Dengan tatapan mata saja, para penjaga yang bersiaga di depan pintu kamar Lea langsung mengerti. Pintu kayu itu perlahan tertutup dengan rapat.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Zen, masih dengan posisi duduk di tepi tempat tidur.
Sorot mata sayu yang terpancar di wajah Lea, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan pria tersebut. Zen melepas kancing lengan kemeja yang melekat di tubuhnya. Setelah itu, dia menggulungnya hingga batas siku. Selesai dengan kemeja, Zen beralih pada sepatunya. Pria itu melepas sepatu dan kaus kaki sebelum akhirnya dia naik ke atas ranjang.
"Kemarilah," ucap Zen yang berbaring dengan posisi miring dan satu tangan merentang untuk menyambut kepala Lea.
Dengan patuh, Lea bergerak mendekat dan menyandarkan kepalanya pada bahu Zen. Wanita itu mencari kenyamanan dalam dekapan pria tersebut.
"Tidurlah, aku akan menjagamu," ucap Zen lembut.
Namun, Lea sama sekali tidak berniat untuk terlelap. Dia hanya ingin meringkuk, mencari perlindungan dari seseorang yang selama ini tidak pernah dia dapatkan. Hampir seumur hidup, Lea tidak pernah merasakan dekapan penuh kehangatan seperti ini.
"Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya," lirih Lea.
Tangan besar Zen membelai kepala Lea lalu menyibak rambutnya supaya dia bisa melihat wajah wanita yang sedang bersandar padanya itu. Pria tersebut hanya diam, menunggu apa yang akan dikatakan oleh Lea selanjutnya.
"Biarkan aku merasakan dan menikmati ini, sebelum kau membuangku," ucapnya lagi.
Tentu Lea tahu betul siapa dirinya di mata Zen. Tidak seperti yang dikatakan oleh Clint. Lea merasa dirinya hanyalah wanita yang disewa oleh Zen untuk memuaskan nafsu pria tersebut. Hal yang sama seperti pekerjaan yang biasa dia lakukan. Bukankah ini sama saja. Wanita sewaan hanyalah sebutan yang diperhalus karena maknanya sama saja dengan pekerjaan yang ditekuni Lea selama ini selain sebagai penari striptis, yakni pelacur.
"Aku tidak akan membantah atau melawan lagi. Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, asal kau membiarkanku meminjam bahumu seperti ini." Kedua tangan Lea bergerak ke sisi tubuh Zen, memeluk pria itu seperti guling.
Hening untuk beberapa saat. Hanya deru napas halus yang terdengar. Gerakan pelan dan konstan di dada Zen seolah menjadi ayunan yang membuat Lea sangat nyaman untuk meringkuk dalam dekapan pria itu.
"Zen ... jika nanti kau bosan dan berniat untuk membuangku, aku tidak akan menyesal. Aku akan sangat berterima kasih dan aku tidak akan pernah lupa bahwa kau pernah meminjamkan bahumu seperti ini kepadaku."
"Pejamkan matamu, Sweet Cake. Cobalah untuk terlelap," ujar Zen.
Wanita itu diam tapi tidak melakukan apa yang dikatakan oleh Zen. Kedua matanya masih terbuka dengan lebar. Wanita itu terlalu menikmati kenyamanan yang dia rasakan sekarang. Hangat dekapan Zen dan aroma tubuh yang menguar dari pria itu adalah perpaduan yang amat menenangkan.
Lea menengadah, dia menatap wajah Zen yang sejak awal dia ketahui memang sangat tampan meski tersembunyi di balik aura kelam yang begitu kuat. Rahang tegas dengan jambang yang baru saja dicukur rapi itu begitu menggoda untuk diraba. Hidungnya yang mancung, menambah kesan tegas di wajah pria itu. Mata cekung yang menyembunyikan iris hitam legam, tentu menjadi bagian paling menarik untuk ditatap dengan lekat.
Hanya saja, bukan itu yang membuat Lea mengangkat wajahnya.
"Di antara banyaknya wanita cantik di luar sana, kenapa kau memilih jalang sepertiku sebagai wanita sewaanmu?" tanya Lea tanpa melepas kontak mata dengan pria itu.
Tak gentar dengan tatapan mata Lea yang tampak sayu, Zen justru tersenyum samar. Pria itu mengarahkan telunjuknya ke dahi Lea. Perlahan dia gerakkan jari itu menelusuri lekuk paras cantik sang wanita. Hingga pergerakannya berhenti tepat di belahan bibir wanita itu.
"Tidak butuh alasan untuk apa yang aku lakukan, Sweet Cake," ujarnya.
Dengan jari telunjuk Zen yang masih berada di bibirnya, Lea bertanya lagi. "Sweet Cake? Hidupku bahkan jauh lebih pahit dari empedu, Zen."
Senyum di bibir Zen semakin lebar. Pria itu masih menatap lekat pada Lea. Lalu, dia menggerakkan ibu jarinya untuk mengusap bibir wanita itu.
"Panggilan itu ... bukan untuk hidupmu, melainkan untuk ... ini," jawab Zen yang diakhiri dengan ciumannya di bibir Lea.
Kedua mata pria itu memejam, menikmati bibir Lea yang terasa seperti kue manis. Dengan kelembutan dan kelihaian permainan bibir Zen, Lea pun akhirnya terbuai. Wanita itu membalas ciuman Zen tak kalah lembut.
Tidak seperti ciuman-ciuman lain yang pernah Lea rasakan sebelumnya. Kali ini, wanita itu benar-benar merasakan nikmatnya berciuman. Hanya dengan ciuman saja, hasrat Lea sudah membara. Jemari lentiknya mulai bekerja untuk membuka satu persatu kancing kemeja Zen hingga dada bidang pria itu bisa dengan bebas dia eksplorasi. Tubuh Lea tidak bisa berbohong. Otot-otot di dada dan perut pria itu begitu keras, dan Lea suka dengan sensasi saat merabanya.
Terlebih saat Zen mulai menurunkan ciumannya ke leher jenjang wanita itu. Tali dress yang menggantung di bahu Lea perlahan sudah beralih posisi ke lengan wanita itu hingga bahu polosnya begitu indah untuk dinikmati. Dari leher, Zen menurunkan lagi ciumannya ke bahu wanita itu. Sementara tangannya pun mulai mencari celah untuk menyusup ke dalam dress yang dikenakan oleh Lea.
Tangan pria itu mengusap perut datar Lea dan berhasil memberikan efek merinding di sekujur tubuh wanita itu. Perlahan-lahan Zen menggerakkan tanganya ke punggung Lea untuk melepas ikatan bra yang mengekang kenikmatan lainnya. Begitu terlepas, Zen yang sudah tidak sabar untuk menjelajahi tubuh Lea segera menarik dress itu hingga terlepas dari tubuh wanitanya.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Zen membiarkan Lea berada di bawah kungkungannya. Dengan posisi seperti itu, Zen bisa dengan bebas menikmati apa yang tersuguh di depan matanya. Pria itu mulai bermain dengan puncak dada Lea, hingga membuat wanita itu membusungkan dada sambil meremas rambut Zen karena semuanya terasa terlalu nikmat.
Jari-jari kaki Lea terlipat, menahan hawa dingin yang seolah mengaliri tubuhnya. Dia sudah tidak sabar lagi. Dia membiarkan Zen malakukan apa pun dengan tubuhnya semantara dia sendiri berusaha meloloskan kemeja dari tubuh Zen. Lea juga membantu Zen untuk melepas ikat pinggang serta kancing celananya. Lalu, perlahan tangan wanita itu menyusup, mencari milik Zen yang sudah mengeras.
Lea ingin menjerit sekuat tenaga. Dia sudah hampir gila menahan hasrat yang begitu mennggebu, tapi Zen masih ingin bermain-main dengannya.
"Zen ... please!" Lea memohon dengan suara parau.
"Belum saatnya, Sweet Cake," balas Zen seraya menciumi perut Lea lalu menarik satu-satunya kain yang masih melekat di tubuh wanita itu.
Wanita tersebut sudah tidak bisa menahannya lagi. Di saat Lea mulai bergerak gelisah, Zen bergerak naik. Dia menciumi leher wanita itu dengan jari-jarinya yang bermain di bagian bawah tubuh Lea.
"Say my name, Sweet Cake," bisik Zen yang semakin cepat menggerakkan jarinya di permukaan sensitif Lea.
"Zen ...," rintih Lea dengan tubuh melengkung menahan gejolak yang hampir meledak di dalam dirinya.
Berkali-kali Lea menyebut nama pria itu, memohon untuk disentuh lebih dalam lagi.
"Apa pun yang kau inginkan, Sweet Cake," bisik Zen sembari menenggelamkan dua jarinya ke dalam tubuh Lea. Wanita itu menjerit semakin nikmat saat Zen menggerakan jarinya semakin cepat. Hingga akhirnya, Lea pun merasa dirinya meledak. Zen membiarkan jarinya tetap berada di dalam sana untuk beberapa saat. Lalu, dia menarik dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Kau sangat nikmat, Sweet Cake," ujarnya.
Zen mencium kening Lea, membiarkan wanita itu mengatur napas untuk beberapa saat. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena di menit berikutnya, Zen kembali menghujani tubuh Lea dengan kenikmatan yang seolah tiada henti.
Pria itu menyerang semua titik sensitif Lea hingga wanita itu dengan mudahnya kembali tersulut gairah. Namun, kali ini Zen ingin memanjakan dirinya sendiri. Dia melakukan apa saja yang dia mau terhadap tubuh Lea. Hingga pada akhirnya, setelah serangan panjang yang bertubi-tubi, dia bisa merasakan kehangatan bagian dalam tubuh wanita itu dan meraih kemenangannya atas Lea.
Raga penuh keringat itu ambruk di samping tubuh Lea. Napas keduanya memburu. Mereka seperti sedang berlomba meraup oksigen untuk memulihkan tenaga lagi. Karena rasanya tidak akan cukup hanya dengan sekali permainan.
***
tbc.
Sudah gerah? Wkwkwk
Tetap meringkuk di bawah selimut hangat adalah hal ternyaman yang ingin Lea lakukan saat ini. Ini memang bukan pertama kalinya Lea merasakan sentuhan seorang pria. Tapi ini pertama kalinya Lea melakukannya dengan sukarela, atas keinginan hatinya. Beberapa waktu lalu, wanita itu telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada seorang Zen Aberdein.Rasa hangat yang menyelimutinya, membuat wanita itu berpikir bahwa Zen masih berada di atas tempat tidur yang sama dengannya. Namun, saat Lea menggerakkan badan untuk tidur dengan posisi terlentang, sisi lain ranjang yang dia tempati sudah dingin. Kosong.Wanita itu membuka mata dan mendapati bahwa dia hanya seorang diri di dalam kamar tersebut. Dia mengangkat tubuh sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.Lea menatap pintu kamar yang tertutup lalu tersenyum hampa. "Seorang pelacur akan tetap menjadi pelacur."Hampir saja dia lupa siapa dirinya dan di mana posisi
Saat sedang berjalan kembali ke kamarnya, Lea tidak sengaja bertemu dengan Clint di lorong. Pria itu tampak menyunggingkan senyum canggung. Sedikit banyak, dia merasa bersalah karena telah membuat Lea mengalami hari yang buruk."Lea," sapa Clint.Wanita itu ingin berpaling, tapi dia cukup mengerti kenapa Clint mendesaknya untuk menceritakan masa lalu. Lea tahu bahwa pria itu hanya ingin dirinya mendapat perlindungan dari Zen."Dokter," balas Lea yang meski sudah berusaha terlihat ramah tapi nyatanya masih terdengar ketus."Bisa kita bicara sebentar?" tanya Clint."Um ... aku ...." Lea sedikit kebingungan mencari alasan. Dia tidak ingin Clint mendesaknya lagi karena itu hanya akan membuatnya kehilangan kontrol emosi."Kalau kau keberatan ... it's okay. Aku mengerti," sela Clint yang melihat Lea seperti sedang mencari alasan untuk menghindari berbincang dengannya."Oh
Malam itu, bahkan hingga pagi menjelang, Lea merasa kedua matanya sulit untuk terpejam. Nama Ryn yang disebutkan oleh Clint betul-betul mengganggu pikirannya. Ya, Ryn, Ryn Aberdein. Adik kandung Zen Aberdein. "Kenapa Clint melarangku bertemu dengannya? Jika dia tinggal di mansion ini ... di bagian mana dia tinggal?" Pertanyaan itu seolah menggema di kepala Lea. Dibebaskan untuk melakukan apa pun yang dia inginkan, tak lantas membuat Lea merasa bahagia. Kecuali satu hal, wanita itu bisa bermain piano setiap waktu. Seperti pagi ini, setelah sarapan di ruang makan ... sendirian, Lea menyempatkan diri untuk bermain piano. Tinggal di mansion seluas itu membuatnya merasa hidup di peradaban yang telah punah. Bagaimana tidak? Di mana-mana, yang dia jumpai hanya para pelayan dan penjaga. Sesekali dia bisa bertemu dengan Clint. Selebihnya ... dia menjalani hidupnya sendirian. "Senang bisa bertemu denga
"Kau ingin mencoba melewati labirin ini?" tanya Ryn setelah mereka berkenalan beberapa saat lalu."Hm. Aku hanya pernah melihatnya di televisi, dan aku sangat ingin mencobanya," jawab Lea."Well, okay. Aku akan menemanimu," kata Ryn lagi.Lea mempertahankan tatapannya pada Ryn beberapa saat. Benarkah gadis tengil ini berniat baik? Oh, ayolah! Tidak mungkin Clint melarangnya berdekatan dengan Ryn jika tidak ada apa-apa dengan gadis itu. Lea harus waspada, karena gadis itu terlihat sangat manis dan nakal di saat yang bersamaan. Bukankah itu perpaduan yang sempurna untuk mengelabuhi orang lain?"Jangan melihatku seolah aku ini anak bandel yang akan menyusahkanmu. Aku sudah hafal dengan labirin ini. Jika kau tersesat, aku bisa menunjukkan jalannya padamu," ujar Ryn yang melihat tatapan curiga Lea terhadapnya.Tentu tidak akan menarik jika masuk labirin dengan orang yang sudah hafal dengan rutenya. Lea i
Kepanikan terjadi di mansion kala Lea tidak kembali setelah memasuki labirin selama hampir dua jam. Para penjaga masuk ke dalam labirin, menyisir setiap sudut labirin tersebut untuk mencari keberadaan Lea. Namun mereka tidak menemukan apa pun di dalam sana."Bagaimana dengan kameranya? Apa mereka menemukan sesuatu?" tanya salah satu penjaga.Rekan sesama penjaganya menggeleng. "Nope! Kamera yang mengarah ke labirin sedang mengalami masalah teknis pada waktu itu. Kamera-kamera itu tidak berfungsi.""Fuck! Apa yang harus aku katakan pada Tuan Zen?" Penjaga yang terakhir kali bersama Lea itu mulai pias. Nyawanya kini berada di ujung tanduk. Kalau sampai Lea tidak ditemukan, dia harus mengucapkan selamat tinggal terhadap nyawanya."Hubungi yang lain. Sisir setiap sudut mansion. Kita harus menemukan Nona Lea sebelum Tuan Zen kembali," ujar rekannya."Akan kulakukan. Ingat, bilang pada yang lain untuk men
Semua orang menatap heran, tapi dalam tatapan itu terselip kelegaan luar biasa di dalam benak para penjaga yang bertanggung jawab atas Lea. Zen menggendong wanita tersebut yang tampak tak sadarkan diri seperti sedang menggendong pengantinnya. Hanya saja, penampilan Lea sama sekali tidak mirip seperti seorang pengantin. Gaun selutut berwarna biru muda yang dia kenakan, sebagian basah dan sudah bercampur dengan noda berwarna coklat serta hijau lumut. Kening wanita itu terluka, terlihat bekas tetesan darah yang hampir mengering di sana."Panggil Dokter Clint segera," titah Zen dengan suara berat kepada anak buah yang dia lewati.Tubuh Lea sama sekali tidak tampak membebani pria itu ketika dia melangkah. Seolah wanita tersebut tidak memiliki bobot. Setapak demi setapak, ayunan kaki Zen membawa mereka ke kamar Lea. Pria itu membaringkan tubuh Lea di atas ranjang dengan hati-hati."Panggil pelayan kemari," ucap Zen pada anak buahnya.
Lea duduk di dekat jendela, memandangi hamparan luas pepohonan yang membentang di belakang mansion tersebut. Tidak seperti pandangannya yang berselancar menyusuri keindahan alam. Pikiran Lea justru hanya terpusat pada satu tempat, yaitu labirin."Aku sangat yakin jika apa yang kulihat itu nyata," ucap Lea lirih.Dia ingin memercayai ucapan Clint bahwa semua itu hanya halusinasi saja, tapi hatinya terus menolak. Lea sangat yakin jika apa yang dia alami adalah sebuah fakta. Hanya saja, yang tidak habis dia pikirkan adalah Clint yang terus memintanya untuk menjauh dari Ryn. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh gadis berusia 17 tahun dengan kondisi kaki cacat seperti dia? Lagipula, Ryn tidak terlihat berbahaya. Walaupun pada awalnya memang tampak nakal. Tapi Lea yakin jika gadis itu tidak akan membahayakan dirinya."Ryn mengatakan kalau dia pernah membuat satu kesalahan di masa lalu. Apa itu yang membuat Clint memintaku untuk menjauhi
Jantung Lea terasa menghentak dengan kuat. Suara sosok yang berada dalam kegelapan itu membuat Lea merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah sedang melancarkan aksinya.Lea menelan ludah. 'Aku harus kabur dari sini,' batin wanita itu.Lea melirik ke arah pintu dari ekor matanya. Jarak pintu itu dari tempatnya berdiri hanya sekitar 7 meter. Dia mempertimbangkan opsi untuk berlari secepatnya ke arah pintu lalu keluar dari kamar tersebut. Posisinya berdiri saat ini memang lebih dekat dengan pintu dibandingkan dengan orang itu. Jadi, jika dia berlari, kemungkinan besar dia akan lolos. Wanita itu beranggapan bahwa menghadapi para penjaga yang dia yakini sekarang sedang kebingungan mencarinya, akan jauh lebih mudah ketimbang menghadapi siapa pun yang berada dalam kegelapan tersebut.Dalam hati, Lea mulai menghitung. Pada saat dia sudah bersiap untuk berlari, orang yang menegurnya tadi muncul dari kegelapan. Pada saat dia meliha
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na