Jelmaan ular Sumirah terus merayap, dia menabrak apapun yang ada di depannya, tidak peduli itu pohon ataupun lelembut, jika ada yang menghalanginya maka akan dia tabrak, bahkan jika perlu dia makan sekalian. Sumirah tak ingin langkahnya dihalangi, secepat mungkin dirinya harus berendam di danau, waktunya tak lama lagi, jangan sampai dirinya menyia-nyiakan kesempatan terakhir yang diberikan oleh Kanjeng Ratu Lintang Pethak kepadanya.
Banyak pohon yang tumbang karena terkena tubuh ularnya, tapi Sumirah tidak peduli, tetap merayap secepat mungkin yang dia bisa. Mengejar waktu datangnya purnama pertama.
Sesampainya Sumirah di danau, ternyata Kanjeng Ratu Lintang Pethak dan Nyai Mutik telah menunggu dirinya. Malam ini langit masih gelap tanpa sinar bulan dan bintang, tertutup awan mendung yang tebal. Angin berhembus kencang menggoyangkan ujung pepohonan di sekitar danau jelmaan rawa ireng.
“Dari mana saja kamu, Gendis? Semalam kok tidak ada di rumah?”“Aku pergi untuk menari, Kang Mas. Aku kan penari.”“Menari? Menari di mana? Terus, itu kenapa bajumu compang-camping begitu? Seperti habis diserang binatang buas!”“Anuuu ....”Permana menatap Gendis dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sanggulnya lepas, rambutnya tergerai acak-acakan, baju kebaya dan kain jariknya sudah sobek kanan kiri.Gendis pucat, bingung akan memberikan alasan seperti apa, tidak mungkin dirinya berkata jujur kalau semalam melayani Ki Lawu, sebagai syarat agar Permana suaminya sembuh.“Aku itu loh, pentas di rumahnya Juragan Sastro. Juragan kopi kampung sebelah. Kang Mas kenal kan dengan Juragan Sastro. Dia Juragan yang tidak genit kok, Kang Mas. Terus ini tadi aku terperosok di jurang saat pulang pentas menari, Kang Mas. Untung saja jurangnya tidak terlalu curam, dan ada pencari kayu bakar yang menolongku tadi.”Permana menatap Gendis, masih dengan tatapan keraguan. Kalau memang Gendis pergi menari,
Di dalam kamar terlihat Permana yang tengah menggenggam lembut jemari Gendis, wajah istrinya masih sangat pucat. Berkali-kali Permana mengajak istrinya itu mengobrol, kata Nyai Sumsum, Gendis istrinya jangan sampai tertidur sebelum meminum ramuannya, atau Gendis akan dibawa oleh memedi leles yang suka mengganggu ibu-ibu yang baru saja melahirkan. Lelaki bengis itu bisa bersikap begitu lembut dan penyayang kepada Gendis yang merupakan gundiknya yang miskin dan bermodalkan tubuh moleknya saja. Namun, Permana justru bersikap kejam dan juga tak manusiawi kepada perempuan yang tak memberikan kehidupan mewah dan status terhormat, siapa lagi kalau buka Sumirah. Sikap Permana tersebut benar-benar seperti langit dan bumi untuk dua wanita yang ada di dalam kehidupannya.Permana terus mengajak bicara Gendis walau sesungguhnya pikirannya penuh dengan penjelasan yang diucapkan oleh Nyai Sumsu
“Sumiraah!”Tiba-tiba Permana berteriak-teriak memanggil nama mantannya istrinya itu, seluruh penghuni pasar menoleh ke arahnya dan menatapnya penuh heran.“Sumirah! Sumirah! Sumirah!”Permana terus memanggil nama Sumirah, berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Para penduduk mulai berbisik-bisik melihat tingkah Permana.Permana mulai menerobos kerumunan massa yang mengelilinginya, mengobrak-abrik dagangan orang lain untuk mencari keberadaan Sumirah.“Sumirah! Di mana kamu! Keluar kamu, Sumirah!”Saat Permana mengamuk dan menghancurkan dagangan orang lain, tidak ada seorang pun yang berani mendeka
Tiga bulan kemudian.“Juragan! Juragan!”Paijo berteriak padahal jaraknya saat berlari masih jauh dengan sang juragan.“Apa, Jo? Kenapa kamu lari sambil teriak-teriak? Aku belum tuli!”Anu, Juragan. Anu ...!”“Anu ... anu ... anu apa, Jo? Kalau ngomong yang jelas!”“Ada Meneer Batavia, Juragan!”“Hah? Ngapain mereka datang?”Permana yang sedang merokok santai di gazebo langsung berdiri, kaget mendengar kabar yang dibawa oleh Paijo.“Anu, mereka mau mengambil upeti, Juragan, sekarang sudah musim panen, Juragan. Apa Juragan lupa?”“Sialan! Mereka enggak bisa lihat orang bahagia saja!”Permana membanting asbak yang ada di sampingnya.“Sekarang harus bagaimana, Juragan?”“Di mana para kompeni itu sekarang, Jo?”“Di rumah kepala desa, Juragan.”Permana menghisap rokoknya lalu menghembuskan ke udara dengan keras.“Biasa, Jo. Sembunyikan separuh padi yang ada di lumbung ke tempat biasa, jangan sampai ketahuan. Aku mau ke rumah kepala desa dulu untuk mengulur waktu. Ingat, Jo, separuh saja! K
Permana dan Gendis sudah berada di kediaman Meneer Jhon, malam ini mereka berdua menghadiri pesta yang digelar oleh penguasa Belanda itu. Ternyata banyak warga pribumi yang datang, tak hanya Permana dan Gendis saja yang diundang.Sebenarnya Permana enggan untuk datang ke pesta yang diadakan oleh kompeni yang merayu istrinya. Tapi karena takut mati di tiang gantungan, mau tak mau Permana akhirnya datang juga.“Mijn Vrouw, Gendis. U sudah datang, ik sangat merindukan u!”Gendis tersenyum kecut, dia ingin membalas perlakuan manis sang meneer, tapi dirinya takut dengan ancaman permana.Tadi siang, setelah sang meneer pergi dengan membawa pedati penuh dengan muatan upeti. Permana menarik tangannya kasar dan menyeretnya ke kamar.“Kamu ada hubungan apa dengan meneer sialan itu? Apa kamu pernah menjadi gundik Londo itu hah! Jawab aku Gendis!”Tak terima dengan tuduhan dari suaminya, Gendis menampar pipi Permana
Paijo yang tengah berjalan di pinggir pemakaman desa sambil bersiul santai tiba-tiba terhenti saat melihat seorang perempuan memakai selendang hitam di kepalanya tengah terduduk di depan makam Nyai Sumsum sambil menaburkan bunga. Secepat kilat Paijo langsung bersembunyi di belakang salah satu pohon dekat makam. Paijo menajamkan pandangannya, mencari tahu siapa gerangan perempuan tersebut."Su ... su ... su ... Sumirah!"Mata Paijo melotot saat melihat dengan jelas siapa perempuan tersebut. Paijo langsung mengambil langkah seribu, berlari menemui juragannya, Permana."Juragan! Juragan! Juragaaan!"Permana yang tengah bercakap dengan istrinya menoleh ke arah Paijo yang berlari sambil berteriak-teriak.
“Gendis! Gendis!”Permana berteriak mencari sosok istrinya, ke mana perginya dia.“Gendis! Gendis!”Permana terus berteriak-teriak, namun tak ada jawaban hingga akhirnya dirinya menemukan istrinya tengah berjongkok di bawah pohon trembesi yang cukup besar di belakang rumah. Perlahan Permana mendekati Gendis dari arah belakang, istrinya itu seperti tengah sibuk dengan sesuatu.“Gendis.”Permana memanggil nama istrinya, tapi tak ada jawaban, tangannya terulur memegang pundak istrinya. Perlahan Gendis berhenti dari aktivitasnya lalu memutar tubuhnya.“Aaa!”Permana terjungkal hingga terduduk di tanah karena kaget melihat pemandangan mengerikan di hadapannya. Gendis istrinya itu tengah melahap seekor ayam hitam yang masih lengkap bentuknya.Gendis melempar ayam hitam itu ke depan Permana, si ayam masih menggelepar. Mulut Gendis penuh dengan darah, bola matanya berwarna putih semua.“Berikan aku persembahan, Permana! Atau istrimu akan aku bawa!”"Ba—ik, Mbah. Jangan bawa istri saya, Mbah."
"Ada Mayat! Ada Mayat di pinggir kali!"Suara kentongan bambu terus dibunyikan. Warga desa Kalimas dihebohkan dengan ditemukannya mayat seorang perempuan yang tewas di pinggir kali. Mayat itu ditemukan oleh seseorang yang akan menjaring ikan pada malam hari. Keadaan si mayat sangat menyedihkan karena tanpa busana, tubuh penuh luka lebam, serta mata melotot seolah menahan sakit yang teramat sangat.Malam yang biasanya sepi kini menjadi sangat ramai. Para warga berkumpul untuk melihat siapa gerangan yang meninggal, termasuk Permana dan Gendis. Sepasang suami istri itu penasaran kenapa desa Kalimas geger. Suara kentongan menggema ke seluruh penjuru desa.Permana menerobos kerumunan orang yang sedang berkumpul sambil berbisik-bisik entah apa. Lelaki itu sangat penasaran dengan sosok ma
Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek
"Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di
“Kiai sudah di sini dari tadi?” Seseorang menepuk pelan pundak Kiai Ibrahim dengan lembut.Kiai Ibrahim menoleh dan tersenyum saat tahu yang menepuknya adalah manusia, bukan jin. “Sudah dari tadi, sekalian nunggu adzan, Fauzi.”Rupanya, yang menepuk pundak sang Kiai adalah Fauzi, marbot masjid sekaligus muadzin yang biasanya mengumandangkan adzan di Masjid Tiban.“Maaf, Kiai. Tadi saya pulang dulu, lapar, lalu mandi,” ujar Fauzi sambil cengar-cengir, tampak malu karena Kiai Ibrahim sudah lebih dulu datang ke masjid.“Tidak apa-apa, Fauzi. Ini sudah masuk waktu sholat. Kamu adzan dulu,” jawab Kiai Ibrahim sambil tersenyum ke arah Fauzi.“Nggih, Kiai.” Fauzi pun bergegas menuju tempat adzan untuk mengumandangkannya, menandakan waktu sholat Ashar telah tiba.Lantunan suara Fauzi yang merdu memenuhi ruang masjid, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Kiai Ibrahim menutup mata sejenak, meresapi setiap lafaz adzan yang terasa sejuk di hati. Meski suasana masjid masih sepi, ada ket
Kiai Ibrahim pulang bersama kedua muridnya setelah urusannya dengan Pak Ahmad selesai. Langkah mereka pelan menyusuri jalan yang sunyi, hanya suara serangga malam yang sesekali terdengar.“Kalian berdua jangan sebarkan apa pun tentang apa yang kalian lihat di rumah Seruni. Jika kalian bertamu ke rumah orang lain, maka ketika kalian pulang, mata kalian harus buta, mulut harus bisu, dan telinga harus tuli. Paham, kan?” ujar Kiai Ibrahim dengan nada tegas, pandangannya tajam mengarah pada kedua muridnya.“Baik, Kiai,” jawab kedua murid itu serempak, mengangguk tanpa berani membantah.Perjalanan mereka dilanjutkan dalam keheningan. Kiai Ibrahim berjalan paling depan, sementara kedua muridnya mengikutinya dengan langkah penuh kehati-hatian. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, terutama Kiai Ibrahim.Hati kiai sepuh itu dipenuhi berbagai tanda tanya. Ia tidak menyangka keadaan Seruni sedemikian mengkhawatirkan. Apakah Pak Ahmad benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya?
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia
Seruni menggeliat kesakitan di lantai, tubuhnya yang tadi tegang seperti ular kini mulai melonggar. Wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh penderitaan. Kedua matanya yang tadi berkilau tajam dengan warna kuning keemasan perlahan mulai memudar, kembali menjadi seperti mata manusia biasa, meskipun pupilnya masih terlihat aneh.Kiai Ibrahim segera berjongkok mendekat, tangannya gemetar namun penuh niat untuk membantu. "Seruni, Nak, bertahanlah! Kamu harus melawan apa pun yang menguasaimu ini!" katanya dengan suara lembut namun tegas.Dua pemuda yang tadi mendampingi Kiai Ibrahim saling berpandangan, bingung dan ketakutan. Namun, mereka tetap mendekat dengan hati-hati, mengikuti aba-aba Kiai Ibrahim.“A-apa yang harus kita lakukan, Kyai?” salah satu dari mereka bertanya dengan nada gemetar.Kiai Ibrahim tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Seruni yang kini terengah-engah di lantai. Tubuh gadis itu tampak gemetar hebat, seolah sedang berperang melawan sesuatu yang tak terli
Seruni terlihat sibuk mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil sesekali menengok ke jendela, berharap bapaknya segera pulang.Sudah tiga hari bapaknya tidak pulang, dan hal itu membuat Seruni semakin khawatir.Malam terakhir sebelum kepergiannya, Seruni sempat melihat sang bapak panik sambil berkata sesuatu yang tidak terlalu ia pahami—"Aku harus ke karang bolong secepatnya." Malam itu pula sang bapak berpamitan, mengatakan bahwa ia harus pergi ke suatu tempat dan akan kembali dalam tiga hari.Seruni sebenarnya tidak terlalu kaget dengan kebiasaan bapaknya. Sejak dulu, Pak Ahmad memang sering pergi ke tempat-tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu. Namun, kali ini berbeda.“Jangan terima tamu siapa pun di malam hari, kecuali itu bapak,” pesan Pak Ahmad sebelum pergi.Seruni hanya mengangguk, melepas kepergian bapaknya tanpa banyak bertanya. Namun, kini dua malam sudah berlalu tanpa ada tanda-tanda kepulangan bapaknya. Ini sudah pagi ketiga, dan Pak Ahmad belum juga kembali.Malam-
Mbah Bejo mengepulkan asap rokok menyannya tinggi-tinggi sambil memandang ke arah laut dari pintu gubuk tuanya yang terbuka lebar. Matahari mulai tenggelam, mengenakan selendang senja berwarna jingga yang indah namun menyimpan aura mencekam.Gubuk tua itu sunyi, hanya dihuni Mbah Bejo seorang diri setelah Pak Ahmad pulang membawa cerita tentang Sumirah.Di rumah itu juga ada setitik sinar dari lampu teplok minyak tanah yang mana apinya yang berwarna jingga terang itu sesekali bergoyang karena angin cukup kencang padahal nyala api kecil itu dilindungi oleh kaca dari lampu teplok tua itu.Suasana yang tadinya hanya sepi kini mulai berubah. Hawa di sekitarnya menjadi berat, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang.Mbah Bejo menghisap rokok menyannya dalam-dalam, matanya tak lepas dari laut yang perlahan berubah kelam. Angin dingin tiba-tiba berhembus kencang, membawa aroma asin yang bercampur bau amis. Ia menghela nafas panjang, mengamati bagaimana langit berganti dar
"Jadi, makhluk yang bikin kamu jauh-jauh cari ilmu kanuragan sampai rela kasih tumbal tujuh darah perawan itu si Sumirah? Aduh, tobat!" Mbah Bejo tampak frustasi, mengusap wajahnya dengan kesal."Lah, apa salahnya, Mbah? Kan waktu itu Mbah sendiri yang bilang, kalau saya kasih tumbal tujuh darah perawan, Mbah bakal kasih keris wulu ireng. Lagian, keris itu beneran berfungsi, kok," Pak Ahmad masih mencoba membela diri."Tapi waktu itu kamu cuma bilang kalau keponakanmu kesurupan Jin Nasab! Dasar sontoloyo! Kalau tahu begini, aku nggak bakal mau bantu kamu!" Mbah Bejo melotot tajam ke arah Pak Ahmad, suaranya meninggi.Pak Ahmad menunduk dalam, tak berani menatap langsung ke mata Mbah Bejo. Tatapan dukun tua itu seolah-olah menusuk sampai ke tulang, membuat seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan, bernafas pun terasa sulit. Dadanya sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya.Mbah Bejo, yang masih marah, mengambil sebatang rokok menyan dari kantongnya. Ia menyulut rokok itu