Tepuk tangan riuh menjadi penutup tarian erotis yang baru saja dipersembahkan oleh sang primadona di Night-O Club, sebuah club malam elit di Brownsville, Texas. Wanita dengan penampilan nyaris tanpa busana itu membungkukkan badan dengan kedua tangan merentang, memberi hormat pada pengunjung club yang sama sekali tidak dia hormati.
Meski dengan penampilan sangat terbuka, namun tidak ada satu pun pengunjung di sana yang berani menyentuh sang primadona. Bukan tanpa alasan! Tiga orang pria berbadan sebesar kingkong bersiaga, melindungi sang primadona dari pria-pria kurang ajar yang selalu meneteskan air liurnya ketika melihat liuk tarian sang primadona.
"Tamu VIP menunggumu di ruanganku," ujar Grace, seorang manager yang bertindak layaknya seorang mucikari bagi sang primadona.
Wanita yang hanya mengenakan pakaian dalam itu duduk sambil menyilangkan kaki di ruangan pribadinya di club tersebut. Tangan halus wanita itu bergerak membuka topeng yang terpasang di wajah cantiknya.
"Aku lelah, Grace," ucapnya sambil meraih mantel bulu di sudut sofa lantas memakainya.
"Ini tamu spesial, Lea." Grace mencondongkan tubuhnya ke arah wanita itu. "Muda, tampan, dan ...." Grace menggesekkan ibu jari dan telunjuknya. "Money Mechine."
Lea mengembuskan napas lelah. "Uangku sudah banyak. Aku tidak akan jatuh miskin jika hanya menolak satu klien."
"Aku yakin kau tidak akan menyesal. Kau tahu bagaimana tubuhnya?" Grace tersenyum nakal. "So sexy. Dan aku yakin miliknya juga super," ujarnya.
Lea berpaling pada Grace. "Berapa? 15, 18, 20? Aku sudah merasakan semuanya."
"Aku tahu kau sangat pemilih, tapi dia berani membayar berapa pun yang kau mau."
"Aku tidak tertarik." Lea membersihkan sisa make up yang ada di wajahnya.
Grace mendengkus. "Payah! Padahal ini tangkapan besar."
Lea menggeleng, tidak menanggapi lagi. Selesai membersihkan make up, wanita itu segera memakai celana jins dan kemeja lengan panjang, kostum yang selalu dia kenakan saat datang ke club tersebut. Lalu, dia pulang ke apartemen yang dia beli dari hasil pekerjaan malamnya itu.
Jam 3 dini hari, Lea membuka pintu apartemen. Dia melempar kunci mobil ke atas ranjang lalu merebahkan dirinya di sana. Wanita itu memejam sambil menutup wajah dengan tangan. Lalu, tiba-tiba bayangan wajah Bram--ayah tirinya--muncul. Di tangan pria itu melilit kepala ikat pinggang yang selalu digunakannya untuk memukul. Sudah dua tahun, tapi rasa sakit akibat sentuhan menyakitkan ikat pinggang tersebut dengan kulitnya masih sangat terasa.
"Lupakan, Lea! Bajingan itu tidak akan muncul lagi dalam hidupmu," gumam Lea, menyugesti dirinya sendiri.
Wanita itu bangkit, lantas melepas kemeja dan celana panjangnya begitu saja di samping ranjang, hanya menyisakan bra dan celana dalam. Dia menggertakkan kepala ke kanan dan kiri untuk meregangkan ototnya yang terasa kaku. Setelah itu, dia berjalan ke kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Bau alkohol dan asap rokok begitu kental di sekujur tubuhnya.
Selesai mandi, Lea memakai bathrobe dan melilitkan handuk kecil di kepalanya. Dia keluar dengan santai menuju meja rias untuk mengeringkan rambut dengan hairdryer.
Begitu rambutnya kering, wanita itu berjalan ke arah lemari dan mengambil sebuah lingerie seksi berwarna hitam. Dia tanggalkan bathrobe yang melekat di tubuh indahnya begitu saja. Tubuh polos tanpa sehelai benang itu begitu jelas terlihat. Apalagi oleh sosok yang kini berdiri di sudut kamar wanita itu.
Dalam keremangan cahaya, Lea tidak menyadari bahwa dirinya saat ini tidak sendiri. Tanpa sadar, dia membiarkan tubuh polosnya begitu bebas diakses oleh sosok tersebut.
Setelah lingerie yang dia ambil tadi berpindah ke tubuhnya, Lea berbalik. Alangkah terkejutnya dia ketika sesosok pria berperawakan tinggi tegap, berdiri di belakangnya.
"Hah!" Lea berjingkat mundur hingga tubuhnya membentur lemari. "Siapa kau?" hardiknya.
Pria itu menyeringai. Perlahan dia melangkah maju, mengikis jarak dengan Lea. Ketika wajah pria itu tersorot oleh cahaya dari jendela, Lea baru menyadari bahwa pria itu sangat ... tampan.
"Kau berani menolakku?" ujar pria itu yang kini hanya menyisakan jarak satu langkah dari Lea.
"Kau ...?" Lea menggantung ucapannya.
"Ya, kau baru saja menolakku."
"Dari mana kau tahu tempat tinggalku?" Terbiasa menghadapi Bram, Lea tidak tampak takut dengan pria asing tersebut.
Pertanyaan Lea dijawab dengan senyum lebar pria itu.
"Oh, Grace!" tebak Lea.
Siapa lagi? Grace tidak akan melepaskan tangkapan besar seperti yang dia katakan. Sepertinya Grace sangat yakin bahwa pria itu bisa memberikannya banyak uang.
Dalam satu gerakan, kini tubuh mereka sudah tak berjarak. Pria itu menangkap tubuh Lea dan menguncinya.
"Kau harus tahu, Sweet Cake. Aku pun tipe pria pemilih. Harusnya kau bersyukur bisa mendapatkan kesempatan untuk menghangatkan ranjangku," ujar pria itu.
Tidak memberi kesempatan pada Lea untuk menjawab. Pria itu sudah membungkam mulut Lea dengan ciumannya. Awalnya Lea berusaha menolak dan melepaskan diri dari pria itu. Tapi tubuhnya justru memberi reaksi lain. Bukan hanya menikmati ciumannya, Lea juga menikmati sentuhan tangan besar pria itu yang menyusup di balik lingerie seksi di tubuhnya.
Memang bukan pertama kalinya Lea merasakan sentuhan pria asing seperti itu, tapi ini adalah pertama kalinya Lea "menerima" dengan sukarela apa yang dilakukan oleh pria asing.
Sisi liar Lea muncul ketika pria itu terus memberikan serangan-serangan mematikan di bagian tubuhnya yang sangat sensitif. Rasanya wanita itu sudah tidak sabar. Gejolak yang berasal dari dalam dirinya terus meronta. Dia ingin sekali membanting pria itu di atas ranjang dan memuaskan dirinya sendiri, tapi pria itu tidak melepaskan kunciannya. Pria itu semakin menghimpit tubuh Lea, tak menyisakan ruang antara dirinya dan lemari yang menjadi sandaran tubuh Lea.
"Easy, Baby," desis pria itu ketika melihat Lea yang sudah terbakar gairah mencoba membalik keadaan.
Satu tangan pria itu masih mencekal kedua tangan Lea di atas kepala wanita tersebut. Sementara satu tangannya puas bermain dengan area sensitif bagian atas tubuh Lea. Kini tangan kanan pria itu bergerak turun, mengusap perut Lea dengan gerakan menggoda.
Lea menengadah, membiarkan pria itu bebas mengakses leher hingga bagian depan tubuhnya. Semuanya terasa nikmat. Pria itu sangat lihai menarik hasrat Lea yang biasanya sangat sulit untuk membangkitkan monster di dalam dirinya. Namun pria itu ... he's completely different.
"Oh, shit!" racau Lea saat pria itu menghisap aset berharganya.
Kehangatan mulut pria itu ditambah dengan tangan nakalnya yang mulai merayap ke bagian bawah tubuh Lea, membuat wanita itu ingin menjerit. Ini luar biasa. Hanya dengan sentuhan saja, kaki Lea sudah terasa lemas. Tungkai kakinya seperti terendam di dalam air es. Andai pria itu tidak menahan tubuhnya, Lea yakin jika saat ini dirinya akan jatuh ke lantai.
"Please ...!" racau Lea saat jari pria itu mulai memainkan perannya di bawah sana.
Tidak ... pria itu tidak membiarkan jari-jarinya bermain terlalu dalam. Dia hanya bermain di permukaan sensitif saja, menggoda Lea dan memaksa wanita itu mengeluarkan jeritan mendamba. Namun justru itu yang membuat Lea semakin frustasi. Wanita itu sudah memohon untuk disentuh lebih dalam lagi.
Lantas, pria tersebut menyeringai. "Kau menginginkanku?"
Tanpa pikir panjang, Lea mengangguk dengan mata sayu menahan keinginan yang sudah tak tertahankan lagi.
"Please, touch me ...."
Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Lea. Tangannya perlahan mulai menyusup sedikit lebih dalam dengan ritme yang membuat Lea merasa semakin gila. Lalu, hal yang tak diduga Lea pun terjadi. Pria itu tiba-tiba memutus semua kenikmatan yang Lea rasakan.
"Ini hukuman karena kau berani menolakku," bisik pria itu seraya menjauhkan dirinya dari Lea.
Bibirnya menampilkan seringai yang semakin lebar. Lalu, pria itu berbalik dan berjalan keluar dari kamar Lea, meninggalkan wanita yang ditelan kekecewaan luar biasa tersebut tanpa mengatakan apa pun lagi.
"Argh! Sialan!" umpat Lea dengan deru napas yang memburu.
Lea ingin marah, tapi dia juga merasa bodoh. Begitu mudahnya dia terjatuh dalam permainan pria itu. Hal yang tidak seharusnya terjadi dalam hidup Lea.
***
tbc.
Untuk pertama kalinya semenjak menjadi primadona di club elit milik Grace, Lea merasa harga dirinya diinjak-injak. Tidak pernah ada satu klien pun yang berani mempermainkannya seperti itu. Setiap pria yang pernah menggunakan jasanya selalu tunduk di bawah kaki Lea. Mereka rela bersujud dan mencium kaki wanita itu hanya untuk sebuah sentuhan. Tapi ini ... pria yang entah siapa namanya itu telah mengoyak harga dirinya."Pria itu ... aku akan membuatnya membayar apa yang sudah dia lakukan padaku."Lea bersumpah, jika dia bertemu dengan pria itu lagi, dia akan membalas dendam. Untuk memuluskan jalannya, dia perlu tahu lebih dahulu siapa pria itu sebenarnya. Maka dari itu, dia akan mendatangi apartemen mewah pemilik Night-O Club, Grace.Meski tidak tidur semalaman, Lea sama sekali tidak merasakan kantuk. Rasa kantuk itu telah tergerus oleh emosi yang terlanjur menyala.Mengantongi passcode apartemen Grace, wanita itu tak
Lea sudah bersiap untuk tampil menghibur para pengunjung Night-O Club. Dia baru saja selesai berganti kostum saat Grace masuk ke ruangannya."Kau tidak akan tampil malam ini," ujar Grace.Kening Lea berkerut. Wanita yang tengah melilitkan tali di sepanjang kakinya itu menghentikan aktivitasnya sejenak lalu melanjutkannya lagi hingga tali itu membentuk pola seperti yang dia inginkan."Apa maksudmu, Grace? Kau merekrut penari lain?"Grace menggeleng. "Kau tetaplah penari terbaikku, Lea." Wanita berusia 37 tahun itu mendaratkan pantatnya di meja rias Lea sambil menghisap rokok. "Seseorang membayar mahal agar kau tidak tampil."Raut wajah Lea menunjukkan keterkejutan. "Siapa?"Grace mengambil amplop coklat berisi setumpuk uang lalu menjatuhkannya di hadapan Lea. "Itu bagianmu. Dia tidak hanya membayarku, tapi juga membayarmu dengan nilai yang sangat fantastis."
Sepanjang perjalanan ke tempat yang dimaksud Zen, Lea hanya duduk sambil menatap nyalang pada pria tersebut. Wanita itu sama sekali tidak tahu ke mana tujuan Zen."Aku akan membayarmu. Katakan saja berapa yang kau mau," ujar Zen.Pria itu tampak sangat tenang. Entah apa pekerjaannya, tapi Lea bisa melihat kalau uang bukanlah sesuatu yang berarti untuk Zen."Aku tidak menginginkan uangmu, Berengsek!" tolak Lea mentah-mentah.Jika bukan karena apa yang telah dilakukan Zen padanya, bisa jadi sekarang Lea akan dengan senang hati menyebut nominal yang dia inginkan. Namun, dengan sejarah pertemuan mereka, wanita itu tidak akan sudi menerima uang dari pria tersebut.Zen terkekeh. Meski berkali-kali Lea mengumpat di depan wajahnya, pria itu tetap terlihat santai. Lea bukan wanita bodoh. Bertahun-tahun hidup dengan ayah tirinya, membuat Lea sedikit banyak memahami karakter pria yang berhadapan deng
Entah sudah berapa kali Lea menggedor pintu kayu yang tertutup rapat sejak Zen meninggalkan kamar tersebut. Berteriak, memaki, dan mengumpat hingga pita suaranya nyaris robek, semua terasa sia-sia. Tidak ada seorang pun yang mau mendengarnya."Berengsek! Buka pintunya!" Teriakan dan gedoran kesekian yang tidak mendapat respons.Kelelahan melakukan aksinya, tubuh Lea merosot ke lantai. Punggungnya beradu dengan pintu kayu yang terasa dingin hingga menembus tulang. Untuk pertama kalinya semenjak berhasil melarikan diri dari Bram, wanita itu sangat ingin menumpahkan air mata.Terkurung di dalam kamar tersebut rasanya seperti mengalami dejavu. Bagaimana dia menghabiskan waktu selama bertahun-tahun dengan siksaan tanpa ampun dari ayah tirinya. Wanita itu menundukkan kepala sambil menutup telinga. Gelegar suara Bram seolah datang kembali. Semakin lama, suara itu terdengar semakin nyaring. Lalu, sabetan ikat pinggang berbahan kulit yang be
Secepatnya Lea menundukkan kepala saat Clint berjalan mendekat. Wanita itu sengaja membiarkan rambutnya yang tergerai menutupi sebagian wajah, takut jikalau Clint akan mengenali dirinya.Clint duduk di tepi ranjang, di sebelah kaki Lea yang terbungkus selimut."Biarkan aku memeriksa kondisimu," ujar Clint.Tidak seperti tadi yang begitu menggebu untuk meronta. Ketika Clint memeriksa kondisinya, Lea mendadak bisu. Wanita itu tidak mengatakan apa pun dan hanya menurut ketika Clint memintanya melakukan sesuatu, kecuali menunjukkan wajahnya."Siapa namamu?" tanya Clint seusai memeriksa kondisi Lea.Wanita itu masih menunduk, sama sekali tidak berniat untuk menjawab."Baiklah." Clint menghela napas.Masih tidak ada respons apa pun dari Lea. Wanita itu membungkam mulutnya rapat-rapat, membuat Clint harus berupaya lebih keras untuk bicara dengan wanita tersebut.
Setelah dua hari, kondisi Lea sudah kembali pulih. Bukan hanya kesehatan Lea saja yang dipulihkan. Zen juga selalu memastikan bahwa wanita yang dia sewa benar-benar bersih. Termasuk pemasangan alat kontrasepsi, karena Zen tidak ingin benihnya tumbuh di dalam rahim wanita sewaannya. Zen juga sudah memenuhi lemari di kamar Lea dengan berbagai macam pakaian sesuai dengan selera pria tersebut."Apa ada yang salah dengan dirimu?" tanya Clint saat sedang melakukan general check up pada Zen."Tidak pernah ada yang salah dengan diriku. Apa aku perlu mengkhawatirkan kondisi kesehatanku?" Zen balas bertanya pada dokter pribadinya tersebut.Clint mengangkat bahu. "Tidak ada. Hanya saja ... tidak biasanya kau menyewa wanita lebih dari tiga hari. Aku hanya ... heran," jawab Clint."Maksudmu wanita itu?" Zen mendengkus pelan. "Dia bahkan belum pernah sama sekali melayaniku.""Benarkah?" Pertanyaan yang
Bosan? Jelas! Sudah hampir satu bulan Lea terkurung di mansion Zen. Namun, belum sekali pun pria itu meminta untuk dilayani seperti yang pernah dia katakan sebelumnya. Bukan karena Lea juga menginginkan Zen, melainkan karena Lea ingin segera pergi dari tempat terkutuk itu.Lelah memberontak, Lea akhirnya pasrah. Jika memang dia harus melayani pria tersebut untuk bisa terbebas dari Zen, maka dia akan melakukannya."Aku tahu Grace sangat menyebalkan, tapi aku benci saat harus mengakui kalau aku merindukannya," ujar Lea bermonolog.Lea bertanya-tanya dalam hati, apakah Grace saat ini sedang mencarinya karena mangkir dari pekerjaan? Jika memang begitu, Lea sangat berharap bahwa Grace akan menemukan dirinya di sarang penyamun itu.Lea menghela napas. Sejak pagi, dia hanya duduk di dekat jendela untuk melihat hutan belantara yang berada di belakang mansion. Lalu, tiba-tiba pintu kamar Lea dibuka dari luar. Wanita itu berp
Mereka berhenti di tempat yang dimaksud oleh Clint, tepatnya di taman anggrek. Seperti yang dikatakan oleh pria itu, hampir seluruh bunga di ruangan beratap kaca tersebut mekar. Berbagai macam warna dari berbagai macam anggrek yang berbeda terlihat begitu harmonis. Indah sekali."Ini cantik sekali," ujar Lea takjub. Dia sudah lupa dengan pertanyaannya tentang Zen. Wanita itu berlari kecil menghampiri anggrek-anggrek itu sambil tersenyum lebar."Aku tidak menyangka jika pria seberengsek dia memiliki taman seindah ini," ujarnya lagi."Watch your mouth, My Lady!" Clint memberi peringatan sambil tersenyum tipis."Whatever! Dia bahkan tidak marah saat aku mengumpat di depan wajahnya. So ... apa bedanya kalau aku mengumpat di belakangnya? Karena dia memang seberengsek itu!" balas Lea.Tak diduga, ucapan Lea mendapat tawa keras dari Clint."Kau terus terang sekali." Pria itu masih tertawa dan baru berhenti beberapa saat kemudian. "Kau tahu? Biasanya, dia akan menghabisi siapa saja yang menyin
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na