Sejak terakhir kali Lea bertemu Zen, ini sudah masuk hari keempat dirinya tidak melihat pria itu di mansion. Wanita itu duduk sendirian di taman anggrek yang ada di sayap timur mansion. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat mengingat apa yang dilakukan Zen untuknya.
"Dia ...." Lea menggigit bibir tak kuasa menahan senyum saat mengingat sikap manis pria itu.
Lea sama sekali tidak menyangka jika Zen akan melakukan apa yang selama ini sangat ingin dia lakukan. Zen akan mewujudkan mimpinya untuk melihat Bram hancur. Memang terkesan kejam, tapi itu adalah hal yang paling diinginkan Lea dalam hidupnya.
"Benarkah kau melakukan ini untukku?" gumam Lea. Mendadak hatinya menghangat. Zen tidak hanya sempurna secara fisik, tapi juga memiliki kehangatan di balik kekejamannya.
"Apa yang kakakku lakukan untukmu?" Tiba-tiba terdengar suara Ryn dari arah belakang Lea.
Gadis itu menekan tuas kursi rodanya mengarah pada Lea lantas berhenti persis di hadapan wanit
Rasanya malam-malam yang dilalui Lea di kamar Zen terasa lebih lama dari biasanya. Dia ingin melupakan apa yang dikatakan Ryn tempo hari tentang wanita-wanita yang bersama Zen, namun dia tidak bisa melakukannya. Tetap saja ucapan Ryn menggaung di kepalanya seperti kaset rusak yang diputar berulang-ulang.Di saat harapannya mulai muncul. Di saat hatinya mulai tersentuh dengan kebaikan yang Zen lakukan untuknya, Lea harus berada di tengah dilema."Jika yang dikatakan Ryn benar, apa Zen akan melakukan hal yang sama padaku seperti yang dia lakukan terhadap wanita lainnya?" gumam Lea.Wanita itu mendesah kasar. Udara dingin yang berembus di balkon kamar Zen menyergap tubuh Lea yang hanya terbalut gaun tidur tipis. Dia memeluk tubuhnya sendiri kala merasakan hawa dingin itu kian menusuk."Rasanya kepalaku mau meledak hanya karena memikirkan masalah ini." Lea bermonolog.Merasakan kepenatan di kepalanya, Lea mengenakan mantel lantas keluar dari kamar.
"Nona Lea!" seru Matt.Pria itu mengayunkan stik drum yang sempat dia ambil dari atas meja ke arah kalajengking yang baru saja menyengat lengan Lea. Lantas dia membunuh kalajengkung itu. Sempat merintih menahan sakit beberapa saat, akhirnya Lea tak sadarkan diri. Tubuh wanita itu terkulai tepat pada saat Matt menadahkan tangan untuk menangkapnya."Nona! Nona! Bertahanlah!" seru Matt.Tidak berpikir panjang, pria itu segera mengangkat tubuh Lea. Dia berlari secepat yang dia bisa untuk membawa Lea kembali ke kamar majikannya."Ambil bangkai kalajengking di ruang musik. Bawa kepada Dr. Clint lalu minta Dr. Clint datang ke kamar Tuan Zen sekarang juga!" seru Matt pada penjaga pertama yang dia lihat di koridor."Apa yang terjadi?" tanya rekannya."Nona Lea tersengat kalajengking. Cepatlah, sebelum terlambat," balas Matt.Rekan pria itu segera melakukan perintah Matt. Sementara Matt kembali berlari membawa Lea ke kamar."Bertahanlah, Nona. D
Berdiri di samping tempat tidur adik kandungnya, Zen melayangkan tatapan tajam menghujam kepada gadis belia itu. Dia sangat yakin jika apa yang terjadi pada Lea adalah ulah Ryn. Selama ini dia sudah cukup menahan diri untuk tidak melakukan apa pun atas apa yang dilakukam oleh Ryn jika menyangkut tentang wanitanya. Namun kali ini, Zen merasa adiknya tersebut sudah sangat keterlaluan."Kau mengganggu tidurku," ujar Ryn dengan nada malas lalu menarik selimut yang berada di ujung ranjang dengan satu kakinya yang masih dapat berfungsi.Semakin geram karena diabaikan, Zen mendekat ke arah ranjang lalu menarik lengan kecil adiknya hingga tubuh gadis belia itu terangkat dengan paksa."Aw! Kau menyakitiku, Zen!" protes Ryn.Namun Zen tidak mengindahkannya. Pria itu membuat adiknya terduduk di atas tempat tidur. Setelah itu dia membungkukkan badan, menyejajarkan wajahnya dengan wajah Ryn. Kedua matanya tajam menyorot ke dalam iris kelam di balik kelopak mata Ryn yang m
Jika benar Angel's Eye adalah salah satu benda milik organisasi rahasia yang memegang kendali dunia seperti yang dikatakan Clint, maka Zen sedang berhadapan dengan sesuatu yang sangat besar. Berapa pun sumber daya yang dia miliki, semua akan sia-sia. Tak akan mampu melawan organisasi setan itu."Kau yakin benda ini milik mereka?" Zen menyipitkan mata ke arah Clint.Clint melipat tangan di pinggang lalu dia mendesah pelan. "Aku kenal sesorang dari organisasi itu. Tidak banyak, tapi dia pernah bercerita tentang simbol organisasi mereka. Ada beberapa benda di dunia ini yang diagungkan menjadi simbol organisasi itu. Sebuah organisasi yang akan selalu menjadi mata dunia. Kau tidak tahu seberapa mengerikannya tujuan mereka, Zen. Mereka mendoktrin anak-anak dan remaja di seluruh dunia dengan isu dan tren yang akan menghancurkan generasi muda. Mereka iblis, Zen. Mereka memiliki kekuatan di seluruh dunia yang tidak akan pernah bisa kau sentuh meski kau mengorbankan seluruh hidu
Kepanikan seketika menyelimuti mansion saat terdengar suara Zen berteriak meminta para penjaganya membawa Clint untuk datang ke kamar. Matt yang saat itu bersiaga di depan pintu sekejap melihat situasi di dalam kamar. Saat mendapati Lea telah sadarkan diri namun dalam keadaan histeris, Matt bergegas meninggalkan posnya untuk memanggil Clint."Aku tidak dapat melihat apa pun! Kenapa semua gelap seperti ini? Di mana cahayanya? Zen? Kau di mana? Kenapa aku tidak dapat melihat apa-apa? Zen?" Lea terus meracau. Wanita itu duduk sambil menggerakkan tangannya ke sembarang arah seolah sedang mencari pegangan."Sweet Cake, tenanglah! Hei, aku di sini." Zen berusaha menenangkan.Pria itu menahan tangan Lea yang bergerak tak tentu arah. Dalam cekalannya, tangan Lea gemetar. Air mata mulai membanjir dari balik kelopak matanya."Aku buta, Zen ... aku tidak mau menjadi buta! Berikan aku cahaya! Aku tidak mau menjadi buta!" jerit Lea. Wanita itu terus memberontak, merau
Laju Buggati La Voiture Noire itu semakin kencang meski diapit oleh tiga kendaraan di sekitarnya. Tak gentar sedikit pun, Zen yang hanya seorang diri terus melaju, mempermainkan orang-orang yang sengaja menginginkan dirinya terluka."Aku ingin melihat seberapa tangguh kalian," ujar Zen dengan mata menyipit.Sebuah siasat telah dia pikirkan. Menghadapi ancaman tanpa back up sudah bukan hal asing lagi bagi Zen. Dia tidak takut sama sekali. Justru momen seperti ini adalah saat yang dia nanti untuk mengetahui apakah kemampuannya masih bisa diandalkan. Salah satu cara untuk mengasah kemampuan bertahannya."Let's play the game!" seru Zen dengan satu sudut bibir tertarik ke atas.Dari arah depan ada sebuah truk ekspedisi yang melaju dengan kecepatan standar. Kesempatan bagi Zen. Pria itu memperhitungkan jarak dan waktu yang tepat sebelum membanting stir ke kiri dengan tiba-tiba. Tak pelak badan mobil yang mengapitnya dari sisi kiri tertabrak oleh bagian depan mo
"Shit!" Zen mengumpat keras saat mendengar bunyi sirine dari mobil Sheriff meraung-raung, mendekat ke arahnya.Berlari memsuki ladang jagung yang masih utuh, Zen menyelinap di antara tanaman semusim itu. Dia terus bergerak ke arah utara untuk mencapai jalan utama. Tidak! Zen tidak akan bertindak bodoh dengan berlari atau berjalan kaki ke tempat yang dia tuju. Setidaknya, dia butuh kendaraan yang bisa mengantarkannya ke jalur utama dengan aman. Tanpa menarik perhatian dari aparat penegak hukum yang kini telah tiba di lokasi, di mana empat mayat tergeletak dan bangkai mobil yang masih terbakar. Zen terus bergerak dengan gesit.Iris kelam Zen bergerak liar mencari jalan keluar untuk bisa lolos dari Sheriff. Pria itu menarik satu sudut bibirnya ke atas kala melihat gudang jerami yang berada sekitar 100 meter dari tempatnya bersembunyi. Dia kenal dengan pemilik ladang itu, dan dia tahu apa saja yang ada di dalam gudang tersebut.Berlari menyibak tanaman jagung yang m
"Zen Aberdein. Kau tidak akan bisa lolos lagi."Suara pria asing yang tak pernah dia dengar menyapa gendang telinga Zen."Oh, not again," keluh Zen malas.Baru saja Zen membersihkan luka-luka yang ada di tubuhnya, kini dia harus kembali menghadapi ancaman. Rasa panas dan perih di punggung tangan yang dia gunakan untuk menghajar keempat pria sebelumnya belum menghilang. Bukan masalah jika harus berkelahi lagi. Dengan tangan kosong pun Zen selalu siap membantai orang-orang itu. Namun, rasa malas untuk meladeni penjahat kacangan seperti mereka membuat minat Zen untuk berkelahi sedikit berkurang."Jalan!" Pria di belakang Zen berdesis sembari menambah tekanan senjatanya di kepala Zen.Tidak ingin membuat gaduh yang akan membuatnya menjadi pusat perhatian di tempat itu, Zen pun melangkah mengikuti apa yang dikatakan pria di belakangnya. Melangkah dengan sesekali di tendang di bagian kaki, membuat Zen harus betul-betul menahan diri untuk tidak menghabisi
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na