Share

HILANGNYA ADISTA

Dylan gegas menuju kamar Nyonya Kusumasari dan telah siap dengan jawaban masuk akal. Jika maminya merasa curiga dengan kepulangan Adista yang mendadak. Apalagi gaji terakhir Adista tidak diambil. Saat pulang Adista tidak membawa bekal uang yang cukup karena gaji bulan kemarin sebagian besar dikirim ke kampung.

'Tok tok tok!'

"Selamat pagi, Momy!"

Tidak ada sahutan. Dylan teringat jika maminya sedang tidur, selalu Adista yang berlari membuka pintu. Dylan mendorong pintu dan melihat kamar dalam keadaan kosong. Executif chef berhidung bangir ini segera beranjak ke ruang makan. Ada Bik Supi sedang mempersiapkan menu makan pagi.

"Selamat pagi, Tuan Muda. Bibik bikin nasi goreng sosis, lho."

"Selamat pagi, Bik. Terima kasih telah dibikinkan menu favorit aku. Tahu Momy ke mana?"

"Bibik lihat tadi sedang menikmati makan pagi di beranda belakang sama Tuan Albert."

"Bik Supi tahu Adista ke mana?"

"Non Adista, tadi jam 2 pagi pamit pulang kampung. Ada keluarga yang sakit."

"Terima kasih atas infonya, Bik. Saya tinggal cari Mommy. Selamat pagi."

Asisten rumah tangga membalas salam dari Dylan. Pria berambut hitam legam gen dari Nyonya Kusumasari tersebut beranjak pergi menuju beranda belakang. Kedua orang tuanya sedang bercengkrama menikmati sarapan di gazebo tengah taman.

Aku bukanlah laki-laki pecundang! Aku harus temukan dan secepatnya menikahinya, batin Dylan dengan rasa sesak dalam dada.

Dylan tahu semalam adalah masa subur Adista. Beberapa hari sebelumnya si perawat tidak sholat. Darah di seprei bekas semalam adalah bukan haid, rutuk Dylan dalam hati.

Dylan khawatir Adista bisa hamil oleh ulahnya. Ia dalam kondisi terbaik karena beberapa bulan ini ia rajin mengkonsumsi makanan sehat untuk mengimbangi olah raga yang dilakukan. Itu sudah pasti cairan reproduksi yang dihasilkan adalah sehat.

"Astaga! Aku bisa gila!" Dylan mengusap wajahnya dengan telapak tangan secara kasar. Ia menggeleng-gelengkan kepala untuk menepis rasa pening yang tiba-tiba menyerang.

Ia bertempat akan bertanggung jawab dengan apa pun yang terjadi dengan perawat cantik dan lugu yang telah lama ditaksirnya itu. Dylan masih berharap Adista tidak hamil.

***

Dylan menjadi sangat gelisah beberapa hari ini. Raut wajahnya tidak lagi ada senyuman tulus seperti biasanya. Setiap hari dirinya celingukan di bagian pantry untuk mencari keberadaan Umaya. Sous chef yang merupakan teman dekat Adista. Gadis hitam manis tersebut tidak tampak batang hidungnya, meski Dylan mencari di tempat biasanya bertugas.

Dylan jarang menemui sous chef yang tidak bertugas bersamanya. Apalagi untuk bertanya ke sous chef wanita. Hal itu bisa menimbulkan kecurigaan banyak orang. Padahal Dylan ingin segera tahu keberadaan Adista.

Saat ini sudah memasuki hari ke-delapan proses pencarian dan Dylan masih memantau tempat Umaya bertugas. Ia belum juga bertemu dengan sous chef tersebut. Perasaannya sangat mengganjal, mengakibatkan Dylan tak bisa fokus bekerja.

"Tuan Dylan!"panggil Umaya kepada pria yang tampak melamun di pintu masuk koridor tempatnya bertugas. Dylan pun langsung menoleh ke sumber suara.

"Saya sedang mencari Nona," balas Dylan. Pria yang kini berdiri tepat berhadapan dengan Umaya. Sorot matanya yang tajam, hingga membuat Umaya mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

"Maaf, saya pun sedang mencari Anda, Tuan. Tadi saya cari ke dapur, Tuan gak ada. Rupanya ada di sini," ucap Umaya sambil merogoh saku baju seragam.

"Okay,"sahut Executif chef ini singkat. Ia berdiri pada posisi semula tanpa berubah sedikit pun. Tatapannya tetap tajam bagai pedang penghunus nyawa. Ditambah dengan aura kekecewaan karena sebagian waktunya tersita demi menemui Umaya. Itu membuat wajah Dylan terlihat lebih garang dari biasanya.

"Ada apa mencari saya, Tuan?"tanya Umaya penasaran dengan tangan yang batal mengeluarkan amplop dari saku seragam. Tubuhnya gemetar karena khawatir Adista telah membuat kesalahan fatal. Dylan menemuinya untuk ikut bertanggung jawab.

"Kita perlu bicara berdua dan tidak di sini,"balas Dylan dengan suara tegas.

"Ada apa, Tuan? Kayaknya penting banget. Apa berhubungan dengan Adista?"

"Kita bicara di kantin saja," ucap Dylan dengan ekor mata mengawasi sekitar. Perilaku aneh executif chef di depannya ini membuat Umaya berpikir dalam.

"Mari, Tuan."

Dylan dan Umaya pun akhirnya beranjak pergi menuju kantin dalam pandangan mata curiga beberapa crew kitchen yang kebetulan bersimpangan jalan, terutama Vira. Sous chef genit ini bahkan diam-diam mengikuti mereka dengan menjaga jarak.

Ada apa dengan mereka? Tumben Chef Dylan berjalan berduaan dengan Umaya ke kantin, batin Vira dengan hati jengkel.

Aku harus mencari tahu ada kepentingan apa Tuan Dylan dengan Umaya? Tidak ada yang lebih berhak berdekatan dengan Tuan Dylan, selain aku seorang, batin Vira dengan amarah menggebu. Dia telah terobsesi untuk memiliki pria tersebut dengan cara apa pun.

Meskipun Dylan benar-benar ingin segera tahu akan keberadaan Adista. Namun, ia tetap harus menjaga wibawa sebagai seorang pimpinan chef.

"Ada apa, Tuan?"tanya Umaya sesaat setelah mereka duduk di salah satu kursi kantin.

"Di mana rumah Adista?"

"Adista gak ada di rumah, Tuan. Dia telah pergi," jawab Umaya dengan ekspresi sedih. Baru kali ini, Adista tidak mau berterus terang padanya. Padahal mereka biasa curhat berdua mengenai masalah apa pun.

"Dari mana Nona Umaya tahu itu?"

"Saya kemarin cuti selama seminggu karena Ibu sakit. Saya dan Adista beda desa saja. Saat saya ada di kampung, Adista sempat telepon sedang cari saya di kosan. Dia suruh saya sering tengok keluarganya. Habis itu nomor Adista tidak bisa saya hubungi lagi. Ada apa dengan Adista, Tuan?"

"Boleh saya minta alamat lengkap Adista?"

"Oh, ya, ada titipan surat dari Adista." Umaya mengambil sebuah amplop dari dalam saku. "Silakan."

Dylan menerima amplop dan langsung masukan saku celana. Entah kenapa, dalam hatinya beranggapan bahwa itu adalah kelanjutan dari memo yang diterimanya. Hati Dylan semakin remuk. Dia patah hati, meskipun tidak ada ikatan cinta di antara keduanya. Dylan menaruh hati pada Adista dalam diam.

"Nona, saya maaf atas kejadian ini," ungkap Dylan dengan penuh penyesalan.

"Minta maaf kenapa, Tuan? Memangnya, apa yang terjadi dengan Adista?"tanya Umaya heran sekaligus cemas.

Ucapan perpisahan dari Adista lewat telepon lalu titipan pesan padanya untuk sering menengok keluarga Adista dan juga surat untuk Chef Dylan telah membuat Umaya bertanya-tanya. Apalagi ucapan minta maaf dari Chef Dylan, semakin membuat Umaya khawatir dengan keadaan Adista.

"Adista pergi saat saya masih tidur. Saya sudah mencari ke indekos dia dulu, tapi gak ada. Saya ingin mencari ke rumah orang tuanya,"jelas Dylan tatapan lurus ke pupil mata Umaya. Tatapannya membuat wanita ini jadi gugup. Sepertinya ada yang aneh dengan gesture tubuh Dylan. Pria itu bahkan berbicara tanpa menggunakan intonasi sama sekali, benar-benar datar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status