Suasana berubah hening untuk beberapa saat. Clint masih menatap Lea tanpa ekspresi. Lea sendiri terpaku pada pria yang duduk di sampingnya itu. Lantas, wanita itu mengalihkan pandangan ke arah anggrek yang ada di hadapannya.
"Apa maksudmu, Dokter? Apa yang kau bicarakan?" Lea berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Clint.
Clint terkekeh. Lantas ikut mengarahkan pandangannya ke depan.
"Aku tidak akan mempermasalahkan masa lalu, Lea. Aku hanya penasaran, dari siapa kau melarikan diri," tutur Clint.
Wajah wanita itu tampak mengeras. Urat di pelipisnya berkedut. Dia tampak tidak suka Clint membahas masa lalunya.
"Apa Zen mengetahui hal ini? Tentang siapa dirimu di masa lalu?" selidik Clint.
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Dokter! Aku lelah, aku ingin kembali ke kamar," ujar Lea seraya berdiri.
"Tunggu!" Dengan sigap, Clint menahan tangan wanita itu.
Lea memang tidak bergerak dari tempat karena Clint menahannya, tapi wanita itu tidak menoleh.
"Apa aku sudah mengatakan padamu kalau Zen memiliki kekuasaan yang cukup besar di negara ini? Dia bisa melakukan apa pun untukmu, Lea. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan terhadapmu, tapi aku yakin ... kau adalah wanita yang cukup istimewa untuknya. Karena dia tidak akan mempertahankan wanita yang dia sewa dalam waktu yang cukup lama seperti pada dirimu. Kau telah berhasil menarik perhatian Zen, Lea. Kurasa ... itu bisa jadi sebuah keuntungan buatmu," tutur Clint.
Kali ini Lea berpaling, menatap nyalang pada pria itu. Lantas, dia menggeleng sambil tersenyum masam.
"You know nothing about me!" desis Lea kepada Clint. "Aku hanya wanita sewaan Zen sekaligus tawanan pria berengsek itu. Jadi jangan bicara terlalu jauh tentang hidupku!" ucap Lea penuh peringatan.
Clint menghela napas panjang. "Kau sama sekali tidak mengenal Zen, Lea. Aku mengatakan ini padamu karena aku tahu Zen tidak akan membiarkan orang-orang yang telah menyakiti wanitanya hidup dengan tenang. Meskipun itu di masa lalu," balas Clint.
"Dan aku bukan wanitanya!" bantah Lea.
Wanita itu menghempas tangan Clint yang memegangi pergelangan tangannya. Dia meninggalkan Clint setelah memberikan tatapan peringatan.
Susah payah Lea berusaha melupakan masa lalunya, tentu dia tidak ingin orang-orang yang baru saja dia kenal itu merusak semuanya. Lea tidak akan sudi berurusan lagi dengan Bram. Sudah cukup semua rasa sakit baik fisik maupun psikis yang dia terima selama bertahun-tahun hidup bersama Bram.
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun mendikte hidupku lagi! Aku adalah manusia yang bebas! Tidak ada yang bisa mengatur hidupku, sekalipun itu adalah bajingan Bram dan keparat Aberdein!" jerit Lea.
Wanita itu telah kembali ke kamarnya. Dia menjerit, melempar apa pun yang bisa dia raih. Suara pecahan keramik dan kaca terdengar semakin gaduh kala berkolaborasi dengan teriakan Lea dan benturan kayu dengan lantai. Wanita itu mengamuk.
"Biarkan saja," ujar Clint pada para penjaga yang tetap mengawasi Lea dari luar kamar.
"Tapi ... bagaimana kalau Tuan Zen murka melihat Nona Lea seperti itu?" tanya si penjaga.
"Aku yang akan bicara dengannya," jawab Clint.
Namun, belum juga Lea berhenti mengamuk, Zen tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka.
"Apa yang terjadi di sini?" Suara baritone milik pria itu membuat Clint dan dua penjaga di sana berpaling.
Dua penjaga itu langsung menunduk ketakutan. Apalagi saat jeritan Lea dari dalam kamar terdengar semakin histeris.
Zen menatap sesaat ke arah pintu kamar Lea yang sedikit terbuka. Lantas, dia menatap dua penjaganya yang telah menunduk ketakutan. Setelah itu, pria tersebut mengalihkan pandangannya pada Clint. Tatapan pria itu menajam. Zen tidak lupa jika beberapa saat lalu, Clint baru saja menghubunginya untuk mengajak Lea keluar dari kamar. Jika sekarang Lea mengamuk seperti itu, Clint pasti memiliki jawabannya.
Hanya dengan tatapan mata saja, Clint sudah tahu apa yang diinginkan pria itu. Clint menepuk lengan Zen lantas mengajak pria tersebut untuk bicara di tempat yang sedikit jauh dari penjaga-penjaga di sana.
"Aku tahu kau bertanya-tanya tentang kondisi Lea saat ini. Dan aku akan menjelaskannya. Tapi ... sebelum aku mengatakannya, aku ingin kau mengendalikan dirimu terlebih dahulu. Kendalikan emosimu karena apa yang akan kau dengar ini ... mungkin akan membuat amarahmu tersulut," ujar Clint.
"Tidak perlu banyak bicara. Cepat katakan apa yang terjadi pada wanita itu!" perintah Zen.
"Okay, okay." Clint menghela napas panjang sebelum memulai ceritanya.
"Aku pernah mengatakan padamu kalau aku merasa pernah bertemu dengannya, bukan? Dan aku memang pernah bertemu dengannya. Dia ... tampak sangat berbeda. Lea yang aku temui waktu itu tidak seperti Lea yang sekarang. Aku menemukannya dalam keadaan tak sadarkan diri di tepi jalan dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Di sekujur tubuhnya terdapat banyak sekali luka. Dia seperti baru saja keluar dari hutan setelah dicabik-cabik hewan buas. Termasuk luka di wajah yang membuatku kesulitan mengenalinya, karena sekarang ... nyaris tidak ada luka yang bisa kutemukan di tubuh wanita itu."
Kening Zen berkerut samar. Pria itu masih berusaha mencerna arah pembicaraan Clint.
"Kurasa Lea memiliki masa lalu yang sangat buruk. Dan mengenai permintaannya untuk tidak mengunci pintu kamar dengan jaminan bahwa dia tidak akan berusaha melarikan diri lagi ... apa kau tidak merasa ada yang aneh?" tanya Clint yang mencoba menghubungkan beberapa kejadian tentang Lea.
Zen sedikit menyipitkan mata sambil memasukkan tangan ke saku celana. Dia pun merasa aneh dengan permintaan Lea tersebut. Namun, dia tidak terlalu memikirkannya karena dia rasa hal itu tidak penting.
"Baru saja aku mengatakan padanya kalau aku ingat siapa dia. Aku mencoba untuk membuat Lea bercerita tentang masa lalunya, tapi ...." Clint mengedikkan bahu. "Kau bisa lihat sendiri apa yang terjadi padanya."
"Selama dia masih mejadi wanita sewaanku, tidak ada satu pun orang yang boleh menyakitinya," ucap Zen. Lalu, pria itu menoleh pada Clint. "Termasuk dirimu ... Clint," desisnya.
Clint sedikit terkejut dengan reaksi Zen. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti Lea dengan mengungkit masa lalu wanita itu. Yang Clint inginkan adalah, Lea berterus terang kepada Zen tentang masa lalunya. Jadi, kalau ada seseorang dari masa lalu Lea yang menyakiti wanita itu, Zen bisa menyingkirkan orang tersebut hingga Lea bisa hidup dengan tenang tanpa dibayangi rasa takut lagi.
"Aku tidak bermaksud demikian," kilah Clint.
"Tapi yang terjadi tidak seperti yang kau katakan, Dokter," tukas Zen.
Clint melemaskan bahu. "Kau salah paham. Aku hanya berniat baik padanya."
"Ini peringatan terakhir untukmu. Karena jika kau mengulanginya lagi, aku tidak akan pernah melihat siapa dirimu ketika salah satu peluruku menembus kepalamu," ancam Zen.
Tidak ingin mendengar apa yang dikatakan Clint, Zen berbalik. Dia berjalan ke arah kamar Lea. Wanita itu sudah tidak menjerit histeris lagi, tapi isak tangisnya justru terdengar semakin keras. Dari celah pintu yang terbuka sedikit itu, Zen bisa melihat Lea yang terduduk di lantai dengan punggung menempel pada sisi ranjang. Wanita itu tampak membenamkan wajahnya di antara kedua lutut dengan punggung bergetar.
Setelah berpikir sejenak, Zen akhirnya membuka pintu kamar yang ditempati wanita itu dengan sangat pelan. Langkah kaki pria itu juga sangat senyap hingga Lea tidak menyadari kehadirannya. Lalu, Zen berhenti sekitar dua meter dari tempat Lea meluapkan emosinya.
Beberapa saat berdiri di sana, Lea tidak juga menyadari kehadiran pria tersebut. Baru saat wanita itu mengangkat wajah, dia tampak terkejut melihat Zen berdiri menjulang di dekatnya. Lantas, wanita itu berdiri dengan tatapan nyalang pada Zen.
"Apa yang kau inginkan, hah? Apa kau juga mau mendikte hidupku? Apa kau mau membeli hidupku dengan uangmu, hah? Berengsek! Kalian semua berengsek!" jerit Lea.
Wanita itu mulai mengamuk lagi. Dia mencoba menyerang Zen. Tanpa suara, Zen berusaha mengunci pergerakan wanita itu. Namun ternyata Lea tidak selemah yang dia kira. Wanita itu berhasil lolos dari kunciannya lantas mengambil vas bunga yang bagian atasnya sudah pecah dan menghantamkannya ke kepala Zen.
Hantaman yang cukup keras itu membuat kepala Zen berpaling ke samping dengan kedua mata memejam. Perlahan cairan pekat berwarna merah itu mengalir dari luka yang tercipta dari hantaman vas tersebut. Pria itu menoleh perlahan-lahan ke arah Lea dengan rahang mengeras.
Lea menjatuhkan vas di tangannya yang gemetar. Dia tidak bermaksud membuat Zen terluka. Dia hanya berusaha membela diri.
***
tbc.
Mata cekung dengan iris segelap langit malam itu menatap tajam pada Lea. Tetesan darah dari luka di kening pria itu mengalir melewati alis dan kelopak matanya. Namun, tidak sedikit pun rasa sakit yang tergambar di wajah pria tersebut.Tubuh Lea yang gemetar itu goyah. Nyaris saja wanita tersebut ambruk dan tubuhnya membentur lantai andai saja Zen tidak sigap menangkapnya. Lalu, dengan kedua tangannya, Zen mengangkat tubuh Lea dan membaringkan wanita itu di atas ranjang. Beruntung kaki pria itu masih terbungkus sepatu kulit berkualitas premium yang tampak sangat mengkilap. Bukan karena harganya yang mahal, tapi karena sepatu itu dapat melindungi kaki Zen dari pecahan vas dan kaca yang nyaris memenuhi lantai kamar tersebut."Emosimu sedang labil. Istirahatlah," ujar Zen.Lea terdiam dengan bulir bening yang perlahan meloloskan diri dari ujung matanya. Dia pikir Zen akan marah karena Lea telah membuatnya terluka. Tapi nyatanya, pria it
Dengan tatapan mata saja, para penjaga yang bersiaga di depan pintu kamar Lea langsung mengerti. Pintu kayu itu perlahan tertutup dengan rapat."Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Zen, masih dengan posisi duduk di tepi tempat tidur.Sorot mata sayu yang terpancar di wajah Lea, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria tersebut. Zen melepas kancing lengan kemeja yang melekat di tubuhnya. Setelah itu, dia menggulungnya hingga batas siku. Selesai dengan kemeja, Zen beralih pada sepatunya. Pria itu melepas sepatu dan kaus kaki sebelum akhirnya dia naik ke atas ranjang."Kemarilah," ucap Zen yang berbaring dengan posisi miring dan satu tangan merentang untuk menyambut kepala Lea.Dengan patuh, Lea bergerak mendekat dan menyandarkan kepalanya pada bahu Zen. Wanita itu mencari kenyamanan dalam dekapan pria tersebut."Tidurlah, aku akan menjagamu," ucap Zen lembut.Namun, Le
Tetap meringkuk di bawah selimut hangat adalah hal ternyaman yang ingin Lea lakukan saat ini. Ini memang bukan pertama kalinya Lea merasakan sentuhan seorang pria. Tapi ini pertama kalinya Lea melakukannya dengan sukarela, atas keinginan hatinya. Beberapa waktu lalu, wanita itu telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada seorang Zen Aberdein.Rasa hangat yang menyelimutinya, membuat wanita itu berpikir bahwa Zen masih berada di atas tempat tidur yang sama dengannya. Namun, saat Lea menggerakkan badan untuk tidur dengan posisi terlentang, sisi lain ranjang yang dia tempati sudah dingin. Kosong.Wanita itu membuka mata dan mendapati bahwa dia hanya seorang diri di dalam kamar tersebut. Dia mengangkat tubuh sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.Lea menatap pintu kamar yang tertutup lalu tersenyum hampa. "Seorang pelacur akan tetap menjadi pelacur."Hampir saja dia lupa siapa dirinya dan di mana posisi
Saat sedang berjalan kembali ke kamarnya, Lea tidak sengaja bertemu dengan Clint di lorong. Pria itu tampak menyunggingkan senyum canggung. Sedikit banyak, dia merasa bersalah karena telah membuat Lea mengalami hari yang buruk."Lea," sapa Clint.Wanita itu ingin berpaling, tapi dia cukup mengerti kenapa Clint mendesaknya untuk menceritakan masa lalu. Lea tahu bahwa pria itu hanya ingin dirinya mendapat perlindungan dari Zen."Dokter," balas Lea yang meski sudah berusaha terlihat ramah tapi nyatanya masih terdengar ketus."Bisa kita bicara sebentar?" tanya Clint."Um ... aku ...." Lea sedikit kebingungan mencari alasan. Dia tidak ingin Clint mendesaknya lagi karena itu hanya akan membuatnya kehilangan kontrol emosi."Kalau kau keberatan ... it's okay. Aku mengerti," sela Clint yang melihat Lea seperti sedang mencari alasan untuk menghindari berbincang dengannya."Oh
Malam itu, bahkan hingga pagi menjelang, Lea merasa kedua matanya sulit untuk terpejam. Nama Ryn yang disebutkan oleh Clint betul-betul mengganggu pikirannya. Ya, Ryn, Ryn Aberdein. Adik kandung Zen Aberdein. "Kenapa Clint melarangku bertemu dengannya? Jika dia tinggal di mansion ini ... di bagian mana dia tinggal?" Pertanyaan itu seolah menggema di kepala Lea. Dibebaskan untuk melakukan apa pun yang dia inginkan, tak lantas membuat Lea merasa bahagia. Kecuali satu hal, wanita itu bisa bermain piano setiap waktu. Seperti pagi ini, setelah sarapan di ruang makan ... sendirian, Lea menyempatkan diri untuk bermain piano. Tinggal di mansion seluas itu membuatnya merasa hidup di peradaban yang telah punah. Bagaimana tidak? Di mana-mana, yang dia jumpai hanya para pelayan dan penjaga. Sesekali dia bisa bertemu dengan Clint. Selebihnya ... dia menjalani hidupnya sendirian. "Senang bisa bertemu denga
"Kau ingin mencoba melewati labirin ini?" tanya Ryn setelah mereka berkenalan beberapa saat lalu."Hm. Aku hanya pernah melihatnya di televisi, dan aku sangat ingin mencobanya," jawab Lea."Well, okay. Aku akan menemanimu," kata Ryn lagi.Lea mempertahankan tatapannya pada Ryn beberapa saat. Benarkah gadis tengil ini berniat baik? Oh, ayolah! Tidak mungkin Clint melarangnya berdekatan dengan Ryn jika tidak ada apa-apa dengan gadis itu. Lea harus waspada, karena gadis itu terlihat sangat manis dan nakal di saat yang bersamaan. Bukankah itu perpaduan yang sempurna untuk mengelabuhi orang lain?"Jangan melihatku seolah aku ini anak bandel yang akan menyusahkanmu. Aku sudah hafal dengan labirin ini. Jika kau tersesat, aku bisa menunjukkan jalannya padamu," ujar Ryn yang melihat tatapan curiga Lea terhadapnya.Tentu tidak akan menarik jika masuk labirin dengan orang yang sudah hafal dengan rutenya. Lea i
Kepanikan terjadi di mansion kala Lea tidak kembali setelah memasuki labirin selama hampir dua jam. Para penjaga masuk ke dalam labirin, menyisir setiap sudut labirin tersebut untuk mencari keberadaan Lea. Namun mereka tidak menemukan apa pun di dalam sana."Bagaimana dengan kameranya? Apa mereka menemukan sesuatu?" tanya salah satu penjaga.Rekan sesama penjaganya menggeleng. "Nope! Kamera yang mengarah ke labirin sedang mengalami masalah teknis pada waktu itu. Kamera-kamera itu tidak berfungsi.""Fuck! Apa yang harus aku katakan pada Tuan Zen?" Penjaga yang terakhir kali bersama Lea itu mulai pias. Nyawanya kini berada di ujung tanduk. Kalau sampai Lea tidak ditemukan, dia harus mengucapkan selamat tinggal terhadap nyawanya."Hubungi yang lain. Sisir setiap sudut mansion. Kita harus menemukan Nona Lea sebelum Tuan Zen kembali," ujar rekannya."Akan kulakukan. Ingat, bilang pada yang lain untuk men
Semua orang menatap heran, tapi dalam tatapan itu terselip kelegaan luar biasa di dalam benak para penjaga yang bertanggung jawab atas Lea. Zen menggendong wanita tersebut yang tampak tak sadarkan diri seperti sedang menggendong pengantinnya. Hanya saja, penampilan Lea sama sekali tidak mirip seperti seorang pengantin. Gaun selutut berwarna biru muda yang dia kenakan, sebagian basah dan sudah bercampur dengan noda berwarna coklat serta hijau lumut. Kening wanita itu terluka, terlihat bekas tetesan darah yang hampir mengering di sana."Panggil Dokter Clint segera," titah Zen dengan suara berat kepada anak buah yang dia lewati.Tubuh Lea sama sekali tidak tampak membebani pria itu ketika dia melangkah. Seolah wanita tersebut tidak memiliki bobot. Setapak demi setapak, ayunan kaki Zen membawa mereka ke kamar Lea. Pria itu membaringkan tubuh Lea di atas ranjang dengan hati-hati."Panggil pelayan kemari," ucap Zen pada anak buahnya.
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na