Sudah satu minggu ini Dirga mondar mandir antara kantor polisi dan rumah orang tuanya untuk menyelesaikan masalah yang menjerat Hendrawan, ayah Dirga. Setelah menemui perwakilan dari perusahaan akhirnya Hendrawan dapat di bebaskan dengan membayar denda yang nominalnya cukup menguras tabungan Dirga. Namun Dirga tidak mempermasalahkan materi yang harus dikeluarkannya. Bagi Dirga asalkan Ayahnya bisa bebas dari penjara itu jauh lebih penting ketimbang materi yang bisa dicarinya lagi. Hendrawan dapat pulang kembali setelah semua masalah administrasinya selesai. Sekitar pukul 10 pagi Dirga beserta pengacara dan Hendrawan sampai di rumahnya. Mirna langsung menyongsong kedatangan Hendrawan dengan pelukan dan tangis haru. Sama halnya dengan Anita juga putrinya Dara, mereka langsung memeluk Hendrawan sambil menangis bahagia. Berbeda dengan Mirna dan Anita, sejak di kantor polisi sampai di rumah Dira bersikap acuh pada Hendrawan. Ia memilih langsung masuk kamarnya untuk beristirahat setelah
"Apa Ayah ingin mendapatkan hukuman yang lebih dari semua ini? Apa Ayah ingin melihat Anita benar-benar jadi Janda?" Dirga menatap tajam laki-laki di depannya. "Teruslah mendo'akan aku bercerai dengan Serena. Itu sama artinya kalian mendo'akan Anita menjadi janda." ujar Dirga menantang Ayahnya. "Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu? Apa yang sudah wanita itu katakan sama kamu sampai kamu setega itu kepada adikmu sendiri." teriak Hendrawan penuh amarah. "Wanita itu pasti sudah menghasutmu sampai kamu bersikap. seperti ini pada keluargamu." tambahnya dengan mata melotot pada Dirga. Dirga memejamkan matanya sejenak untuk mengontrol emosinya yang sudah hampir meledak. "Harusnya Ayah tanya pada anak perempuan Ayah yang sholihah itu," tunjuk Dirga pada sang adik yang hanya duduk diam sambil menundukkan kepalanya. "Tanyakan apa yang sudah dia katakan pada Serena tentang Meysa? Tanyakan juga apa yang dia katakan pada Meysa tentang pernikahan aku dan Serena?" Sekalipun Anita tidak berani
Sudah satu bulan berlalu sejak pertengkaran Dirga dengan ayahnya. Namun sampai hari ini tak sekalipun Dirga mengunjungi atau menghubungi orang tuanya. Meski begitu tak lantas membuatnya lepas tanggung jawab, ia tak pernah lupa mengirim uang setiap bulan ke rekening Mirna sama seperti sebelumnya. Bahkan Dirga menambah jumlah uang yang di kirimnya karena setelah kasus penangkapan Hendrawan, minimarket mereka menjadi sepi. Banyak pelanggan yang tidak lagi berbelanja di toko mereka. Perusahaan makanan instant yang sedang dirintis oleh Dirga dan tiga orang temannya berkembang dengan pesat. Produk-produk yang mereka keluarkan di terima baik di pasaran. Dirga dan kawan-kawannya mengusung tema makanan khas. Tidak hanya makanan khas Indonesia melainkan juga makanan khas dari negara lain, terutama makanan khas dari negara korea yang Sekar sedang digandrungi.Perusahaan yang dinamai dengan 'Selera food' itu memproduksi berbagai jenis makan khas yang di gemari oleh konsumen. Sejak awal berdiri
Setelah dua tahun. Hari ini setelah menyelesaikan pekerjaannya Dirga kembali datang ke komplek rumah orang tua Serena. Seperti hari-hari sebelumnya Dirga tidak pernah absen datang ke depan rumah mertuanya itu untuk mencari keberadaan istri dan anaknya. Sudah satu jam sejak kedatangannya dan ia hanya duduk diam di dalam mobil yang ia parkir beberapa meter dari rumah sang mertua untuk mengawasi rumah itu dari jauh. Hal itu sudah menjadi hal rutin yang ia lakukan sejak dua tahun yang lalu. Dirga tidak pernah sekalipun lupa untuk menyempatkan diri datang datang ke rumah Rahma di sela-sela kesibukannya mengurus perusahaannya. Meski hanya bisa melihat dari jauh saja. Dirga berharap jika suatu hari ia bisa melihat atau hanya sekedar mendengar suara istri dan anaknya. Hari ini pekerjaannya cukup banyak sehingga baru sekitar jam sembilan malam ia sampai di depan rumah mertuanya. Beberapa jam lalu ia mendapat telfon dari orang yang ia suruh untuk membuntuti Gibran. Katanya kakak iparnya itu
Pov Dirgantara. "Bunda sudah bangun?" tanyaku berjalan mendekat ranjang pasien, "Bibi pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang yang kemarin tidak terbawa." jelasku ketika wanita paruh baya di depanku celingukan mencari asisten rumah tangganya. Bunda memandangku sejenak lalu membuang mukanya ke arah lain. "Bunda butuh sesuatu? Atau mau ke kamar mandi?" kembali aku bertanya. "Panggilkan saja suster! Setelah itu pergilah!" jawabnya ketus tanpa mau memandang ke arahku. Aku menghela nafas panjang, 'bunda tidak salah. Ini semua karena perbuatanku terhadap Serena sehingga bunda bersikap kasar.' Berulang kali hatiku berbisik mengingatkan aku agar bisa bersabar dengan sikap ketus ibu mertuaku ini. "Saya akan pergi setelah Gibran atau Indira datang. Saya sudah janji pada Gibran untuk menemani Bunda sampai dia kembali dari luar kota." Aku mengulangi penjelasanku tadi malam. "Aku tidak butuh ditemani kamu. Kamu di sini malah bikin saya tambah sakit." ucapnya sambil melirikku sinis.
"Tinggalkan orang tuamu!" Dirga melebarkan matanya, kaget. Ia tak menyangka jika kalimat itu bisa keluar dari mulut ibu mertuanya yang selama ini terlihat sangat bijaksana di matanya. 'Seperti inikah posisi Kaisar saat itu?' gumamnya dalam hati. Rahma tersenyum remeh, "Dari dulu sampai sekarang kamu tidak akan berubah. Dulu kamu berjanji akan melindungi dan membela Serena namun nyatanya Serena harus membela dirinya sendiri dari keluargamu yang sangat munafik itu," Ujar Rahma ketus. Dirga hanya bisa terdiam. Apa yang di katakan Rahma memang benar. Dulu Dirga pernah berjanji akan lebih peduli dan menjaga perasaan Serena. Namun dirinya tidak mampu menepati janjinya. "Saya mengakui, memang saya telah lalai dalam tanggung jawab saya. Tapi kali ini saya janji... ""Saya tidak lagi percayalah pada janjimu." Rahma memotong ucapan pria yang masih berstatus sebagai menantunya itu. "Saya tidak akan lagi mempertaruhkan nasib anak dan cucu saya di tangan laki-laki seperti kamu." Dirga menghel
"Biarkan saja Dirga tahu. Belum tentu juga Serena bersedia memaafkan dia. Sudah waktunya dia tahu jika hati Zena sudah dimiliki oleh Dewa." "Serena dan Zena ada di kota Bandung. Akan aku beritahu alamatnya jika kau ingin menyusulnya." Kalimat yang di ucapakan Gibran tadi siang masih terngiang-ngiang di telinga Dirga. Sudah dua tahun lebih Dirga berpisah dengan istri dan anaknya. Selama itu tidak sekalipun Serena menghubungi Dirga padahal Dirga tidak pernah mengganti nomor ponselnya. Ia berharap jika suatu hari hati istrinya itu akan terbuka dan menghubunginya. Namun sekalipun Serena tidak pernah membalas pesan yang telah ribuan kali ia kirim. Hatinya mulai ragu akankah cinta Serena masih ada untuknya. Apalagi ada Dewa diantara mereka. Seperti yang pernah dikatakan Aira, Dewa diminta oleh Kaisar untuk menjaga Serena. Bukan tidak mungkin seiring berjalannya waktu Dewa juga mencintai Serena. Terbukti dengan sikap Dewa yang sangat menyayangi dan memanjakan Zena. Untuk yang kesekian
"Salim dulu," perintah Serena sambil menyentuh pundak putrinya. "Assalamualaikum," ucap Zena memandang Dirga lalu bergegas masuk ke dalam rumah ketika Dirga hendak mendekatinya. DEGH... Seketika raut muka Dirga memerah. Dirga tidak menyangka akan mendapat respon sedingin ini dari putri semata wayangnya. Hatinya seperti di sayat sayat dengan pisau. Ngilu dan perih terasa di dalam dadanya melihat putrinya yang menolak untuk ia dekati. Matanya memandang sendu pada punggung kecil yang bejalan menjauh masuk ke dalam rumah. Serena hanya bisa menghela nafas panjang, ia tidak pernah menginginkan sang putri membenci ayah kandungnya sendiri. Itulah sebabnya dulu ia mencoba untuk bertahan meski hatinya sakit dengan semua sikap Dirga dan keluarganya. Bagi Serena asalkan Dirga bisa memberi perhatian lebih pada putrinya semua sakit hatinya tak ada artinya. Namun sekali lagi Serena kalah oleh takdir. Dirga bukan hanya mengecewakannya. Pria itu juga mengkhianatinya dengan bermain api di belakang
"Sah" pekik sang penghulu yang langsung di sambut riuh para saksi. "Sah," Suara para saksi terdengar kompak disusul. lantunan do'a dari sang penghulu dan segera diaminkan oleh seluruh yang hadir di ruangan itu. "Alhamdulillah,," Suara lirih Rahma penuh syukur. "Iya Alhamdulillah ya Bun. Akhirnya Mas, Gibran menikah juga," sahut Serena sambil mengelus punggung wanita paruh baya itu. Rahma hanya menghela nafas dengan pandangan yang sendu kearah sepasang pengantin yang nampak bahagia dengan senyum sumringah di wajah keduanya. "Bunda, senyum dong. Pengantinnya mau minta do'a restu," ujar Serena saat Gibran dan Nurida mendekati sang Bunda untuk sungkem. Hari ini adalah pernikahan Gibran dan Nurida. Setelah satu tahun meminta berjuang akhirnya hari ini mereka bisa melangsungkan akad nikah dengan restu dari Rahma. Ya, awalnya Rahma menolak memberi restu Gibran menikahi sahabat Serena itu. Rahma menginginkan menantu yang statusnya sama dengan Gibran. Bukan seorang janda dengan satu ana
"Ru rujuk? maksudnya?" tanya Serena menoleh pada Dirga. "Beberapa bulan yang lalu Anita mengajukan gugatan cerai pada Andika." Dirga menjawab pertanyaan Serena lalu mengalihkan pandangannya pada Hendrawan. "Bukannya perceraian mereka sudah di putuskan pengadilan?" "Iya tapi belum mengikrarkan talak. Selama perpisahan mereka Andika belum pernah mengucap talak." penjelasan Hendrawan mendapat anggukan mengerti dari Dirga. Serena hanya diam tanpa berniat berkomentar. Ia masih tidak percaya mendengar berita perceraian adik iparnya itu. Apalagi selama ini Hendra dan Mirna selalu membanggakan rumah tangga putri bungsunya itu sangat harmonis. "Rena, kenapa tamunya tidak di ajak masuk?" Rahma ikut keluar menyambut besannya itu. Dengan senyum ramah ibu Serena mengulurkan tangannya menyalami kedua orang tua menantunya itu. "Ayo silahkan masuk!" ajak Rahma menggiring besannya itu untuk masuk ke sisi lain ruang tamu yang memang di peruntukkan untuk menjamu tamu yang datang. "Maaf duduknya di
Sudah dari kemarin Dirga dan Serena menempati rumah baru mereka. Tak ketinggalan Rahma dan Gibran juga keluarga kecil Indira ikut menginap sejak semalam. sudan dari selesai sholat shubuh Rahma sibuk mengatur persiapan acara ulang tahun sekaligus tasyakuran rumah baru putri bungsunya. Di bantu dua orang asisten rumah tangga ia sibuk di dapur. Rencananya pada jam 9 pagi akan diadakan pengajian bersama dengan mengundang para tetangga juga saudara dan teman-teman Dirga. Untuk ulang tahun Zena akan diadakan setelah dhuhur. Bukan hanya Rahma, Indira pun begitu. Kakak kedua Serena itu juga sibuk mengatur tempat dan bingkisan untuk para undangan. "Inah, kamu taruh semua bingkisan itu di depan. Di bawah tenda ya!" perintahnya pada seorang asisten rumah tangga yang baru di pekerjakan oleh Dirga sejak dua hari yang lalu. "Periksa juga bingkisan untuk undangan ulang tahun Zena! Jumlahnya kurang atau tidak?" sambungnya lalu berjalan menuju dapur. "Rena, cateringnya datang jam berapa? Acaranya
"Siapa yang akan mengacaukan? Dirga bisa sesukses ini juga karena kita. Enak sekali keluarga Serena, tidak merasakan susahnya sekarang ikut menikmati hasil kesuksesan Dirga," gerutu Hendrawan. "Minta alamatnya. Minggu depan kita berangkat ke sana," "Apa Ayah Tidak malu bicara seperti itu?" Mirna menatap tajam suaminya. "Sudah lupa apa yang Ayah lakukan pada Dirga?" Pertanyaan Mirna sontak menyulut emosi di dada Hendrawan. Dengan rahang yang mengeras pria paruh baya itu membalas tatapan Mirna tak kalah tajam. Namun kali ini Mirna tidak takut apalagi segan. Ia sudah sangat jengah dengan dengan sikap dan perangai suaminya itu. "Aku pikir beberapa bulan ini kamu sudah berubah, tapi nyatanya aku salah. Kamu tetap egois dan tidak mau mengakui salah." "Apa maksudmu?" sentak Hendrawan emosi. "Apa perlu aku mengulangi perkataan Dirga dua tahun lalu? Apa perlu aku mengulik kesalahan suamiku yang tidak pernah mau kamu akui?" Mirna menarik nafas panjang untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya
Sekitar pukul setengah tujuh malam, mobil dirga memasuki pelataran rumah besar mertuanya. Serena membuka pintu rumah bersamaan dengan Dirga yang keluar dari mobilnya dengan membawa banyak bawaan di kedua tangannya. "Biar kubantu Mas," ujar Serena segera mendekat dan mengambil satu kotak besar dari tangan kanan Dirga. "Hati-hati itu kue ulang tahun untuk Zena," sahut Dirga sedikit khawatir. "Iya," jawab Serena tersenyum lalu berjalan masuk lebih dulu. "Dimana Zena?" tanya Dirga berjalan dibelakang Serena. "Zena lagi di kamar Bunda bersama Rendy dan Raka." Serena segera meletakkan kuenya di sisi meja makan. "Malam Ga," sapa Indira yang berjalan keluar dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Malam juga Mbak. Mana Mas Abimana?" sahut Dirga bertanya bersikap ramah."Tu," indira menunjuk ke arah ruang tengah. Dua orang pria duduk sambil berbincang. "Halo Ga," Abimana mengangkat tangannya menyapa yang di jawab anggukan oleh Dirga. Merasa sungkan Dirga hendak berjalan untuk
Setelah sholat shubuh Dirga mendatangi ibu mertuanya untuk memberia tahu jika nanti malam dia akan membuat kejutan ulang tahun untuk putrinya. Dirga meminta Rahma untuk memberi tahu Indira dan Gibran untuk ikut datang. Sebenarnya Dirga ingin mengadakan pesta ulang tahun putrinya itu di rumah baru mereka namun dikarenakan rumah baru mereka belum siap untuk ditempati akhirnya Serena menyarankan untuk memberikan kejutan kecil dan nanti setelah rumah mereka sudah siap akan membuat pesta ulang tahun Zena bersamaan dengan tasyakuran rumah baru mereka. Setelah semua anaknya dan menantunya berangkat Rahma segera menelpon putri ke duanya untuk memintanya datang malam ini seperti permintaan menantu sulungnya. "Tentu saja kami akan datang Bun. Tanpa Bunda telfon aku dan anak-anak sudah berniat ke rumah Bunda sepulang sekolah nanti dan Mas Aby akan menyusul sepulang kerja. Kami tidak akan lupa dengan ulang tahun princess Zena," jawab Indira saat Rahma memintanya datang. Mendengar jawaban putr
"Kamu percaya sama aku kan? Aku bersumpah aku hanya menganggapnya teman. Kami bertemu hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran saja." Kembali ia berusaha menyakinkan istrinya itu. Ia tahu jika kediaman Serena karena masih ada kerguan di hati istrinya itu. "Kenapa dulu kamu tidak ingin berbincang dan bertukar pikiran denganku?" tanya Serena yang membuat Dirga terdiam lalu perlahan menegakkan kembali punggungnya. "Apa karena aku tidak enak diajak bicara?" "Karena aku bodoh. Aku tidak tahu caranya berbicara denganmu sehingga kita selalu berakhir dengan bertengkar," jawab Dirga dengan ekspresi khawatir.Dirga sangat menyesal mengapa harus membahas Meysa. Mungkin seharusnya ia tidak membahas sahabat lamanya itu. Ia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Serena kembali merenggang hanya karena seseorang yang sama sekali tidak penting bagi Dirga. "Hemm," Serena menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Pergilah mandi! Lalu keluar untuk makan malam." Kembali Dirga menghela nafas, mes
Beberapa hari ini Dirga harus pulang terlambat karena harus menyelesaikan persiapan launching produk baru perusahaanya. Jika seminggu kemarin ia sampai rumah pada pukul 10 malam, namun hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sekitar pukul delapan malam Dirga sudah sampai di rumah. Serena segera menyambut Dirga begitu mendengar suara mobil suaminya itu memasuki pelataran rumah. Saat Dirga hendak masuk kamar nampak putrinya sedang belajar di ruang tengah. Zena terlihat sangat serius dengan buku-buku di depannya. Gadis kecil itu duduk di atas karpet dengan meja kecil yang menjadi tumpuannya. Zena sama sekali tidak menyadari kepulangan ayahnya. "Mandi dan ganti baju dulu, setelah itu baru menyapanya," ujar Serena setelah menepuk pundak Dirga yang berdiri di depan pintu kamar sembari memandang putri mereka yang sedang serius belajar. "Besok dia ada lomba matematika. Dia agak minder karena ini di Jakarta makanya ia sangat serius belajar," tambahnya bercerita. Dirga menoleh sambil mengerutkan
Serena menggeliat ketika tidurnya merasa terganggu sesuatu yang keras menempel erat di perutnya yang ramping. Satu tangannya meraba pada benda yang terasa keras dan berotot. Seketika matanya terbuka lebar saat ia sadar benda yang melingkar di perutnya adalah sebuah tangan kekar entah milik siapa? Serena mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Astaga.," pekiknya tertahan. Dirga memeluknya dari belakang. "Bikin kaget saja, kamu kenapa tidur di sini?" Serena memukul lengan kekar yang memeluknya itu. Masih dalam keadaan setengah sadar Dirga membuka matanya, "Apa Rena? aku ngantuk besok aja bicaranya," keluh Dirga dengan suara serak dan mata menyipit. "Kamu itu ngapain tidur disini?" tanya Serena. Meski sudah beberapa hari ini Dirga tinggal serumah dengannya tapi Serena belum mengizinkan Dirga untuk tidur satu ranjang dengan dirinya. Jika Dirga tidur dengan Zena maka Serena akan memilih tidur di kamar Bundanya. Serena beranjak bangun dari tidurnya. Dengan posisi duduk ia menatap