Saripah melangkah perlahan menghampiri Bagas, memberanikan dirinya untuk mendekati Bagas dan ingin memberikan semangat.
"Tuan maaf," sapa Saripah.
"Ada apa lagi mbok, kalau saya lapar nanti saya makan," jawab Bagas datar"
Saripah memberanikan diri untuk memberi semangat, Saripah tidak ingin Bagas sampai sakit dan makin terpuruk.
"Tuan Muda harus makan, jangan sampai tidak makan, mbok sedih, Tuan Muda jangan berlarut - larut dalam kesedihan, kasihan Nenek Sasmita pasti sedih melihat Tuan Muda seperti ini, Tuan Muda...jangan merasa sendiri, ada Mbok, pak Jono, pak Asep dan Tuan Adam, Tuan harus semangat.
Bagas hanya melirik kearah Saripah, tak berkata apa - apa, tapi wajahnya tidak menunjukan marah atau tidak suka dengan ucapan Saripah, hanya saja Bagas tidak mau bicara apapun.
Saripah yang merasa kata - katanya tidak direspon sama sekali, merasa takut Bagas tersinggung, tapi Saripah tidak mau hanya melihat Bagas murung sendiri dan tidak mau makan - makan, jadi bagi Saripah andai dimarahi atau diusir dari situ karena ucapannya, Saripah tidak keberatan.
"Maaf Tuan Muda, kalau begitu mbok permisi dulu."
Bagas hanya mengangguk, tanda mengiyakan ucapan Saripah.
***
Seminggu sudah Bagas mengurung diri di kamar, masih belum ada perkembangan, masih sama seperti awal saat neneknya meninggal dunia, namun Bagas mau untuk makan walau kurang bernafsu, itupun karena dibujuk Adam dan Saripah yang tiada hentinya terus mengingatkan dan membujuk.
Sebenarnya Adam ingin segera menyerahkan surat dari Sasmita neneknya Bagas yang di amanahkan kepadanya saat di Rumah Sakit untuk mengambil di kamarnya Sasmita yang di simpan di laci meja riasnya, tapi melihat Bagas masih dalam masa berduka yang sangat mendalam, membuat Adam menundanya sementara waktu, Adam sendiri tidak tahu isi dari surat itu apa, Adam takut kalau isi surat itu membuat Bagas malah semakin bersedih.
Bagas keluar dari kamarnya dengan mengenakan kaus putih dan celana jeans, menghampiri Adam yang berada di ruang depan.
"Om, bisa temani saya ke The Stone Cafe? saya ingin bersantai sejenak di sana."
"Bisa Tuan Muda, saya permisi untuk memanggil pak Asep, agar menyiapkan mobil segera."
"Om, bilang pak Asep gunakan mobil yang atapnya bisa dibuka, saya ingin menikmati udara luar, sudah seminggu saya tidak kemana - mana."
"Baik Tuan."
Adam bergegas menemui Asep yang sedang berada di belakang, mengobrol dengan Saripah.
"Pak Asep, segera siapkan mobil, tuan muda ingin pergi keluar," ucap Adam.
"Siap Tuan."
"Oh iya Pak, pakai mobil Rolls Royce Pahntom saja, karena tuan muda ingin menikmati udara luar saat di perjalanan."
Asep segera menuju lemari penyimpanan kunci, yang memang semua kunci mobil tersusun rapih di lemari sebelum dapur, setelah mengambil kunci mobil yang diminta, Asep bergegas ke garasi mobil untuk menghidupkan mobil dan keluar dari garasi.
sementara di dapur, Saripah terlihat sangat gembira karena tuannya sudah mau keluar dari kamarnya, Adam sendiri setelah menugaskan Asep segera kembali ke ruang depan menemui Bagas.
"Tuan muda, mobil sudah siap," ucap Adam.
Bagas berdiri dari duduknya, dan melangkah menuju halaman rumahnya, di mana Asep sudah menunggunya, Adam bergegas membukakan pintu belakang mobil, mempersilakan Bagas untuk masuk.
"Terima kasih Om."
Adam menghampiri Asep memberitahukan kemana tujuan Bagas, setelah itu Adam membungkukkan badannya kearah Bagas, sebagai tanda hormatnya, yang sudah duduk di dalam mobil, karena Adam akan mendampingi Bagas, dengan mobil yang lain, Bagas membuka kaca mobilnya dan berseru.
"Om, temani saya, duduk disini."
Adam yang masih menundukkan kepalanya, menunggu mobil yang membawa Bagas pergi terlebih dahulu, menengadahkan kepalanya, tanpa menunggu lama segera bergegas menuju pintu sebelah Bagas dan duduk di sampingnya.
"Om, mulai sekarang kemana pun saya pergi kalau saya dengan supir, om temani saya, Om sudah seperti keluarga saya."
"Baik Tuan muda."
Mobil pun melaju kejalan utama, menuju tempat yang akan mereka tuju, tidak berapa lama mereka sudah tiba di The Stone Cafe, Asep segera turun dan membukakan pintu untuk Bagas, seraya membungkukkan badannya sebagai rasa hormat.
Bagas berjalan lebih dulu, disusul Adam yang berjalan di belakangnya, suasana di The stone Cafe memang indah dan sejuk, Bagas memilih tempat duduk di balkon atas, sehingga live music di sana jelas terlihat dan suasana malam kota Bandung yang indah menjadi pemandangan yang menyejukan pikirannya.
Tanpa menunggu perintah, Adam langsung memanggil pelayan untuk memesan minuman dan makanan.
Pelayan menghampiri mereka dan memberikan buku menu, tangannya yang memegang buku kecil dan alat tulis sudah siap mencatat setiap pesanan tamu pengunjung.
"Tuan Muda, mau pesan apa?" tanya Adam.
Bagas menjawab tanpa melihat buku menu, seakan sudah biasa datang ke The Stone Cafe.
"Green tea iced latte dan cheese cake."
Adam menyebutkan kembali kepada pelayan yang sedang menunggu untuk mencatat pesanannya.
"Kita pesan, 1 Green tea iced latte, 1 macchiato lalu makanannya cheese cake dan Banofie pie berrys, tambah 2 air mineral.
Setelah pelayan mencatat semua pesanannya, dan menyebutkan kembali, pelayan tersebut mengambil buku menu dan permisi untuk menyiapkan semua pesanannya.
Bagas hanya diam menatap kedepan menikmati pemandangan sekitarnya, Adam yang melihatnya ikut diam juga, karena tidak berani harus membuka pembicaraan lebih dulu, lebih baik menunggu Bagas yang berbicara.
Bagas menghela napas panjang dengan mata yang tertutup seakan ingin mengeluarkan semua rasa yang membelenggunya, Bagas melirik Adam.
"Om, bawa rokok?"
"Bawa Tuan," tangan nya merogoh saku jasnya dan menyerahkan kepada Bagas.
Adam terdiam menatap Bagas, seakan merasa aneh, karena selama ini Adam belum pernah melihat Bagas merokok.
Bagas sadar kalau Adam seakan aneh dengannya yang merokok, Bagas hanya tersenyum.
"Saya sedang suntuk, Om...saya rindu dengan nenek, dan kedua orang tua saya, makanya saya datang kesini, karena dulu di saat masih ada nenek, papih dan mamih, kita sering hangout kesini menghabiskan malam dengan bercanda dan menikmati suasana disini. Bagas terdiam sejenak sembari menghisap rokok di tangannya, dan melanjutkan ucapannya.
"Kata orang merokok itu bisa membuat kita lebih tenang, makanya saya merokok, siapa tahu hati saya bisa sedikit tenang dan pikiran saya bisa sedikit lebih jernih."
"Maaf Tuan karena saya lancang merasa aneh karena Tuan merokok, karena saya tahu Tuan bukan perokok, saya hanya kaget."
"Iya om."
Makanan dan minuman pun telah datang dan mereka berdua menikmati perlahan setiap teguk yang mereka minum, Adam berusaha menyesuaikan diri, menjadi pendengar yang baik bagi Bagas, karena memang yang dibutuhkan Bagas saat ini adalah seorang teman yang mau mendengarkan setiap kesedihannya.
"Om, mulai sekarang jangan merasa canggung kalau mengobrol dengan saya, karena bagaimana pun, Om itu sudah saya anggap keluarga sendiri, saya sudah tidak memiliki siapa - siapa, jadi kalau Om tidak keberatan saya ingin Om dan keluarga Om untuk tinggal di rumah, temani saya, rumah sebesar itu hidup sendirian terasa hampa apalagi kalau ingat nenek dan kedua orang tua saya, saya merasa sangat kacau dan kesepian, saya juga tidak mau berlarut - larut dalam kesedihan, setidaknya kalau ada Om dan keluarga Om di rumah, saya tidak merasa kesepian dan sendirian, saya harap Om jangan menolak karena ini permintaan sekaligus perintah."
Bagas sengaja mengatakan apa yang di inginkannya adalah perintah, karena kalau tidak seperti itu, Adam pasti akan menolaknya walau dengan cara yang halus.
Adam yang mendengar penuturan Bagas, seketika terdiam, mencoba untuk mencerna semua ucapan Bagas dan menimbang segala hal dan resikonya, kalau sampai menolak pasti Bagas akan sedih.
"Baiklah Tuan, besok saya akan bicara dengan isteri dan anak - anak saya, sebelumnya saya ucapkan terima kasih, karena Tuan Muda percaya kepada saya."
"Saya mengenal Om bukan baru sebentar, saya tahu bagaimana Om kepada keluarga saya, maka dari itu, saya ingin Om untuk menetap di rumah saya, dan saya harap jangan pernah sungkan atau merasa malu, karena kita keluarga."
"Terima kasih tuan, ini suatu kehormatan bagi saya dan keluarga saya."
"Saya yang harusnya ber-terima kasih, karena Om tidak menolak keinginan saya," tukas Bagas sembari tersenyum.
Adam melihat kearah Bagas, bibirnya seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi Adam merasa ragu, apakah harus sekarang menyerahkan amanah Nenek Sasmita atau nanti saja.
Bagas yang melihat Adam seakan ingin mengatakan sesuatu tapi seperti ragu, akhirnya bertanya.
"Ada apa om, katakan saja kalau memang ada hal penting yang ingin disampaikan."
Karena di tanya oleh Bagas membuat Adam tak punya pilihan dan akhirnya mengatakan apa yang dari tadi ingin ia sampaikan.
"Begini Tuan, sebenarnya saya bingung harus mengatakan dari mana awalnya, karena ini sangat penting, tapi saya takut kalau membuat Tuan menjadi sedih, maka dari itu saya memilih waktu yang tepat untuk menyampaikannya kepada Tuan ."
Bagas menatap Adam dengan seksama, mencoba menerka, sebenarnya apa yang ingin disampaikan Adam, sehingga membuatnya harus ragu dan menunggu waktu yang tepat, Semakin memikirkan apa dan kenapa, Bagas tak menemukan jawabannya, sehingga Bagas menanyakan langsung karena rasa penasarannya, dan karena menyangkut dirinya juga. "Sebenarnya ada apa,om? mengapa harus menunggu waktu yang tepat, kalau boleh tahu memang soal apa?" Adam mengeluarkan sebuah surat dari dalam saku jasnya, selama ini selalu Adam bawa kemanapun, karena Adam tidak pernah tau kapan waktu yang tepat untuk menyerahkannya kepada Bagas, seperti saat ini, kebetulan yang memang tidak direncana, tiba - tiba Bagas mengajaknya keluar dan melihat Bagas juga sudah lebih baik dari hari - hari sebelumnya. Adam menyerahkan surat tersebut kepada Bagas. "Ini surat apa om," tanya Bagas. "Tuan muda, Sebelum Nenek Sasmita meninggal, saya sempat mengobrol dengan beliau, beliau meminta saya untuk menj
Salah satu karyawan pantri kita sebut suryani, yang mana dia leadernya, menghampiri Bagas dengan sikap yang sangat sopan dan penuh hati - hati. Dengan kepala yang menunduk dan mata yang tak berani menatap Bagas, suaranya sedikit gugup mencoba bertanya. "Ma-maaf Pak Bos, ada yang bisa kami bantu." Bagas tersenyum, dan tangannya menyerahkan dua bungkus plastik kepada suryani. "Bu, ini ada makanan, tolong bagikan kesemua rekan ibu disini." Suryani menerima bungkusan tersebut. "Terimakasih, pak Bos." jawab suryani. Bagas kembali melangkah keluar dari pantri menuju ruangannya. Sementara suryani dengan membawa dua bungkus plastik memanggil semua rekan kerjanya, untuk membagikan makanan yang diberi Bagas. Masuk dua orang karyawan cleaning service kepantri dengan membawa alat - alat kebersihan, bernama Abas dan Roni yang memang baru selesai membersihkan area depan, Suryani memanggilnya untuk mendekat. "Abas, Roni, seben
Setelah beberapa saat berfikir, akhirnya Bagas memutuskan mana yang akan di pilihnya."Om, apa yang om utarakan itu memang benar, bagaimanapun saya ingin nenek tenang di alam sana, jadi saya akan mengikuti sesuai keinginan nenek, untuk semua urusan kantor dan bisnis sepenuhnya saya percayakan kepada om, dan tolong rekomendasikan saya ke hotel yang di Subang, karena disana tidak ada yang mengenal saya jadi saya tidak harus sembunyi - sembunyi menjalankan amanah dari nenek, disana biar saya bekerja sebagai karyawan biasa, saya minta om jangan pernah membuka identitas saya," ungkap Bagas."Baik, Tuan, terimaksih atas kepercayaan Tuan kepada saya, untuk permintaan tuan bekerja di hotel, saya akan bicarakan dengan pak Raymond selaku manager disana, kira - kira bagian apa yang Tuan inginkan?" tanya Adam.Bagas sejenak berfikir, kira - kira bagaian apa yang cocok untuk menjalankan amanah nenek, dimana dia akan memulai semuanya dari bawah, sebagai orang biasa."B
Setelah selesai dimakam ayahnya, Bagas berdiri dan jongkok didepan makam neneknya, airmata Bagas semakin membasahi pipinya. "Nek, apa kabar, Bagas datang Nek, Nenek tahu nggak, kalau Bagas sangat kangen Nenek, setelah ayah dan bunda pergi, cuma nenek keluarga Bagas, tapi Nenek juga ninggalin Bagas, Bagas kesepian, Nek, benar - benar seorang diri sekarang, Nek, bagas akan menjalankan apa yang nenek minta, doain Bagas ya, semoga Bagas tidak mengecewakan nenek, sehingga nenek bahagia disana. Ayah, bunda dan nenek sudah berkumpul disana, tinggal Bagas sendirian." Airmata Bagas semakin mengalir, bagas menangis tiada henti tak kuasa menahan pilu hatinya, hidup sendirian tanpa keluarga terasa sangat berat baginya, Bagas sadar Harta saja tidak cukup membuatnya bahagia, Bagas butuh keluarga, butuh orang - orang yang sayang padanya dengan tulus, Bagas merasakan benar - benar hidup yang hampa. Bagas Bangkit dan melangkah peegi meninggalkan makam, masuk kedalam mobil unt
Setelah makan malam selesai, Bagas kembali kekamarnya begitupun Adam dan isteri serta kedua anaknya. Malam semakin larut, Bagas masih terjaga dikamarnya, masih packing beberapa pakaian yang menurutnya tidak terlalu mewah dan barang - barang keperluannya, karena ponsel yang sekarang digunakan adalah ponsel mahal dan pakaian yang akan dibawa juga hanya beberapa steal, rencananya besok saat diperjalanan ke Subang Bagas akan membeli ponsel baru, ponsel yang biasa saja dan beberapa pakaian tak bermerk dan barang - barang kebutuhan lainnya. Waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari, Bagas segera bergegas untuk tidur, karena besok harus bangun pagi - pagi, tak berapa lama Bagas berbaring ditempat tidurnya, Bagas sudah terlelap dalam tidurnya. Singkat cerita, Bagas sudah siap dengan semua persediaan yang akan dibawanya, Bagas memanggil Saripah, Asep dan joni untuk menemuinya diruang tamu, tak berapa lama mereka sudah berkumpul didepan Bagas. "Mbok, pak Asep
Adam dan Bagas sudah berada didalam mobil, rencananya hari ini akan mencari tempat tinggal yang tidak terlalu jauh dari tempat Bagas bekerja, tapi sebelumnya mereka akan makan siang terlebih dahulu, Adam membelokan mobilnya menuju resto, dan memarkirkan mobilnya didepan resto, tak berapa lama Adam dan Bagas menuruni mobil dan melangkah masuk kedalam resto, memilih tempat duduk dan langsung memesan makanan, sambil menunggu makanan datang Adam mulai berbicara perihal kesiapan besok Bagas bekerja dan benar - benar menjadi orang biasa saja, tanpa harta dan kekuasan."Tuan, semoga segalanya bisa berjalan sesuai rencana Tuan dan menemukan apa yang Tuan cari," ucap Adam."Iya, Om, doakan saja."Makanan yang dipesan sudah datang dan mereka segera menyantapnya, tiada obrolan lagi karena masing - masing sibuk dengan makanannya.Setelah selesai makan dan membayarnya, Adam dan Bagas kembali memasuki mobil, dan berkeliling di sekitaran hotel Arimbi, untuk mencari kont
Bagas telah tiba didepan kamar kontrakannya, saat sedang membuka kunci pintu, seseorang menyapa Bagas. "Ngontrak baru,ya?" Bagas menoleh kebelakang, dan tersenyum menyapa orang yang menyapanya. "Iya, baru pindah tadi siang," jawab Bagas sembari mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "Saya Bagas." "Syamsul." "Mari kang, masuk kita ngopi - ngopi," ajak Bagas kepada Syamsul. "Panggil Syamsul saja, boleh deh kebetulan baru pulang kerja ada yang ngasih kopi, Alhamdulillah." Syamsul memang orangnya apa adanya dan suple, sehingga cepat akrab dengan orang - orang baru yang ngontrak disitu, Bagas membuatkan dua cangkir kopi, satu untuknya dan satu lagi untuk Syamsul, sebenarnya ini pertama kali Bagas membuat kopi, untungnya kopi bungkusan yang sudah dengan gula, jadi Bagas hanya tinggal membuatnya saja dengan air panas. Bagas menyimpan kopi tersebut didepan Syamsul yang sudah duduk didalam kamarnya, Syamsul bangkit dan
"Assalammualaikum," ucap Syamsul."Waalaikumsalam," Winda dan Heni menjawab bersamaan.Mereka mempersilakan Syamsul dan Bagas untuk masuk kedalam kontrakannya, setelah Syamsul memperkenalkan Bagas kepada mereka, dengan cepat mereka sudah akrab, Wina membawakan piring dan juga nasi untuk di santap bersama - sama, bersama sate maranggi dan sop iga yang dibawakan Syamsul, merekapun makan bersama - sama sembari masih terus mengobrol, Winda sendiri bekerja sebagai receptionis dihotel Arimbi dan Heni bekerja dibagian cleaning service, mereka bekerja dari semenjak Hotel Arimbi berdiri, tidak ada perbedaan status diantara mereka, karena bagi mereka pekerjaan hanyalah status dalam bekerja yang terpenting adalah pribadi masing - masing yang baik, setelah selesai makan, Syamsul mengajak Bagas duduk diteras, sementara Winda dan Heni merapihkan bekas makan.Bagas dan Syamsul yang sudah duduk diteras menikmati suasana malam, udara yang memang sangat dingin membuat Bagas sedik
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab