Semua orang menatap heran, tapi dalam tatapan itu terselip kelegaan luar biasa di dalam benak para penjaga yang bertanggung jawab atas Lea. Zen menggendong wanita tersebut yang tampak tak sadarkan diri seperti sedang menggendong pengantinnya. Hanya saja, penampilan Lea sama sekali tidak mirip seperti seorang pengantin. Gaun selutut berwarna biru muda yang dia kenakan, sebagian basah dan sudah bercampur dengan noda berwarna coklat serta hijau lumut. Kening wanita itu terluka, terlihat bekas tetesan darah yang hampir mengering di sana.
"Panggil Dokter Clint segera," titah Zen dengan suara berat kepada anak buah yang dia lewati.
Tubuh Lea sama sekali tidak tampak membebani pria itu ketika dia melangkah. Seolah wanita tersebut tidak memiliki bobot. Setapak demi setapak, ayunan kaki Zen membawa mereka ke kamar Lea. Pria itu membaringkan tubuh Lea di atas ranjang dengan hati-hati.
"Panggil pelayan kemari," ucap Zen pada anak buahnya.
<Lea duduk di dekat jendela, memandangi hamparan luas pepohonan yang membentang di belakang mansion tersebut. Tidak seperti pandangannya yang berselancar menyusuri keindahan alam. Pikiran Lea justru hanya terpusat pada satu tempat, yaitu labirin."Aku sangat yakin jika apa yang kulihat itu nyata," ucap Lea lirih.Dia ingin memercayai ucapan Clint bahwa semua itu hanya halusinasi saja, tapi hatinya terus menolak. Lea sangat yakin jika apa yang dia alami adalah sebuah fakta. Hanya saja, yang tidak habis dia pikirkan adalah Clint yang terus memintanya untuk menjauh dari Ryn. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh gadis berusia 17 tahun dengan kondisi kaki cacat seperti dia? Lagipula, Ryn tidak terlihat berbahaya. Walaupun pada awalnya memang tampak nakal. Tapi Lea yakin jika gadis itu tidak akan membahayakan dirinya."Ryn mengatakan kalau dia pernah membuat satu kesalahan di masa lalu. Apa itu yang membuat Clint memintaku untuk menjauhi
Jantung Lea terasa menghentak dengan kuat. Suara sosok yang berada dalam kegelapan itu membuat Lea merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah sedang melancarkan aksinya.Lea menelan ludah. 'Aku harus kabur dari sini,' batin wanita itu.Lea melirik ke arah pintu dari ekor matanya. Jarak pintu itu dari tempatnya berdiri hanya sekitar 7 meter. Dia mempertimbangkan opsi untuk berlari secepatnya ke arah pintu lalu keluar dari kamar tersebut. Posisinya berdiri saat ini memang lebih dekat dengan pintu dibandingkan dengan orang itu. Jadi, jika dia berlari, kemungkinan besar dia akan lolos. Wanita itu beranggapan bahwa menghadapi para penjaga yang dia yakini sekarang sedang kebingungan mencarinya, akan jauh lebih mudah ketimbang menghadapi siapa pun yang berada dalam kegelapan tersebut.Dalam hati, Lea mulai menghitung. Pada saat dia sudah bersiap untuk berlari, orang yang menegurnya tadi muncul dari kegelapan. Pada saat dia meliha
Sekembalinya ke kamar, Lea tidak bisa berhenti memikirkan ucapan penjaga yang mengatakan bahwa apa yang dia lakukan dapat membuat mereka terbunuh. Wanita itu berjalan mondar-mandir di dalam kamar dengan perasaan tidak menentu. Di satu sisi, dia benci terkurung di dalam kamar. Namun di sisi lain dia juga mengkhawatirkan nasib penjaga-penjaga itu."Apa Zen yang menghabisi penjaga itu?" gumam Lea sambil menggigit ujung jarinya karena cemas.Dia tahu Zen bukan orang sembarangan, namun dia tidak pernah berpikir bahwa Zen akan dengan tega merenggut nyawa seseorang karena kesalahan yang tidak dia lakukan. Ya ... Lea mengakui bahwa kejadian yang menimpa dirinya di dalam labirin adalah kesalahannya sendiri. Penjaga itu sudah memberi peringatan, namun dia keras kepala. Lantas sekarang, penjaga itu harus menanggung konsekuensinya. Bukankah itu sangat tidak adil?"Aku tidak menyangka kalau dia adalah orang yang sangat kejam," rutuk Lea.Wanita itu berpikir untuk mendatan
Perintah adalah perintah. Sekeras apa pun Lea menolak, Zen pasti akan menemukan cara untuk membuatnya patuh. Sama seperti saat pertama kali pria itu membawanya ke mansion. Pemberontakan Lea hanya berakhir sebagai seorang tawanan.Diantar oleh seorang penjaga, Lea berjalan menyusuri koridor yang belum pernah dia jamah sebelumnya. Berbeda dengan bagian mansion di mana kamar Lea berada, untuk bisa sampai ke kamar Zen, mereka harus melewati beberapa ruangan. Bukan hanya ruangan, namun juga beberapa pintu.Kedua mata Lisa tak henti menyusuri setiap bagian mansion yang dia lewati. Terdapat banyak sekali pintu yang bentuknya sama persis. Barangkali pintu itu sengaja dibuat serupa untuk menyesatkan orang-orang yang belum hafal bangunan tersebut seperti Lea. Wanita itu yakin jika dia harus kembali ke kamarnya tanpa penjaga, dia akan tersesat."Berapa pintu lagi yang harus kita lewati?" tanya Lea pada penjaga yang membimbing jalannya."Sebentar lagi kita sampai, Nona,"
Tidak sulit untuk menemukan puncak gairah ketika Lea harus berhadapan dengan Zen. Wanita itu dengan mudahnya takhluk di bawah kendali Zen. Sungguh, ini di luar kebiasaan Lea selama menjadi primadona di Night-O Club. Dengan Zen, Lea merasa benar-benar seperti seorang jalang yang membutuhkan belaian kasih sayang."Tidurlah, Sweet Cake. Aku akan menjagamu," ucap Zen setelah hasratnya terpenuhi.Di saat seperti ini, Lea merasa Zen adalah seorang pria dengan kepribadian yang hangat. Sama sekali tidak terlihat ataupun terasa jika pria itu adalah pria berdarah dingin yang tega melenyapkan nyawa siapa saja yang mengusik hidupnya.Kalimat "Aku akan menjagamu" yang diucapkan oleh Zen terasa begitu menenangkan bagi Lea. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berkata seperti itu selain ibunya. Sisi lain Zen yang seperti ini seolah menjadi sandaran bagi wanita itu yang akan menguatkannya ketika dia sedang berada di dalam posisi sangat lemah."Zen," panggil Lea yang te
Sejenak Zen memandangi wanita yang tengah terlelap di bawah selimut di atas ranjangnya. Hari masih gelap ketika pria itu memanggil Arthur--tangan kanannya--untuk datang. Tak lebih dari sepuluh menit sejak dia memanggil Arthur, pria itu meninggalkan kamar menuju ruang kerja yang berada tak jauh dari kamar tidurnya.Zen membuka sebuah amplop berisi beberapa dokumen yang telah didapatkan Arthur pada misi sebelumnya. Belum sempat dia membaca dokumen itu, pintu ruang kerjanya diketuk."Masuk!" sahutnya.Layar monitor kecil yang berada di mejanya menunjukkan bahwa orang yang baru saja mengetuk pintu adalah Arthur.Pintu dibuka dari luar. Pria berperawakan hampir sama dengan Zen masuk ke dalam ruangan tersebut."Selamat pagi, Tuan," sapa Arthur sembari membungkuk memberi hormat."Duduklah, Arthur!" perintahnya.Patuh, Arthur segera menarik kursi yang ada di depan meja kerja Zen."Apa saja yang kau temukan di Florida, Art?" tanya Zen dengan pa
Tidak ada pergerakan dari mobil yang terbalik itu selama beberapa waktu. Kepulan asap keluar dari bagian mesin. Hingga tiba-tiba, sebuah tendangan keras yang berasal dari dalam mobil menghancurkan sisa kaca anti peluru yang masih melekat di badan mobil dalam keadaan retak parah. Lantas seseorang keluar dari mobil tersebut dengan posisi kaki terlebih dahulu.Dia adalah Zen, satu-satunya penumpang yang selamat dalam insiden itu. Tak berapa lama, beberapa orang berlari menghampiri, termasuk Arthur. Arthur segera menarik tubuh Zen menjauh dari mobil. Dalam jarak beberapa meter, mobil yang terbalik itu meledak. Tubuh Zen dan Arthur bahkan sempat terhempas karena kuatnya daya dorong akibat ledakan tersebut."Anda tidak apa-apa?" tanya Arthur.Zen hanya mengangguk sambil terus melangkah tertatih menjauh dari mobil yang terbakar itu.Mereka baru berhenti ketika sampai di mobil yang ditumpangi Arthur. Zen duduk di kursi kabin belakang dengan pintu yang dibiarkan t
Tiba di mansion, Zen lantas mengunjungi kamar Lea. Dia punya rencana tersendiri untuk wanita itu. Pria tersebut akan memberi sebuah kehormatan untuk Lea. Tanpa mengetuk pintu, Zen masuk begitu saja ke dalam kamar yang ditempati oleh wanita itu. Hingga membuat Lea yang sedang mengoleskan krim antibiotik ke kakinya itu berjingkat terkejut."Astaga! Kau mengejutkanku, Zen!" seru Lea.Wanita itu berhenti sejenak dari kegiatanya mengobati luka lecet dan memar yang ada di lutut dan mata kaki. Tanpa ekspresi, Zen berhenti melangkah tepat di dekat sofa, di mana Lea sedang mengobati lukanya. Lantas Zen membungkukkan badan. Pria itu tanpa aba-aba mengangkat kaki Lea untuk memeriksa luka tersebut."Ouch! Sakit!" seru Lea seraya meringis menahan rasa nyeri karena Zen menekan lukanya."Dari mana kau mendapatkan luka ini?" tanya Zen seraya melepaskan kaki Lea."Aku terpeleset saat hendak makan malam. Hanya luka kecil," jawab Lea jujur.Zen menatap luka di
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na