Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Di ruang keluarga, Bagas ivander dan Nenek sasmita sedang santai menonton acara TV. "Bagas, segeralah cari pendamping, usiamu sudah cukup untuk menikah," tanya Nenek Sasmita. "Bagas belum ada waktu Nek, untuk memikirkan itu, masih banyak urusan pekerjaan yang harus segera diselesaikan, Bagas harus fokus mempelajari semua bisnis ayah, Bagas malu Nek, kalau Bagas sampai mempermalukan nama besar ayah, karena Bagas belum bisa apa - apa, salah Bagas juga dulu." "Urusan pekerjaan, bisa diserahkan kepada Om Adam, biar dia yang handle, kamu sambil belajar, tapi senggangin waktu mencari pendamping juga." "Iya...Nenekku sayang, nanti Bagas bicara dulu sama om Adam, ya." Bagas ivander berusia 25 tahun adalah seorang pewaris kaya, dengan wajah yang tampan, kharismatik, dan sifat yang baik hati, walaupun bergelimang kekayaan, tak menjadikannya sombong, sebaliknya sangat sederhana dan suka membantu sesama, karena kebaikannya, kadang banyak orang yang memanf
Walaupun Bagas adalah pemilik hotel dan atasan dari Adam, Bagas tetap rendah hati, dan bersikap sopan, karena itulah sifat Bagas, yang tidak pernah sombong dan selalu merendah, tidak pernah membedakan antara kaya atau miskin, tidak perduli setinggi apapun jabatan, di matanya semua orang sama, mahluk sosial yang pantas dihargai dan dihormati, Bagas sadar, harta yang dimilikinya semua hanyalah titipan dari Allah SWT. Adam sendiri sangat menghormati Bagas, tidak pernah berniat mengkhianati kepercayaannya, walau sebenarnya sangat mudah bagi Adam untuk menggelapkan uang perusahaan dan memindah namakan semua hotel yang dipercayakan kepadanya, karena selama ini, Adam yang mengurus segalanya, tidak sedikitpun hatinya untuk berniat jahat. Adam selalu bersyukur karena selama ini bekerja untuk keluarga ivander, di mana dia dulu hanyalah seorang akuntan biasa yang bekerja di hotel ayahnya Bagas, dengan hidup serba kekurangan, yang menjadi tulang punggung keluarga, membiayai keti
"Om, apa yang terjadi? Nenek dimana?" Adam melepaskan pelukannya, seraya menarik napas panjang dan mulai berkata dengan gemetar. "Ne-nenek...sudah tenang dialam sana." Bagas yang mendengar itu tak kuasa membendung airmatanya, tubuhnya seketika terkulai lemas dan jatuh kelantai, tangisannya begitu menyanyat hati, seakan bumi telah runtuh baginya, orang yang dia sayangi, satu - satunya keluarga yang dimilikinya, kini telah pergi meninggalkannya, Bagas segera berdiri dan berlari masuk kekamar IGD menghampiri neneknya yang telah terbaring tak bernyawa, memeluk tubuh neneknya dengan erat, tangisannya semakin kencang, hatinya benar - benar hancur. "Nenek!!!!...."teriak Bagas. Bagas melepaskan pelukannya dengan airmata yang terus mengalir deras dan menghampiri Adam, menarik baju Adam, dan mencengkram kerah bajunya dengan kuat, Bagas seakan hilang kendali. Bagas berteriak marah seakan tidak dapat menerima kenyataan. "Katakan!! apa yang terjadi dengan
Saripah melangkah perlahan menghampiri Bagas, memberanikan dirinya untuk mendekati Bagas dan ingin memberikan semangat. "Tuan maaf," sapa Saripah. "Ada apa lagi mbok, kalau saya lapar nanti saya makan," jawab Bagas datar" Saripah memberanikan diri untuk memberi semangat, Saripah tidak ingin Bagas sampai sakit dan makin terpuruk. "Tuan Muda harus makan, jangan sampai tidak makan, mbok sedih, Tuan Muda jangan berlarut - larut dalam kesedihan, kasihan Nenek Sasmita pasti sedih melihat Tuan Muda seperti ini, Tuan Muda...jangan merasa sendiri, ada Mbok, pak Jono, pak Asep dan Tuan Adam, Tuan harus semangat. Bagas hanya melirik kearah Saripah, tak berkata apa - apa, tapi wajahnya tidak menunjukan marah atau tidak suka dengan ucapan Saripah, hanya saja Bagas tidak mau bicara apapun. Saripah yang merasa kata - katanya tidak direspon sama sekali, merasa takut Bagas tersinggung, tapi Saripah tidak mau hanya melihat Bagas murung sendiri dan tidak
Bagas menatap Adam dengan seksama, mencoba menerka, sebenarnya apa yang ingin disampaikan Adam, sehingga membuatnya harus ragu dan menunggu waktu yang tepat, Semakin memikirkan apa dan kenapa, Bagas tak menemukan jawabannya, sehingga Bagas menanyakan langsung karena rasa penasarannya, dan karena menyangkut dirinya juga. "Sebenarnya ada apa,om? mengapa harus menunggu waktu yang tepat, kalau boleh tahu memang soal apa?" Adam mengeluarkan sebuah surat dari dalam saku jasnya, selama ini selalu Adam bawa kemanapun, karena Adam tidak pernah tau kapan waktu yang tepat untuk menyerahkannya kepada Bagas, seperti saat ini, kebetulan yang memang tidak direncana, tiba - tiba Bagas mengajaknya keluar dan melihat Bagas juga sudah lebih baik dari hari - hari sebelumnya. Adam menyerahkan surat tersebut kepada Bagas. "Ini surat apa om," tanya Bagas. "Tuan muda, Sebelum Nenek Sasmita meninggal, saya sempat mengobrol dengan beliau, beliau meminta saya untuk menj
Salah satu karyawan pantri kita sebut suryani, yang mana dia leadernya, menghampiri Bagas dengan sikap yang sangat sopan dan penuh hati - hati. Dengan kepala yang menunduk dan mata yang tak berani menatap Bagas, suaranya sedikit gugup mencoba bertanya. "Ma-maaf Pak Bos, ada yang bisa kami bantu." Bagas tersenyum, dan tangannya menyerahkan dua bungkus plastik kepada suryani. "Bu, ini ada makanan, tolong bagikan kesemua rekan ibu disini." Suryani menerima bungkusan tersebut. "Terimakasih, pak Bos." jawab suryani. Bagas kembali melangkah keluar dari pantri menuju ruangannya. Sementara suryani dengan membawa dua bungkus plastik memanggil semua rekan kerjanya, untuk membagikan makanan yang diberi Bagas. Masuk dua orang karyawan cleaning service kepantri dengan membawa alat - alat kebersihan, bernama Abas dan Roni yang memang baru selesai membersihkan area depan, Suryani memanggilnya untuk mendekat. "Abas, Roni, seben
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab