Terdengar suara besi yang dipukul dan digoyangkan berkali-kali.
"Woi! Keluarkan aku dari sini! Cepat!" Ternyata Permana lah yang memukul besi kurungan menggunakan tangannya secara membabi buta.
"Brengsek! Cepat keluarkan aku dari sini! Kalian tidak tahu siapa aku, hah! Aku Permana! Juragan paling kaya di Kalimas!" Permana terus berteriak, dirinya terkurung dalam penjara besi yang sempit.
Permana terus berteriak sambil memukul tiang-tiang besi penjaranya. Sudah berapa lama dirinya di sini, Permana pun tidak tahu. Satu-satunya yang dia ingat adalah dirinya tertidur seperti biasa di kamar rumahnya. Namun, saat terbangun dirinya sudah berada di dalam kurungan besi ini. Seperti kurungan ayam aduan dengan ukuran yang muat untuk manusia.
Permana masih kebingungan sambil terus memindai situasi. Dirinya seperti berada di dalam sebuah gua remang-remang yang pencahayaannya hanya berasal dari banyaknya obor yan
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar ...!Asyhadu allaa ilaaha illallaah .Terlihat seorang pria muda dengan jubah putihnya berjalan perlahan di Desa Kalimas, dirinya terlihat kebingungan."Permisi Mas, masjid di sebelah mana ya? Saya dengar suara adzan, tetapi saya cari hingga berkeliling berkali-kali tidak ada masjid di sekitar sini!" Lelaki berpakaian jubah itu menghentikan langkah seseorang demi bisa membantunya yang sedang kebingungan."Lurus saja, Mas. Masjidnya sudah dekat kok. Mas, siapa ya? Saya baru lihat?" Lelaki yang diberhentikan oleh lelaki berjubah menatap lelaki di hadapannya penuh curiga."Saya bernama Anggara, Mas. Saya dari pulau seberang dan baru kali ini datang ke desa ini." Lelaki yang ternyata bernama Anggara itu memperkenalkan dirinya dengan penuh sopan."Ooh, kalau begitu saya permisi, Mas. Masjid yang sedang Mas cari ada di sebelah sana." Pria muda seumuran de
"Perkenalkan, nama saya, Purnomo. Orang-orang memanggil saya, Pak Pur. Sebenarnya Anda itu siapa, Mas? Kenapa bisa sampai di tempat itu?" Pria yang membawa Anggara pun mulai mengajukan pertanyaan. Dahi Anggara berkerut. Tempat itu? Apa maksudnya? Bukankah itu masjid, rumah Allah, dan siapapun boleh beribadah di dalamnya. "Maafkan saya Pak Pur, saya Anggara. Saya berasal dari Pulau Seberang." "Oh, kau bukan asli sini toh, pantas saja." "Memang ada apa, Pak?” Anggara semakin bingung serta penasaran. Belum sempat Pak Purnomo menjawab, seorang gadis muda berjalan mendekati Anggara dan Pak Purnomo yang sedang berdialog di rumah. Gadis itu adalah Lastri, anak bungsu Pak Purnomo. Lastri berjalan sambil membawa nampan berisikan dua gelas teh hangat dan sepiring singkong rebus. Mata Lastri terus menatap takjub karena terpesona oleh ketampanan dan kharisma Anggara. Sementara itu yang ditatap diam tak membalasnya sama sekal
Anggara berjalan-jalan dipinggir sungai. Dirinya tengah bergelut dengan pikirannya sendiri. Perkataan Pak Purnomo tentang Masjid Tiban membuatnya bersemangat namun juga sedikit ada keraguan dalam hatinya."Masjid Tiban itu, sudah dikutuk oleh penguasa Rawa Ireng, Nak Anggara. Jika ada yang nekat mengumandangkan adzan atau bahkan sholat di masjid tersebut, maka besoknya dia akan terkena penyakit aneh. Kulitnya kudisan, bersisik, lalu menjadi gila bahkan hingga meninggal dunia. Itu sebabnya tidak ada yang berani dekat-dekat bahkan sholat di dalam masjid itu. Nak Anggara yakin, ingin membuka kembali masjid itu? Saya tidak mau ambil resiko yang bisa membahayakan warga Desa Kalimas. Lebih baik nak Anggara berpikir matang-matang terlebih dahulu. Untuk sementara tinggallah di rumah saya jika Nak Anggara berkenan."Anggara menolak halus tawaran dari Pak Purnomo. Jujur saja dirinya agak risih dengan Lastri yang selalu menatapnya. Dirinya memutuskan untuk tinggal di salah satu rumah warga yang
"Kangmas. Kangmas. Kangmas."Paijo terus berlari ke arah suara perempuan yang terus memanggilnya. Dirinya berada di hutan belantara yang penuh dengan pohon jati. Paijo sama sekali tidak tahu dimanakah sebenarnya dirinya berada, yang penting sekarang dirinya terus berlari ke arah suara perempuan yang terus memanggilnya."Kangmas.... Kangmas Paijo... Kangmas.”Kaki Paijo terus beradu dengan jalan setapak batu bata yang dia pilih. Peluh menghampiri dirinya, napasnya ngos-ngosan."Tumini! Dek! Tumini!""Tumini! Dek! Tumini!""Woy!""Tumini! Dek! Tumini!""Saya di sini, Kangmas! Kangmas Paijo, saya disini!"Paijo bingung, karena jalan setapak yang diambil seolah tak berujung. Semakin dirinya berlari cepat maka jalan setapaknya terasa semakin memanjang."Kamu mau ke mana, Kangmas Paijo?!”Langkah Paijo berhenti karena
Anggara, kini bagai si Ande-Ande Lumut. Banyak sekali perempuan yang menginginkannya. Rumor ketampanannya dengan cepat menyebar keseluruh pelosok Desa Kalimas.Anggara tidak terbuai, dirinya datang ke desa Kalimas bukan untuk mencari kekasihnya seperti si Ande-ande Lumut yang mencari Klenting Kuning. Dirinya datang ke Desa Kalimas dengan misi peninggalan dari kakek buyutnya yang sangat penting."Pertama aku harus membereskan masalah Masjid Tiban. Ada yang aneh di sana."Anggara terus berpikir sambil menyesap teh hangat di ruang tamu rumahnya.Pikirannya sedang sibuk memikirkan apa dan bagaimana yang sebaiknya dia lakukan.Izin sudah dirinya dapatkan dari Pak Purnomo selaku Kepala Desa. Juga izin dari beberapa sesepuh desa Kalimas juga sudah dirinya dapatkan walaupun harus dengan negosiasi yang sedikit alot. Para sesepuh ngotot agar adat istiadat yang ada di desa tidak boleh diubah. Anggara menyetujui asal tidak ada unsur syirik di dal
"Ingat perjanjian kita! Jangan kotori tempat ini. Bagianmu di luar masjid. Jika ingin bertarung carilah tempat yang lain, Mutik!""Cih! Baiklah, aku akan pergi, dan kau anak muda, aku akan menemuimu lagi!"Sang kakek tersenyum kepada Anggara lalu perlahan menepuk bahu lelaki muda tersebut."Anak muda memang lebih berani dalam mengambil sikap, namun cenderung tergesa-gesa. Tidak segala sesuatu itu harus diselesaikan dengan tenaga, terkadang kita harus menggunakan otak dan kepintaran kita!"Sang kakek melepaskan tangannya. Perlahan langkah kakinya bergerak mundur dengan tatapan masih di Anggara."Pulanglah Nak! Berhati-hatilah dengan perempuan cantik!""Hah...!"Anggara terbangun. Ternyata dirinya tertidur sambil duduk bersila. Entah mengapa mimpi barusan terasa sangat nyata. Lalu apa maksud dari perkataan sang kakek tadi yang menyuruhku agar berhati-hati terhadap perempuan cantik? Anggara bermonolog dengan dirinya sendiri
"Jadi begini, Nak Anggara. Saya ingin mengajukan lamaran kepada Nak Anggara agar mau mempersunting anak saya, Lastri. Apakah Nak Anggara bersedia?"Anggara mendesah pelan, ini bukanlah sesuatu hal yang patut untuk dirinya banggakan, dikejar-kejar anak gadis kepala Desa Kalimas. Menikah bukanlah prioritasnya saat ini. Lastri memang seorang gadis dengan paras yang cantik dan tubuh indah tanpa cacat idaman para lelaki. Namun sayangnya tak ada rasa sedikitpun untuk Lastri dihati Anggara. Dirinya harus fokus dengan amanah mendiang kakek buyutnya. Selain itu juga hatinya sudah terisi nama perempuan lain.Pak Purnomo yang membaca ekspresi Anggara langsung mengerti."Jangan terburu-buru. Kami tidak meminta jawaban Nak Anggara saat ini juga. Nak Anggara boleh berpikir dengan tenang terlebih dahulu.""Maafkan saya Pak Purnomo. Sebenarnya….""Apa Kangmas Anggara menolakku karena perempuan lain?"Lastri langsung memotong
Pagi-pagi Anggara sudah berdiri di depan Masjid Tiban. Dirinya mematung."Apa yang harus aku lakukan?""Tahajudlah Nak! Berpuasalah!"Tiba-tiba ada suara kakek tua yang berbisik di telinganya. Anggara tersentak. Dirinya merasa lalai. Kenapa saat hatinya gundah dirinya justru menjauh dari sang pencipta. Tidak ada kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan Allah Swt.Hujan turun deras dengan tiba-tiba. Anggara berlari menuju rumahnya. Dirinya mengurungkan niatnya untuk masuk ke Masjid Tiban hari ini. Sesampainya di depan rumah Anggara melihat perempuan yang memakai penutup wajah berdiri di depan rumahnya, seolah menunggu kedatangannya.Anggara merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi jika ia mendekati perempuan tersebut, sehingga dirinya membiarkan tubuhnya terus diguyur air hujan. Anggara berdiri di depan pagar rumahnya sementara si Perempuan dengan penutup wajah itu berdiri tepat mengha
“Bapak ….” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya itu telah kembali dengan selamat.“Bapak kenapa? Kenapa bapak menangis?” Lagi Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang telah basah oleh air mata.“Nggak apa-apa. Ayah tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Paman Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku jika dirinya begitu mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api.“Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak?” Nampaknya Seruni sama sekali tidak ingat dengan apa yang telah terjadi dengan nya barusan. Paman Ahmad yang mengerti pun langsung melepaskan pelukannya dari tubuh anak semata wayangnya itu.Paman Ahmad yang melihat anak gadisnya telah melupakan semuanya sedikit lega. Yang mana itu berarti Seruni yang ada di hadapannya saat ini adalah Seruni yang tubuhnya benar-benar berisi jiwa Seruni yang a
“Apa yang kamu lakukan, Kyai Ibrahim!” Paman Ahmad berteriak.Kyai Ibrahim kaget kenapa bisa bapak Seruni itu bisa berada di dunia yang bukan dunianya manusia.Paman Ahmad yang belum juga mendapatkan jawaban pun berlari mendekati sang Kyai dan begitu sampai Paman Ahmad langsung menarik pergi tangan Kyai agar menjauh dari hadapan sosok ular Sumirah yang sedang terbakar oleh api yang berkobar.“Ada apa ini sebenarnya, Kyai? Kenapa ada makhluk mengerikan itu di sana?” Paman Ahmad mengulang kembali pertanyaannya sambil menatap ular Sumirah.“Aku sedang berusaha mengembalikan sukma Satria ke tempat yang seharusnya, Pak Ahmad. Dan ini sangat mendesak. Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar sekarang.” Kyai Ibrahim berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas.“Satria? Bagaimana bisa?” Paman Ahmad masih belum percaya dengan ucapan sang Kyai.“Lihatlah disana.” Kyai Ibrahim menunjuk ke arah mana Satria masih duduk bengong tak bergerak sama sekali.“Itu Satria, Kyai?!” Paman Ahmad kaget kena
"Kenapa kamu kesini! Kamu tidak aku undang!" Wanita yang memeluk Satria langsung memasang wajah marah."Kembalikan apa yang seharusnya kamu kembalikan. Dia dan kamu bukan lah makhluk yang sama. Seberapapun kerasnya kamu berusaha takdir kalian tidak akan pernah bersama." Kyai Ibrahim dengan tegas meminta wanita cantik itu melepaskan Satria yang ada di cengkramannya."Tidak! Kangmas Satria akan ikut bersamaku dalam keabadian. Di dalam tubuhnya mengalir darah kekasihku! Selamanya dia akan menjadi milikku. Pergi lah kau wahai tua bangka! Aku benci auramu itu!" Lagi suara perempuan yang memeluk Satria menggelegar."Dia bukan milikmu, Sumirah! Jangan paksa aku untuk bertarung denganmu!" Kyai Ibrahim menyodorkan tasbih yang dirinya genggam ke arah Sumirah."Kau menantangku! Dasar tua bangka! Tak sadarkah kamu bahwa kamu sebentar lagi akan masuk ke liang lahat?! Jangan urusi urusanku dan pergilah, urusi saja umurmu yang tak lama lagi itu!" Sumira menatap dengan tatapan yang begitu tajam.“Kam
Bu Hafsah yang kebingungan melihat keadaan anaknya yang duduk bersandar di tembok dalam keadaan pingsan pun nekat pergi ke rumah Kyai Ibrahim menggunakan sepeda yang ada di rumahnya. Bu Hafsah melepaskan mukena nya dengan tergesa dan memakai kerudungnya. "Tunggu ibu, sebentar." Bu Hafsah menatap anaknya sebentar baru kemudian pergi keluar dari rumahnya. Di perjalanan menuju ke rumah Kyai Ibrahim Bu Hafsah tidak mempedulikan dirinya sendiri yang seolah dirinya tengah di tatap oleh ratusan pasang mata. Di pikiran Bu Hafsah saat ini adalah bagaimana caranya agar dirinya bisa segera sampai di rumah Kyai Ibrahim dan meminta tolong kepada beliau. Di pertengahan jalan, Bu Hafsah dihadang oleh seekor ular hijau yang ujung ekor dan kepalanya berwarna merah terang sebesar pohon bambu. "Astagfirullah!" Bu Hafsah menghentikan sepeda yang dirinya kendarai secara mendadak. Ular yang menghadang Bu Hafsah melotot tajam sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang dan terus berdesis. Kepala ular ter
Bu Hafsah duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Ibu paruh baya tersebut merasa jika dirinya sudah keterlaluan karena membiarkan anak lelakinya itu begitu saja di depan rumah, padahal Bu Hafsah sangat yakin jika anak semata wayangnya itu pasti belum makan karena satria hilang sejak subuh tadi. Tadi pagi, setelah sholat subuh, Bu Hafsah ingin membangunkan anak lelakinya yang sering kesiangan itu, Namun, alangkah kagetnya jika ternyata anak lelakinya tidak ada di kamarnya. Tentu saja Bu Hafsah kebingungan dan mencari anaknya. Ternyata anaknya itu benar-benar pergi dari rumah. Bu Hafsah pun resah. Namun, ketika sudah tenang, wanita tersebut berpikir jika anak lelakinya itu mungkin saja ada urusan mendadak jadi tidak sempat untuk pait dengannya. Tapi siapa sangka jika ternyata Saria itu pergi ke reruntuhan pondok pesantren. Padahal Bu Hafsah sudah melarang keras agar anaknya itu tidak pergi kesana. Namun, ternyata Satria nekat pergi kesana dan tidak berpamitan. Tentu saja Bu Hafsa
"Nggih, Bu. Saya dari reruntuhan pondok pesantren peninggalan Eyang Kakung Anggara." Satria berkata sambil menundukkan kepalanya karena takut melihat sorot tajam dari mata ibunya. Lelaki itu tak bisa untuk membohongi ibunya."Kamu ...!" Bu Hafsah berkata sambil menunjuk wajah anak semata wayangnya itu menggunakan jari telunjuk yang bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap."Bu, ada apa toh ini sebenarnya. Saya ini sudah dewasa, Bu. Kenapa ibu begitu banyak menyimpan rahasia?" Satria memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya yang sedang marah."Lupakan!" Bu Hafsah menarik telunjuknya dengan kasar, lalu membalik badannya hendak meninggalkan anaknya."Ibu, tunggu!" Satria mencengkram erat pergelangan tangan ibunya sehingga Bu Hafsah terpaksa menghentikan langkahnya."Ibu, Ibu kenapa toh? Kenapa Ibu tidak mau berterus terang kepada saya, Bu?" Satria menuntut penjelasan kepada sang ibu mengapa dirinya terus diperlakukan seperti seorang anak kecil.Namun, Bu Hafsah tetap saja membi
Pagi-pagi sekali Satria berjalan perlahan menuju tempat yang pernah dia datangi di dalam mimpi. Bahkan adzan subuh baru saja berkumandang dan sinar mentari pagi pun baru sedikit terlihat warna jingganya. Lelaki muda tersebut mengendap-ngendap keluar dari rumah ibunya. Tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Kemarin setelah siuman dari pingsan Satria sempat beradu pendapat dengan sang ibu. Ibunya yaitu Bu Hafsah sangat menyesali keputusan Satria yang mengusir Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad. Terlebih Satria berkata jika dirinya tidak mempercayai kedua orang tersebut. Padahal justru mereka berdua lah yang sangat perhatian dengan apa yang terjadi pada Satria. "Kamu sudah salah paham, Satria. Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Walau memang cara pandang kedua orang itu berbeda tapi ibu yakin jika Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad sangat mengkhawatirkanmu. Mereka peduli denganmu, Satria. Bagaimana mungkin kamu bisa tidak mempercayai mereka." Bu Hafsah terlihat beg
Di saat Kyai Ibrahim, Bu Hafsah dan Paman Ahmad bertengkar. Satria yang jiwanya telah lepas justru kini tengah melangkah bersama sosok yang begitu mirip dengan eyang putrinya, Eyang Putri Fatimah. Sosok perempuan cantik dengan gamis melayu dan rok senda, tak lupa juga selendang menutupi kepalanya yang membuat sosok tersebut terlihat anggun walaupun berpenampilan sederhana. Sosok yang begitu berbeda dengan Sumirah yang walaupun cantik tapi terasa begitu berbahaya.Jiwa Satria dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi Satria."Tempat ini kan ...." Satria tidak melanjutkan perkataannya, tapi justru memandang sosok yang berdiri di sampingnya.Sosok yang bersama Satria itu jarinya menunjuk ke sebuah arah di antara puing-puing bangunan sisa peninggalan dari suaminya. Sosok Fatimah muda tersenyum menatap Satria. Sosok tersebut hanya tersenyum, tapi tak berkata-kata."Aku harus ke sana?" Satria menunjuk dirinya sendiri.Sosok Fatimah mengangguk."Tapi disana tidak ada apapun, Eyang?"
"Pak Ahmad! Pak! Bapak tidak apa-apa?" Kyai Ibrahim menepuk pelan pundak Paman Ahmad yang sedari tadi membisu. Paman Ahmad menepis kasar tangan sang kyai yang menempel di pundaknya. Paman Ahmad kembali membuang muka sambil tangannya bersedekap. "Mari kita lupakan dulu permasalahan antara Saeruni dan Nur, Pak Ahmad. Terpenting untuk saat ini kita harus menyelamatkan Satria. Karena akar dari permasalahan ini ada pada Satria." Paman Ahmad mengendurkan raut wajahnya yang kaku. Terdengar hembusan nafas pelan. "Lalu, apa saranmu, Kyai?" Paman Ahmad berbicara dengan nada yang lebih lembut walaupun masih terkesan ketus. "Satria itu masih muda. Dia adalah lelaki yang berada di usia yang mana nafsunya sebagai seorang lelaki sedang berada di puncaknya. Satria sangat lemah jika berhadapan dengan kecantikan wanita. Jujur saja ini sangat berat mengingat yang mengikat jiwanya adalah perempuan yang jelita." Kata-kata dari Kyai Ibrahim seketika membuat bu Hafsah lemas karena kehilangan harapan un