Tiba di mansion, Zen lantas mengunjungi kamar Lea. Dia punya rencana tersendiri untuk wanita itu. Pria tersebut akan memberi sebuah kehormatan untuk Lea. Tanpa mengetuk pintu, Zen masuk begitu saja ke dalam kamar yang ditempati oleh wanita itu. Hingga membuat Lea yang sedang mengoleskan krim antibiotik ke kakinya itu berjingkat terkejut.
"Astaga! Kau mengejutkanku, Zen!" seru Lea.
Wanita itu berhenti sejenak dari kegiatanya mengobati luka lecet dan memar yang ada di lutut dan mata kaki. Tanpa ekspresi, Zen berhenti melangkah tepat di dekat sofa, di mana Lea sedang mengobati lukanya. Lantas Zen membungkukkan badan. Pria itu tanpa aba-aba mengangkat kaki Lea untuk memeriksa luka tersebut.
"Ouch! Sakit!" seru Lea seraya meringis menahan rasa nyeri karena Zen menekan lukanya.
"Dari mana kau mendapatkan luka ini?" tanya Zen seraya melepaskan kaki Lea.
"Aku terpeleset saat hendak makan malam. Hanya luka kecil," jawab Lea jujur.
Zen menatap luka di
Duduk bersisian di dalam limosin dengan Zen, sebisa mungkin Lea mencuri kesempatan untuk melihat jalanan di luar. Dengan sedikit menyingkap tirai yang menutup kaca jendela, Lea berharap akan mendapatkan petunjuk tentang di mana mansion Zen tersebut berada.Namun Lea harus menelan kekecewaan, karena sepanjang jalan yang dia lihat hanya pekat malam. Sekarang Lea sangat yakin jika mansion tersebut berada di tengah hutan. Tak lama keluar dari kawasan hutan, limosin yang mereka tumpangi melintasi kawasan peternakan kuda. Meski hanya melalui celah kecil, namun Lea dapat melihat istal yang terletak di sebelah kanan bangunan yang Lea duga sebagai rumah si pemilik peternakan di tengah-tengah tanah yang lapang."Apa kau sudah mendapat peta menuju mansion, Sweet Cake?" Tetiba saja suara Zen terdengar mengejutkan Lea yang memang fokus melihat ke luar.Sontak Lea memperbaiki posisi duduknya sambil mengerjap cepat beberapa kali.'Sial!' batin Lea.Jeli sekali mata Ze
Lea melangkah mundur, namun sayangnya tidak ada ruang lagi untuknya menghindar karena persis di belakang tubuh wanita itu terdapat sebuah lemari kaca berisi beberapa piagam. Wajah pucat wanita itu membuat Zen mengerutkan dahi tidak mengerti."Apa yang terjadi padamu?" tanya Zen seraya meletakkan gelasnya di atas meja terdekat.Lea tak mampu menjawab. Wanita itu terus menatap ketakutan ke arah Bram dengan deru napas yang memburu."Hei, Sweet Cake. Lihat aku!" Zen berusaha meraih tubuh Lea, namun wanita itu refleks membuat gerakan menghindar.Sadar menjadi sorotan para tamu di sana, Lea menoleh pada Zen dengan mata berkaca-kaca."A-aku ...." Tenggorokan Lea rasanya tercekat. Untaian kata yang sudah sampai di ujung lidah pun rasanya sangat sulit untuk dia keluarkan. Wanita itu hanya mampu menatap pias pada pria yang mengajaknya ke pesta tersebut.Tanpa berkata apa-apa lagi, Lea berbalik. Dia berlari meninggalkan Zen tanpa tahu ke mana arah yang
Dalam waktu singkat, gaun sutera mewah yang melekat di tubuh indah Lea sudah terkoyak akibat sabetan ikat pinggang Bram. Lea menjerit. Wanita itu ketakutan setengah mati, namun dia begitu lemah ketika berhadapan dengan ayah tirinya itu. Rambutnya yang digelung sudah terurai di beberapa bagian. Riasan cantiknya kini tertutup dengan noda hitam campuran antara maskara dengan air mata. Penampilan wanita itu tampak sangat mengerikan. Kesan anggun dan elegan yang sempat menyambutnya tadi seolah sirna begitu saja.Jeritan dan rintihan memenuhi ruangan. Di saat seperti ini, hanya satu nama yang muncul di kepala Lea. Zen Aberdein. Untuk pertama kalinya, Lea sangat berharap Zen datang dan segera menolongnya."Memohonlah, Sayang. Aku akan memberimu kenikmatan yang pasti sudah sangat kau rindukan." Pria yang hanya mengenakan celana panjang tanpa ikat pinggang itu meraih tubuh Lea. Dalam sekali hentak, pria itu mampu membalik tubuh Lea hingga menghadap dirinya. Dua tangan wanita it
Dengan cara dipanggul di pundak, Lea dibawa masuk ke mansion. Arthur membawa wanita itu meninggalkan pesta terlebih dahulu sementara Zen masih harus menyelesaikan beberapa urusannya di pesta tersebut.Lea sama sekali tidak memberontak saat Arthur memanggulnya masuk ke mansion. Menilik apa yang pernah dia dengar dari para penjaga tentang Zen, Lea tidak berani berharap banyak. Jika memang dia harus mati di tangan pria itu, maka itu adalah takdir. Lea sudah lelah melawan takdir, lelah berlari dan bersembunyi. Wanita itu hanya bisa menatap hampa pada lantai dan pergerakan kaki Arthur yang terus membawanya masuk ke dalam mansion."Tuan Zen akan segera kembali. Saya akan membawa Anda ke kamar," ujar Arthur untuk pertama kalinya sejak pria itu membawanya keluar dari hotel.Sama sekali tidak tertarik untuk menjawab karena kepala Lea telah dipenuhi pikiran bahwa dirinya akan segera menemui siksaan memyakitkan dari Zen. Yang tidak Lea sadari adalah ke mana Arthur membawan
Lea menatap Zen dengan tatapan hampa seolah dunianya memang sudah di ambang kehancuran. Wanita itu merasa hidupnya sudah berada di tepi jurang kematian. Entah dengan cara mudah atau sulit, ini memang sudah menjadi takdirnya."Do it," ucap Lea lirih.Dia meminta Zen untuk segera melakukan apa pun yang ingin dia lakukan terhadapnya. Karena dia sudah menyiapkan dirinya untuk semua rasa sakit itu."Selesaikan urusanmu denganku seperti yang kau katakan tadi." Wanita itu terdengar sangat putus asa.Zen masih berdiri di tempatnya dengan ekspresi datar. Bahkan saat melihat sebulir air mata mengalir dari manik itu, dia tetap bergeming tak menghiraukan permintaan Lea. Pria itu baru bergerak saat Lea menurunkan kakinya ke lantai, namun tak begitu terlihat perbedaannya.Kaki telanjang Lea menapaki lantai marmer di bawahnya dengan pelan. Setapak demi setapak wanita itu mengikis jarak dengan Zen hingga dia berhenti sekitar satu meter di hadapan pria itu. Dia men
Rencana sudah dijalankan. Jika ingin bermain licik maka Zen adalah ahlinya. Arthur adalah eksekutor yang handal. Bukan hanya eksekutor, pria berbadan tegap itu juga ahli dalam mengatur strategi bisnis gelap yang mereka jalani. Kerap kali Zen bertukar pikiran dengan pria itu dalam mengambil tindakan. Alhasil, nama besar Aberdein dan tangan kanannya sangat disegani di kalangan pebisnis ilegal."Serahkan semuanya pada saya, Tuan. Dalam 48 jam, Anda akan menerima kabar baik." Arthur mengambil amplop berisi uang tunai senilai 50 ribu dollar dari atas meja untuk melancarkan aksinya. Nilai yang tidak seberapa bagi seorang Zen Aberdein."Aku percaya padamu. Pastikan bajingan itu melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana bisnisnya hancur." Zen mengepalkan tangan dengan tatapan menyorot tajam ke depan. Lalu dia mengalihkan pandangan pada Arthur. "Begitu rencana ini berhasil, segera kirim bukti kehancurannya padaku.""Baik, Tuan. Saya pastikan Anda akan mendapatkan bukti-bukti itu tak lebih
Sejak terakhir kali Lea bertemu Zen, ini sudah masuk hari keempat dirinya tidak melihat pria itu di mansion. Wanita itu duduk sendirian di taman anggrek yang ada di sayap timur mansion. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat mengingat apa yang dilakukan Zen untuknya."Dia ...." Lea menggigit bibir tak kuasa menahan senyum saat mengingat sikap manis pria itu.Lea sama sekali tidak menyangka jika Zen akan melakukan apa yang selama ini sangat ingin dia lakukan. Zen akan mewujudkan mimpinya untuk melihat Bram hancur. Memang terkesan kejam, tapi itu adalah hal yang paling diinginkan Lea dalam hidupnya."Benarkah kau melakukan ini untukku?" gumam Lea. Mendadak hatinya menghangat. Zen tidak hanya sempurna secara fisik, tapi juga memiliki kehangatan di balik kekejamannya."Apa yang kakakku lakukan untukmu?" Tiba-tiba terdengar suara Ryn dari arah belakang Lea.Gadis itu menekan tuas kursi rodanya mengarah pada Lea lantas berhenti persis di hadapan wanit
Rasanya malam-malam yang dilalui Lea di kamar Zen terasa lebih lama dari biasanya. Dia ingin melupakan apa yang dikatakan Ryn tempo hari tentang wanita-wanita yang bersama Zen, namun dia tidak bisa melakukannya. Tetap saja ucapan Ryn menggaung di kepalanya seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang.Di saat harapannya mulai muncul. Di saat hatinya mulai tersentuh dengan kebaikan yang Zen lakukan untuknya, Lea harus berada di tengah dilema."Jika yang dikatakan Ryn benar, apa Zen akan melakukan hal yang sama padaku seperti yang dia lakukan terhadap wanita lainnya?" gumam Lea.Wanita itu mendesah kasar. Udara dingin yang berembus di balkon kamar Zen menyergap tubuh Lea yang hanya terbalut gaun tidur tipis. Dia memeluk tubuhnya sendiri kala merasakan hawa dingin itu kian menusuk."Rasanya kepalaku mau meledak hanya karena memikirkan masalah ini." Lea bermonolog.Merasakan kepenatan di kepalanya, Lea mengenakan mantel lantas keluar dari kamar.
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na