"Om, apa yang terjadi? Nenek dimana?"
Adam melepaskan pelukannya, seraya menarik napas panjang dan mulai berkata dengan gemetar. "Ne-nenek...sudah tenang dialam sana."
Bagas yang mendengar itu tak kuasa membendung airmatanya, tubuhnya seketika terkulai lemas dan jatuh kelantai, tangisannya begitu menyanyat hati, seakan bumi telah runtuh baginya, orang yang dia sayangi, satu - satunya keluarga yang dimilikinya, kini telah pergi meninggalkannya, Bagas segera berdiri dan berlari masuk kekamar IGD menghampiri neneknya yang telah terbaring tak bernyawa, memeluk tubuh neneknya dengan erat, tangisannya semakin kencang, hatinya benar - benar hancur.
"Nenek!!!!...."teriak Bagas.
Bagas melepaskan pelukannya dengan airmata yang terus mengalir deras dan menghampiri Adam, menarik baju Adam, dan mencengkram kerah bajunya dengan kuat, Bagas seakan hilang kendali.
Bagas berteriak marah seakan tidak dapat menerima kenyataan. "Katakan!! apa yang terjadi dengan nenek? bagaimana nenek bisa pergi begitu saja meninggalkanku, katakan!!!!..."
"Tenang, Tuan muda, bagaimana saya bisa menjelaskan kalau Tuan muda mengcengkram kerah baju saya, tolong lepaskan dulu, Tuan, saya akan katakan semuanya.
Bagas melepaskan cengkraman tangannya, dan duduk disamping jenazah neneknya, Bagas terus menatap neneknya yang sudah terbujur kaku tak bernyawa, airmatanya terus mengalir, digenggam jemari neneknya dan diciumnya, ditempelkan kepipinya, dan berguman lirih. " Nek...Ba-bagas, sayang nenek, maafkan Bagas, Nek." sembari mengusap airmatanya yang terus mengalir. "Nek...Bagas dengan siapa sekarang, nenek sudah meninggalkan Bagas, Bagas sedih, Nek, Bagas harus bagaimana, Ne-ne-nenek!!...tangisannya makin pecah.
Adam menepuk - nepuk pundak Bagas penuh kasih sayang, mencoba kembali menenangkan Bagas.
"Sudah, Tuan, tolong ihklaskan, agar nenek tenang disana, yang sabar, pak, tetap kuat demi nenek."
"Iya, om, padahal tadi sore, nenek baik - baik saja, sempat mengobrol dengan saya, kalau tahu begini, saya tidak akan tidur dan meninggalkan nenek sendirian, saya tidak tahu kalau nenek penyakit jantungnya kerasa lagi, padahal minggu kemarin sudah berobat dan jantung nenek baik - baik saja, nenek juga tidak pernah mengeluh sakit, saya benar - benar egois, terlalu sibuk mikirin diri sendiri dan kerjaan, tidak benar - benar memperhatikan kesehatan nenek."
"Tuan, jangan menyalahkan diri sendiri, semua sudah menjadi ketetapan sang pemilik kehidupan kita, saat saya tiba disini nenek juga masih terlihat baik - baik saja dan sempat mengobrol dengan saya, saya juga di telphon mang Asep untuk bergegas kesini, setelah saya mengobrol dengan nenek, saya pamit sebentar ketoilet, Karena ada mang Asep yang jagain nenek, saya tenang meninggalkan sebentar, saat saya kembali nenek sudah tak bernyawa, dokter bilang, jantung nenek sudah tidak bisa memasok oksigen dan darah, sehingga nyawanya tak tertolong."
Bagas semakin menangis mendengar kta - kata Adam. "Iya, om, nenek pasti kesakitan menahan sakitnya, sementara saya tidak disampingnya, saya memang bodoh," seraya memukul - mukul kepalanya dengan telapak tangannya seakan merasa menyesal.
"Sudah, Tuan muda, jangan seperti ini, nenek akan sedih melihatnya, Sebaiknya kita keluar dari sini dan menunggu di luar ruangan, petugas RS akan melepas peralatan medis yang masih menempel ditubuh nenek , nenek akan dibawa kerumah sebentar lagi, ambulance sudah disiapkan."
Adam merangkul Bagas dan membawanya keluar ruangan, Bagas menurut saja mengikuti Adam keluar, dan duduk dikursi depan pintu kamar IGD, Bagas tertunduk dengan airmata yang benar - benar tak bisa berhenti terus saja mengalir membasahi kedua pipinya.
Adam menelpon Saripah, pembantu keluarga ivander untuk memberitahukan bahwa nenek sudah meninggal dunia, dan sekarang akan dibawa kerumah, Adam meminta tolong untuk menyiapkan kebutuhan dirumah dan meminta Saripah menugaskan pak jono, pak jono sendiri adalah satpam dirumah ivander, untuk menemui ustad jakaria, yang rumahnya memang tidak terlalu jauh dari kediaman keluarga ivander.
Pukul sebelas malam, jenazah Sasmita sudah tiba dikediaman ivander.
Dirumah sudah ramai orang - orang yang akan mengaji sampai pagi, karena tidak mungkin memakamkan malam itu juga, karena memang sudah larut malam, sehingga menunggu besok pagi untuk acara pemakamannya.
***
Acara pemakaman berjalan dengan lancar, Bagas kembali kedalam kamarnya, tangannya memegangi foto neneknya, dipeluknya erat - earat dengan airmata yang seakan enggan untuk berhenti, hidupnya merasa sangat hampa dan kosong, tak ada lagi canda tawa neneknya, kasih sayang neneknya dan teman berbagi cerita.
Bagas benar - benar seorang diri sekarang, menjadi orang kaya sekalipun kalau hidup sendirian rasanya semua itu tidak berguna, fikir Bagas.
Bagas merebahkan tubuhnya di kasur dengan tetap mendekap foto neneknya, Bagas berkata sendiri. "Nek, temani Bagas tidur ya, Bagas sedih Nek, Bagas tidak punya siapa - siapa lagi, Bagas..." tangisnya semakin mendalam, hingga akhirnya Bagas tertidur.
Sementara Adam dan keluarganya masih diruang depan rumah Bagas, karena melihat Bagas yang begitu terpukul akibat kematian Sasmita Neneknya, Adam tak tega meninggalkan Bagas sendirian, dan Adam harus menepati janjinya kepada Sasmita untuk menjaga Bagas baik - baik dan menemani Bagas dalam kondisi apapun, hingga Adam berbicara kepada isterinya untuk Adam tetap tinggal dulu disini menemai Bagas dan meminta isteri dan anak - anaknya untuk pulang lebih dulu.
Sebenarnya Adam ingin membicarakan hal penting kepada Bagas, perihal yang harus dan wajib di sampaikan amanah dari Sasmita untuk Bagas, tapi melihat keadaan Bagas yang belum stabil, Adam mengurungkan niatnya, mungkin bisa lain waktu, sekarang baginya lebih baik menemani dan menenangkan Bagas, Adam menghampiri Bagas kekamarnya dan dengan pelan mengetuk pintu kamar Bagas.
Tookkk...tookkk...tookkk.
"Tuan muda, boleh saya masuk."
Tidak ada jawaban dari dalam, Adam yang merasa kuatir memberanikan diri untuk masuk, karena Adam takut terjadi sesuatu dengan Bagas, Melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar Bagas, saat melihat Bagas tertidur dengan masih mendekap foto Sasmita, adam akhirnya keluar dari kamar Bagas dan menghampiri Saripah.
"Mbok, nanti masakan makanan kesukaan Tuan muda, sekarang tuan muda masih tidur, biar nanti bangun tidur bisa langsung makan, kasihan tuan muda dari semalam belum mau makan."
"Baik Tuan, jawab Mbok Saripah."
"Kalau ada apa - apa hubungi saya secepatnya, sekarang saya mau pulang dulu, untuk ambil beberapa pakaian ganti, besok saya kembali kesini, nanti saya akan menginap disini sampai keadaan tuan muda membaik, tolong jaga dan titip tuan muda.
"Baik, Tuan, Mbok juga kuatir dengan Tuan muda, tadi pagi sarapan juga tidak dimakan, tuan muda terlihat sangat terpukul, mbok kuatir tuan muda sakit."
"Iya, makanya sekarang kita harus benar - benar perhatikan tuan muda, tuan muda sudah tidak punya siapa - siapa lagi, pasti hatinya terluka dan merasa kesepian, ya sudah mbok, saya pulang dulu."
"Iya, Tuan."
Adam kembali kerumah untuk ijin kepada isterinya dan menyiapkan beberapa stel pakaian ganti, untuk besok kembali kekediaman ivander dan menginap bebrapa hari disana, isteri Adam sangat mengerti bagaimana suaminya sangat peduli kepada keluarga ivander, dan mengabdikan dirinya, sehingga tak pernah melarang suaminya, walau harus menginap disana sampai berapa haripun, yang terpenting suaminya sudah meminta ijin kepadanya, apapun yang berkaitan dengan keluarga ivander isterinya selalu mendukung Adam.
Keesokan harinya, Adam telah kembali kekediaman ivander, setelah menyimpan beberapa pakaian dikamar yang sudah disiapkan Saripah, Adam kembali menghampiri kamar Bagas.
Tookkk...tookkk...tookkk.
"Tuan muda, boleh saya masuk."
Kali ini, dari dalam kamar terdengar suara yang mempersilakan Adam untuk masuk.
"Tuan muda maaf saya mengganggu." tanya Adam
"Ada apa om?" tanya Adam.
Adam menghampiri Bagas dan berdiri disamping Bagas, yang kali ini, bagas sedang duduk di balkon kamarnya menatap jauh keluar dari balik kamarnya, fikirannya terlihat kosong dan matanya sangat sembab.
"Tuan, sudah makan?" tanya Adam.
Bagas menjawab dengan singkat. "Belum."
"Maaf Tuan, kalau bisa tuan makan, kata mbok Saripah Tuan dari semenjak nenek meninggal belum makan, kasihan badan tuan, nanti tuan sakit."
"Saya sudah tak perduli dengan diri saya, saya cuma ingin diam dan tak mau apa - apa."
"Tolong, tuan." bujuk Adam.
"Saya ingin sendiri, om, tolong tinggalkan saya."
"Tapi, Tuan..."
"Ini perintah, tolong tinggalkan saya sendiri."
"Baiklah, kalau tuan ada yang ingin dikatakan atau membutuhkan apa - apa, segera panggil saya, karena saya sementara akan tinggal disini untuk menjaga tuan muda dan menemani tuan."
"Iya, om."
Adam akhirnya keluar kamar dan duduk diruang keluarga, Adam merasa sangat kuatir, takut Bagas sakit, tapi Adam tak bisa berbuat banyak, karena Adam tak berani melangkah jauh apalagi sampai memaksa Bagas.
Saripah yang melihat Adam terdiam diruang keluarga, bergegas menghampiri, untuk menanyakan bagaimana keadaan tuan mudanya.
"Tuan, bagaimana tuan muda? mbok sudah siapkan makanannya."
Adam menghela napas panjang seraya berkata. "Tuan muda tidak mau makan mbok, saya sudah coba bujuk, tapi tuan muda bersikeras ingin sendiri dan menyuruh saya pergi, tuan muda benar - benar terpukul karena kematian Nenek Sasmita."
Saripah yang peduli dengan bagas, yang sudah mengasuh Bagas dari kecil dan merasa seperti anak sendiri, menangis mendengar dari Adam kalau Bagas menolak makan dan seperti tidak punya semangat hidup, ingin rasanya menghampiri Bagas dan memaksanya untuk makan, setidaknya terisi makanan sehingga badannya tidak akan drop, tapi apa daya, mbok Saripah hanyalah seorang pembantu yang tidak punya hak apapun.
"Mbok, jangan memperlihatkan kesedihan Mbok depan Tuan muda, walau memang kita sangat kehilangan Nenek Sasmita, kita harus berusaha tegar dan kita sama - sama semangatin Tuan muda agar jangan sampai berlarut - larut terpuruk, Tuan muda masih muda, hidupnya harus tetap berjalan, sekarang Tuan muda hanya punya kita sebagai orang - orang terdekatnya."
"Iya, Tuan, mbok semakin sedih karena melihat Tuan muda seperti ini."
"Ya sudah mbok, sekarang bawakan makanan tuan muda kekamarnya, siapa tahu nanti dimakan."
"Iya, Tuan kalau begitu mboj permisi."
Saripah bergegas ke ruang makan dan menyiapkan makanan kesukaan bagas, yang memang sudah disiapkan dimeja makan, Saripah membawa makanan kekamar Bagas.
Tokk...tokk..tookk.
"Permisi Tuan muda." ucap Saripah, dari luar pintu kamar.
"Iya mbok. ada apa, masuk saja."
Saripah masuk kedalam kamar Bagas dengan membawa beberapa menu makanan kesukaan Bagas, dan meletakkannya di meja kamar, Bagas masih berada didepan balkon kamarnya terlihat sangat murung dan kusut.
Saripah melangkah perlahan menghampiri Bagas, memberanikan dirinya untuk mendekati Bagas dan ingin memberikan semangat. "Tuan maaf," sapa Saripah. "Ada apa lagi mbok, kalau saya lapar nanti saya makan," jawab Bagas datar" Saripah memberanikan diri untuk memberi semangat, Saripah tidak ingin Bagas sampai sakit dan makin terpuruk. "Tuan Muda harus makan, jangan sampai tidak makan, mbok sedih, Tuan Muda jangan berlarut - larut dalam kesedihan, kasihan Nenek Sasmita pasti sedih melihat Tuan Muda seperti ini, Tuan Muda...jangan merasa sendiri, ada Mbok, pak Jono, pak Asep dan Tuan Adam, Tuan harus semangat. Bagas hanya melirik kearah Saripah, tak berkata apa - apa, tapi wajahnya tidak menunjukan marah atau tidak suka dengan ucapan Saripah, hanya saja Bagas tidak mau bicara apapun. Saripah yang merasa kata - katanya tidak direspon sama sekali, merasa takut Bagas tersinggung, tapi Saripah tidak mau hanya melihat Bagas murung sendiri dan tidak
Bagas menatap Adam dengan seksama, mencoba menerka, sebenarnya apa yang ingin disampaikan Adam, sehingga membuatnya harus ragu dan menunggu waktu yang tepat, Semakin memikirkan apa dan kenapa, Bagas tak menemukan jawabannya, sehingga Bagas menanyakan langsung karena rasa penasarannya, dan karena menyangkut dirinya juga. "Sebenarnya ada apa,om? mengapa harus menunggu waktu yang tepat, kalau boleh tahu memang soal apa?" Adam mengeluarkan sebuah surat dari dalam saku jasnya, selama ini selalu Adam bawa kemanapun, karena Adam tidak pernah tau kapan waktu yang tepat untuk menyerahkannya kepada Bagas, seperti saat ini, kebetulan yang memang tidak direncana, tiba - tiba Bagas mengajaknya keluar dan melihat Bagas juga sudah lebih baik dari hari - hari sebelumnya. Adam menyerahkan surat tersebut kepada Bagas. "Ini surat apa om," tanya Bagas. "Tuan muda, Sebelum Nenek Sasmita meninggal, saya sempat mengobrol dengan beliau, beliau meminta saya untuk menj
Salah satu karyawan pantri kita sebut suryani, yang mana dia leadernya, menghampiri Bagas dengan sikap yang sangat sopan dan penuh hati - hati. Dengan kepala yang menunduk dan mata yang tak berani menatap Bagas, suaranya sedikit gugup mencoba bertanya. "Ma-maaf Pak Bos, ada yang bisa kami bantu." Bagas tersenyum, dan tangannya menyerahkan dua bungkus plastik kepada suryani. "Bu, ini ada makanan, tolong bagikan kesemua rekan ibu disini." Suryani menerima bungkusan tersebut. "Terimakasih, pak Bos." jawab suryani. Bagas kembali melangkah keluar dari pantri menuju ruangannya. Sementara suryani dengan membawa dua bungkus plastik memanggil semua rekan kerjanya, untuk membagikan makanan yang diberi Bagas. Masuk dua orang karyawan cleaning service kepantri dengan membawa alat - alat kebersihan, bernama Abas dan Roni yang memang baru selesai membersihkan area depan, Suryani memanggilnya untuk mendekat. "Abas, Roni, seben
Setelah beberapa saat berfikir, akhirnya Bagas memutuskan mana yang akan di pilihnya."Om, apa yang om utarakan itu memang benar, bagaimanapun saya ingin nenek tenang di alam sana, jadi saya akan mengikuti sesuai keinginan nenek, untuk semua urusan kantor dan bisnis sepenuhnya saya percayakan kepada om, dan tolong rekomendasikan saya ke hotel yang di Subang, karena disana tidak ada yang mengenal saya jadi saya tidak harus sembunyi - sembunyi menjalankan amanah dari nenek, disana biar saya bekerja sebagai karyawan biasa, saya minta om jangan pernah membuka identitas saya," ungkap Bagas."Baik, Tuan, terimaksih atas kepercayaan Tuan kepada saya, untuk permintaan tuan bekerja di hotel, saya akan bicarakan dengan pak Raymond selaku manager disana, kira - kira bagian apa yang Tuan inginkan?" tanya Adam.Bagas sejenak berfikir, kira - kira bagaian apa yang cocok untuk menjalankan amanah nenek, dimana dia akan memulai semuanya dari bawah, sebagai orang biasa."B
Setelah selesai dimakam ayahnya, Bagas berdiri dan jongkok didepan makam neneknya, airmata Bagas semakin membasahi pipinya. "Nek, apa kabar, Bagas datang Nek, Nenek tahu nggak, kalau Bagas sangat kangen Nenek, setelah ayah dan bunda pergi, cuma nenek keluarga Bagas, tapi Nenek juga ninggalin Bagas, Bagas kesepian, Nek, benar - benar seorang diri sekarang, Nek, bagas akan menjalankan apa yang nenek minta, doain Bagas ya, semoga Bagas tidak mengecewakan nenek, sehingga nenek bahagia disana. Ayah, bunda dan nenek sudah berkumpul disana, tinggal Bagas sendirian." Airmata Bagas semakin mengalir, bagas menangis tiada henti tak kuasa menahan pilu hatinya, hidup sendirian tanpa keluarga terasa sangat berat baginya, Bagas sadar Harta saja tidak cukup membuatnya bahagia, Bagas butuh keluarga, butuh orang - orang yang sayang padanya dengan tulus, Bagas merasakan benar - benar hidup yang hampa. Bagas Bangkit dan melangkah peegi meninggalkan makam, masuk kedalam mobil unt
Setelah makan malam selesai, Bagas kembali kekamarnya begitupun Adam dan isteri serta kedua anaknya. Malam semakin larut, Bagas masih terjaga dikamarnya, masih packing beberapa pakaian yang menurutnya tidak terlalu mewah dan barang - barang keperluannya, karena ponsel yang sekarang digunakan adalah ponsel mahal dan pakaian yang akan dibawa juga hanya beberapa steal, rencananya besok saat diperjalanan ke Subang Bagas akan membeli ponsel baru, ponsel yang biasa saja dan beberapa pakaian tak bermerk dan barang - barang kebutuhan lainnya. Waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari, Bagas segera bergegas untuk tidur, karena besok harus bangun pagi - pagi, tak berapa lama Bagas berbaring ditempat tidurnya, Bagas sudah terlelap dalam tidurnya. Singkat cerita, Bagas sudah siap dengan semua persediaan yang akan dibawanya, Bagas memanggil Saripah, Asep dan joni untuk menemuinya diruang tamu, tak berapa lama mereka sudah berkumpul didepan Bagas. "Mbok, pak Asep
Adam dan Bagas sudah berada didalam mobil, rencananya hari ini akan mencari tempat tinggal yang tidak terlalu jauh dari tempat Bagas bekerja, tapi sebelumnya mereka akan makan siang terlebih dahulu, Adam membelokan mobilnya menuju resto, dan memarkirkan mobilnya didepan resto, tak berapa lama Adam dan Bagas menuruni mobil dan melangkah masuk kedalam resto, memilih tempat duduk dan langsung memesan makanan, sambil menunggu makanan datang Adam mulai berbicara perihal kesiapan besok Bagas bekerja dan benar - benar menjadi orang biasa saja, tanpa harta dan kekuasan."Tuan, semoga segalanya bisa berjalan sesuai rencana Tuan dan menemukan apa yang Tuan cari," ucap Adam."Iya, Om, doakan saja."Makanan yang dipesan sudah datang dan mereka segera menyantapnya, tiada obrolan lagi karena masing - masing sibuk dengan makanannya.Setelah selesai makan dan membayarnya, Adam dan Bagas kembali memasuki mobil, dan berkeliling di sekitaran hotel Arimbi, untuk mencari kont
Bagas telah tiba didepan kamar kontrakannya, saat sedang membuka kunci pintu, seseorang menyapa Bagas. "Ngontrak baru,ya?" Bagas menoleh kebelakang, dan tersenyum menyapa orang yang menyapanya. "Iya, baru pindah tadi siang," jawab Bagas sembari mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "Saya Bagas." "Syamsul." "Mari kang, masuk kita ngopi - ngopi," ajak Bagas kepada Syamsul. "Panggil Syamsul saja, boleh deh kebetulan baru pulang kerja ada yang ngasih kopi, Alhamdulillah." Syamsul memang orangnya apa adanya dan suple, sehingga cepat akrab dengan orang - orang baru yang ngontrak disitu, Bagas membuatkan dua cangkir kopi, satu untuknya dan satu lagi untuk Syamsul, sebenarnya ini pertama kali Bagas membuat kopi, untungnya kopi bungkusan yang sudah dengan gula, jadi Bagas hanya tinggal membuatnya saja dengan air panas. Bagas menyimpan kopi tersebut didepan Syamsul yang sudah duduk didalam kamarnya, Syamsul bangkit dan
“Adelia, kamu marah sama aku?” tanya Bagas menatap Adelia yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Enggak,” ucap Adelia singkat, tanpa menatap Bagas.“Kita baru saja baikan, masa harus berjarak lagi, sini duduknya, dekat aku.”“Iya nanti,” tetap menunduk fokus dengan ponselnya.Cindy hanya menggelengkan kepala, melihat Adelia yang sebenarnya jelas ketara kalau sedang cemburu gara – gara tamu wanita yang sebenarnya tidak perlu di besar – besarkan masalahnya, karena Bagas sudah dengan tegas menolak kehadiran mereka.Sinta berjalan dengan perlahan menuju ruang tamu, di ikuti tamu yang bukannya di suruh pergi namun di bawa masuk oleh Sinta. Bagas menatap kearah tamu, bibirnya mengulas senyum, baru saja akan membuka mulutnya untuk menyapa mereka, salah satu dari tamu memberi isyarat menempelkan jari telunjuknya ke bibir, sebagai tanda untuk jangan bersuara, begitu juga Cindy untuk jangan bersuara dan tetap tenang seperti sebelumnya. Salah satu tamu wanita menyapa Bagas dengan sedikit manja.“
Adam sudah berada di kamar Bagas, memapah Bagas duduk di kursi ruang tamu kamar. Adam duduk di depan Bagas mendengarkan dengan wajah serius.“Om, saya belum memberitahu Adelia tentang si pengemudi tersebut, saya hanya takut perkataan saya akan membuat Adelia merasa tidak nyaman, bahwa orang itu adalah Angga, mantan tunangannya, saya baru berbaikan sama Adelia, tidak ingin merusak suasana hatinya, Om belum memberitahu Adelia, kan?”“Selamat Tuan Muda, saya sangat senang mendengar Tuan muda dan Adelia sudah berbaikan. Saya belum bertemu dengan Adelia, setelah mengurus Angga dengan pihak yang berwajib, saya langsung menemui Tuan Muda.”“Syukurlah kalau Adelia belum tahu, saya takut Adelia salah paham harus tahu dari Om dan bukan dari saya, yang jelas – jelas tadi kita berbicara di telepon, Adelia juga pasti menyadari kejanggalan tatapan saya tadi, hanya saja mencoba percaya dengan apa yang saya katakan, seperti tidak ingin merusak suasana hati saya. Saya yang akan memberitahukan langsung
Setibanya di kamar hotel. Syamsul menurunkan Bagas dengan hati – hati untuk berbaring di kasur. Adelia dengan sigap segera mengambil air hangat dan lap kering, membasuh luka – luka Bagas dengan perlahan. Tidak berapa lama Dokter Anwar sudah tiba di kamar Bagas dan segera memeriksa luka – luka Bagas, serta memberikan obat Pereda sakit. setelah selesai mengobati luka – luka Bagas, Dokter Anwar pamit untuk pulang, diantar Syamsul sampai ambang pintu.“Lebih baik kamu istirahat dan minum obatnya, biar nggak demam, aku balik ke ruanganku lagi, ya?” tukas Syamsul.“Terima kasih, Syam.”“Iya, lekas sembuh. nanti aku ke sini lagi sama Heni dan Winda, sekalian nginep nemenin kamu.”"Iya."Syamsul pamit kepada Adelia, Sinta dan Cindy, segera meninggalkan kamar Bagas menuju ruangan kerjanya.“Del, ayo balik kamar, Bagas butuh istirahat,” ucap Sinta.“Kalian balik saja duluan, aku masih ingin disini,” tukas Adelia.Sinta dan Cindy saling tatap, mendengar ucapan Adelia. Cindy memberi kode dalam is
Bagas menghelas napas Panjang dan menghembuskannya perlahan, diletakannya kembali es milo disebelahnya. Membuka kedua tangannya, merasakan tetesan air hujan yang turun perlahan di kedua telapak tangannya, pandangan matanya lurus kedepan, bibirnya tersenyum dalam kesedihan.Sementara di kafe tempat Adelia bersama kedua temannya tidak ada lagi perbincangan, ketiganya saling membisu, seakan larut dalam alunan musik yang mengiringi rintik hujan, gemericiknya seakan menyatu dalam suasana saat itu. Mata cindy tidak sengaja beberapa kali memergoki Adelia yang menengok terus ke arloji.“Adelia, temui saja Bagas,” ucap Cindy.“Maksudnya?”“Del, aku sudah mengenal kamu sangat lama, aku tahu saat ini kamu sedang gelisah. Sudahlah, Del jangan ikuti ego kamu, jangan sampai semuanya terlambat kamu mengerti dan pada akhirnya kamu yang akan menyesal.”“Aku masih belum menemukan jawaban dari keinginanku sendiri, pastinya Bagas juga sudah pergi. Di luar hujan, nggak mungkin dia terus menunggu kedatanga
Mentari pagi bersinar sangat terang, menyinari bumi yang basah akibat hujan semalam. Adelia bersama kedua sahabatnya sudah duduk santai di warung seberang hotel, menikmati sarapan ditemani secangkir es milo racikan si pemilik warung yang nikmatnya tiada duanya, bagi mereka.Mereka membahas prihal ACSMart yang akan membuka cabang lagi di Surabaya, setidaknya ada Reni dan Susi yang bisa di singgahi dan diajak kumpul – kumpul di kala kunjungannya nanti. Rencananya minggu depan mereka akan terbang ke Surabaya, mencari lokasi yang cocok dengan usaha mereka. Mereka bertiga memang berencana dari jaman dulu, membuka usaha bersama. Mendirikan usaha di berbagai kota, agar mereka bisa sekalian traveling juga.“Cin, untuk lokasinya, kita minta bantuan Susi atau Reni saja, mereka lebih hapal daerah sana. Tempat yang ramai tapi belum terlalu banyak pesaing dalam usaha kita,” ucap Adelia.“Boleh, tuh. By the way. Susi dan Reni pada kemana, ya? Aku kirim pesan belum di balas.”“masih tidur, kayaknya!
Adelia sudah berada di dalam kamar hotel, menyimpan sebuket bunga di meja sebelah televisi, diraihnya secarik kertas yang menyelip di tengah – tengah hiasan bunga.Adelia berjalan menuju kursi, duduk dengan menyilangkan kakinya, perlahan tanganya membuka secarik kertas tersebut.***Tahukah kamu…hari – hari yang kulalui, ‘Kesedihan dan kehampaan’.Tahukah kamu…berapa berat waktu yang kulalui, ‘Rindu dalam diam’.Tahukah kamu…Kesedihan, Kehampaan, dan Rindu, mengikat hatiku dalam namamu, ‘Adelia Maheswari’.Betapa bodohnya aku, mengatakan semua ini setelah menyakitimu sangat dalam.Aku datang bukan untuk memintamu memahamiku, tentang betapa rapuhnya aku tanpamu,Tapi, untuk cinta dan masa depan kita,Karena aku datang bukan untuk pergi, ingin menetap selamanya, sebagai rumah yang nyaman.Dan aku tahu, cinta tidak bisa dipaksa, begitu juga hatimu.Aku Tunggu di tempat pertama kali kita bertemu, di waktu yang sama.Entah menjadi saksi bisu yang sama atau saksi bisu tentang luka untukku.
Malam kian beranjak, hanya suara rintik hujan yang menemani kesunyian. Bagas memandang langit dari balkon kamarnya, tiada bintang, terselimut awan hitam pekat. Bagas begitu mendambakan kehadiran sosok Adelia, hatinya pilu membaur bersama kerinduan yang kerap menyelimuti setiap detak napasnya, mengalun dalam irama tak betepi, begitu dekat namun seakan jauh, karena Adelia seakan menutup jalan untuknya.Beberapa kali Bagas melihat layar ponselnya, pesan yang dari siang ia kirim kepada Adelia tiada kunjung balasan, hidupnya seakan terasa hampa.Bagas melangkah masuk ke dalam, duduk menghadap televisi yang terpampang lebar, pandangannya terus menatap layar televisi, dalam batinnya, ‘Hitam pekat membentang, seperti rusak tidak bergambar, hanya memantulkan sosok yang menatapnya’. Bagas terdiam seketika, seakan sedang berpikir dengan ucapannya.Wajahnya yang suram kembali tersenyum, batinnya kembali berkecamuk, ‘Bodohnya aku, sampai harus menyerah begitu saja, hanya karena sikap Adelia yang c
Setelah hampir tiga jam berada di rumah Heni, mereka berlima segera pamit untuk pulang. Danu sudah menghubungi Adelia, dikarenakan akan segera kembali ke Jakarta.Setibanya di hotel. Danu sudah menunggu Adelia di lobi hotel, dengan pakaian rapi, menenteng koper kecil di tangan kirinya.“Adelia, Ayah harus segera pulang. Ayah akan menghadiri rapat tentang hasil kontrak kerja baru dengan perusahaan Ivander Group yang sudah di Acc, sekaligus menyusun anggaran dan rancangan kerja bersama para staf Ayah. Adelia pulang bersama Sinta dan Cindy, ya? Atau mau beberapa hari di sini juga Ayah tidak keberatan, nanti Ayah yang bicara sama Ibu. Ayah juga sudah berbicara dengan Bagas, soal kamar yang kamu tempati, apabila kamu masih ingin di sini.”“Soal kamar, Adel bisa cek-in sekarang, tidak enak sama Bagas harus menginap gratis sampai beberapa hari.”“Bagas tidak keberatan! Kamu nggak usah mempermasalhkannya. Jangan menolak kebaikan seseorang. Nikmati saja waktumu, setelah melalui hal tidak menge
Bagas sudah berada di kamar hotel. Merebahkan badannya yang terasa lelah, matanya terus menatap foto Adelia di ponselnya. Satu notif pesan masuk, tertera nama Cindy. Bagas segera membuka pesan tersebut, dengan cepat membalas pesan Cindy. Bagas memandang langit – langit kamar hotel, bibirnya mengulas senyum ceria. Berguman lirih, ‘Setidaknya orang – orang yang dulu membenciku, kini mau mendukungku untuk kembali kepadamu, Adelia Maheswari. Semoga kamu bersedia membuka jalan untukku, menuju hatimu, aku janji, tidak akan membuatmu menangis lagi’. Perlahan mata Bagas mulai meredup dan melabuhkan diri dalam peraduan mimpi.Keesokan harinya, tepat pukul delapan pagi. Bagas bergegas menuju taman belakang hotel untuk menemui Cindy dan Sinta.“Maaf, sudah menunggu,” ucap Bagas yang masih ngos – ngosan mengatur napasnya, setelah berlari menuju taman belakang.“Santai saja, kita juga sambil menikmati udara pagi,” tukas Sinta.“Kalian sudah sarapan?” tanya Bagas.“Belum.” Sinta dan Cindy menjawab