Dylan gegas menuju kamar Nyonya Kusumasari dan telah siap dengan jawaban masuk akal. Jika maminya merasa curiga dengan kepulangan Adista yang mendadak. Apalagi gaji terakhir Adista tidak diambil. Saat pulang Adista tidak membawa bekal uang yang cukup karena gaji bulan kemarin sebagian besar dikirim ke kampung.
'Tok tok tok!' "Selamat pagi, Momy!" Tidak ada sahutan. Dylan teringat jika maminya sedang tidur, selalu Adista yang berlari membuka pintu. Dylan mendorong pintu dan melihat kamar dalam keadaan kosong. Executif chef berhidung bangir ini segera beranjak ke ruang makan. Ada Bik Supi sedang mempersiapkan menu makan pagi. "Selamat pagi, Tuan Muda. Bibik bikin nasi goreng sosis, lho." "Selamat pagi, Bik. Terima kasih telah dibikinkan menu favorit aku. Tahu Momy ke mana?" "Bibik lihat tadi sedang menikmati makan pagi di beranda belakang sama Tuan Albert." "Bik Supi tahu Adista ke mana?" "Non Adista, tadi jam 2 pagi pamit pulang kampung. Ada keluarga yang sakit." "Terima kasih atas infonya, Bik. Saya tinggal cari Mommy. Selamat pagi." Asisten rumah tangga membalas salam dari Dylan. Pria berambut hitam legam gen dari Nyonya Kusumasari tersebut beranjak pergi menuju beranda belakang. Kedua orang tuanya sedang bercengkrama menikmati sarapan di gazebo tengah taman. Aku bukanlah laki-laki pecundang! Aku harus temukan dan secepatnya menikahinya, batin Dylan dengan rasa sesak dalam dada. Dylan tahu semalam adalah masa subur Adista. Beberapa hari sebelumnya si perawat tidak sholat. Darah di seprei bekas semalam adalah bukan haid, rutuk Dylan dalam hati. Dylan khawatir Adista bisa hamil oleh ulahnya. Ia dalam kondisi terbaik karena beberapa bulan ini ia rajin mengkonsumsi makanan sehat untuk mengimbangi olah raga yang dilakukan. Itu sudah pasti cairan reproduksi yang dihasilkan adalah sehat. "Astaga! Aku bisa gila!" Dylan mengusap wajahnya dengan telapak tangan secara kasar. Ia menggeleng-gelengkan kepala untuk menepis rasa pening yang tiba-tiba menyerang. Ia bertempat akan bertanggung jawab dengan apa pun yang terjadi dengan perawat cantik dan lugu yang telah lama ditaksirnya itu. Dylan masih berharap Adista tidak hamil. *** Dylan menjadi sangat gelisah beberapa hari ini. Raut wajahnya tidak lagi ada senyuman tulus seperti biasanya. Setiap hari dirinya celingukan di bagian pantry untuk mencari keberadaan Umaya. Sous chef yang merupakan teman dekat Adista. Gadis hitam manis tersebut tidak tampak batang hidungnya, meski Dylan mencari di tempat biasanya bertugas. Dylan jarang menemui sous chef yang tidak bertugas bersamanya. Apalagi untuk bertanya ke sous chef wanita. Hal itu bisa menimbulkan kecurigaan banyak orang. Padahal Dylan ingin segera tahu keberadaan Adista. Saat ini sudah memasuki hari ke-delapan proses pencarian dan Dylan masih memantau tempat Umaya bertugas. Ia belum juga bertemu dengan sous chef tersebut. Perasaannya sangat mengganjal, mengakibatkan Dylan tak bisa fokus bekerja. "Tuan Dylan!"panggil Umaya kepada pria yang tampak melamun di pintu masuk koridor tempatnya bertugas. Dylan pun langsung menoleh ke sumber suara. "Saya sedang mencari Nona," balas Dylan. Pria yang kini berdiri tepat berhadapan dengan Umaya. Sorot matanya yang tajam, hingga membuat Umaya mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "Maaf, saya pun sedang mencari Anda, Tuan. Tadi saya cari ke dapur, Tuan gak ada. Rupanya ada di sini," ucap Umaya sambil merogoh saku baju seragam. "Okay,"sahut Executif chef ini singkat. Ia berdiri pada posisi semula tanpa berubah sedikit pun. Tatapannya tetap tajam bagai pedang penghunus nyawa. Ditambah dengan aura kekecewaan karena sebagian waktunya tersita demi menemui Umaya. Itu membuat wajah Dylan terlihat lebih garang dari biasanya. "Ada apa mencari saya, Tuan?"tanya Umaya penasaran dengan tangan yang batal mengeluarkan amplop dari saku seragam. Tubuhnya gemetar karena khawatir Adista telah membuat kesalahan fatal. Dylan menemuinya untuk ikut bertanggung jawab. "Kita perlu bicara berdua dan tidak di sini,"balas Dylan dengan suara tegas. "Ada apa, Tuan? Kayaknya penting banget. Apa berhubungan dengan Adista?" "Kita bicara di kantin saja," ucap Dylan dengan ekor mata mengawasi sekitar. Perilaku aneh executif chef di depannya ini membuat Umaya berpikir dalam. "Mari, Tuan." Dylan dan Umaya pun akhirnya beranjak pergi menuju kantin dalam pandangan mata curiga beberapa crew kitchen yang kebetulan bersimpangan jalan, terutama Vira. Sous chef genit ini bahkan diam-diam mengikuti mereka dengan menjaga jarak. Ada apa dengan mereka? Tumben Chef Dylan berjalan berduaan dengan Umaya ke kantin, batin Vira dengan hati jengkel. Aku harus mencari tahu ada kepentingan apa Tuan Dylan dengan Umaya? Tidak ada yang lebih berhak berdekatan dengan Tuan Dylan, selain aku seorang, batin Vira dengan amarah menggebu. Dia telah terobsesi untuk memiliki pria tersebut dengan cara apa pun. Meskipun Dylan benar-benar ingin segera tahu akan keberadaan Adista. Namun, ia tetap harus menjaga wibawa sebagai seorang pimpinan chef. "Ada apa, Tuan?"tanya Umaya sesaat setelah mereka duduk di salah satu kursi kantin. "Di mana rumah Adista?" "Adista gak ada di rumah, Tuan. Dia telah pergi," jawab Umaya dengan ekspresi sedih. Baru kali ini, Adista tidak mau berterus terang padanya. Padahal mereka biasa curhat berdua mengenai masalah apa pun. "Dari mana Nona Umaya tahu itu?" "Saya kemarin cuti selama seminggu karena Ibu sakit. Saya dan Adista beda desa saja. Saat saya ada di kampung, Adista sempat telepon sedang cari saya di kosan. Dia suruh saya sering tengok keluarganya. Habis itu nomor Adista tidak bisa saya hubungi lagi. Ada apa dengan Adista, Tuan?" "Boleh saya minta alamat lengkap Adista?" "Oh, ya, ada titipan surat dari Adista." Umaya mengambil sebuah amplop dari dalam saku. "Silakan." Dylan menerima amplop dan langsung masukan saku celana. Entah kenapa, dalam hatinya beranggapan bahwa itu adalah kelanjutan dari memo yang diterimanya. Hati Dylan semakin remuk. Dia patah hati, meskipun tidak ada ikatan cinta di antara keduanya. Dylan menaruh hati pada Adista dalam diam. "Nona, saya maaf atas kejadian ini," ungkap Dylan dengan penuh penyesalan. "Minta maaf kenapa, Tuan? Memangnya, apa yang terjadi dengan Adista?"tanya Umaya heran sekaligus cemas. Ucapan perpisahan dari Adista lewat telepon lalu titipan pesan padanya untuk sering menengok keluarga Adista dan juga surat untuk Chef Dylan telah membuat Umaya bertanya-tanya. Apalagi ucapan minta maaf dari Chef Dylan, semakin membuat Umaya khawatir dengan keadaan Adista. "Adista pergi saat saya masih tidur. Saya sudah mencari ke indekos dia dulu, tapi gak ada. Saya ingin mencari ke rumah orang tuanya,"jelas Dylan tatapan lurus ke pupil mata Umaya. Tatapannya membuat wanita ini jadi gugup. Sepertinya ada yang aneh dengan gesture tubuh Dylan. Pria itu bahkan berbicara tanpa menggunakan intonasi sama sekali, benar-benar datar."Adista pergi saat saya masih tidur. Saya sudah mencari ke indekos dia dulu, tapi gak ada. Saya ingin mencari ke rumah orang tuanya,"jelas Dylan tatapan lurus ke pupil mata Umaya. Tatapannya membuat wanita ini jadi gugup. Sepertinya ada yang aneh dengan gesture tubuh Dylan. Pria itu bahkan berbicara tanpa menggunakan intonasi sama sekali, benar-benar datar."Maaf, Chef. Sebenarnya ada masalah apa dengan Adista?"tanya Umaya yang semakin penasaran."Ini soal pribadi antara saya dengan Adista. Nanti setelah Adista ketemu baru bisa saya jelaskan. Mana alamat Adista?"Masalah pribadi? Kenapa Adista minggat? Banyak tanya yang tersimpan dalam benak Umaya."Baik, Chef. Saya kasih alamat lengkap Adista saja. Sebentar!" Umaya membuka menu dalam ponsel lalu mencari catatan tentang alamat-alamat penting. "Saya langsung kirim ke nomor Tuan.""Silakan,"ucap Dylan sambil menatap layar ponsel dengan harap-harap cemas. Dalam hitungan detik, pesan pun sampai. Dylan segera membuka lalu membacanya. Pria
"Gimana?"tanya Dylan antusias."Alamat yang kamu kasih tadi, aku paham betul. Dulu aku sempat ada sekitar enam taon jadi Kapolsek di sana. Aku temani.""Wah, Kebetulan sekali. Oke, aku tunggu di rest area."*****Sementara itu, Adista yang pergi tanpa tujuan telah mendapat sebuah kamar untuk disewa sambil mencari kerja. Beruntung sekali tetangga kos Adista sangat baik dan ramah. Gadis ini tidak begitu kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan karena informasi dari para tetangga."Kebetulan aku kemarin tengok teman melahirkan. Ada lowongan kerja jadi asisten dokter di klinik sana. Coba kamu melamar kerja ke sana, Adista," ucap seorang wanita setengah baya yang menjadi tetangga kos Adista."Wah, kebetulan sekali. Terima kasih banyak informasinya, Bu," balas Adista dengan mata berbinar-binar."Buruan bikin surat lamaran kerja. Biar gak keduluan yang lain.""Baik, Bu. Saya permisi dulu mau persiapkan berkas-berkas."Itu tadi pembicaraan Adista dengan salah satu tetangganya semalam. Pagi ini,
"Terima kasih banyak atas jamuannya. Kami permisi dulu. Selamat sore ""Terima kasih kembali. Selamat sore dan selamat bekerja,"balas Dylan, sesaat sebelum dua petugas patroli meninggalkan tempat. Setelah mobil patroli beranjak pergi, Dylan dan Bara pun melanjutkan perjalanan.Sepanjang perjalanan dua orang yang bersahabat dengan profesi berbeda tersebut tidak banyak bicara. Dylan masih asyik dengan pikirannya sendiri dan Bara paham bahwa sang sahabat sedang ada masalah besar. Perwira polisi tersebut memilih menikmati musik dari tape mobil."Bara, nanti bantu aku jika keluarga kudatangi bersikap bar-bar." Akhirnya Dylan membuka mulut juga."Memang kamu bikin ulah apaan?"tanya Bara sambil mengernyitkan dahi."Hal memalukan. Ini akibat ulah Vira.""Vira yang sekongkol dengan polisi patroli? Cerita ke aku, kalo gak keberatan."Akhirnya Dylan menceritakan semua, dari saat acara makan bersama lalu reaksi obat yang diberikan oleh Vira membuat Dylan kelimpungan. Adista yang jadi korban pelam
Drrrt! Drrrt!Akhirnya, ponsel Adista berdering. Dia yang sedang ada di dapur gegas berlari ke kamar. Dia sudah tidak sabar akan bercerita banyak dengan teman karibnya tersebut. Namun, ....Ini nomor kontak Tuan Dylan? Kedua mata Adista langsung melotot dan seketika timbul rasa jengkel terhadap Umaya. Pengkhianat!Adista tersenyum miris. Akhirnya dengan tetesan air mata dia blokir nomor Dylan dan juga Umaya. Dirinya merasa jadi wanita paling sial oleh sikap lugu selama ini. Sungguh Adista tidak menyangka jika Umaya telah akrab dengan Dylan.Dia tidak menyangka bahwa persahabatan mereka tidak ada artinya bagi Umaya. Padahal saat dirinya berpamitan lewat telepon sedikit banyak dia jelaskan kepada Umaya bahwa Dylan telah bersikap kurang ajar."Kurang ajar gimana, Adis? Yang aku tahu, Chef Dylan itu sopan dan baik. Ada apa sebenarnya? Cerita, dong!""Habis ini aku malu ketemu semua. Aku gak mampu jaga diri. Dia serigala berbulu domba. Gara-gara dia, aku malu bertemu keluarga. Aku telah me
Dokter Pamela keluar dari mobil lalu mendekat ke arah pintu. Wanita ini bisa memastikan bahwa Adista ada dalam kamarnya. Itu pasti ada sesuatu yang membuatnya harus sembunyi dari Tuan Dylan. Jiwa keibuannya telah mendominasi suasana hatinya. Ada yang istimewa dengan pegawai barunya itu dan hal itu telah dirasakan sejak mereka bertatap muka.Tok! Tok! Tok!"Nona Adista! Saya tahu, kamu ada di dalam,"ucap Dokter Pamela dengan menempelkan mulut pada lubang kunci. Wanita pemilik klinik tersebut berdiri menunggu reaksi dari dalam. Namun, hingga beberapa menit belum juga ada respon."Nona Adista! Saya mau menolong."Tak berapa lama, pintu dibuka dari dalam dan Adista membuka sedikit daun pintu."Dokter Pamela, maaf,"ucap Adista dengan terbata-bata."Buruan beresin barang-barang kamu. Ikut saya sekarang!"pinta Dokter Pamela dengan tatapan mata serius.Adista sudah tidak mampu menolak lagi karena dalam otaknya kini memang harus segera pergi dari tempat yang telah terendus oleh Dylan. Dia tida
"Den, jangan naik kasur! Kusut lagi, kan!" Suara omelan seorang wanita menimpali jeritan Rendi pun tidak kalah heboh. Dokter Pamela yang mendengar suara mereka, seketika tertawa terpingkal-pingkal. "Itu pasti si Rendi liat kupu-kupu." "Kupu-kupu, Nyonya?"tanya Adista sambil mengernyitkan dahi. Perawat muda ini ikut vibe bahagia yang ditularkan oleh Dokter Pamela. Dia yang tidak pernah senyum sejak peristiwa tragis yang dialaminya, baru saja bisa tersenyum meski tipis. Adista merasakan bahwa atmosfer dalam lingkungan Dokter Pamela sangat menyenangkan. Rasa takut, marah, khawatir yang semula membelenggu dirinya sedikit-sedikit mulai terlepas. "Ayo, lihat Rendi!"ajak Dokter Pamela sambil berjalan cepat ke arah kamar. Mau tidak mau, Adista jadi menyusul langkahnya. Saat mereka sampai di ambang pintu, tampak Rendi dengan wajah pucat pasi duduk menekuk lutut sambil memandangi kupu-kupu yang terbang mengitari ranjang. Binatang bersayap cantik tersebut seperti sengaja menggoda pria tamp
"Ada apa dengan Adista, Mbok?"tanya Dokter Pamela dengan ekspresi cemas mendekati ranjang. Rendi mengikuti ke ranjang lalu meminta aroma terapi dari Mbok Darmi. Pria ini memijat kaki Adista dengan minyak tersebut."Saya tadi bercerita soal kecelakaan pesawat. Nona Adista tiba-tiba pingsan,"jelas Mbok Darmi."Kecelakaan pesawat?"tanya Dokter Pamela bingung."Maaf, Nyonya. Soal Tuan dan Nona Alena. Maaf,"balas Mbok Darmi merasa bersalah. Wanita tua ini berkata dengan menundukkan kepala.Dokter Pamela merenung sejenak seusai Mbok Darmi berkata. Wanita ini merasa ada sesuatu pada Adista. Sejak mereka bertemu pertama kali saat interview, Dokter Pamela merasakan sebuah chemistry unik di antara dirinya dengan perawat tersebut."Apa mungkin dia punya pengalaman tak mengenakan dengan pesawat terbang?"tanya Dokter Pamela sembari merapikan anak rambut yang menutupi wajah Adista. Tiba-tiba pandangan Dokter Pamela tercengang pada saat melihat ada luka bekas jahitan di kening Adista sebelah kanan.
"Oh my God! Aku jadi ingat semua. Bang Rendi dapat ini dari mana?"tanya Adista dengan berurai air mata. Meski masih samar-samar dalam ingatan, tetapi Adista sudah bisa mengingat sedikit demi sedikit peristiwa tragis yang pernah dialaminya saat masa kanak-kanak dulu."Boneka ini jatuh, saat Nona diselamatkan oleh seorang bapak-bapak. Sebelum pesawat terbang meledak,"ungkap Rendi menceritakan kembali peristiwa tragis yang sempat disaksikan belasan tahun yang lalu.Oleh karena dia saksi utama, maka dari itu Dokter Pamela merengkrutnya jadi staf ahli di laboratorium klinik. Kini, boneka yang disimpan oleh Rendi telah menemukan tuan putrinya. "Akhirnya, semua jadi jelas. Nona pasti tahu dengan maksudku," ucap Rendi dengan ekspresi lega. Dokter Pamela kehabisan kata-kata karena saking bahagianya. Dari kedua pelupuk mata mengalir deras bulir-bulir bening.Ya, wanita yang telah belasan tahun dalam kesendirian tak berujung dan hanya punya satu keyakinan bahwa sang putri akan kembali ke peluka
"Iya. Mama paham. Alena cinta Dylan dan kamu dianggap sebagai Abang.""Buat apa mencintai pria yang sering menyakiti hati? Aku baru kali ini bikin luka hati Alena, itu pun terpaksa kulakukan. Aku ingin Alena hanya untukku dan rasa cinta bisa ditumbuhkan pelan-pelan."Dokter Pamela sudah tidak bisa menanggapi omongan Rendi. Dia akan pasrahkan keputusan akhir kepada Alena. Padahal saat ini kondisi psikis Alena belum stabil. Pemilik klinik kesehatan ini harus pandai-pandai mengatur strategi agar sama-sama nyaman."Kali ini Mama mohon belas kasihan dari kamu. Tunggu keadaan Alena sampai sehat dulu. Tolong jangan ganggu dengan situasi yang bisa memicu kepanikan dia. Bisa, kan?"Permintaan dari Dokter Pamela ini layaknya buah simalakama bagi Rendi. Di satu sisi, ia ingin segera menikah dengan Alena dan di sisi yang lain, dia terpaksa menuruti kemauan wanita yang telah banyak berjasa dalam hidupnya itu. Tiada lagi yang bisa Rendi lakukan, selain ...."Baik, Ma! Aku akan tunggu sampe Alena pu
Setelah itu, Dokter itu menutup pintu lalu buru-buru ke ruang kemudi. Mereka harus segera menemui psikiater langganan Alena. Sejak kasus penculikan dan pelecehan di gudang milik Pak Gunadi, Alena menjadi pelanggan setia psikiater. Hal ini sudah berhasil disembuhkan, akan tetapi kambuh kembali karena guncangan yang dialaminya kembali. Anxiety disorder yang dialami oleh Alena, sudah lama sembuh. Namun gangguan tersebut sekarang mulai terlihat gejalanya kembali. Wanita cantik ini tampak gelisah, sekujur tubuh gemetar dengan keringat membasahi raut wajah dan leher. Dalam waktu 30 menit, mereka pun telah sampai tujuan. Alena yang masih dilanda kecemasan duduk meringkuk dengan tubuh menggigil. Dokter Pamela langsung memeluknya. Wanita ini berkata,"Tenang, Sayang! Mama ada sama kamu." Beberapa saat, Dokter Pamela perlu memberi waktu pada Alena agar bisa stabil emosinya. Setelah Alena sedikit tenang, akhirnya mereka keluar mobil dan langsung menuju ruang pemeriksaan. Psikiater melakuka
"Syok! Bangun dari tidur tanpa pakaian ditutup selimut.""Oke. Kita lapor polisi. Bisa-bisanya, tadi di kafe, dia gak bilang apa-apa ke Mommy."Baru juga mulut Dokter Pamela berhenti berucap, terdengar nada dering ponsel. Wanita ini mengambilnya dari dalam tas. Ia menatap layar ponsel lalu menoleh ke arah Alena."Rendi,"ucapnya hampir seperti orang berbisik."Apa pun ucapan dia, Mommy gak boleh pergi!"pinta Alena segera.Dokter Pamela pun mengangguk lalu menerima panggilan masuk."Iya, Ren. Ada apa?"tanyanya kepada anak angkatnya itu."Mama ada di mana? Aku mau bicara empat mata,"balas Rendi dari ujung telepon."Mama lagi home care, nih,"jawab Dokter Pamela yang langsung diacungi jempol oleh Alena."Kapan selesai, Ma?""Bisa sejam atau lebih. Setelah perawatan biasanya ada sesi diskusi. Ada apa, sih? Macam emergency saja,"sahut Dokter Pamela berniat memancing omongan lawan bicaranya."Bisa dibilang gitu. Hari ini aku harus bisa bicara dengan Mama.""Ngomong saja sekarang. Sama saja,
Ia memesan segelas jus jeruk lalu dengan pandangan tajam menatap ke arah jalan. Mobil Dokter Pamela sudah memasuki tempat parkir. Mata Alena terbelalak, di belakangnya muncul mobil Rendi."Bulshit! Ngapain ngikut?"keluh Alena dengan suara lirih. Rasa kesalnya membuat gigi-giginya gemerutuk. Ia ambil daftar menu buat menutup wajahnya. Kemudian dari baliknya ia mengintip ke arah pintu masuk.Kini tampak Rendi sudah berjalan menghampiri Dokter Pamela. Alena semakin ambil sikap. Beruntung, di saat pikiran wanita ini sedang buntu, ada seorang waiters melintas. Alena segera memanggilnya lirih."Maaf, boleh sAya minta tolong?"tanya Alena dengan sedikit membungkuk."Silakan, Nyonya,"balas si waiters ramah."Boleh saya minta secarik kertas?"tanya Alena lagi.Waiters tersebut segera menyobek selembar kertas dari book note yang dibawanya. "Silakan, Nyonya!"Waiters itu mengulurkan kertas beserta bolpoin. Alena menerima dengan tersenyum."Saya tulis pesan dulu,"ucap Alena. Dokter muda ini buru-bu
"Bang, kamu panggil aku apa?" "Sepertinya tadi aku harus lebih keras lagi saat memanggilmu, Sayang." Rendi semakin terkekeh. "Mulai sekarang, itu panggilan untuk kamu, Alena. Sejak semalam, kamu sudah menjadi milikku. Itu artinya, kamu tidak boleh pergi. Apalagi, tadi malam Abang tidak menggunakan pengaman dan mengeluarkannya di dalam. Abang berharap kamu hamil." Betapa kaget Alena mendengar penjelasan dari Rendi. Dengan kedua mata melotot, ia pun bertanya,"Apa maksud Abang? Sengaja bikin aku hancur? Suka liat Mommy terpuruk?" Rendi segera merangkul tubuh Alena. Pria dengan menitikkan air mata berucap,"Abang ingin jagain kamu. Abang cinta kamu sejak awal kita pertemu. Abang gak rela disakiti Dylan lagi." "Bukan begini caranya, Bang!"teriak Alena lalu membalut rapat tubuhnya dengan selimut. Ia bangkit lalu mengambil pakaian di atas kasur. Ia berlari menuju kamar mandi. Rendi mengejar langkah kaki Alena. Pria ini berdiri di depan pintu kamar mandi. Ia tidak akan menyesali apa pun ya
Sedang asyik menikmati pemandangan alam tiba- tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya dan deru nafas hangat mendekati daun telinga Alena."Kamu suka?"tanya Rendi berbisik.Seperti terkena hipnotis, Alena mengangguk dan mengukirkan lengkung senyuman di kedua pipi. Namun, tak lama ia berjengit kaget setelah menyadari sesuatu.Saat itulah, Alena kembali tersadar akan kenyataan. Ia buru-buru melepaskan diri dari Rendi. Ia mendorong pria tersebut agar menjauh."Kenapa Abang bawa aku ke sini?"tanya Alena terdengar geram. Gigi-giginya terdengar gemerutuk. Ia begitu benci dengan situasi seperti saat ini. Ia semakin ngeri berhadapan dengan Rendi."Aku ingin menyelamatkan kamu dari Dylan. Dia tak pantas untukmu. Pria plin-plan seperti dia, akan selalu membuatmu sakit hati. Apalagi dengan keadaan kamu yang sekarang. Abang khawatir itu jadi alasan dia untuk mendua atau bahkan meninggalkan kamu,"ungkap Rendi dengan tatapan sendu ke arah Alena."Bang, ingat! Aku sudah tunangan dengan Tuan Dy
"Mbok Darmi?" Terdengar suara Alena yang terbata-bata dari dalam kamar. "Tolong buka pintu, Non!" Akhirnya terdengar suara langkah kaki menuju pintu. Pada saat pintu terbuka, tampak wajah sembab Alena yang sehabis menangis. Jejak basah masih menggenang pada pelupuk mata dan pipi. Alena menyeka jejak itu dengan ujung lengan baju. "Non, apa yang terjadi?"tanya Mbok Darmi dengan wajah cemas. "Gak ada apa, Mbok. Tolong bikinkan aku jus jeruk,"ucap Alena terdengar terbata-bata. Hatinya terlampau sakit dan itu membuat suaranya serak. "Mbok akan bikinkan. Tapi, kalo ada sesuatu gak mengenakkan, Non bisa cerita ke Mbok. Jangan dipendam sendiri!" "Iya, Mbok. Makasih, ya,"balas Alena yang beranjak menuju jendela. Ia membuka kacanya lalu menikmati pemandangan di hadapannya. Ia ingin menggalau ingatan tentang kejadian barusan. "Mbok, tinggal ke dapur dulu." Ucapan Mbok Darmi tanpa balasan dari Alena. Wanita tua ini beranjak keluar kamar lalu menutup pintu. Alena menatap hamparan la
"Oke. Aku tunggu di sana." Terdengar suara langkah kaki menjauh. Alena menutup program dalam layar laptopnya lalu berjalan menuju toilet. Ia membasuh muka beberapa saat. Setelah itu menyeka wajah sambil menarik napas dalam-dalam. Ia embuskan napas kembali dengan perasaan sedikit lega.Kini langkah kaki wanita berambut lebat tersebut mengarah menghampiri Dylan. Ia harus bisa berbicara secara mendetail dengan calon suaminya. Saat dirinya sampai, tampak Dylan sedang mengobrol dengan Rendi. Begitu wanita ini mendekat, kedua pria buru-buru mengakhiri pembicaraan."Aku harus pergi menemui Mama. Kalian jaga rumah baik-baik,"ucap Rendi seraya berdiri. Ia menepuk bahu Dylan lalu berjalan menghampiri Alena. Ia pun berbicara lirih kepada adik angkatnya itu. "Ada apa-apa, buruan kasih kabar!""Baik, Bang,"balas Alena pelan sambil mengangguk. Rendi berlalu menuju anak tangga dan Alena melihat kepergiannya sampai menghilang dari pandangan. Dylan yang tidak sabaran lalu bangkit dan berjalan mendek
Analis ini menautkan kedua alis setelah membaca isi kertas tersebut. la menatap Dylan, seolah-olah bertanya maksud dari kertas ini."Gue nggak tau siapa yang kirim kertas itu, tapi gue rasa ada yang janggal,"jelas Dylan berhati-hati."Janggal gimana? Emang yang dia maksud anaknya siapa?"tanya Rendi seraya menatap tajam ke arah Dylan."Alena ... maybe.""Dia sedang berjalan kemari,"ucap Rendi memperingatkan Dylan. Saat menoleh ke arah dalam, ia melihat kehadiran wanita itu. "Pergi saja ke laboratorium! Aku sempat minta tes kesuburan terhadap Abimana.""Oke. Lebih baik aku ke sana dulu sebelum menemui Abimana,"balas Dylan. Ucapan Dylan berakhir tepat pada saat langkah kaki Alena sampai di dekat mereka. Ia membawa cemilan untuk menemaninya menonton drama Korea. Sebungkus besar kacang telur dan sebotol jus mangga berada dalam genggamannya. "Ada yang mau temani aku nonton tivi?"tanya Alena dengan wajah memelas.Rendi seketika menyenggol perut Dylan. "Biar Abang saja yang temani kamu. Dyl