"Shit!" Zen mengumpat keras saat mendengar bunyi sirine dari mobil Sheriff meraung-raung, mendekat ke arahnya.
Berlari memsuki ladang jagung yang masih utuh, Zen menyelinap di antara tanaman semusim itu. Dia terus bergerak ke arah utara untuk mencapai jalan utama. Tidak! Zen tidak akan bertindak bodoh dengan berlari atau berjalan kaki ke tempat yang dia tuju. Setidaknya, dia butuh kendaraan yang bisa mengantarkannya ke jalur utama dengan aman. Tanpa menarik perhatian dari aparat penegak hukum yang kini telah tiba di lokasi, di mana empat mayat tergeletak dan bangkai mobil yang masih terbakar. Zen terus bergerak dengan gesit.
Iris kelam Zen bergerak liar mencari jalan keluar untuk bisa lolos dari Sheriff. Pria itu menarik satu sudut bibirnya ke atas kala melihat gudang jerami yang berada sekitar 100 meter dari tempatnya bersembunyi. Dia kenal dengan pemilik ladang itu, dan dia tahu apa saja yang ada di dalam gudang tersebut.
Berlari menyibak tanaman jagung yang m
"Zen Aberdein. Kau tidak akan bisa lolos lagi."Suara pria asing yang tak pernah dia dengar menyapa gendang telinga Zen."Oh, not again," keluh Zen malas.Baru saja Zen membersihkan luka-luka yang ada di tubuhnya, kini dia harus kembali menghadapi ancaman. Rasa panas dan perih di punggung tangan yang dia gunakan untuk menghajar keempat pria sebelumnya belum menghilang. Bukan masalah jika harus berkelahi lagi. Dengan tangan kosong pun Zen selalu siap membantai orang-orang itu. Namun, rasa malas untuk meladeni penjahat kacangan seperti mereka membuat minat Zen untuk berkelahi sedikit berkurang."Jalan!" Pria di belakang Zen berdesis sembari menambah tekanan senjatanya di kepala Zen.Tidak ingin membuat gaduh yang akan membuatnya menjadi pusat perhatian di tempat itu, Zen pun melangkah mengikuti apa yang dikatakan pria di belakangnya. Melangkah dengan sesekali di tendang di bagian kaki, membuat Zen harus betul-betul menahan diri untuk tidak menghabisi
Tiba di salah satu hotel miliknya di Corpus Christi, Zen langsung mendapat sambutan dari anak buahnya. Arthur, melangkah paling depan menyambut sang tuan yang tampak babak belur. Meski samar, namun raut khawatir itu masih bisa dilihat oleh Zen."Berhenti menatapku seperti itu, Art! Aku tidak akan mati hanya karena luka kecil seperti ini," ujar Zen.Pria itu terus melangkah. Bahkan saat melewati Arthur, dia sama sekali tidak berniat berhenti sekadar untuk membuat tangan kanannya itu merasa tenang."Berapa banyak yang Anda hadapi, Tuan?" tanya Arthur.Tak perlu diminta, tangan kanan Zen itu lantas memutar badan mengikuti langkah kaki tuannya menuju lift untuk menuju ke ruang kerja Zen di lantai teratas hotel tersebut."Tujuh." Zen berhenti di depan pintu lift, menunggu pegawai yang sigap memberi akses pada Zen untuk memasuki lift. "Dalam dua serangan," lanjut Zen seraya melangkah masuk ke dalam lift begitu pintu berwarna silver itu terbuka.Membalik
Melaju membelah jalanan, kecepatan mobil yang ditumpangi Zen melebihi rata-rata. Tidak peduli pada batas kecepatan yang harus dia patuhi, pria itu terus melaju menuju Brownsville. Jarak sepanjang 164 mil dari Corpus Christi ke Brownsville yang normalnya bisa dijangkau dengan waktu sekitar 2,5 jam, di tangan Zen ... 164 mil itu bisa dijangkau dalam waktu hampir separuhnya. Perasaan tidak tenang adalah pemicu kenapa Zen ingin segera tiba di mansion."Di mana Clint?" Zen bertanya pada penjaga pertama yang dia temui setelah menginjakkan kaki di mansion."Dokter Clint ada di laboratorium, Tuan." Bukan hanya penjaga itu, seluruh penjaga yang ada di mansion telah menerima pesan dari Clint. Agar ketika Zen menanyakan keberadaannya, mereka dapat menjawab dengan benar dan tidak akan mendapat masalah."Apa terjadi sesuatu selama aku tidak ada?" Zen bertanya sambil terus melangkah.Dia berharap tidak akan mendengar berita yang tidak mengenakkan selama dirinya meningg
Perlu beberapa menit untuk sampai di tempat yang dia tuju. Zen memang memberikan perintah agar kamar Ryn tidak pernah dikunci. Dia ingin sewaktu-waktu bisa masuk ke dalam kamar itu. Mengingat seberapa sakit jiwanya Ryn, Zen tidak ingin membuang waktu hanya untuk membobol pintu kamar yang dikunci.Melangkah masuk ke dalam kamar yang lampunya telah dipadamkan, Zen menyisir kamar tersebut. Hanya mengandalkan cahaya temaram dari jendela yang tirainya dibiarkan terbuka, Zen meneliti setiap sudut kamar untuk mencari sesuatu yang sekiranya mencurigakan."Apa yang kau lakukan di kamarku, Zen?" Tiba-tiba terdengar sebuah suara serak khas orang yang baru saja terbangun dari tidur.Tidak terkejut, Zen memutar kepala. Dia menengok ke arah ranjang di mana Ryn—adiknya—tengah duduk bersandar pada headboard dengan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Gadis itu menatap tidak tertarik pada satu-satunya keluarga yang masih dia miliki itu."Kau belum tidur?" Zen meletakk
Berbagai macam umpatan dan makian terlontar begitu saja dari mulut Zen. Tidak sabar menggunakan jalur darat menuju salah satu kota di Meksiko yang bisa memakan waktu empat hingga lima jam, Zen memilih pergi menggunakan helikopter."Katakan pada Winston untuk menyiapkan penerbangan ke Monterrey sekarang juga," perintah Zen pada salah satu anak buahnya.Tidak banyak yang perlu pria itu siapkan selain Desert Eagle yang terselip di balik punggungnya. Senjata api adalah salah satu benda yang wajib dia bawa untuk menemani perjalanan ke mana pun dia pergi. Dengan langkah tergesa dia berjalan menuju helipad yang ada di sisi kanan bangunan. Sebuah landasan yang telah dia bangun lima tahun silam."Kurang ajar! Berani sekali dia bermain-main denganku," geram Zen seraya terus melangkahkan kakinya.Satu nama yang pria itu curigai, yaitu Bram. Cukup bernyali juga. Atau mungkin karena Bram memiliki back up The Demon yang akan selalu memberi dukungan setelah Zen menghanc
Meninggalkan Monterrey, Zen tak langsung kembali ke mansion. Ada satu transaksi lagi yang harus dia jalankan. Menggunakan helikopter pribadinya, Zen menuju gudang senjata untuk memeriksa paket yang akan dia jual pada klan mafia dari Madrid. Transaksi itu akan mereka lakukan esok hari.Kali ini titik operasi yang akan menjadi tempat pertemuan mereka adalah di dermaga. Menggunakan kontainer pengangkut kerajinan dari tanah liat yang akan diekspor ke negara lain, Zen dan anak buahnya menyelipkan beberapa peti senjata baik itu laras panjang maupun laras pendek sesuai pesanan.Bertransaksi di dermaga risikonya terlalu besar. Mereka harus melewati pemeriksaan oleh petugas pelabuhan. Hal yang paling dibenci oleh Zen. Namun dia terpaksa melakukannya karena Forbidden Forest sedang dalam masa pengawasan oleh Dinas Kehutanan serta kepolisian setelah insiden yang terjadi di sana beberapa minggu lalu. Beberapa pemburu yang menemukan banyak mayat bergelimpangan di hutan itu melapor p
Sedikit demi sedikit kesehatan Lea mulai pulih. Clint dan timnya telah menyempurnakan penawar racun Manchineel. Dua hari yang lalu, Clint telah memberikan penawar itu kepada Lea. Zen sendiri yang memantau pemberian penawar itu."Kau yakin ramuan itu bisa menyembuhkannya?" Zen berdiri di dekat ranjang dengan tangan terlipat di depan dada. Kedua alisnya berkerut, nyaris bersatu di bagian pangkalnya saat melihat jarum yang disuntikkan pada lengan Lea. Obat penawar itu disuntikkan di sana agar langsung menyebar ke pembuluh darah Lea."Itulah gunanya pengujian berulang-ulang, Zen." Menoleh sekilas, Clint memberi tatapan jengah."Apa itu akan menyakitinya?" tanya Zen lagi.Clint menarik satu sudut bibirnya ke atas sambil melirik pada Zen. Ibu jarinya menekan plunger hingga mendorong cairan berwarna kekuningan di dalam spuit itu masuk ke pembuluh darah Lea lalu mencabut jarum dan menekan bekas suntikan itu dengan kapas yang sudah dibasahi dengan antiseptik. Selesai
Kebutaan yang dialami Lea sama sekali tidak menghalangi wanita itu untuk bersenang-senang. Insting Lea berperan penting dalam permainan mereka. Dia benar-benar tidak membutuhkan penglihatan untuk melakukan pekerjaan yang satu ini. Kalaupun penglihatannya normal, dia akan lebih suka menutup mata karena dia lebih bisa merasakan apa yang dia lakukan.Bermula dari kecupan-kecupan kecil hingga ciuman ringan, Lea ingin bermain dengan tempo lambat. Dia tidak ingin terburu-buru."Let's play slowly," bisik Lea di sela ciuman ringan yang dia lakukan."As you wish, Sweet Cake," balas Zen.Bibir pria itu menyeringai lantas kembali melumat bibir si wanita. Tak ingin hanya berdiri dan saling memagut, Zen mengarahkan tangannya ke bawah tubuh Lea lantas mengangkatnya seolah tanpa beban. Tanpa melepas pagutan, Zen menggendong, membawa Lea menuju sofa alih-alih membawanya ke ranjang.Zen mendaratkan wanitanya dengan perlahan sambil terus mempertahankan bibir mereka
Sebuah mobil jeep melaju dengan guncangan yang terasa lumayan keras di jalan yang bagian kanan dan kirinya ditumbuhi rumput liar. Sruktur tanah yang tidak rata menjadi penyebabnya. Sehingga, jalanan yang sebenarnya landai itu menimbulkan efek guncangan yang amat terasa. “Aku heran, kenapa Zen tidak membangun tempat ini dengan lebih baik,” ujar Clint yang tak melepaskan tangan dari pegangan agar tidak terlempar keluar dari jeep saat terjadi guncangan. “Aku rasa … ini adalah ide Nyonya Lea, Dokter,” sahut Arthur sembari mengatur kecepatan agar mobil yang dia kemudikan tetap dapat melaju dengan stabil meski harus berkali-kali merasakan sensasi seperti akan terbalik. “Ah, kau benar!” Clint berpaling ke arah Arthur. “Wanita itu adalah kryptonite bagi Zen.” Pria itu lantas menggeleng lalu mengalihkan pandangan pada tanaman anggur yang sedang berbuah di sepanjang kanan dan kiri jalan. “Dari seorang bajingan yang kejam, sekarang menjadi petani anggur.
Keinginan Lea memang terdengar seperti perintah bagi Zen. Dan ya, Lea menginginkan mereka untuk memiliki keturunan. Setelah berhasil mengungkap apa yang dia inginkan di hadapan sang suami, wanita itu semakin memperjelasnya dengan mengatakan bahwa setidaknya dia ingin memiliki dua anak, laki-laki dan perempuan.“Itu terdengar menyenangkan, Zen. Kelak kau bisa mengajari anak laki-laki kita berbisnis, untuk meneruskan tampuh kepemimpinan The Great Palace—no no no! Aku tidak akan mengizinkamu mengajarinya bisnis gelap. Cukup kau saja yang tersesat di sana. Aku tidak ingin anak-anakku ikut tersesat bersamamu.” Lea segera membenetengi ucapannya sebelum Zen menyela.Kemudian dia melanjutkan lagi apa yang dia ucapkan, karena memang belum selesai.“Lalu aku bisa mengajari anak perempuan kita untuk memasak, bermain musik, menanam bunga, dan menyulam. Kita bisa tinggal di rumah sederhana yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk masalah, t
Melihat kedekatan Zen dan Zac membuat sudut hati Lea berdenyut. Ada rasa cemburu serta sedikit rasa terabaikan dengan pemandangan yang tersuguh itu.Semenjak kembali ke mansion beberapa waktu lalu, Zen bahkan belum menyentuh sesuatu yang lain selain Zac. Entah karena Zac yang merasakan kerinduan membuncah hingga tak ingin melepaskan Zen sedikit pun. Atau memang Zen yang merasa berat meninggalkan anak itu. Yang jelas, keduanya seperti tidak dapat terpisahkan.Lea memutar mata jengah sembari bernapas panjang dan dalam. Terdengar begitu berat. Sampai akhirnya wanita itu memutar badan, meninggalkan Zen dan Zac yang sedang bermain puzzle."Oh, yang benar saja?! Kenapa aku merasa cemburu pada Zac? Ayolah, Lea ... dia hanya anak kecil!"Dalam perjalanannya menuju kamar, Lea terus bergumam. Memarahi dirinya sendiri yang terlalu mudah cemburu oleh bocah laki-laki itu.Memasuki kamarnya, Lea berniat untuk segera membersihkan diri. Keringat berc
Selama dalam perjalanan menuju mansion, Lea sama sekali tak melepaskan tangannya dari lengan Zen. Bahkan dia nyaris tidak pernah mengangkat kepalanya dari bahu sang suami.“Aku bersumpah aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Zen. Aku tidak akan sanggup hidup tanpa dirimu,” ungkap Lea seraya mendusal di dada Zen yang sengaja membuka tangan lalu meminta Lea untuk masuk dalam rengkuhannya.“Tidak akan, Sweet Cake. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi,” balas Zen.Melihat kemesraan Zen dan Lea, Arthur hanya bisa memalingkan wajah. Merutuki pikiran untuk memiliki seorang wanita yang dia cintai dan mencintai dirinya seperti sang tuan. Namun, sejenak kemudian, pria itu lantas menggeleng samar sambil memejamkan mata. Mengusir pemikiran yang dia rasa begitu konyol dan sangat bukan dirinya.Sayangnya … hal tersebut dapat dilihat oleh Zen. Apa yang dilakukan Arthur—menggeleng samar dengan wajah berpaling ke j
“Arthur!”Zen menjatuhkan lututnya di atas tanah, tepat di samping Arthur yang tergeletak dengan tubuh lemas. Ada perasaan tak bisa dimengerti yang bercokol di dalam dada pria tersebut. Kehilangan, kesedihan, kemarahan, semua bercampur menjadi satu hingga terasa begitu sulit untuk mengidentifikasinya sendiri.Matt bahkan menyusul dan berdiri di belakang Zen dengan raut cemas yang sama. Ingin menenangkan sang tuan, namun nyalinya tak cukup besar untuk melakukan hal itu. Dia tidak sama dengan Arthur yang sudah terasa seperti saudara sendiri oleh Zen. Matt hanyalah pengawal pribadi Lea yang selalu setia melindungi nyonyanya tersebut.“Aku tidak mengizinkamu mati hari ini, Art! Bangun, Keparat!” sentak Zen dengan raut panik saat melihat anak buahnya itu tidak berdaya.Sementara itu, beberapa meter darinya, Lea yang tergugu tampak berusaha untuk bangkit. Dengan tubuh gemetar dan wajah yang berlinang air mata berwarna kehit
“Tidak!”Lea menjerit sambil mengerutkan badan. Menyembunyikan wajah di bahu karena dia tidak akan sanggup melihat orang kepercayaan suaminya itu terkena tembakan yang berasal dari senjata di tangannya.Namun, rupanya hingga beberapa saat kemudian, tidak terdengar suara letusan senjata api. Lea juga tak merasakan entakan kuat seperti saat dirinya menembakkan senjata sebelumnya.Sampai beberapa waktu kemudian, Lea merasakan genggaman tangan Jonathan di tangannya mengendur. Disusul suara kekehan dari balik kepalanya.Jonathan terkekeh, kemudian melepaskan tangannya dari Lea. Entah apa yang pria itu lakukan, namun Lea merasa seperti baru saja mendapatkan napasnya kembali.“Aku tidak akan melakukannya untukmu, My Dear,” ucap Jonathan seraya memberi jarak antara tubuhnya dengan Lea. Berjalan mundur dua langkah dengan kedua tangan yang terselip di saku celana.“Tidak! Aku tidak bisa melakukannya.”
Tarikan napas panjang yang dilakukan Jonathan membuat dagu tertutup jambangnya terangkat. Pada saat mengembuskannya kembali, Jonathan terlihat seperti seorang ayah yang lagi-lagi mendapatkan laporan atas ulah nakal yang diperbuat oleh anaknya. Dari kejauhan, Zen dapat melihat pria itu tersenyum. Tampak dari garis wajahnya yang terangkat serta matanya yang sedikit menyipit seolah tertarik ke atas. Kemeja mahal yang membungkus tubuhnya terlihat begitu elegan. Tak berselang lama kemudian, deru mesin beberapa kendaraan terdengar kian mendekat. Sampai pada akhirnya Zen dapat melihat beberapa Range Rover masuk satu persatu ke arena pacuan kuda, berjajar di sisi kanan dan kiri helikopter. Atau lebih tepatnya mengapit pria yang mereka sebut “Superior”, seolah ingin menegaskan betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh seorang Jonathan Graham dari Ordo Messier. Berbeda dengan Zen, kali ini hanya ada dua mobil yang mengawal pria itu. Salah satunya adalah
“Pesta dimulai!” gumam Zen seraya menginjak pedal gas secara perlahan, melajukan mobil yang dia kendarai menuju jalan raya.“Mereka mengikuti kita, Zen,” kata Lea seraya menoleh ke arah spion kanan di mana sebuah mobil terlihat berusaha mengejar laju mereka.Zen melirik spion dan dia juga melihat apa yang dilihat Lea, di mana sebuah mobil melaju zig zag seolah tak ingin kehilangan jejak.“Masih ada beberapa mobil lain di belakangnya,” kata Zen seraya mengarahkan pandangan pada jalanan di depan yang lumayan padat.“Kau yakin?” Lea berpaling sekilas ke arah Zen.“Kau akan mengetahuinya lagi nanti setelah kita tiba di St. Robert Avenue. Jalanan di sana sepi. Aku memprediksi mereka akan memblokade jalan kita di sana,” kata Zen.“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” Lea terlihat panik, cemas, khawatir, dan … takut.“Kau tenang saja. Aku sudah
Padang rumput yang membentang sejauh mata memandang, menampakkan beberapa bunga ilalang yang terbang terkena embusan angin. Beberapa kuda yang tampak berlari bebas saling berkejaran, seolah tak bertuan. Rumah kayu bercat putih yang terlihat begitu lengang, nyatanya menyembunyikan sepasang suami dan istri yang tengah bersiap untuk menghadapi hari besar.“Kau yakin tetap akan melakukannya?” tanya Zen kepada Lea saat wanita itu mengikat sabuk dengan sebuah revolver kecil pada pahanya.Lea menegakkan punggung seraya menurunkan bawahan gaun sutera panjang berwarna hitam yang memiliki belahan samping hingga setengah paha. Gaun model simple dengan tali spaghetti yang menggantung di bahu itu sungguh terlihat begitu elegan ketika melekat di tubuh proporsional Lea. Lipstik warna merah menyala yang memoles bibir wanita itu pun menambah kesan seksi dan berbahaya yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya merasa terintimidasi oleh Lea.Menarik na