Di dalam kamar terlihat Permana yang tengah menggenggam lembut jemari Gendis, wajah istrinya masih sangat pucat. Berkali-kali Permana mengajak istrinya itu mengobrol, kata Nyai Sumsum, Gendis istrinya jangan sampai tertidur sebelum meminum ramuannya, atau Gendis akan dibawa oleh memedi leles yang suka mengganggu ibu-ibu yang baru saja melahirkan. Lelaki bengis itu bisa bersikap begitu lembut dan penyayang kepada Gendis yang merupakan gundiknya yang miskin dan bermodalkan tubuh moleknya saja. Namun, Permana justru bersikap kejam dan juga tak manusiawi kepada perempuan yang tak memberikan kehidupan mewah dan status terhormat, siapa lagi kalau buka Sumirah. Sikap Permana tersebut benar-benar seperti langit dan bumi untuk dua wanita yang ada di dalam kehidupannya.Permana terus mengajak bicara Gendis walau sesungguhnya pikirannya penuh dengan penjelasan yang diucapkan oleh Nyai Sumsu
“Sumiraah!”Tiba-tiba Permana berteriak-teriak memanggil nama mantannya istrinya itu, seluruh penghuni pasar menoleh ke arahnya dan menatapnya penuh heran.“Sumirah! Sumirah! Sumirah!”Permana terus memanggil nama Sumirah, berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Para penduduk mulai berbisik-bisik melihat tingkah Permana.Permana mulai menerobos kerumunan massa yang mengelilinginya, mengobrak-abrik dagangan orang lain untuk mencari keberadaan Sumirah.“Sumirah! Di mana kamu! Keluar kamu, Sumirah!”Saat Permana mengamuk dan menghancurkan dagangan orang lain, tidak ada seorang pun yang berani mendeka
Tiga bulan kemudian.“Juragan! Juragan!”Paijo berteriak padahal jaraknya saat berlari masih jauh dengan sang juragan.“Apa, Jo? Kenapa kamu lari sambil teriak-teriak? Aku belum tuli!”Anu, Juragan. Anu ...!”“Anu ... anu ... anu apa, Jo? Kalau ngomong yang jelas!”“Ada Meneer Batavia, Juragan!”“Hah? Ngapain mereka datang?”Permana yang sedang merokok santai di gazebo langsung berdiri, kaget mendengar kabar yang dibawa oleh Paijo.“Anu, mereka mau mengambil upeti, Juragan, sekarang sudah musim panen, Juragan. Apa Juragan lupa?”“Sialan! Mereka enggak bisa lihat orang bahagia saja!”Permana membanting asbak yang ada di sampingnya.“Sekarang harus bagaimana, Juragan?”“Di mana para kompeni itu sekarang, Jo?”“Di rumah kepala desa, Juragan.”Permana menghisap rokoknya lalu menghembuskan ke udara dengan keras.“Biasa, Jo. Sembunyikan separuh padi yang ada di lumbung ke tempat biasa, jangan sampai ketahuan. Aku mau ke rumah kepala desa dulu untuk mengulur waktu. Ingat, Jo, separuh saja! K
Permana dan Gendis sudah berada di kediaman Meneer Jhon, malam ini mereka berdua menghadiri pesta yang digelar oleh penguasa Belanda itu. Ternyata banyak warga pribumi yang datang, tak hanya Permana dan Gendis saja yang diundang.Sebenarnya Permana enggan untuk datang ke pesta yang diadakan oleh kompeni yang merayu istrinya. Tapi karena takut mati di tiang gantungan, mau tak mau Permana akhirnya datang juga.“Mijn Vrouw, Gendis. U sudah datang, ik sangat merindukan u!”Gendis tersenyum kecut, dia ingin membalas perlakuan manis sang meneer, tapi dirinya takut dengan ancaman permana.Tadi siang, setelah sang meneer pergi dengan membawa pedati penuh dengan muatan upeti. Permana menarik tangannya kasar dan menyeretnya ke kamar.“Kamu ada hubungan apa dengan meneer sialan itu? Apa kamu pernah menjadi gundik Londo itu hah! Jawab aku Gendis!”Tak terima dengan tuduhan dari suaminya, Gendis menampar pipi Permana
Paijo yang tengah berjalan di pinggir pemakaman desa sambil bersiul santai tiba-tiba terhenti saat melihat seorang perempuan memakai selendang hitam di kepalanya tengah terduduk di depan makam Nyai Sumsum sambil menaburkan bunga. Secepat kilat Paijo langsung bersembunyi di belakang salah satu pohon dekat makam. Paijo menajamkan pandangannya, mencari tahu siapa gerangan perempuan tersebut."Su ... su ... su ... Sumirah!"Mata Paijo melotot saat melihat dengan jelas siapa perempuan tersebut. Paijo langsung mengambil langkah seribu, berlari menemui juragannya, Permana."Juragan! Juragan! Juragaaan!"Permana yang tengah bercakap dengan istrinya menoleh ke arah Paijo yang berlari sambil berteriak-teriak.
“Gendis! Gendis!”Permana berteriak mencari sosok istrinya, ke mana perginya dia.“Gendis! Gendis!”Permana terus berteriak-teriak, namun tak ada jawaban hingga akhirnya dirinya menemukan istrinya tengah berjongkok di bawah pohon trembesi yang cukup besar di belakang rumah. Perlahan Permana mendekati Gendis dari arah belakang, istrinya itu seperti tengah sibuk dengan sesuatu.“Gendis.”Permana memanggil nama istrinya, tapi tak ada jawaban, tangannya terulur memegang pundak istrinya. Perlahan Gendis berhenti dari aktivitasnya lalu memutar tubuhnya.“Aaa!”Permana terjungkal hingga terduduk di tanah karena kaget melihat pemandangan mengerikan di hadapannya. Gendis istrinya itu tengah melahap seekor ayam hitam yang masih lengkap bentuknya.Gendis melempar ayam hitam itu ke depan Permana, si ayam masih menggelepar. Mulut Gendis penuh dengan darah, bola matanya berwarna putih semua.“Berikan aku persembahan, Permana! Atau istrimu akan aku bawa!”"Ba—ik, Mbah. Jangan bawa istri saya, Mbah."
"Ada Mayat! Ada Mayat di pinggir kali!"Suara kentongan bambu terus dibunyikan. Warga desa Kalimas dihebohkan dengan ditemukannya mayat seorang perempuan yang tewas di pinggir kali. Mayat itu ditemukan oleh seseorang yang akan menjaring ikan pada malam hari. Keadaan si mayat sangat menyedihkan karena tanpa busana, tubuh penuh luka lebam, serta mata melotot seolah menahan sakit yang teramat sangat.Malam yang biasanya sepi kini menjadi sangat ramai. Para warga berkumpul untuk melihat siapa gerangan yang meninggal, termasuk Permana dan Gendis. Sepasang suami istri itu penasaran kenapa desa Kalimas geger. Suara kentongan menggema ke seluruh penjuru desa.Permana menerobos kerumunan orang yang sedang berkumpul sambil berbisik-bisik entah apa. Lelaki itu sangat penasaran dengan sosok ma
“Apa ini, Gendis? Kamu mengkhianati aku! Kamu selingkuh dengan kompeni sialan itu, hah! Kurang ajar kamu! Dasar perempuan tidak tahu diuntung!”“Tidak Kangmas, aku tidak mengkhianatimu! Aku tidak selingkuh dengan Meneer Jhon, Kang Mas. Sumpah!”“Bohong! Dasar perempuan murahan!”Gendis tersungkur karena ditampar bertubi-tubi oleh Permana. Gendis terisak sambil memegangi pipinya yang merah. Ujung bibirnya pun telah meneteskan darah.“Ini surat dari Meneer sialan itu! Masih mau mengelak! Kamu mau jadi gundiknya, hah!”Permana melempar dengan kasar selembar kertas yang sudah kusut karena diremas olehnya tepat di wajah sang istri yang telah basah dengan air mata.Gendis tidak tahu dari mana suaminya itu mendapatkan surat rahasia yang dikirim Meneer Jhon untuknya. Padahal seingatnya surat itu sudah dirinya bakar hingga menjadi abu sesaat setelah dirinya selesai membaca surat cinta tersebut.Entah kenapa semenjak dirinya terakhir kali bertemu dengan sang Meneer, hati Gendis selalu merindu.
“Bapak ….” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya itu telah kembali dengan selamat.“Bapak kenapa? Kenapa bapak menangis?” Lagi Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang telah basah oleh air mata.“Nggak apa-apa. Ayah tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Paman Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku jika dirinya begitu mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api.“Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak?” Nampaknya Seruni sama sekali tidak ingat dengan apa yang telah terjadi dengan nya barusan. Paman Ahmad yang mengerti pun langsung melepaskan pelukannya dari tubuh anak semata wayangnya itu.Paman Ahmad yang melihat anak gadisnya telah melupakan semuanya sedikit lega. Yang mana itu berarti Seruni yang ada di hadapannya saat ini adalah Seruni yang tubuhnya benar-benar berisi jiwa Seruni yang a
“Apa yang kamu lakukan, Kyai Ibrahim!” Paman Ahmad berteriak.Kyai Ibrahim kaget kenapa bisa bapak Seruni itu bisa berada di dunia yang bukan dunianya manusia.Paman Ahmad yang belum juga mendapatkan jawaban pun berlari mendekati sang Kyai dan begitu sampai Paman Ahmad langsung menarik pergi tangan Kyai agar menjauh dari hadapan sosok ular Sumirah yang sedang terbakar oleh api yang berkobar.“Ada apa ini sebenarnya, Kyai? Kenapa ada makhluk mengerikan itu di sana?” Paman Ahmad mengulang kembali pertanyaannya sambil menatap ular Sumirah.“Aku sedang berusaha mengembalikan sukma Satria ke tempat yang seharusnya, Pak Ahmad. Dan ini sangat mendesak. Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar sekarang.” Kyai Ibrahim berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas.“Satria? Bagaimana bisa?” Paman Ahmad masih belum percaya dengan ucapan sang Kyai.“Lihatlah disana.” Kyai Ibrahim menunjuk ke arah mana Satria masih duduk bengong tak bergerak sama sekali.“Itu Satria, Kyai?!” Paman Ahmad kaget kena
"Kenapa kamu kesini! Kamu tidak aku undang!" Wanita yang memeluk Satria langsung memasang wajah marah."Kembalikan apa yang seharusnya kamu kembalikan. Dia dan kamu bukan lah makhluk yang sama. Seberapapun kerasnya kamu berusaha takdir kalian tidak akan pernah bersama." Kyai Ibrahim dengan tegas meminta wanita cantik itu melepaskan Satria yang ada di cengkramannya."Tidak! Kangmas Satria akan ikut bersamaku dalam keabadian. Di dalam tubuhnya mengalir darah kekasihku! Selamanya dia akan menjadi milikku. Pergi lah kau wahai tua bangka! Aku benci auramu itu!" Lagi suara perempuan yang memeluk Satria menggelegar."Dia bukan milikmu, Sumirah! Jangan paksa aku untuk bertarung denganmu!" Kyai Ibrahim menyodorkan tasbih yang dirinya genggam ke arah Sumirah."Kau menantangku! Dasar tua bangka! Tak sadarkah kamu bahwa kamu sebentar lagi akan masuk ke liang lahat?! Jangan urusi urusanku dan pergilah, urusi saja umurmu yang tak lama lagi itu!" Sumira menatap dengan tatapan yang begitu tajam.“Kam
Bu Hafsah yang kebingungan melihat keadaan anaknya yang duduk bersandar di tembok dalam keadaan pingsan pun nekat pergi ke rumah Kyai Ibrahim menggunakan sepeda yang ada di rumahnya. Bu Hafsah melepaskan mukena nya dengan tergesa dan memakai kerudungnya. "Tunggu ibu, sebentar." Bu Hafsah menatap anaknya sebentar baru kemudian pergi keluar dari rumahnya. Di perjalanan menuju ke rumah Kyai Ibrahim Bu Hafsah tidak mempedulikan dirinya sendiri yang seolah dirinya tengah di tatap oleh ratusan pasang mata. Di pikiran Bu Hafsah saat ini adalah bagaimana caranya agar dirinya bisa segera sampai di rumah Kyai Ibrahim dan meminta tolong kepada beliau. Di pertengahan jalan, Bu Hafsah dihadang oleh seekor ular hijau yang ujung ekor dan kepalanya berwarna merah terang sebesar pohon bambu. "Astagfirullah!" Bu Hafsah menghentikan sepeda yang dirinya kendarai secara mendadak. Ular yang menghadang Bu Hafsah melotot tajam sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang dan terus berdesis. Kepala ular ter
Bu Hafsah duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Ibu paruh baya tersebut merasa jika dirinya sudah keterlaluan karena membiarkan anak lelakinya itu begitu saja di depan rumah, padahal Bu Hafsah sangat yakin jika anak semata wayangnya itu pasti belum makan karena satria hilang sejak subuh tadi. Tadi pagi, setelah sholat subuh, Bu Hafsah ingin membangunkan anak lelakinya yang sering kesiangan itu, Namun, alangkah kagetnya jika ternyata anak lelakinya tidak ada di kamarnya. Tentu saja Bu Hafsah kebingungan dan mencari anaknya. Ternyata anaknya itu benar-benar pergi dari rumah. Bu Hafsah pun resah. Namun, ketika sudah tenang, wanita tersebut berpikir jika anak lelakinya itu mungkin saja ada urusan mendadak jadi tidak sempat untuk pait dengannya. Tapi siapa sangka jika ternyata Saria itu pergi ke reruntuhan pondok pesantren. Padahal Bu Hafsah sudah melarang keras agar anaknya itu tidak pergi kesana. Namun, ternyata Satria nekat pergi kesana dan tidak berpamitan. Tentu saja Bu Hafsa
"Nggih, Bu. Saya dari reruntuhan pondok pesantren peninggalan Eyang Kakung Anggara." Satria berkata sambil menundukkan kepalanya karena takut melihat sorot tajam dari mata ibunya. Lelaki itu tak bisa untuk membohongi ibunya."Kamu ...!" Bu Hafsah berkata sambil menunjuk wajah anak semata wayangnya itu menggunakan jari telunjuk yang bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap."Bu, ada apa toh ini sebenarnya. Saya ini sudah dewasa, Bu. Kenapa ibu begitu banyak menyimpan rahasia?" Satria memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya yang sedang marah."Lupakan!" Bu Hafsah menarik telunjuknya dengan kasar, lalu membalik badannya hendak meninggalkan anaknya."Ibu, tunggu!" Satria mencengkram erat pergelangan tangan ibunya sehingga Bu Hafsah terpaksa menghentikan langkahnya."Ibu, Ibu kenapa toh? Kenapa Ibu tidak mau berterus terang kepada saya, Bu?" Satria menuntut penjelasan kepada sang ibu mengapa dirinya terus diperlakukan seperti seorang anak kecil.Namun, Bu Hafsah tetap saja membi
Pagi-pagi sekali Satria berjalan perlahan menuju tempat yang pernah dia datangi di dalam mimpi. Bahkan adzan subuh baru saja berkumandang dan sinar mentari pagi pun baru sedikit terlihat warna jingganya. Lelaki muda tersebut mengendap-ngendap keluar dari rumah ibunya. Tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Kemarin setelah siuman dari pingsan Satria sempat beradu pendapat dengan sang ibu. Ibunya yaitu Bu Hafsah sangat menyesali keputusan Satria yang mengusir Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad. Terlebih Satria berkata jika dirinya tidak mempercayai kedua orang tersebut. Padahal justru mereka berdua lah yang sangat perhatian dengan apa yang terjadi pada Satria. "Kamu sudah salah paham, Satria. Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Walau memang cara pandang kedua orang itu berbeda tapi ibu yakin jika Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad sangat mengkhawatirkanmu. Mereka peduli denganmu, Satria. Bagaimana mungkin kamu bisa tidak mempercayai mereka." Bu Hafsah terlihat beg
Di saat Kyai Ibrahim, Bu Hafsah dan Paman Ahmad bertengkar. Satria yang jiwanya telah lepas justru kini tengah melangkah bersama sosok yang begitu mirip dengan eyang putrinya, Eyang Putri Fatimah. Sosok perempuan cantik dengan gamis melayu dan rok senda, tak lupa juga selendang menutupi kepalanya yang membuat sosok tersebut terlihat anggun walaupun berpenampilan sederhana. Sosok yang begitu berbeda dengan Sumirah yang walaupun cantik tapi terasa begitu berbahaya.Jiwa Satria dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi Satria."Tempat ini kan ...." Satria tidak melanjutkan perkataannya, tapi justru memandang sosok yang berdiri di sampingnya.Sosok yang bersama Satria itu jarinya menunjuk ke sebuah arah di antara puing-puing bangunan sisa peninggalan dari suaminya. Sosok Fatimah muda tersenyum menatap Satria. Sosok tersebut hanya tersenyum, tapi tak berkata-kata."Aku harus ke sana?" Satria menunjuk dirinya sendiri.Sosok Fatimah mengangguk."Tapi disana tidak ada apapun, Eyang?"
"Pak Ahmad! Pak! Bapak tidak apa-apa?" Kyai Ibrahim menepuk pelan pundak Paman Ahmad yang sedari tadi membisu. Paman Ahmad menepis kasar tangan sang kyai yang menempel di pundaknya. Paman Ahmad kembali membuang muka sambil tangannya bersedekap. "Mari kita lupakan dulu permasalahan antara Saeruni dan Nur, Pak Ahmad. Terpenting untuk saat ini kita harus menyelamatkan Satria. Karena akar dari permasalahan ini ada pada Satria." Paman Ahmad mengendurkan raut wajahnya yang kaku. Terdengar hembusan nafas pelan. "Lalu, apa saranmu, Kyai?" Paman Ahmad berbicara dengan nada yang lebih lembut walaupun masih terkesan ketus. "Satria itu masih muda. Dia adalah lelaki yang berada di usia yang mana nafsunya sebagai seorang lelaki sedang berada di puncaknya. Satria sangat lemah jika berhadapan dengan kecantikan wanita. Jujur saja ini sangat berat mengingat yang mengikat jiwanya adalah perempuan yang jelita." Kata-kata dari Kyai Ibrahim seketika membuat bu Hafsah lemas karena kehilangan harapan un