"Tuan pura-pura lupa, kalo aku sedang mengandung benih dari dia,"balas Diana sambil memegangi setelan beskap dan kain panjang. Wanita ini menciuminya berulang kali lalu mengusap-usap dengan wajah bahagia. "Pasti kamu bertambah gagah memakai ini, Suamiku."Tiba-tiba dari arah depan, datang Rendi menghampiri mereka dengan langkah kaki panjang. Di samping itu ada seorang pria dan wanita berpakaian serba putih mengikutinya."Sayang, kita liburan dulu, yuk!"ajak Rendi sambil memeluk Diana dan kedua orang berpakaian serba putih, mendekat. Salah seorang memegangi tangan Diana, yang satu langsung mempersiapkan injeksi."Jangan lakukan itu!"teriak seorang pria berkacamata dengan beberapa orang pasukan kopassus. Seketika Rendi dan tenaga medis tadi menghentikan aksi. Mereka berdiri terpaku lalu mengangguk memberi hormat. Hal yang sama pun dilakukan oleh para undangan dan juga penghulu.Beberapa saat, seorang wanita berpakaian sama perlentenya dengan pria berkacamata tadi masuk dengan dikawal d
Alena dan mamanya langsung keluar dari kafe lalu menuju tempat parkir. Mereka masuk mobil dan bersiap untuk meninggalkan area insiden yang membuat hati Alena sulit untuk percaya kepada Dylan kembali. Namun, mobil terpaksa berhenti karena Dylan dengan kedua tangan terentang menghadang.Alena menekan klakson beberapa kali supaya pria tersebut cepat menepi, tetapi usaha itu tak berhasil. Dylan justru semakin nekat. Dia mendekat hingga ke bemper depan."Minggir, nggak! Kalau tidak, aku nekat menabrakmu! " teriak Alena dengan muka merah padam."Enggak! Kamu gak boleh pergi, Alena! Tunggu aku selesaikan semua urusan ini,"ucap Dylan dengan kedua tangan telangkup depan dada. Wajah pria tersebut memelas dengan kedua mata berkaca-kaca."Selesaikan semua masalah keluarga kamu dengan Tuan Hadi Wijaya! Aku gak perlu membeli harga dirimu agar kita bisa menikah? Minggirlah!"teriak Alena lalu menekan klakson berulang kali. Dari dalam kafe, Rendi berlari menghampiri. Pria ini langsung masuk mobilnya.
"Tentu saja. Ya sudah, kita istirahat dulu. Besok akan menjadi hari yang begitu menyenangkan untukku, Mom."Alena langsung menarik tangan Dokter Pamela masuk rumah, tetapi wanita yang menggunakan piyama itu menolak keras. "Alena ... kasih tahu Mommy, besok kita ketemu siapa?"tanya Dokter Pamela yang membuat Alena langsung tertawa. "Tunggu saja besok pagi, Mom," ucap Alena lalu berlari masuk kamar.***Tubuh Alena bergetar saat mendengar caci makian dari Dylan. sungguh wanita ini tidak menyangka pria tersebut akan menelepon dirinya dengan perilaku tidak berakhlak di luar kebiasaan.Tubuh Alena benar-benar bergetar saat mendengar caci makian dari bapak biologis putranya itu. Seharusnya dia minta maaf dengan berlaku sopan padaku, batin Alena."Apa maksudmu, Tuan Dylan? Kenapa tiba-tiba mencaci makiku seperti ini?" tanya Alena seraya menahan emosi yang hampir siap meledak. Jemari tangan terkepal karenanya."Kau memang pantas untuk dicaci-maki. Apakah ini adalah alasanmu untuk gak mau me
"Saya Abimana, panggil saja Abi," balasnya dengan tersenyum ramah ke arah Alena.Entah mengapa pertemuan kali pertama dengan pria tampan itu, menjadi pertemuan paling berkesan untuk Alena.Beberapa menit kemudian, bus pun telah berhenti. Tampak Abi dan ibunya sudah bersiap untuk turun dari bus."Saya permisi dulu, Nona. Terima kasih atas kursinya. Semoga kita bisa bertemu lagi," pamitnya dengan ramah."Iya, Tuan, hati-hati. Semoga kita bisa terlaksana," balas Alena sambil berharap bisa bertemu dengan si pria tampan lagi.Abimana dan ibunya lalu segera turun dari bus di sebuah halte, sementara Alena masih akan turun di halte berikutnya.Beberapa menit kemudian, bus itu akhirnya melaju kembali dan Alena rasakan hanya beberapa menit saja, bus telah berhenti di halte tujuan Alena akan turun.Alena pun bergegas turun dari bus dan lanjut memesan ojek online menuju ke rumah sakit di mana dirinya akan melakukan interview. Tampak jalanan saat itu sangat ramai, hingga driver ojol harus berputar
Restu mengikuti ke mana arah mata sobatnya itu memandang. Dia pun tersenyum dan langsung paham, sepertinya Abimana sedang tertarik dengan wanita berambut ikal panjang tersebut."Jadi si rambut panjang itu yang membuatmu bengong seperti kesambet setan, Bi?" canda Restu.Abimana pun tersadar bahwa dirinya terpergok oleh Restu sedang mengamati dokter baru itu. "Eehh, oohh. Hmn, itu ... ahh, sudahlah," balas Abimana terbata-bata dan bingung mau menghindar."Bukannya kamu sudah dijodohkan dengan Sandra?" tanya Restu mengingatkan Abimana akan rencana orang tuanya.Pria yang ditanya barusan seketika berubah ekspresi wajah menjadi murung. Dia tidak memiliki ketertarikan apa pun terhadap Sandra apalagi perasaan khusus. Itu benar-benar murni perjodohan yang diatur antar orang tua. Restu jadi tidak enak hati terhadap Abimana.Pria berkulit agak gelap daripada Abimana tersebut lalu menepuk pundak sahabatnya. "Sori, Bro! Aku gak maksud bikin kamu jengkel."Restu lalu bersandar pada dinding gazebo,
"Tenang, Dokter Abimana! Schedule kita masih setengah jam lagi. Buat mencuri pandang gadis tadi,"timpal Restu sambil tertawa lirih."Bukan soal itu. Aku perlu menukar kemeja yang kering. Tadi sesaat setelah interview aku bilang ke Alena akan mendampinginya dalam memeriksa pasien,"jelas Abimana dengan wajah serius."Buruan kalo gitu! Gara-gara adegan tadi, pikiran kamu jadi soak," celetuk Restu sekenanya.Kedua pria yang sama-sama jangkung ini berjalan berdampingan meninggalkan halaman kafe. Abimana masih terbayang-bayang adegan intim bersama Alena tadi. Dia tersenyum lebar.Alena yang sudah sampai ruang praktek dan langsung mengunci pintu. Wanita ini gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya ada waktu lima belas menit saja untuk bersiap menerima pasien. Alena menyelesaikan mandi dalam waktu sepuluh menit lalu berhias dengan super kilat. Saat pada menit terakhir ....Tok! Tok! Tok!"Permisi!" Terdengar seorang wanita ucap salam dari luar pintu.Alena yang baru saja selesai be
"Dokter Abimana mengaku bahwa kalian sudah bertunangan. Saya minta sama kamu, untuk membujuk Abimana agar mau menikahi Fransiska."Nama itu langsung melekat dalam benak Alena. Wanita tersebut ikut jadi tim penyeleksi karyawan baru. Namun, Alena tetap bingung dengan pengakuan Abimana tanpa konfirmasi lebih dahulu."Maaf, Prof. Silakan saja tanyakan langsung ke Dokter Abimana! Saya tidak ada hak untuk itu.""Kamu kebanyakan protes! Sudah saya bilang kalau Abimana dan Fransiska itu sudah lama dekat. Anak saya hanya mau dengan Abi. Maka dari itu, saya minta kamu untuk bicarakan ini dengan Abimana."Alena mulai lelah berdebat dengan pria itu. Rupanya Profesor Suteja tak mau mengalah. "Saya sudah banyak berjasa di rumah sakit ini. Saya juga bisa minta pihak management untuk ....""Sudah, Prof! Saya ada pasien yang perlu ditangani. Maaf, saya tidak bisa lama-lama. Permisi." Alena tahu apa yang ada dalam benak pria tua itu. Dia pun bergegas pergi dari sana untuk membuang rasa sesak dalam dada
Alena menatap tajam ke kedua mata Abimana. Wanita ini sangat sulit untuk mereka-reka dari modus yang direncanakan oleh Abimana. Namun, dari sorot mata teduh pria tersebut menampilkan sebuah kejujuran. Alena memejamkan mata dan berharap ini sebuah mimpi. Begitu dirinya membuka mata, keadaan masih sama."Dari mana Dokter tahu semua itu?"tanya Alena yang penasaran."Siapa yang paling dipercaya dalam keluarga kamu. Kebetulan kami adalah sahabat yang terpisah oleh waktu.""Apakah Bang Rendi?""Tentu saja. Kami sudah berteman akrab semasa kuliah," jelas Abimana dengan gaya santai."Dokter Fransiska cantik dan pasti cerdas. Dia jadi bagian tim penyeleksi karena punya keistimewaan, kan?"tanya Alena seraya mengamati wajah Abimana.Drrtt! Drrtt!Ponsel milik Abimana berdering. Dokter tampan ini segera merogohnya dari dalam saku celana. Tampak pada layar tertera nomor kontak mamanya."Sebentar! Aku terima telepon dulu. Permisi,"ucap Abimana yang langsung ke luar ruangan."Nak, jaga dia baik-baik