Untuk pertama kalinya semenjak menjadi primadona di club elit milik Grace, Lea merasa harga dirinya diinjak-injak. Tidak pernah ada satu klien pun yang berani mempermainkannya seperti itu. Setiap pria yang pernah menggunakan jasanya selalu tunduk di bawah kaki Lea. Mereka rela bersujud dan mencium kaki wanita itu hanya untuk sebuah sentuhan. Tapi ini ... pria yang entah siapa namanya itu telah mengoyak harga dirinya.
"Pria itu ... aku akan membuatnya membayar apa yang sudah dia lakukan padaku."
Lea bersumpah, jika dia bertemu dengan pria itu lagi, dia akan membalas dendam. Untuk memuluskan jalannya, dia perlu tahu lebih dahulu siapa pria itu sebenarnya. Maka dari itu, dia akan mendatangi apartemen mewah pemilik Night-O Club, Grace.
Meski tidak tidur semalaman, Lea sama sekali tidak merasakan kantuk. Rasa kantuk itu telah tergerus oleh emosi yang terlanjur menyala.
Mengantongi passcode apartemen Grace, wanita itu tak perlu lagi memencet bel. Dia masuk begitu saja ke apartemen mewah tersebut. Namun, sambutan tak menyenangkan langsung diterima Lea.
"Oh, Max... harder, please!"
Langkah kaki Lea berhenti tepat di ujung ruangan, di mana Grace sedang bergulat dengan seorang pria di sofa yang ada di ruangan tersebut.
Tidak merasa risih sedikit pun, Lea melipat tangan di depan dada sambil bersandar pada dinding. Dia menunggu saat yang tepat untuk mengacaukan kenikmatan yang dua insan itu rasakan.
Racauan demi racauan saling bersahutan di antara keduanya. Lama kelamaan, suara mereka semakin nyaring. Lea menyeringai.
"Harder, Honey! Harder!" jeritan itu membuat seringai bibir Lea semakin lebar.
Lea mulai menghitung dengan lirih. "Satu ... dua ...." Lea bertepuk tangan dengan keras sambil berkata, "Okay, pertunjukan usai!"
Sontak dua orang yang nyaris mencapai puncak itu terkejut. Gagal sudah pendakian mereka.
"Lea!" pekik Grace.
Lea tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wanita itu.
"Pergilah, Max. Biar aku urus pengacau ini," ujar Grace pada kekasihnya, Max.
"Aku akan kembali dan melanjutkan apa yang kita mulai, Sayang," balas Max sembari memungut pakaiannya yang berceceran di lantai tanpa merasa malu sedikit pun pada Lea. Tak lupa dia meninggalkan sebuah kecupan untuk kekasihnya.
Grace mengenakan pakaian sekenanya. Wanita itu hanya memakai celana dalam dan kaus tanpa bra.
"Apa yang kau lakukan di sini?" hardik Grace.
Wanita itu melipat tangan di depan dada sambil menyandarkan punggung di sofa dengan kasar. Tatapannya tajam, mengarah pada Lea.
Masih dengan sisa tawanya, Lea berjalan mendekat pada Grace. Wanita itu berhenti di dekat single sofa lalu membuat ekspresi jijik ketika melihat sofa tersebut.
"Apa kau juga bermain di sini?" Lea menunjuk single sofa itu.
"Aku bermain di mana pun yang aku suka," tukas Grace yang masih kesal karena Lea mengganggu kenikmatannya.
Lea kembali terbahak-bahak. Grace juga harus merasakan apa yang dia rasakan. Oh, mengingat pria itu membuat Lea geram. Wanita itu mendaratkan tubuhnya di sofa dengan kesal.
"Kenapa dengan wajahmu?" tanya Grace yang bisa membaca ekspresi Lea.
"Pria yang semalam." Lea menatap galak pada Grace. "Kau memberikan alamatku padanya?" tuduh Lea.
"Siapa? Pria yang mana?"
"Jangan berpura-pura bodoh, Grace! Pria itu menyusup ke apartemenku semalam," hardik Lea.
"Aku tidak tahu apa pun! Pria itu pergi setelah aku mengatakan padanya kalau kau tidak menerima tamu."
"Tapi dia menyusup ke apartemenku!"
"Dengar! Pria itu terlihat sangat kaya dan berkuasa. Jika hanya untuk mengetahui di mana dirimu tinggal, kurasa itu bukan hal yang sulit."
Lea menggertakkan gigi. Jika bukan Grace yang memberi tahu alamat beserta passcode apartemennya, lalu dari mana pria itu mengetahuinya?
"Apa yang dia lakukan padamu?" selidik Grace.
Lea menjawab dengan lirikan tajam. Dia tidak akan mengatakan apa pun pada Grace karena itu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
"Aku pergi," ujar Lea.
Wanita itu beranjak. Tidak ada gunanya dia berada di tempat itu karena Grace tampak benar-benar tidak tahu apa pun.
"Hei! Kau datang kemari, mengacaukan kesenanganku lalu pergi begitu saja?" Grace ikut bangkit, mengangkat sebelah tangan tidak percaya dengan apa yang dilakukan Lea terhadapnya.
Lea yang sudah beberapa langkah dari Grace, berpaling sambil berkata, "Sorry."
"Lea!" jerit kesal Grace melengking lagi, membuat Lea harus menutup telinga supaya gendang telinganya tidak rusak.
Lea hanya tertawa keras sambil kembali melenggang.
"Zen!" ucap Grace yang membuat Lea menghentikan langkah namun tidak berpaling.
"Namanya Zen Aberdein," lanjut Grace.
Lea mendengarnya dengan jelas. Zen Aberdein. Nama itu akan dia ingat dengan baik. Lea bersumpah, tidak akan melupakan nama pria tersebut untuk membayar hutang harga dirinya.
Meninggalkan apartemen Grace, Lea berniat membeli beberapa bahan makanan untuk persediaan di apartemen. Dia pergi ke salah satu pusat perbelanjaan yang terletak tak jauh dari apartemen Grace.
Wanita itu mendorong trolly dan mulai mengisinya dengan bahan-bahan makanan yang biasa dia beli. Dengan penampilannya saat di luar club, tidak akan ada yang mengira kalau wanita itu adalah seorang pekerja malam. Tampilan yang sedikit tomboy adalah kamuflase yang sangat sempurna. Tidak akan ada yang mengenalinya sebagai primadona Night-O Club. Kecuali seseorang yang kini berdiri di belakang wanita itu.
"Tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini," ujar seseorang dari arah belakang Lea, "Sweet Cake," lanjutnya sambil mengangkat satu sudut bibirnya ke atas.
Lea membelalak melihat siapa yang ada di belakangnya itu. Pria dengan setelan jas mahal itu berdiri tegap, memamerkan senyum yang sayangnya terlihat begitu menawan di mata Lea.
"Kau!" Lea menahan suara, karena beberapa orang yang ada di sekitar langsung memerhatikanya.
Pria yang telah Lea ketahui bernama Zen itu menunjukkan senyum kemenangan. Sementara Lea hanya bisa menahan geram.
Tanpa pikir panjang, Lea menarik tangan pria itu keluar dari pusat perbelanjaan, mencari tempat yang lebih sepi untuk meluapkan kemarahannya pada pria tersebut. Tidak peduli dengan trolly-nya yang hampir penuh dengan belanjaan.
"Serius? Kita akan mengobrol di sini?" Zen mengangkat kedua alisnya ketika Lea membawanya ke tempat parkir, tepat di samping mobil wanita itu.
"Dengar, Tuan! Apa yang telah Anda lakukan padaku semalam, itu ... itu ...." Mendadak Lea merasa lidahnya kelu saat melihat tatapan pria itu yang sangat memikat.
Zen menggerakkan kepala, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Lea. Namun, begitu dia melihat Lea kehilangan kata-kata, pria itu mengambil inisiatif lebih cepat. Dia mendesak Lea hingga wanita itu kembali terhimpit antara badan mobil dengan tubuh Zen.
Keputusan yang salah membawa Zen ke tempat tersebut. Karena pada akhirnya, hal itu hanya memberikan celah baru kepada Zen untuk kembali mengintimidasi Lea.
Zen mendekatkan bibirnya pada telinga Lea. Lihat! Baru terkena embusan napas Zen saja, bulu kuduk Lea langsung berdiri. Tubuhnya terasa kaku. Niatnya untuk memberi pelajaran pada pria tersebut pun seolah menguap dengan cepat. Bahkan berakhir dengan dirinya yang mendapat pelajaran dari Zen.
Bibir pria itu menyeringai melihat reaksi Lea. Lalu, dia berbisik, "Aku akan menunggumu di ranjangku, Sweet Cake."
Lea mengutuk jantungnya yang berdegup tidak karuan hanya karena bisikan Zen.
'Apa ini? Kenapa aku jadi begini?' batin Lea.
Setelah membisikkan kalimat tersebut, Zen mundur satu langkah. Dia tersenyum lantas memakai kacamata hitamnya. Sebelum berbalik, Zen mengatakan sesuatu lagi.
"Aku akan merindukan,"-Zen menurunkan kacamata lalu melihat ke dada Lea-"ini," ucapnya sembari menunjuk ujung dada wanita itu.
Pria itu menarik satu sudut bibirnya ke atas lalu menempelkan telunjuknya tepat ke ujung dada kiri Lea yang berhasil membuat tubuh wanita itu merinding dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"See you there, Sweet Cake."
***
tbc.
Silakan spam comment!
Lea sudah bersiap untuk tampil menghibur para pengunjung Night-O Club. Dia baru saja selesai berganti kostum saat Grace masuk ke ruangannya."Kau tidak akan tampil malam ini," ujar Grace.Kening Lea berkerut. Wanita yang tengah melilitkan tali di sepanjang kakinya itu menghentikan aktivitasnya sejenak lalu melanjutkannya lagi hingga tali itu membentuk pola seperti yang dia inginkan."Apa maksudmu, Grace? Kau merekrut penari lain?"Grace menggeleng. "Kau tetaplah penari terbaikku, Lea." Wanita berusia 37 tahun itu mendaratkan pantatnya di meja rias Lea sambil menghisap rokok. "Seseorang membayar mahal agar kau tidak tampil."Raut wajah Lea menunjukkan keterkejutan. "Siapa?"Grace mengambil amplop coklat berisi setumpuk uang lalu menjatuhkannya di hadapan Lea. "Itu bagianmu. Dia tidak hanya membayarku, tapi juga membayarmu dengan nilai yang sangat fantastis."
Sepanjang perjalanan ke tempat yang dimaksud Zen, Lea hanya duduk sambil menatap nyalang pada pria tersebut. Wanita itu sama sekali tidak tahu ke mana tujuan Zen."Aku akan membayarmu. Katakan saja berapa yang kau mau," ujar Zen.Pria itu tampak sangat tenang. Entah apa pekerjaannya, tapi Lea bisa melihat kalau uang bukanlah sesuatu yang berarti untuk Zen."Aku tidak menginginkan uangmu, Berengsek!" tolak Lea mentah-mentah.Jika bukan karena apa yang telah dilakukan Zen padanya, bisa jadi sekarang Lea akan dengan senang hati menyebut nominal yang dia inginkan. Namun, dengan sejarah pertemuan mereka, wanita itu tidak akan sudi menerima uang dari pria tersebut.Zen terkekeh. Meski berkali-kali Lea mengumpat di depan wajahnya, pria itu tetap terlihat santai. Lea bukan wanita bodoh. Bertahun-tahun hidup dengan ayah tirinya, membuat Lea sedikit banyak memahami karakter pria yang berhadapan deng
Entah sudah berapa kali Lea menggedor pintu kayu yang tertutup rapat sejak Zen meninggalkan kamar tersebut. Berteriak, memaki, dan mengumpat hingga pita suaranya nyaris robek, semua terasa sia-sia. Tidak ada seorang pun yang mau mendengarnya."Berengsek! Buka pintunya!" Teriakan dan gedoran kesekian yang tidak mendapat respons.Kelelahan melakukan aksinya, tubuh Lea merosot ke lantai. Punggungnya beradu dengan pintu kayu yang terasa dingin hingga menembus tulang. Untuk pertama kalinya semenjak berhasil melarikan diri dari Bram, wanita itu sangat ingin menumpahkan air mata.Terkurung di dalam kamar tersebut rasanya seperti mengalami dejavu. Bagaimana dia menghabiskan waktu selama bertahun-tahun dengan siksaan tanpa ampun dari ayah tirinya. Wanita itu menundukkan kepala sambil menutup telinga. Gelegar suara Bram seolah datang kembali. Semakin lama, suara itu terdengar semakin nyaring. Lalu, sabetan ikat pinggang berbahan kulit yang be
Secepatnya Lea menundukkan kepala saat Clint berjalan mendekat. Wanita itu sengaja membiarkan rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajah, takut jikalau Clint akan mengenali dirinya.Clint duduk di tepi ranjang, di sebelah kaki Lea yang terbungkus selimut."Biarkan aku memeriksa kondisimu," ujar Clint.Tidak seperti tadi yang begitu menggebu untuk meronta. Ketika Clint memeriksa kondisinya, Lea mendadak bisu. Wanita itu tidak mengatakan apa pun dan hanya menurut ketika Clint memintanya melakukan sesuatu, kecuali menunjukkan wajahnya."Siapa namamu?" tanya Clint seusai memeriksa kondisi Lea.Wanita itu masih menunduk, sama sekali tidak berniat untuk menjawab."Baiklah." Clint menghela napas.Masih tidak ada respons apa pun dari Lea. Wanita itu membungkam mulutnya rapat-rapat, membuat Clint harus berupaya lebih keras untuk bicara dengan wanita tersebut.
Setelah dua hari, kondisi Lea sudah kembali pulih. Bukan hanya kesehatan Lea saja yang dipulihkan. Zen juga selalu memastikan bahwa wanita yang dia sewa benar-benar bersih. Termasuk pemasangan alat kontrasepsi, karena Zen tidak ingin benihnya tumbuh di dalam rahim wanita sewaannya. Zen juga sudah memenuhi lemari di kamar Lea dengan berbagai macam pakaian sesuai dengan selera pria tersebut."Apa ada yang salah dengan dirimu?" tanya Clint saat sedang melakukan general check up pada Zen."Tidak pernah ada yang salah dengan diriku. Apa aku perlu mengkhawatirkan kondisi kesehatanku?" Zen balas bertanya pada dokter pribadinya tersebut.Clint mengangkat bahu. "Tidak ada. Hanya saja ... tidak biasanya kau menyewa wanita lebih dari tiga hari. Aku hanya ... heran," jawab Clint."Maksudmu wanita itu?" Zen mendengkus pelan. "Dia bahkan belum pernah sama sekali melayaniku.""Benarkah?" Pertanyaan yang
Bosan? Jelas! Sudah hampir satu bulan Lea terkurung di mansion Zen. Namun, belum sekali pun pria itu meminta untuk dilayani seperti yang pernah dia katakan sebelumnya. Bukan karena Lea juga menginginkan Zen, melainkan karena Lea ingin segera pergi dari tempat terkutuk itu.Lelah memberontak, Lea akhirnya pasrah. Jika memang dia harus melayani pria tersebut untuk bisa terbebas dari Zen, maka dia akan melakukannya."Aku tahu Grace sangat menyebalkan, tapi aku benci saat harus mengakui kalau aku merindukannya," ujar Lea bermonolog.Lea bertanya-tanya dalam hati, apakah Grace saat ini sedang mencarinya karena mangkir dari pekerjaan? Jika memang begitu, Lea sangat berharap bahwa Grace akan menemukan dirinya di sarang penyamun itu.Lea menghela napas. Sejak pagi, dia hanya duduk di dekat jendela untuk melihat hutan belantara yang berada di belakang mansion. Lalu, tiba-tiba pintu kamar Lea dibuka dari luar. Wanita itu berp
Mereka berhenti di tempat yang dimaksud oleh Clint, tepatnya di taman anggrek. Seperti yang dikatakan oleh pria itu, hampir seluruh bunga di ruangan beratap kaca tersebut mekar. Berbagai macam warna dari berbagai macam anggrek yang berbeda terlihat begitu harmonis. Indah sekali."Ini cantik sekali," ujar Lea takjub. Dia sudah lupa dengan pertanyaannya tentang Zen. Wanita itu berlari kecil menghampiri anggrek-anggrek itu sambil tersenyum lebar."Aku tidak menyangka jika pria seberengsek dia memiliki taman seindah ini," ujarnya lagi."Watch your mouth, My Lady!" Clint memberi peringatan sambil tersenyum tipis."Whatever! Dia bahkan tidak marah saat aku mengumpat di depan wajahnya. So ... apa bedanya kalau aku mengumpat di belakangnya? Karena dia memang seberengsek itu!" balas Lea.Tak diduga, ucapan Lea mendapat tawa keras dari Clint."Kau terus terang sekali." Pria itu masih tertawa dan baru berhenti beberapa saat kemudian. "Kau tahu? Biasanya, dia akan menghabisi siapa saja yang menyin
Suasana berubah hening untuk beberapa saat. Clint masih menatap Lea tanpa ekspresi. Lea sendiri terpaku pada pria yang duduk di sampingnya itu. Lantas, wanita itu mengalihkan pandangan ke arah anggrek yang ada di hadapannya."Apa maksudmu, Dokter? Apa yang kau bicarakan?" Lea berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Clint.Clint terkekeh. Lantas ikut mengarahkan pandangannya ke depan."Aku tidak akan mempermasalahkan masa lalu, Lea. Aku hanya penasaran, dari siapa kau melarikan diri," tutur Clint.Wajah wanita itu tampak mengeras. Urat di pelipisnya berkedut. Dia tampak tidak suka Clint membahas masa lalunya."Apa Zen mengetahui hal ini? Tentang siapa dirimu di masa lalu?" selidik Clint."Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Dokter! Aku lelah, aku ingin kembali ke kamar," ujar Lea seraya berdiri."Tunggu!" Dengan sigap, Clint menahan tangan wanita i
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na