Rahma sedang menyirami tanaman hiasnya ketika sebuah mobil berhenti di pinggir jalan depan rumahnya. Rahma menyipitkan matanya untuk melihat siapa yang datang, mengapa tidak memasukkan mobilnya di halaman jika memang ingin bertamu kerumahnya. Tiba-tiba raut wajah Rahma berubah ketus melihat siapa yang turun dari mobil lalu berjalan mendekatinya yang berdiri di teras rumah sambil memegang slang air. "Bibi," panggilnya pada asisiten rumahh tangganya, "Tolong suruh orang itu keluar! Rumah ini tidak menerima kehadirannya disini." perintahnya setelah asisten rumah tangganya datang. "Baik Bu," jawab Bibi lalu mendekati Dirga yang berdiri di tangga teras. "Maaf Mas Dirga, silahkan kembali pulang saja!" Bibi mempersilahkan Dirga untuk pergi. "Saya mencari Serena Bi," kata Dirga menolak untuk pergi. "Mbak Serenanya gak ada di sini Mas. Maaf saya hanya menjalankan perintah Ibu." Bibi berdiri di depan Dirga. Rahma memandang sinis pada Dirga. Hatinya sakit setelah tahu menantu yang sangat
Sudah dua jam Dirga duduk termenung di atas bagasi mobilnya menatap pada tanah kosong di depannya. Dua jarinya mengapit sebatang rokok yang sesekali di hisapnya untuk menenangkan diri. Ponselnya sudah berdering puluhan kali menampilkan panggilan dan pesan dari ayah juga adiknya namun sama sekali tak ia hiraukan. Pandangannya menerawang jauh mengingat semua perbuatannya dulu pada Serena. Dalam hati kecilnya Dirga membenarkan semua ucapan ibu mertua dan kakak iparnya namun ia tidak rela jika harus melepas Serena. Bagaimanapun dia sangat mencintai Serena hanya saja selama ini dia tidak bisa menunjukkan rasa cintanya. Dirga orang yang cuek dan dingin sehingga semua perhatian Serena berikan menjadi beban untuknya. Bukan berarti ia tidak menghargai perhatiannya tapi Dirga takut tidak bisa membalas semua perhatian Serena seperti yang diharapkan karena itu Dirga meminta Serena untuk berhenti terlalu perhatian padanya. "khemm." Galih sudah berdiri di samping mobil kemudian ikut duduk di seb
Setelah beberapa hari merenung dan mendekatkan diri pada Alloh, Tuhan yang ia yakini, kini Dirga kembali bangkit dan menjalani hidupnya seperti sebelumnya. Dirga kembali masuk kantor dan melanjutkan rencananya untuk membuka usaha bersama Galih dan seorang temannya lagi yang baru pulang dari luar negeri. Pagi ini Dirga sengaja meminta izin tidak masuk kerja karena ia ingin memperbaiki semua barang-barang di rumahnya yang rusak akibat perbuatanya saat bertengkar dengan Serena. Sebenarnya ia sangat mampu untuk membeli yang baru tapi Dirga sengaja ingin menunjukkan pada Serena jika semua yang rusak masih bisa di perbaiki. Pertama dia memasuki kamar putrinya. Mengambil pakaian Serena yang masih tersisa di almari pakaian milik Zena untuk ia kembalikan ke posisi awal yaitu di alamari mereka di kamar utama. Setelahnya Dirga ingin memperbaiki bingkai foto yang pecah. Kemarin sepulang kerja Dirga mampir membeli dua kaca seukuran bingkai foto untuk mengganti bingkai foto pernikahannya dan Ser
Dirga segera mengajak orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah. Mempersilahkan orang tuanya untuk duduk lalu pergi mengambilkan minuman dingin untuk ayah ibunya. "Dimana Serena dan Zena? Kenapa tidak di rumah saat kamu pergi bekerja?" tanya Mirna dengan nada tidak suka. "Istri yang baik itu harus ada di rumah saat suaminya bekerja." tambahnya sambil berjalan mengikuti Dirga ke dapur untuk mengambil minum. "Minumlah bu!" Gibran menyerahkan sebotol minuman ion yang diambilnya dari lemari es. "Kita ke depan Bu," ajaknya lalu berjalan lebih dulu. "Kenapa tidak memberitahu jika mau kesini?" tanya Dirga setelah duduk di sofa ruang tamu."Biar tidak mengganggu pekerjaan kamu," jawab Hendrawan sambil menyandarkan punggungnya. "Nanti kamu pasti buru-buru pulang kalau tahu kami mau kesini?" sahut Mirna menambahi. Dirga mengangguk, "Ayah sama Ibu istirahat aja dulu," ucapnya hendak beranjak dari duduknya. "Kamu mau kemana?" Mirna mendongak menatap putranya. "Kamu belum jawab pertanyaan Ibu
"Bagaimana jika aku beritahu Serena sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan dan besok kami akan bertemu untuk mediasi, apa kalian senang?" beritahu Dirga dengan nada sinis. Sontak Mirna mengarahkan pandangannya pada putranya itu. "Serena sudah mengajukan gugatan?" Mirna memajukan tubuhnya untuk memastikan apa yang baru saja didengarnya. "Benar." Dirga mengangguk. Mirna menghela nafas panjang, ada rasa lega akhirnya Dirga berpisah dengan wanita yang tidak pernah ia suka sejak pertama kali putranya membawa wanita itu pulang untuk di kenalkan dengan dirinya. Namun tiba-tiba muncul rasa kasihan di hatinya ketika melihat wajah frustasi Dirga yang terpukul dengan keputusan menantunya itu. "Mungkin ini memang sudah jalannya. Jodoh kalian hanya sampai di sini. Semua pasti ada hikmahnya," tutur Hendrawan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun di wajahnya. "Jadi kalian benar-benar bahagia mendengar kehancuran rumah tanggaku?" tanya Dirga lalu tersenyum miris. "Aku benar-benar tidak menyang
Dirga datang ke pengadilan satu jam lebih awal dari jadwal yang di tentukan oleh pengadilan. Dirga yang di temani dua kuasa hukumnya sengaja menunggu Serena di area parkiran namun sampai waktu mediasi dimulai tak ada tanda-tanda akan kehadiran Serena. Ternyata Serena tidak hadir di karenakan ada kepentingan mendadak dan hanya diwakili oleh dua pengacaranya, itu baru di ketahui Dirga ketika mereka sudah di ruang Mediasi. Ketika mediasi di mulai pengacara dari Serena menekankan jika Serena sudah memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka dengan alasan sering terjadi terjadi cekcok dan pertengkaran karena hal kecil dan berujung pada perdebatan yang alot dan itu terjadi terus menerus. Sehingga Serena khawatir jika terus berlanjut akan mempengaruhi psikis Arzena, putri mereka. Pengacara juga mengatakan jika kliennya tidak menuntut pembagian harta gini gini ,"Klien kami hanya menuntut hak asuh putrinya jatuh ke tangan Bu Serena seperti perjanjian yang sudah Pak Dirga dan Ibu Serena se
Jm 6 pagi Serena sudah bersiap untuk berangkat ke pengadilan. Serena berniat menitipkan Zena di rumah Bundanya sebelum berangkat ke pengadilan karena itu mereka berangkat lebih awal dari jadwal yang di sidang perceraiannya.''Serena kamu sudah siap?" Gibran mengetuk kamar Serena. "Iya." jawab Serena setelah keluar dari kamarnya. "Kita sarapan di rumah Bunda saja. Zena sudah kangen kari ayam bikinan Bunda katanya." ujarnya sambil melirik putrinya yang sudah berdiri di dekat sofa sambil tersenyum. "Hore,,,,ke rumah Oma." pekiknya girang. "Sudah siap ketemu Bunda?" tanya Gibran menatap dalam adik bungsunya itu. Serena sontak mengangguk sambil tersenyum seperti biasanya. Tidak pernah menunjukkan kesedihannya. "Semuanya pasti akan segera berlalu. Setelah semuanya selesai, mulailah hidup baru bersama Zena!" ucap Gibran menepuk pundak sang adik lalu berbalik dan menggendong Zena membawanya keluar kamar apartemen. Ya, beberapa hari ini Serena tinggal di appartemen milik Gibran untuk se
"Sebenarnya dulu Bunda dan Papanya Kaisar saling mengenal. Kami sangat dekat. Saat itu Bunda mengira jika Aditama memiliki perasaan yang sama dengan yang Bunda rasakan tapi ternyata Aditama mendekati Bunda karena menyukai kakak sepupuku, Marisa." Rahma mengungkapkan apa yang selama ini ia rahasiakan. Sontak membuat ketiga anaknya tercengang setelah mendengar pengakuan Rahma. "Bunda serius?" Kali ini Indira yang bertanya. Sedangkan Serena dan Gibran hanya menatap lekat wanita yang mereka panggil Bunda itu. Rahma menghela nafas panjang sebelum menceritakan apa yang disimpan rapat selama ini, "Aditama adalah senior Bunda di kampus. Bunda dan Aditama sering pergi bersama bahkan dia sering membelikan hadiah dan sangat perhatian sama Bunda. Akan tetapi ternyata itu semua dilakukannya agar bisa mencari tahu tentang Marisa. Aditama tidak lagi menemuiku setelah mengenal Marisa. Pada akhirnya Bunda melihat sendiri Aditama dan Marisa menjalin kasih bahkan mereka menikah tanpa memberitahuku. K
"Sah" pekik sang penghulu yang langsung di sambut riuh para saksi. "Sah," Suara para saksi terdengar kompak disusul. lantunan do'a dari sang penghulu dan segera diaminkan oleh seluruh yang hadir di ruangan itu. "Alhamdulillah,," Suara lirih Rahma penuh syukur. "Iya Alhamdulillah ya Bun. Akhirnya Mas, Gibran menikah juga," sahut Serena sambil mengelus punggung wanita paruh baya itu. Rahma hanya menghela nafas dengan pandangan yang sendu kearah sepasang pengantin yang nampak bahagia dengan senyum sumringah di wajah keduanya. "Bunda, senyum dong. Pengantinnya mau minta do'a restu," ujar Serena saat Gibran dan Nurida mendekati sang Bunda untuk sungkem. Hari ini adalah pernikahan Gibran dan Nurida. Setelah satu tahun meminta berjuang akhirnya hari ini mereka bisa melangsungkan akad nikah dengan restu dari Rahma. Ya, awalnya Rahma menolak memberi restu Gibran menikahi sahabat Serena itu. Rahma menginginkan menantu yang statusnya sama dengan Gibran. Bukan seorang janda dengan satu ana
"Ru rujuk? maksudnya?" tanya Serena menoleh pada Dirga. "Beberapa bulan yang lalu Anita mengajukan gugatan cerai pada Andika." Dirga menjawab pertanyaan Serena lalu mengalihkan pandangannya pada Hendrawan. "Bukannya perceraian mereka sudah di putuskan pengadilan?" "Iya tapi belum mengikrarkan talak. Selama perpisahan mereka Andika belum pernah mengucap talak." penjelasan Hendrawan mendapat anggukan mengerti dari Dirga. Serena hanya diam tanpa berniat berkomentar. Ia masih tidak percaya mendengar berita perceraian adik iparnya itu. Apalagi selama ini Hendra dan Mirna selalu membanggakan rumah tangga putri bungsunya itu sangat harmonis. "Rena, kenapa tamunya tidak di ajak masuk?" Rahma ikut keluar menyambut besannya itu. Dengan senyum ramah ibu Serena mengulurkan tangannya menyalami kedua orang tua menantunya itu. "Ayo silahkan masuk!" ajak Rahma menggiring besannya itu untuk masuk ke sisi lain ruang tamu yang memang di peruntukkan untuk menjamu tamu yang datang. "Maaf duduknya di
Sudah dari kemarin Dirga dan Serena menempati rumah baru mereka. Tak ketinggalan Rahma dan Gibran juga keluarga kecil Indira ikut menginap sejak semalam. sudan dari selesai sholat shubuh Rahma sibuk mengatur persiapan acara ulang tahun sekaligus tasyakuran rumah baru putri bungsunya. Di bantu dua orang asisten rumah tangga ia sibuk di dapur. Rencananya pada jam 9 pagi akan diadakan pengajian bersama dengan mengundang para tetangga juga saudara dan teman-teman Dirga. Untuk ulang tahun Zena akan diadakan setelah dhuhur. Bukan hanya Rahma, Indira pun begitu. Kakak kedua Serena itu juga sibuk mengatur tempat dan bingkisan untuk para undangan. "Inah, kamu taruh semua bingkisan itu di depan. Di bawah tenda ya!" perintahnya pada seorang asisten rumah tangga yang baru di pekerjakan oleh Dirga sejak dua hari yang lalu. "Periksa juga bingkisan untuk undangan ulang tahun Zena! Jumlahnya kurang atau tidak?" sambungnya lalu berjalan menuju dapur. "Rena, cateringnya datang jam berapa? Acaranya
"Siapa yang akan mengacaukan? Dirga bisa sesukses ini juga karena kita. Enak sekali keluarga Serena, tidak merasakan susahnya sekarang ikut menikmati hasil kesuksesan Dirga," gerutu Hendrawan. "Minta alamatnya. Minggu depan kita berangkat ke sana," "Apa Ayah Tidak malu bicara seperti itu?" Mirna menatap tajam suaminya. "Sudah lupa apa yang Ayah lakukan pada Dirga?" Pertanyaan Mirna sontak menyulut emosi di dada Hendrawan. Dengan rahang yang mengeras pria paruh baya itu membalas tatapan Mirna tak kalah tajam. Namun kali ini Mirna tidak takut apalagi segan. Ia sudah sangat jengah dengan dengan sikap dan perangai suaminya itu. "Aku pikir beberapa bulan ini kamu sudah berubah, tapi nyatanya aku salah. Kamu tetap egois dan tidak mau mengakui salah." "Apa maksudmu?" sentak Hendrawan emosi. "Apa perlu aku mengulangi perkataan Dirga dua tahun lalu? Apa perlu aku mengulik kesalahan suamiku yang tidak pernah mau kamu akui?" Mirna menarik nafas panjang untuk sedikit mengurangi rasa kesalnya
Sekitar pukul setengah tujuh malam, mobil dirga memasuki pelataran rumah besar mertuanya. Serena membuka pintu rumah bersamaan dengan Dirga yang keluar dari mobilnya dengan membawa banyak bawaan di kedua tangannya. "Biar kubantu Mas," ujar Serena segera mendekat dan mengambil satu kotak besar dari tangan kanan Dirga. "Hati-hati itu kue ulang tahun untuk Zena," sahut Dirga sedikit khawatir. "Iya," jawab Serena tersenyum lalu berjalan masuk lebih dulu. "Dimana Zena?" tanya Dirga berjalan dibelakang Serena. "Zena lagi di kamar Bunda bersama Rendy dan Raka." Serena segera meletakkan kuenya di sisi meja makan. "Malam Ga," sapa Indira yang berjalan keluar dari dapur dengan segelas air putih di tangannya. "Malam juga Mbak. Mana Mas Abimana?" sahut Dirga bertanya bersikap ramah."Tu," indira menunjuk ke arah ruang tengah. Dua orang pria duduk sambil berbincang. "Halo Ga," Abimana mengangkat tangannya menyapa yang di jawab anggukan oleh Dirga. Merasa sungkan Dirga hendak berjalan untuk
Setelah sholat shubuh Dirga mendatangi ibu mertuanya untuk memberia tahu jika nanti malam dia akan membuat kejutan ulang tahun untuk putrinya. Dirga meminta Rahma untuk memberi tahu Indira dan Gibran untuk ikut datang. Sebenarnya Dirga ingin mengadakan pesta ulang tahun putrinya itu di rumah baru mereka namun dikarenakan rumah baru mereka belum siap untuk ditempati akhirnya Serena menyarankan untuk memberikan kejutan kecil dan nanti setelah rumah mereka sudah siap akan membuat pesta ulang tahun Zena bersamaan dengan tasyakuran rumah baru mereka. Setelah semua anaknya dan menantunya berangkat Rahma segera menelpon putri ke duanya untuk memintanya datang malam ini seperti permintaan menantu sulungnya. "Tentu saja kami akan datang Bun. Tanpa Bunda telfon aku dan anak-anak sudah berniat ke rumah Bunda sepulang sekolah nanti dan Mas Aby akan menyusul sepulang kerja. Kami tidak akan lupa dengan ulang tahun princess Zena," jawab Indira saat Rahma memintanya datang. Mendengar jawaban putr
"Kamu percaya sama aku kan? Aku bersumpah aku hanya menganggapnya teman. Kami bertemu hanya untuk berbincang dan bertukar pikiran saja." Kembali ia berusaha menyakinkan istrinya itu. Ia tahu jika kediaman Serena karena masih ada kerguan di hati istrinya itu. "Kenapa dulu kamu tidak ingin berbincang dan bertukar pikiran denganku?" tanya Serena yang membuat Dirga terdiam lalu perlahan menegakkan kembali punggungnya. "Apa karena aku tidak enak diajak bicara?" "Karena aku bodoh. Aku tidak tahu caranya berbicara denganmu sehingga kita selalu berakhir dengan bertengkar," jawab Dirga dengan ekspresi khawatir.Dirga sangat menyesal mengapa harus membahas Meysa. Mungkin seharusnya ia tidak membahas sahabat lamanya itu. Ia benar-benar tidak ingin hubungannya dengan Serena kembali merenggang hanya karena seseorang yang sama sekali tidak penting bagi Dirga. "Hemm," Serena menganggukkan kepalanya lalu tersenyum. "Pergilah mandi! Lalu keluar untuk makan malam." Kembali Dirga menghela nafas, mes
Beberapa hari ini Dirga harus pulang terlambat karena harus menyelesaikan persiapan launching produk baru perusahaanya. Jika seminggu kemarin ia sampai rumah pada pukul 10 malam, namun hari ini ia bisa pulang lebih awal. Sekitar pukul delapan malam Dirga sudah sampai di rumah. Serena segera menyambut Dirga begitu mendengar suara mobil suaminya itu memasuki pelataran rumah. Saat Dirga hendak masuk kamar nampak putrinya sedang belajar di ruang tengah. Zena terlihat sangat serius dengan buku-buku di depannya. Gadis kecil itu duduk di atas karpet dengan meja kecil yang menjadi tumpuannya. Zena sama sekali tidak menyadari kepulangan ayahnya. "Mandi dan ganti baju dulu, setelah itu baru menyapanya," ujar Serena setelah menepuk pundak Dirga yang berdiri di depan pintu kamar sembari memandang putri mereka yang sedang serius belajar. "Besok dia ada lomba matematika. Dia agak minder karena ini di Jakarta makanya ia sangat serius belajar," tambahnya bercerita. Dirga menoleh sambil mengerutkan
Serena menggeliat ketika tidurnya merasa terganggu sesuatu yang keras menempel erat di perutnya yang ramping. Satu tangannya meraba pada benda yang terasa keras dan berotot. Seketika matanya terbuka lebar saat ia sadar benda yang melingkar di perutnya adalah sebuah tangan kekar entah milik siapa? Serena mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang. "Astaga.," pekiknya tertahan. Dirga memeluknya dari belakang. "Bikin kaget saja, kamu kenapa tidur di sini?" Serena memukul lengan kekar yang memeluknya itu. Masih dalam keadaan setengah sadar Dirga membuka matanya, "Apa Rena? aku ngantuk besok aja bicaranya," keluh Dirga dengan suara serak dan mata menyipit. "Kamu itu ngapain tidur disini?" tanya Serena. Meski sudah beberapa hari ini Dirga tinggal serumah dengannya tapi Serena belum mengizinkan Dirga untuk tidur satu ranjang dengan dirinya. Jika Dirga tidur dengan Zena maka Serena akan memilih tidur di kamar Bundanya. Serena beranjak bangun dari tidurnya. Dengan posisi duduk ia menatap