Setelah mengantar Zena ke sekolah, Dirga memaksa untuk mengantar Serena ke kafe. Mereka sempat berdebat di parkiran kafe sehingga menyita perhatian beberapa karyawan kafe yang baru datang. Serena meminta Dirga untuk segera pergi dan tidak perlu mengurusi hidupnya dan Zena namun bukan Dirga namanya kalau tidak keras kepala dan kekeh menolak permintaan Serena. Karena tidak ingin menjadi bahan tontonan beberapa karyawannya, Serena memilih mengakhiri perdebatan lalu berjalan masuk ke dalam kafe dengan Dirga yang mengikuti di belakang Serena. "Apa lagi?" sentak Serena mendelik saat menyadari Dirga mengikutinya masuk ke ruang kerja. "Kamu mau apa ikut masuk ke ruang kerja aku?" tanyanya dengan nada kesal. "Kamu belum jawab pertanyaan aku," jawab Dirga santai, "Jam berapa Zena pulang sekolah? Juga jam berapa istriku pulang kerja? Aku akan pergi setelah kamu menjawab dua pertanyaan itu," sambungnya mengulangi pertanyaannya dengan pandangan menelisik setiap sudut ruang kerja Serena. Serena
Pukul setengah satu Serena meninggalkan kafe untuk menjemput putrinya. Sekolah Zena adalah salah satu sekolah swasta favorit dan terbaik di daerah itu. Jika biasanya Zena pulang jam 3 sore, berbeda dengan hari sabtu sekolahnya berakhir lebih awal yaitu pukul satu siang.Serena memilih memesan taksi online untuk menjemput Zena. Sebelumnya Serena sudah menyuruh salah satu karyawannya untuk memeriksa motornya di parkiran, dan ternyata motornya tidak ada. Kemungkinan Dirga membawa motor Serena. Entah kemana perginya pria itu Serena sama sekali tidak ingin tahu. Ia bahkan sudah merelakan motornya asalkan pria itu tidak mengganggu hidupnya lagi. Sekitar lima belas menit Serena sudah sampai di sekolah Zena. "Tolong tunggu sebentar Pak," pesan Serena pada sang sopir. Tidak menunggu lama Zena berjalan keluar dari gerbang sekolahnya setelah Serena berbicara pada guru yang bertugas mengantar siswa keluar. Setiap siswa yang pulang harus di jemput oleh orang gua atau pengasuh yang sudah di ketahu
Pov Serena. Suara ketukan terdengar dari luar kamar seiring dengan suara Mas Dirga setelahnya. "Serena, ini aku." ujarnya dari balik pintu. "Ya," jawabku sembari mengelus kening Zena lembut. Seperti kebiasaannya selama ini jika sakit Zena tidak bisa di tinggal. Dia akan terus memelukku, meski sudah tertidur dia akan seketika terbangun jika aku tinggal. "Bagaimana keadaan Zena? Apa masih panas?" tanyanya berjalan masuk setelah membuka pintu lalu duduk di sisi ranjang. "Iya," Lagi-lagi aku menjawab singkat. "Apa tidak sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja?" katanya dengan wajah khawatir. Tangannya ikut terulur membelai pipi Zena. Aku sedikit tertegun melihat ekspresi khawatirnya. Sejak kemarin sore Mas Dirga sudah berulang kali bertanya, tentang keadaan Zena dan terus mengajakku membawa Zena ke rumah sakit. Aku merasa laki-laki di depanku ini bukan Mas Dirga tapi Orang lain. Muncul rasa perasaan di hatiku, benarkah laki-laki ini sudah berubah? Apa dia benar-benar sudah menyayan
Pov Serena. Sekitar pukul setengah empat aku terbangun karena mendengar rengekan Zena. "Kenapa sayang? Mau minum?" Suara Mas Dirga sedang berusaha menenangkan Zena yang merengek sambil menggoyangkan lenganku. "Sama Papa saja ya! Mama capek," bujuknya namun tetap tidak bisa membuat Zena berhenti merengek. Aku segera bangun dan menenangkan Zena, "Iya sayang. Maaf Mama gak dengar," ucapku sembari memeluknya. "Ma, pusing.." rengek Zena yang membuat hatiku terasa nyeri. Rasanya tidak tega melihat Zena September ini. "Iya, nanti ke dokter ya!" bujukku sambil mengelus keningnya supaya sedikit mengurangi rasa pusing yang dirasakannya. "Gendong,," pinta Zena menangis. "Iya, Mama gendong," Aku beranjak bangun dan mengulurkan kedua tanganku ke depan Zena. Saat aku hendak mengangkat Zena, tiba-tiba Mas Dirga menarik tanganku pelan. "Biar aku saja. Zena sudah besar nanti kamu kelelahan." ujarnya menahan tanganku. "Gak papa aku sudah biasa," Aku menarik tanganku dan segera mengangkat Zena y
Sejak kemarin Zena masih terus saja rewel. Sudah dua hari setelah dari dokter namun belum ada perubahan karena gadis kecil itu menolak makan dan minum obat, sehingga membuat kesabaran Serena seperti sedang di uji. Sudah sejak satu jam yang lalu Serena berusaha membujuk putri semata wayangnya dengan berbagai janji dan hadiah, namun bukan putri Dirga jika tidak keras kepala seperti papaya. Serena menghela nafas panjang untuk mengurai rasa lelah yang sudah mulai menjalar di tubuh dan pikirannya. Ia sudah kehabisan cara untuk membujuk Zena supaya mau makan meski sedikit. Gadis kecil itu akan menggeleng lalu menyembunyikan wajahnya di dada bidang papanya ketika Serena mencoba menyuapinya. "Dudukkan Zena di kursi!" perintah Serena yang mau tak mau langsung di turuti oleh Dirga. Dengan cepat Dirga menurunkan Zena dari gendongannya. "Kamu harus makan Zena!" ucap Serena berusaha menekan suaranya ketika gadis kecil itu menutup mulut dengan tangannya sendiri."Kalau kamu tidak mau makan, kapa
"Papa juga jahat sama Mama tidak seperti Om Dewa yang selalu jagain Mama sama aku," Sekali lagi kata-kata polos putrinya ibarat sebuah tamparan untuk Dirga. Wajahnya memerah dengan pundak yang langsung meluruh seperti tidak punya tenaga. Rasa bersalah di hatinya kembali menyeruak memenuhi relung-relung di dalam dadanya. "Maafkan Papa," pinta Dirga sembari memegang tangan Zena lalu menciumi tangan kecil itu bersamaan dengan butiran bening yang merembes keluar dari kedua matanya. "Papa sangat menyesal telah menyakiti kamu dan Mama. Tolong maafkan Papa! Papa janji mulai sekarang Papa akan jagain Zena dan Mama." Lanjutnya meminta maaf."Apa Papa tidak jagain pacar Papa dan anak baru Papa?" Kembali pertanyaan Zena ibarat petir yang menyambar tepat di atas kepalanya. "Siapa yang mengatakan hal itu sama kamu?" tanya Dirga setengah tak percaya dengan pertanyaan putri kecilnya. Bagaimana bisa putrinya yang belum genap 10 tahun bisa bertanya tentang hal itu. "Itu sama sekali tidak benar. Pa
Sudah seminggu lebih Dirga tinggal di rumah Serena. Setiap hari Dirga mengantar dan menjemput Zena sekolah juga mengantar Serena kerja. Dirga juga tak segan membantu pekerjaan rumah, dari menyapu, menyiapkan sarapan sampai mencuci pakaian. Meski Serena sudah melarangnya mencuci baju namun Dirga tetap melakukannya ketika Serena masih di kafe. Dirgantara putra yang sekarang sangat berbeda dengan Dirga yang dulu. Semua pekerjaan rumah yang tidak pernah ia kerjakan sekarang seperti hal yang wajib dan biasa untuk dilakukannya. Sore ini setelah menjemput Serena dari kafe, Dirga langsung sibuk di dapur bersama Zena. Mereka sibuk untuk membuat hidangan makan malam karena akan ada tamu yang datang.Tadi pagi Serena memberitahu jika Dewa akan datang dengan calon istrinya. Mendengar itu Zena langsung cemberut dan sedih. Berbeda dengan Dirga, ia langsung bersemangat dan terlihat sangat bahagia. "Kalian sedang apa?" tanya Serena pada ayah dan anak yang sedang sibuk di depan kompor. "Ma, Zena s
"Aku tidak mau kembali padamu. Meski semua orang di keluargaku menerima kamu," geram Serena dengan suara tertahan. "Kenapa?" "Karena aku sudah tidak mencintaimu lagi." Jawaban Serena ibarat pisau yang menghujam tepat di jantung Dirga. Sakit dan perih yang saat ini Dirga rasakan. Tapi ia tahu semua ini adalah harga yang harus ia bayar atas kesalahannya dulu, "Tidak masalah. Meski kamu tidak mencintaiku, aku akan tetap mencintaimu. Aku tidak apa-apa kamu membenciku tapi aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Kecuali jika aku mati." Ucap Dirga serius. "Hukum aku sepuas hatimu, tapi aku tidak akan lelah meluluhkan hatimu," tambahnya lalu berbalik berjalan keluar dari kamar Serena. "Tidak tahu malu," gumam Serena pelan sambil menutup pintu kamarnya. "Dia pikir dirinya itu siapa? Apa dia bilang, tidak selingkuh katanya? Cih, siapa yang akan percaya laki-laki seperti dia? Aku bukan Serena yang dulu, aku tidak akan tertipu lagi." Serena menggerutu lalu mengambil ponselnya untuk menelfon