"Papa juga jahat sama Mama tidak seperti Om Dewa yang selalu jagain Mama sama aku," Sekali lagi kata-kata polos putrinya ibarat sebuah tamparan untuk Dirga. Wajahnya memerah dengan pundak yang langsung meluruh seperti tidak punya tenaga. Rasa bersalah di hatinya kembali menyeruak memenuhi relung-relung di dalam dadanya. "Maafkan Papa," pinta Dirga sembari memegang tangan Zena lalu menciumi tangan kecil itu bersamaan dengan butiran bening yang merembes keluar dari kedua matanya. "Papa sangat menyesal telah menyakiti kamu dan Mama. Tolong maafkan Papa! Papa janji mulai sekarang Papa akan jagain Zena dan Mama." Lanjutnya meminta maaf."Apa Papa tidak jagain pacar Papa dan anak baru Papa?" Kembali pertanyaan Zena ibarat petir yang menyambar tepat di atas kepalanya. "Siapa yang mengatakan hal itu sama kamu?" tanya Dirga setengah tak percaya dengan pertanyaan putri kecilnya. Bagaimana bisa putrinya yang belum genap 10 tahun bisa bertanya tentang hal itu. "Itu sama sekali tidak benar. Pa
Sudah seminggu lebih Dirga tinggal di rumah Serena. Setiap hari Dirga mengantar dan menjemput Zena sekolah juga mengantar Serena kerja. Dirga juga tak segan membantu pekerjaan rumah, dari menyapu, menyiapkan sarapan sampai mencuci pakaian. Meski Serena sudah melarangnya mencuci baju namun Dirga tetap melakukannya ketika Serena masih di kafe. Dirgantara putra yang sekarang sangat berbeda dengan Dirga yang dulu. Semua pekerjaan rumah yang tidak pernah ia kerjakan sekarang seperti hal yang wajib dan biasa untuk dilakukannya. Sore ini setelah menjemput Serena dari kafe, Dirga langsung sibuk di dapur bersama Zena. Mereka sibuk untuk membuat hidangan makan malam karena akan ada tamu yang datang.Tadi pagi Serena memberitahu jika Dewa akan datang dengan calon istrinya. Mendengar itu Zena langsung cemberut dan sedih. Berbeda dengan Dirga, ia langsung bersemangat dan terlihat sangat bahagia. "Kalian sedang apa?" tanya Serena pada ayah dan anak yang sedang sibuk di depan kompor. "Ma, Zena s
"Aku tidak mau kembali padamu. Meski semua orang di keluargaku menerima kamu," geram Serena dengan suara tertahan. "Kenapa?" "Karena aku sudah tidak mencintaimu lagi." Jawaban Serena ibarat pisau yang menghujam tepat di jantung Dirga. Sakit dan perih yang saat ini Dirga rasakan. Tapi ia tahu semua ini adalah harga yang harus ia bayar atas kesalahannya dulu, "Tidak masalah. Meski kamu tidak mencintaiku, aku akan tetap mencintaimu. Aku tidak apa-apa kamu membenciku tapi aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Kecuali jika aku mati." Ucap Dirga serius. "Hukum aku sepuas hatimu, tapi aku tidak akan lelah meluluhkan hatimu," tambahnya lalu berbalik berjalan keluar dari kamar Serena. "Tidak tahu malu," gumam Serena pelan sambil menutup pintu kamarnya. "Dia pikir dirinya itu siapa? Apa dia bilang, tidak selingkuh katanya? Cih, siapa yang akan percaya laki-laki seperti dia? Aku bukan Serena yang dulu, aku tidak akan tertipu lagi." Serena menggerutu lalu mengambil ponselnya untuk menelfon
Sekitar jam 7 malam bel rumah Serena berbunyi. Ketika itu Dirga sedang bersama Zena di ruang tengah menonton televisi. Sedangkan Serena sibuk menata makanan di meja makan tak jauh dari posisi Dirga dan Zena. "Papa saja yang buka pintu. Itu pasti Om Dewa yang datang," Dirga beranjak bangun dari duduknya lalu berjalan ke depan. Serena hanya menengok sebentar lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Zena yang sendirian di sofa beranjak turun. "Ma," panggilnya lalu mengekori Serena sambil memegang ujung dari kemejanya. Serena tersenyum melihat tingkah putrinya itu, "Kenapa? Bukannya kamu senang Om Dewa datang?" "Zena gak suka kalau ada Tante Sarah," jawab gasis mungil itu sambil mencebikkan bibirnya. Serena menghela nafas panjang, putrinya itu memang sulit sekali untuk menerima orang baru. Zena sangat pendiam dan introvert. "Zena tidak boleh cemberut gitu, nanti cantinya hilang loh," tutur Serena yang langsung membuat gadis mungil itu langsung tersenyum malu-malu. "Zena anak yang bai
Pov Dirga. Sejak semalam aku sama sekali tidak bisa tidur. Setiap kali aku menutup mataku, penjelasan Serena tentang kondisi mental putri kami terus saja membayang dan membuat dadaku terasa sesak oleh rasa sesal dan amarah.Seperti saat ini begitu aku menutup mataku, kembali percakapan kami semalam mulai terngiang di pikiranku dan otakku seperti kaset kusut yang terus terulang-ulang sejak semalam. (Adik sholihah kamu dan suaminya yang kaya itu sering membanding-bandingkan Zena dengan anak mereka. Zena yang tidak secantik Rara, Zena yang tidak bisa berenang, Zena yang kalah tinggi, Zena yang tidak seramah dan sepintar Rara yang sempurna itu. Sama halnya dengan ayah dan ibumu yang selalu membela dan membenarkan Rara ketika dua cucunya itu bertengkar. Zena harus selalu mengalah dan di salahkan meski ia tidak salah. Hal itu terus menerus terjadi karena Zena lahir dari rahimku, menantu yang tidak pernah diharapkan oleh orang tuamu.) (Zena selalu diam dan menolak berinteraksi dengan oran
pov Dirga. "Ada apa?" tanyaku lagi pada Serena yang menatapku datar dengan butiran bening yang sudah membasahi wajah ayunya. Mata indah itu tiba-tiba berubah menatapku tajam, seolah akan menembus dadaku dengan tatapannya, "Seharusnya kamu tidak pernah datang lagi di hidup kami," ujarnya seperti petir yang menyambar di atas kepalaku. Sebegitu bencinya kamu padaku Na. "Serena." Suara berat Mas Dirga menegurnya dari arah samping kananku. "Jangan lagi egois! Kamu juga harus memikirkan Zena!" Segera aku menoleh, nampak Mas Gibran berdiri tak jauh dari kami, dengan wajah garang menatap istriku. Aku cukup terkejut melihat keberadaan kakak iparku itu. Karena kaget dan terlalu khawatir aku sampai tidak melihat siapa saja yang ada di ruang tamu ini. "Tenangkan diri dulu! Baru kalian berbicara baik-baik." Kali ini suara dari wanita berhijab yang berdiri di belakang Mas Gibran sambil merangkul putranya yang terlihat juga sedang menangis. Tanpa melepas Zena aku bergerak maju, merangkul Seren
Setelah dua hari, Gibran dan Nurida kembali ke Jakarta. Gibran ada pekerjaan yang harus ia selesaikan sehingga tidak bisa tinggal lebih lama di Bandung. Sedangkan Nurida dan Al dari awal memang sudah mengatakan hanya bisa berkunjung dua hari saja karena mereka harus mengunjungi kakek dan nenek Al dari pihak ayahnya. Hari ini pekerjaan Serena di kafe tidak terlalu banyk sehingga wanita berwajah ayu itu bisa pulang lebih awal. Baru saja ia memasuki kamarnya sudah dikejutkan dengan tingkah Dirga. Laki-laki itu sedang mengepak pakaian miliknya ke dalam koper. "Apa yang kamu lakukan dengan pakaianku?" tanya Serena dengan ekspresi bingung. "Aku sedang mengepak pakaianmu," jawab Dirga enteng. "Tadi aku sudah sudah mengepak baju-baju Zena sekarang tinggal pakaian kamu saja," jelasnya lalu kembali melanjutkan pekerjaannya yang semat terhenti. Serena melempar tas yang di bawanya ke atas ranjang, lalu merebut bajunya yang di baru saja Dirga ambil dari almari. "Maksud kamu apa sih?" kesalnya.
"Cepatlah mandi! " perintah Dirga untuk yang kedua kalinya, "Aku yang akan mengemasi barang-barang kamu." Tangan kekarnya menarik Serena untuk berdiri. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Serena lalu menghempaskan tangan Dirga lalu masuk ke kamarnya. Serena tidak punya pilihan lain selain menuruti kata-kata Dirga. Ia tidak ingin bersikap egois dan mengorbankan perasaan putrinya. Serena bisa saja membawa pergi Zena tanpa sepengetahuan Dirga, tapi ia tidak sanggup jika melihat putrinya itu menangis histeris karena mencari Papanya. "Aku sama Zena tinggal di rumah bunda saja." kata Serena setelah selesai bersiap-siap dan membawa kopernya ke ruang tengah di mana Dirga dan Zena sudah menunggunya. "Iya," jawab Dirga mengambil alih koper yang di pegang Serena. "Aku juga akan tinggal di rumah Bunda." lanjutnya sambil tersenyum. "Silahkan saja, kalau kamu bisa mendapatkan izin dari Bunda." Tantang Serena. Wanita bertubuh mungil itu tahu jika Bundanya tidak akan membiarkan Dirga menginj
"Sah" pekik sang penghulu yang langsung di sambut riuh para saksi. "Sah," Suara para saksi terdengar kompak disusul. lantunan do'a dari sang penghulu dan segera diaminkan oleh seluruh yang hadir di ruangan itu. "Alhamdulillah,," Suara lirih Rahma penuh syukur. "Iya Alhamdulillah ya Bun. Akhirnya Mas, Gibran menikah juga," sahut Serena sambil mengelus punggung wanita paruh baya itu. Rahma hanya menghela nafas dengan pandangan yang sendu kearah sepasang pengantin yang nampak bahagia dengan senyum sumringah di wajah keduanya. "Bunda, senyum dong. Pengantinnya mau minta do'a restu," ujar Serena saat Gibran dan Nurida mendekati sang Bunda untuk sungkem. Hari ini adalah pernikahan Gibran dan Nurida. Setelah satu tahun meminta berjuang akhirnya hari ini mereka bisa melangsungkan akad nikah dengan restu dari Rahma. Ya, awalnya Rahma menolak memberi restu Gibran menikahi sahabat Serena itu. Rahma menginginkan menantu yang statusnya sama dengan Gibran. Bukan seorang janda dengan satu ana
"Ru rujuk? maksudnya?" tanya Serena menoleh pada Dirga. "Beberapa bulan yang lalu Anita mengajukan gugatan cerai pada Andika." Dirga menjawab pertanyaan Serena lalu mengalihkan pandangannya pada Hendrawan. "Bukannya perceraian mereka sudah di putuskan pengadilan?" "Iya tapi belum mengikrarkan talak. Selama perpisahan mereka Andika belum pernah mengucap talak." penjelasan Hendrawan mendapat anggukan mengerti dari Dirga. Serena hanya diam tanpa berniat berkomentar. Ia masih tidak percaya mendengar berita perceraian adik iparnya itu. Apalagi selama ini Hendra dan Mirna selalu membanggakan rumah tangga putri bungsunya itu sangat harmonis. "Rena, kenapa tamunya tidak di ajak masuk?" Rahma ikut keluar menyambut besannya itu. Dengan senyum ramah ibu Serena mengulurkan tangannya menyalami kedua orang tua menantunya itu. "Ayo silahkan masuk!" ajak Rahma menggiring besannya itu untuk masuk ke sisi lain ruang tamu yang memang di peruntukkan untuk menjamu tamu yang datang. "Maaf duduknya di
Sudah dari kemarin Dirga dan Serena menempati rumah baru mereka. Tak ketinggalan Rahma dan Gibran juga keluarga kecil Indira ikut menginap sejak semalam. sudan dari selesai sholat shubuh Rahma sibuk mengatur persiapan acara ulang tahun sekaligus tasyakuran rumah baru putri bungsunya. Di bantu dua orang asisten rumah tangga ia sibuk di dapur. Rencananya pada jam 9 pagi akan diadakan pengajian bersama dengan mengundang para tetangga juga saudara dan teman-teman Dirga. Untuk ulang tahun Zena akan diadakan setelah dhuhur. Bukan hanya Rahma, Indira pun begitu. Kakak kedua Serena itu juga sibuk mengatur tempat dan bingkisan untuk para undangan. "Inah, kamu taruh semua bingkisan itu di depan. Di bawah tenda ya!" perintahnya pada seorang asisten rumah tangga yang baru di pekerjakan oleh Dirga sejak dua hari yang lalu. "Periksa juga bingkisan untuk undangan ulang tahun Zena! Jumlahnya kurang atau tidak?" sambungnya lalu berjalan menuju dapur. "Rena, cateringnya datang jam berapa? Acaranya
"Siapa yang akan mengacaukan? Dirga bisa sesukses ini juga karena kita. Enak sekali keluarga Serena, tidak merasakan susahnya sekarang ikut menikmati hasil kesuksesan Dirga," gerutu Hendrawan. "Minta alamatnya. Minggu depan kita berangkat ke sana," "Apa Ayah Tidak malu bicara seperti itu?" Mirna menatap tajam suaminya. "Sudah lupa apa yang Ayah lakukan pada Dirga?" Pertanyaan Mirna sontak menyulut emosi di dada Hendrawan. Dengan rahang yang mengeras pria paruh baya itu membalas tatapan Mirna tak kalah tajam. Namun kali ini Mirna tidak takut apalagi segan. Ia sudah sangat jengah dengan dengan sikap dan perangai suaminya itu. "Aku pikir beberapa bulan ini kamu sudah berubah, tapi nyatanya aku salah. Kamu tetap egois dan tidak mau mengakui salah." "Apa maksudmu?" sentak Hendrawan emosi. "Apa perlu aku mengulangi perkataan Dirga dua tahun lalu? Apa perlu aku mengulik kesalahan suamiku yang tidak pernah mau kamu akui?" Mirna menarik nafas panjang untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya
Sekitar pukul setengah tujuh malam, mobil dirga memasuki pelataran rumah besar mertuanya. Serena membuka pintu rumah bersamaan dengan Dirga yang keluar dari mobilnya dengan membawa banyak bawaan di kedua tangannya. "Biar kubantu Mas," ujar Serena segera mendekat dan mengambil satu kotak besar dari tangan kanan Dirga. "Hati-hati itu kue ulang tahun untuk Zena," sahut Dirga sedikit khawatir. "Iya," jawab Serena tersenyum lalu berjalan masuk lebih dulu. "Dimana Zena?" tanya Dirga berjalan dibelakang Serena. "Zena lagi di kamar Bunda bersama Rendy dan Raka." Serena segera meletakkan kuenya di sisi meja makan. "Malam Ga," sapa Indira yang berjalan keluar dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Malam juga Mbak. Mana Mas Abimana?" sahut Dirga bertanya bersikap ramah."Tu," indira menunjuk ke arah ruang tengah. Dua orang pria duduk sambil berbincang. "Halo Ga," Abimana mengangkat tangannya menyapa yang di jawab anggukan oleh Dirga. Merasa sungkan Dirga hendak berjalan untuk
Setelah sholat shubuh Dirga mendatangi ibu mertuanya untuk memberia tahu jika nanti malam dia akan membuat kejutan ulang tahun untuk putrinya. Dirga meminta Rahma untuk memberi tahu Indira dan Gibran untuk ikut datang. Sebenarnya Dirga ingin mengadakan pesta ulang tahun putrinya itu di rumah baru mereka namun dikarenakan rumah baru mereka belum siap untuk ditempati akhirnya Serena menyarankan untuk memberikan kejutan kecil dan nanti setelah rumah mereka sudah siap akan membuat pesta ulang tahun Zena bersamaan dengan tasyakuran rumah baru mereka. Setelah semua anaknya dan menantunya berangkat Rahma segera menelpon putri ke duanya untuk memintanya datang malam ini seperti permintaan menantu sulungnya. "Tentu saja kami akan datang Bun. Tanpa Bunda telfon aku dan anak-anak sudah berniat ke rumah Bunda sepulang sekolah nanti dan Mas Aby akan menyusul sepulang kerja. Kami tidak akan lupa dengan ulang tahun princess Zena," jawab Indira saat Rahma memintanya datang. Mendengar jawaban putr
"Kamu percaya sama aku kan? Aku bersumpah aku hanya menganggapnya teman. Kami bertemu hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran saja." Kembali ia berusaha menyakinkan istrinya itu. Ia tahu jika kediaman Serena karena masih ada kerguan di hati istrinya itu. "Kenapa dulu kamu tidak ingin berbincang dan bertukar pikiran denganku?" tanya Serena yang membuat Dirga terdiam lalu perlahan menegakkan kembali punggungnya. "Apa karena aku tidak enak diajak bicara?" "Karena aku bodoh. Aku tidak tahu caranya berbicara denganmu sehingga kita selalu berakhir dengan bertengkar," jawab Dirga dengan ekspresi khawatir.Dirga sangat menyesal mengapa harus membahas Meysa. Mungkin seharusnya ia tidak membahas sahabat lamanya itu. Ia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Serena kembali merenggang hanya karena seseorang yang sama sekali tidak penting bagi Dirga. "Hemm," Serena menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Pergilah mandi! Lalu keluar untuk makan malam." Kembali Dirga menghela nafas, mes
Beberapa hari ini Dirga harus pulang terlambat karena harus menyelesaikan persiapan launching produk baru perusahaanya. Jika seminggu kemarin ia sampai rumah pada pukul 10 malam, namun hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sekitar pukul delapan malam Dirga sudah sampai di rumah. Serena segera menyambut Dirga begitu mendengar suara mobil suaminya itu memasuki pelataran rumah. Saat Dirga hendak masuk kamar nampak putrinya sedang belajar di ruang tengah. Zena terlihat sangat serius dengan buku-buku di depannya. Gadis kecil itu duduk di atas karpet dengan meja kecil yang menjadi tumpuannya. Zena sama sekali tidak menyadari kepulangan ayahnya. "Mandi dan ganti baju dulu, setelah itu baru menyapanya," ujar Serena setelah menepuk pundak Dirga yang berdiri di depan pintu kamar sembari memandang putri mereka yang sedang serius belajar. "Besok dia ada lomba matematika. Dia agak minder karena ini di Jakarta makanya ia sangat serius belajar," tambahnya bercerita. Dirga menoleh sambil mengerutkan
Serena menggeliat ketika tidurnya merasa terganggu sesuatu yang keras menempel erat di perutnya yang ramping. Satu tangannya meraba pada benda yang terasa keras dan berotot. Seketika matanya terbuka lebar saat ia sadar benda yang melingkar di perutnya adalah sebuah tangan kekar entah milik siapa? Serena mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Astaga.," pekiknya tertahan. Dirga memeluknya dari belakang. "Bikin kaget saja, kamu kenapa tidur di sini?" Serena memukul lengan kekar yang memeluknya itu. Masih dalam keadaan setengah sadar Dirga membuka matanya, "Apa Rena? aku ngantuk besok aja bicaranya," keluh Dirga dengan suara serak dan mata menyipit. "Kamu itu ngapain tidur disini?" tanya Serena. Meski sudah beberapa hari ini Dirga tinggal serumah dengannya tapi Serena belum mengizinkan Dirga untuk tidur satu ranjang dengan dirinya. Jika Dirga tidur dengan Zena maka Serena akan memilih tidur di kamar Bundanya. Serena beranjak bangun dari tidurnya. Dengan posisi duduk ia menatap