terus saja membayang dan membuat dadaku terasa sesak oleh rasa sesal dan amarah.Seperti saat ini begitu aku menutup mataku, kembali percakapan kami semalam mulai terngiang di pikiranku dan otakku seperti kaset kusut yang terus terulang-ulang sejak semalam. (Adik sholihah kamu dan suaminya yang kaya itu sering membanding-bandingkan Zena dengan anak mereka. Zena yang tidak secantik Rara, Zena yang tidak bisa berenang, Zena yang kalah tinggi, Zena yang tidak seramah dan sepintar Rara yang sempurna itu. Sama halnya dengan ayah dan ibumu yang selalu membela dan membenarkan Rara ketika dua cucunya itu bertengkar. Zena harus selalu mengalah dan di salahkan meski ia tidak salah. Hal itu terus menerus terjadi karena Zena lahir dari rahimku, menantu yang tidak pernah diharapkan oleh orang tuamu.) (Zena selalu diam dan menolak berinteraksi dengan oran