"Ada Mayat! Ada Mayat di pinggir kali!"Suara kentongan bambu terus dibunyikan. Warga desa Kalimas dihebohkan dengan ditemukannya mayat seorang perempuan yang tewas di pinggir kali. Mayat itu ditemukan oleh seseorang yang akan menjaring ikan pada malam hari. Keadaan si mayat sangat menyedihkan karena tanpa busana, tubuh penuh luka lebam, serta mata melotot seolah menahan sakit yang teramat sangat.Malam yang biasanya sepi kini menjadi sangat ramai. Para warga berkumpul untuk melihat siapa gerangan yang meninggal, termasuk Permana dan Gendis. Sepasang suami istri itu penasaran kenapa desa Kalimas geger. Suara kentongan menggema ke seluruh penjuru desa.Permana menerobos kerumunan orang yang sedang berkumpul sambil berbisik-bisik entah apa. Lelaki itu sangat penasaran dengan sosok ma
“Apa ini, Gendis? Kamu mengkhianati aku! Kamu selingkuh dengan kompeni sialan itu, hah! Kurang ajar kamu! Dasar perempuan tidak tahu diuntung!”“Tidak Kangmas, aku tidak mengkhianatimu! Aku tidak selingkuh dengan Meneer Jhon, Kang Mas. Sumpah!”“Bohong! Dasar perempuan murahan!”Gendis tersungkur karena ditampar bertubi-tubi oleh Permana. Gendis terisak sambil memegangi pipinya yang merah. Ujung bibirnya pun telah meneteskan darah.“Ini surat dari Meneer sialan itu! Masih mau mengelak! Kamu mau jadi gundiknya, hah!”Permana melempar dengan kasar selembar kertas yang sudah kusut karena diremas olehnya tepat di wajah sang istri yang telah basah dengan air mata.Gendis tidak tahu dari mana suaminya itu mendapatkan surat rahasia yang dikirim Meneer Jhon untuknya. Padahal seingatnya surat itu sudah dirinya bakar hingga menjadi abu sesaat setelah dirinya selesai membaca surat cinta tersebut.Entah kenapa semenjak dirinya terakhir kali bertemu dengan sang Meneer, hati Gendis selalu merindu.
Seorang perempuan dengan selendang hitam di wajahnya berdiri di mulut gua. Ki Lawu yang emosi melompati tubuh Permana yang pingsan.Dalam sekali lompatan Ki Lawu berada tepat di hadapan perempuan itu dan berusaha melepas selendangnya.Dengan sigap si perempuan menangkis serangan Ki Lawu, lalu berlari ke pinggir pantai. Ki Lawu mengejarnya.Suara langkah kaki yang saling mengejar terdengar menapaki bibir pantai yang terendam air laut.Si perempuan berbalik, menatap Ki Lawu yang sedari tadi mengejarnya lalu perlahan membuka selendang hitam di wajahnya.“Mutik!”Nyai Mutik tersenyum, sementara itu Ki Lawu meludah.“Cih, nenek peot! Aku tak butuh sukmamu! Mana Sumirah!”“Jangan ganggu dia, Lawu!”“Kau yang jangan ganggu aku, Wanita tua!”“Sudah waktunya kau kembali kepada Gusti Kanjeng Ratu Lintang Pethak, Lawu! Waktumu sudah habis! Jangan melawan, ik
Mbah Parman kembali menatap Ki Lawu yang meringis kesakitan. Dalam sekali gerakan, tusuk konde emas yang dipegang oleh Ki Lawu terlepas.Tusuk konde emas yang terjatuh memancarkan cahaya keemasan yang membuat mata Mbah Parman tertutup karena menahan silaunya. Ki Lawu yang menemukan celah langsung memukul mundur Mbah Parman dengan cara meludahi wajahnya.Cuiiiih!Seketika terlihat api yang membakar wajah Mbah Parman. Mantan suami Nyai Mutik itu mengangkat kedua tangannya sambil berdoa.“Bismillahirrohmanirrohim..!”Beliau kemudian membasuh mukanya menggunakan air laut, seketika api di wajahnya menghilang dan tak ada bekas luka sedikitpun di wajah Mbah Parman.“Cih! Sialan! Siapa kau sebenarnya, Kakek Tua. Jangan ikut campur, ini urusanku dengan Mutik!”Mbah Parman diam saja dan masih menatap Ki Lawu dengan tatapan tenang .“Kurang ajar kau! Mati saja kau, Kakek Tua!”Ki La
“Uwong gemblung!” (Orang gila!)“Uwong gemblung!” (Orang gila!)“Uwong gemblung!” (Orang gila!)Sekelompok anak kecil menimpuki seorang pria kumuh menggunakan batu kerikil. Pria dengan pakaian compang camping. Rambut gimbalnya tercium bau tak sedap karena jarang mandi. Giginya terus menggigit ujung kuku jarinya yang hitam.Pria gila itu terus berjalan ke mana pun dirinya mau tanpa alas kaki. Semua orang yang baru bertemu dengan orang gila ini tidak akan pernah menyangka jika dia dulunya adalah orang terkaya di kampung Kalimas.Tak ada lagi pakaian mewah, yang ada hanya lah pakaian compang-camping yang satu-satunya dia miliki.Aroma busuk menguar dari tubuhnya yang tak pernah mandi, ditambah lagi dengan kulit yang penuh koreng dan borok. Tak ada yang sudi untuk mendekatinya.Dia adalah Permana. Lelaki sombong dan angkuh yang pernah menyia-nyiakan istrinya yang jelita, yaitu Sumirah.Permana terus berjalan sambil menggigit kuku-kukunya yang hitam, kepala sambil miring kanan-miring kiri
Terdengar suara besi yang dipukul dan digoyangkan berkali-kali."Woi! Keluarkan aku dari sini! Cepat!" Ternyata Permana lah yang memukul besi kurungan menggunakan tangannya secara membabi buta."Brengsek! Cepat keluarkan aku dari sini! Kalian tidak tahu siapa aku, hah! Aku Permana! Juragan paling kaya di Kalimas!" Permana terus berteriak, dirinya terkurung dalam penjara besi yang sempit.Permana terus berteriak sambil memukul tiang-tiang besi penjaranya. Sudah berapa lama dirinya di sini, Permana pun tidak tahu. Satu-satunya yang dia ingat adalah dirinya tertidur seperti biasa di kamar rumahnya. Namun, saat terbangun dirinya sudah berada di dalam kurungan besi ini. Seperti kurungan ayam aduan dengan ukuran yang muat untuk manusia.Permana masih kebingungan sambil terus memindai situasi. Dirinya seperti berada di dalam sebuah gua remang-remang yang pencahayaannya hanya berasal dari banyaknya obor yan
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar ...!Asyhadu allaa ilaaha illallaah .Terlihat seorang pria muda dengan jubah putihnya berjalan perlahan di Desa Kalimas, dirinya terlihat kebingungan."Permisi Mas, masjid di sebelah mana ya? Saya dengar suara adzan, tetapi saya cari hingga berkeliling berkali-kali tidak ada masjid di sekitar sini!" Lelaki berpakaian jubah itu menghentikan langkah seseorang demi bisa membantunya yang sedang kebingungan."Lurus saja, Mas. Masjidnya sudah dekat kok. Mas, siapa ya? Saya baru lihat?" Lelaki yang diberhentikan oleh lelaki berjubah menatap lelaki di hadapannya penuh curiga."Saya bernama Anggara, Mas. Saya dari pulau seberang dan baru kali ini datang ke desa ini." Lelaki yang ternyata bernama Anggara itu memperkenalkan dirinya dengan penuh sopan."Ooh, kalau begitu saya permisi, Mas. Masjid yang sedang Mas cari ada di sebelah sana." Pria muda seumuran de
"Perkenalkan, nama saya, Purnomo. Orang-orang memanggil saya, Pak Pur. Sebenarnya Anda itu siapa, Mas? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Pria yang membawa Anggara pun mulai mengajukan pertanyaan. Dahi Anggara berkerut. Tempat itu? Apa maksudnya? Bukankah itu masjid, rumah Allah, dan siapapun boleh beribadah di dalamnya. "Maafkan saya Pak Pur, saya Anggara. Saya berasal dari Pulau Seberang." "Oh, kau bukan asli sini toh, pantas saja." "Memang ada apa, Pak?” Anggara semakin bingung serta penasaran. Belum sempat Pak Purnomo menjawab, seorang gadis muda berjalan mendekati Anggara dan Pak Purnomo yang sedang berdialog di rumah. Gadis itu adalah Lastri, anak bungsu Pak Purnomo. Lastri berjalan sambil membawa nampan berisikan dua gelas teh hangat dan sepiring singkong rebus. Mata Lastri terus menatap takjub karena terpesona oleh ketampanan dan kharisma Anggara. Sementara itu yang ditatap diam tak membalasnya sama sekal
"Tenang, Pak Ahmad." Kyai Ibrahim, yang juga melihat apa yang dilihat oleh Pak Ahmad, berusaha menenangkan tamunya itu, padahal dirinya sendiri tidak dalam keadaan baik-baik saja."A'udzu billahi minasy-syaithanir rajim."Kyai Ibrahim segera melafalkan doa, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Seketika, sosok gelap di sudut rumah itu menjerit keras, suaranya melengking menusuk telinga.Pak Ahmad dan yang lainnya refleks menutup telinga mereka, kecuali Kyai Ibrahim yang terus melanjutkan doanya tanpa gentar. Suara jeritan semakin menggema, hingga tiba-tiba...Ckkkrrsshhh...Bau gosong menyengat memenuhi ruangan, bersamaan dengan lenyapnya sosok hitam itu.Bu Nyai Ambar masih terisak di sudut ruangan, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mencengkeram gamis yang dipakainya, mencoba menenangkan diri setelah menyaksikan kejadian yang begitu mengerikan.Seruni terduduk di lantai dengan tatapan kosong. Napasnya memburu, tangannya yang terluka masih meneteskan darah akibat goresan keris Wulu Ire
"Aku masih tidak setuju sebenarnya, Pak," Bu Nyai Ambar berkata pelan setelah memastikan bahwa Pak Ahmad sudah pergi."Yang ikhlas ya, Bu. Ini juga demi Nur. Pokoknya, Bapak punya rencana, Ibu bantu doakan," Kyai Ibrahim tersenyum sambil mengusap pelan lengan istrinya."Baik, Pak. Saya percaya sama Bapak." Bu Nyai Ambar lagi-lagi hanya bisa pasrah dan berdoa agar keputusan suaminya membawa kebaikan bagi semuanya.Sementara itu, Pak Ahmad berlari tergesa-gesa menuju rumahnya. Napasnya memburu, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia harus segera membawa Seruni ke rumah Kyai Ibrahim sebelum berangkat menemui Mbah Bejo.Setibanya di rumah, tanpa ragu, ia langsung menuju kamar Seruni. Dengan sekali dorongan kuat, pintu kamar terbuka lebar, menimbulkan suara dentuman yang cukup keras."Seruni! Bangun, Nak!" suara lantang Pak Ahmad memenuhi ruangan.Gadis itu terkejut. Matanya yang masih berat karena kantuk terbuka perlahan. Tubuhnya yang kurus tampak menggeliat, berusaha menyesuai
Begitu sampai di dalam kamar Seruni, Pak Ahmad mendapati anak gadisnya hanya sedang tidur lelap. Sinar matahari sore menembus jendela kamar, membiaskan cahaya ke wajah Seruni yang tampak damai. Namun, bagi Pak Ahmad, pemandangan itu justru membuatnya semakin waspada. Ia berdiri di ambang pintu, menahan napas, memastikan apakah ada hal yang tidak biasa. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya, membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Seruni. Lututnya mendadak lemas, membuatnya terduduk di lantai. Ia bersandar pada pintu kamar sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat dingin. "Apa benar dia baik-baik saja? Apa Sumirah sudah menyentuhnya?" gumamnya dalam hati. Di luar, suara burung yang kembali ke sarangnya bersahut-sahutan, mengingatkan bahwa sebentar lagi Magrib tiba. Namun, Pak Ahmad tidak bisa tenang. Ia masih merasakan hawa yang tidak biasa, seolah-olah Sumirah masih mengintainya. "Ini nggak bisa begini. Aku harus segera bertemu dengan Kyai Ibrahim s
Pak Ahmad masih berdiri terpaku di tempatnya, nafasnya memburu. Cairan hitam yang mengepulkan asap di lantai mengeluarkan bau anyir yang semakin menusuk hidung.Seruni, yang masih tak bergeming di posisinya, mengambil gelas kopi yang lain. Dengan tenang, ia mengangkatnya ke bibir dan menyeruput isinya."Sayang sekali, Bapak tidak meminumnya," ucapnya pelan. Suara lembutnya terdengar janggal di tengah keheningan malam.Pak Ahmad menelan ludah. Ada sesuatu yang mengerikan dalam caranya berbicara—terdengar seperti Seruni, tapi ada yang berbeda.Seruni menatap Pak Ahmad dengan sorot mata yang kini berubah aneh. Pupilnya tak lagi bulat seperti manusia, melainkan menyerupai mata seekor ular—tajam, sempit, dan bersinar redup dalam kegelapan.Pak Ahmad mundur selangkah. Dadanya berdebar kencang."Kamu... kamu bukan Seruni..." suaranya nyaris tak terdengar.Seruni hanya tersenyum. Senyum yang dingin, tak berperasaan."Kenapa, Pak? Takut?"Pak Ahmad semakin panik. Keringat dingin mengalir di pe
Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek
"Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di
“Kiai sudah di sini dari tadi?” Seseorang menepuk pelan pundak Kiai Ibrahim dengan lembut.Kiai Ibrahim menoleh dan tersenyum saat tahu yang menepuknya adalah manusia, bukan jin. “Sudah dari tadi, sekalian nunggu adzan, Fauzi.”Rupanya, yang menepuk pundak sang Kiai adalah Fauzi, marbot masjid sekaligus muadzin yang biasanya mengumandangkan adzan di Masjid Tiban.“Maaf, Kiai. Tadi saya pulang dulu, lapar, lalu mandi,” ujar Fauzi sambil cengar-cengir, tampak malu karena Kiai Ibrahim sudah lebih dulu datang ke masjid.“Tidak apa-apa, Fauzi. Ini sudah masuk waktu sholat. Kamu adzan dulu,” jawab Kiai Ibrahim sambil tersenyum ke arah Fauzi.“Nggih, Kiai.” Fauzi pun bergegas menuju tempat adzan untuk mengumandangkannya, menandakan waktu sholat Ashar telah tiba.Lantunan suara Fauzi yang merdu memenuhi ruang masjid, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Kiai Ibrahim menutup mata sejenak, meresapi setiap lafaz adzan yang terasa sejuk di hati. Meski suasana masjid masih sepi, ada ket
Kiai Ibrahim pulang bersama kedua muridnya setelah urusannya dengan Pak Ahmad selesai. Langkah mereka pelan menyusuri jalan yang sunyi, hanya suara serangga malam yang sesekali terdengar.“Kalian berdua jangan sebarkan apa pun tentang apa yang kalian lihat di rumah Seruni. Jika kalian bertamu ke rumah orang lain, maka ketika kalian pulang, mata kalian harus buta, mulut harus bisu, dan telinga harus tuli. Paham, kan?” ujar Kiai Ibrahim dengan nada tegas, pandangannya tajam mengarah pada kedua muridnya.“Baik, Kiai,” jawab kedua murid itu serempak, mengangguk tanpa berani membantah.Perjalanan mereka dilanjutkan dalam keheningan. Kiai Ibrahim berjalan paling depan, sementara kedua muridnya mengikutinya dengan langkah penuh kehati-hatian. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, terutama Kiai Ibrahim.Hati kiai sepuh itu dipenuhi berbagai tanda tanya. Ia tidak menyangka keadaan Seruni sedemikian mengkhawatirkan. Apakah Pak Ahmad benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya?
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia