"Terima kasih banyak atas jamuannya. Kami permisi dulu. Selamat sore "
"Terima kasih kembali. Selamat sore dan selamat bekerja,"balas Dylan, sesaat sebelum dua petugas patroli meninggalkan tempat. Setelah mobil patroli beranjak pergi, Dylan dan Bara pun melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan dua orang yang bersahabat dengan profesi berbeda tersebut tidak banyak bicara. Dylan masih asyik dengan pikirannya sendiri dan Bara paham bahwa sang sahabat sedang ada masalah besar. Perwira polisi tersebut memilih menikmati musik dari tape mobil. "Bara, nanti bantu aku jika keluarga kudatangi bersikap bar-bar." Akhirnya Dylan membuka mulut juga. "Memang kamu bikin ulah apaan?"tanya Bara sambil mengernyitkan dahi. "Hal memalukan. Ini akibat ulah Vira." "Vira yang sekongkol dengan polisi patroli? Cerita ke aku, kalo gak keberatan." Akhirnya Dylan menceritakan semua, dari saat acara makan bersama lalu reaksi obat yang diberikan oleh Vira membuat Dylan kelimpungan. Adista yang jadi korban pelampiasan nafsunya. "Sekarang ini kita akan mencari Adista ke rumah keluarganya?"tanya Bara dengan ekspresi tidak percaya. "Ya, aku berharap dia ada di sana. Apa pun yang terjadi, aku siap menanggung risiko." Bara yang mendengar ucapan Dylan seketika tersenyum lebar lalu menepuk bahunya. "Itu namanya pria gentle!" Dylan bertambah bersemangat mendapatkan dukungan dari Bara. Namun sayang, saat mereka sampai di alamat tujuan, pihak keluarga tidak mengetahui keberadaan Adista. "Anak saya ke mana, Tuan? Dia hanya kirim uang saja. Hapenya gak bisa dihubungi lagi,"jelas ibu Adista dengan terisak-isak. Kabar yang dibawa oleh Dylan sangat mengejutkan wanita separuh baya ini. "Saya mohon kita selalu terhubung untuk berkomunikasi. Sambil mencari informasi tentang Adista. Ini untuk gaji terakhir dari Adista, mohon diterima, Bu," ucap Dylan sambil menggenggamkan amplop warna cokelat ke tangan ibunya Adista. "Ini kok tebal sekali. Gaji Adista gak sebanyak ini, Tuan,"balas wanita separuh baya tersebut sambil membolak-balik amplop yang tampak tebal dengan kedua tangan. "Saya beri sedikit bonus, Bu. Adista sangat telaten dan sabar dalam merawat mama saya. Kedua orang tua saya merasa sangat berterima kasih kepada Adista. Kami pamit akan mencari ke tempat lain. Permisi. Selamat malam," ucap Dylan yang menyalami ibu Adista lalu diikuti oleh Bara. Pencarian mereka akan keberadaan Adista tidak mendapatkan hasil. Dylan semakin merasa berdosa dan tidak bisa memaafkan diri sendiri. Sementara itu, Adista yang pergi tanpa tujuan telah mendapat sebuah kamar untuk disewa sambil mencari kerja. Beruntung sekali tetangga kos Adista sangat baik dan ramah. Gadis ini tidak begitu kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan karena informasi dari para tetangga. "Kebetulan aku kemarin tengok teman melahirkan. Ada lowongan kerja jadi asisten dokter di klinik sana. Coba kamu melamar kerja ke sana, Adista," ucap seorang wanita setengah baya yang menjadi tetangga kos Adista. "Wah, kebetulan sekali. Terima kasih banyak informasinya, Bu," balas Adista dengan mata berbinar-binar. "Buruan bikin surat lamaran kerja. Biar gak keduluan yang lain." "Baik, Bu. Saya permisi dulu mau persiapkan berkas-berkas." Itu tadi pembicaraan Adista dengan salah satu tetangganya semalam. Pagi ini, gadis berpenampilan bersahaja ini sedang menunggu waktu interview di ruang tunggu sebuah klinik. "Adista Prativi. Dimohon menuju ruang direktur utama. Terima kasih." Terdengar panggilan dari speaker di ruang tunggu. Adista gegas berdiri lalu beranjak menuju ruangan yang dimaksud. Gadis lugu hanya perlu berjalan sekitar 30 meter dan kini telah berdiri di depan pintu ruangan yang dimaksud. 'Tok tok tok!' "Permisi!"teriak Adista. "Silakan masuk!" Adista memutar handle pintu lalu mendorongnya. Tampak ruangan dalam yang luas untuk ukuran ruang kerja sebuah klinik. Ruangan full berdinding putih bersih dengan fasilitas super lux, seperti tampilan ruangan seorang CEO dalam drakor. Adista terkesima sekaligus takjub menatap setiap sudut ruangan. Dia sambil berjalan menuju meja direktur utama sambil berdecak kagum. Saat dirinya sampai di hadapan seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan, kakinya sedikit gemetar. Wajah wanita ini mirip sekali dengan Nyonya Kusumasari Binar--mama Dylan. Wanita cantik dengan wajah blasteran tersebut tersenyum ramah. "Silakan duduk, Nona." "Terima kasih, Nyonya," balas Adista sembari duduk di hadapan wanita tampak cantik dan elegan tersebut. "Perkenalkan, saya Nyonya Pamela Smith, direktur utama sekaligus owner klinik ini." "Saya Adista Prativi, Nyonya. Mohon kiranya saya bisa diterima kerja di klinik ini,"balas Adista dengan tatapan sendu. "Kenapa harus memohon. Kamu telah say terima sebagai pegawai klinik mulai besok. Tolong bersiaplah diri untuk training. Selamat," ucap Nyonya Pamela sambil berdiri lalu mengulurkan tangan. Adista yang tidak percaya dengan pendengarannya sendiri langsung berdiri lalu menjabat tangan wanita di depannya dengan ragu-ragu. "Benarkah, saya telah diterima kerja?" "Benar. Kenapa, ada yang salah?" "Enggak, Nyonya. Saya tidak percaya bisa langsung diterima kerja di sini. Terima kasih banyak, Nyonya. Saya akan bekerja semaksimal kemampuan," ucap Adista dengan raut wajah berseri-seri. "Silakan pulang dan saya tunggu Anda, besok tepat jam 8 pagi." "Baik, Nyonya Pamela. Terima kasih banyak. Selamat pagi." Adista beranjak meninggalkan ruang Nyonya Pamela dengan hati berbunga-bunga. Wanita yang tidak lagi gadis ini berniat akan ke konter ponsel untuk membeli nomor SIM card. Dia bertekad akan melupakan semua kejadian tragis yang dialaminya. Dengan berat hati, terpaksa menahan rindu sementara waktu kepada keluarganya. Adista tidak pernah bisa berbohong kepada keluarga, terutama ibunya. Dia belum tidak mau derita yang dialaminya menambah beban pikiran sang ibu. Sejak bapaknya meninggal, beban ibunya sudah semakin berat. Adista hanya ingin selalu terhubung dengan Umaya saja. "Kak, beli SIM card sekaligus isi pulsa,"ucap Adista saat sampai di depan etalase konter ponsel. "Ada, Kak. Sebelah sini. Silakan dipilih,"balas penjaga konter. Adista memilih salah satu sesuai provider yang biasa dipakainya. Setelah itu dengan dibantu penjaga konter mulai melakukan proses registrasi dan isi ulang pulsa. Wanita muda berusia 22 tahun ini mengulurkan selembar uang merah sambil berucap,"Silakan ambil kembalianya." "Terima kasih banyak, Kak," balas penjaga konter dengan wajah berseri-seri. Ini adalah hari keberuntungannya. Sementara Adista buru-buru berlari ke arah halte karena sudah mulai gerimis. Rupanya gerimis sudah menjadi butiran. Bus yang ditunggu tidak kunjung reda dan Adista iseng-iseng mengirim pesan ke aplikasi W******p. [Selamat siang. Benar ini Nona Umaya?] Tak perlu menunggu waktu lama, pesan dari Adista langsung dibaca oleh Umaya. Seketika pesan balasan pun diterimanya. [Selamat siang juga. Iya, benar. Saya Umaya. Ada yang bisa saya bantu?] [Bisa minta tolong, pesankan baso daging sapi tanpa kuah, saos dan kecap. Kasih sambal doang.] Umaya langsung membaca pesan barusan, tetapi tidak langsung dibalas. Adista menunggu dengan hati berdebar-debar. Bus pun telah tiba dan Adista bergegas naik. Sepanjang perjalanan dirinya menunggu balasan dari Umaya. Dia berharap bisa membuat surprise untuk teman karibnya itu. Bus telah sampai depan komplek indekos dan Adista turun pelan-pelan karena hujan masih turun rintik-rintik. Hingga wanita muda ini membuka pintu kamar, tidak ada balasan dari Umaya. Padahal dia tahu pasti, dengan menyebutkan makanan favoritnya saja, Umaya sudah tahu bahwa itu dirinya. Drrrt! Drrrt! Akhirnya, ponsel Adista berdering. Dia yang sedang ada di dapur gegas berlari ke kamar. Dia sudah tidak sabar akan bercerita banyak dengan teman karibnya tersebut. Namun, .... Ini nomor kontak Tuan Dylan? Kedua mata Adista langsung melotot dan seketika timbul rasa jengkel terhadap Umaya. Pengkhianat!Drrrt! Drrrt!Akhirnya, ponsel Adista berdering. Dia yang sedang ada di dapur gegas berlari ke kamar. Dia sudah tidak sabar akan bercerita banyak dengan teman karibnya tersebut. Namun, ....Ini nomor kontak Tuan Dylan? Kedua mata Adista langsung melotot dan seketika timbul rasa jengkel terhadap Umaya. Pengkhianat!Adista tersenyum miris. Akhirnya dengan tetesan air mata dia blokir nomor Dylan dan juga Umaya. Dirinya merasa jadi wanita paling sial oleh sikap lugu selama ini. Sungguh Adista tidak menyangka jika Umaya telah akrab dengan Dylan.Dia tidak menyangka bahwa persahabatan mereka tidak ada artinya bagi Umaya. Padahal saat dirinya berpamitan lewat telepon sedikit banyak dia jelaskan kepada Umaya bahwa Dylan telah bersikap kurang ajar."Kurang ajar gimana, Adis? Yang aku tahu, Chef Dylan itu sopan dan baik. Ada apa sebenarnya? Cerita, dong!""Habis ini aku malu ketemu semua. Aku gak mampu jaga diri. Dia serigala berbulu domba. Gara-gara dia, aku malu bertemu keluarga. Aku telah me
Dokter Pamela keluar dari mobil lalu mendekat ke arah pintu. Wanita ini bisa memastikan bahwa Adista ada dalam kamarnya. Itu pasti ada sesuatu yang membuatnya harus sembunyi dari Tuan Dylan. Jiwa keibuannya telah mendominasi suasana hatinya. Ada yang istimewa dengan pegawai barunya itu dan hal itu telah dirasakan sejak mereka bertatap muka.Tok! Tok! Tok!"Nona Adista! Saya tahu, kamu ada di dalam,"ucap Dokter Pamela dengan menempelkan mulut pada lubang kunci. Wanita pemilik klinik tersebut berdiri menunggu reaksi dari dalam. Namun, hingga beberapa menit belum juga ada respon."Nona Adista! Saya mau menolong."Tak berapa lama, pintu dibuka dari dalam dan Adista membuka sedikit daun pintu."Dokter Pamela, maaf,"ucap Adista dengan terbata-bata."Buruan beresin barang-barang kamu. Ikut saya sekarang!"pinta Dokter Pamela dengan tatapan mata serius.Adista sudah tidak mampu menolak lagi karena dalam otaknya kini memang harus segera pergi dari tempat yang telah terendus oleh Dylan. Dia tida
"Den, jangan naik kasur! Kusut lagi, kan!" Suara omelan seorang wanita menimpali jeritan Rendi pun tidak kalah heboh. Dokter Pamela yang mendengar suara mereka, seketika tertawa terpingkal-pingkal. "Itu pasti si Rendi liat kupu-kupu." "Kupu-kupu, Nyonya?"tanya Adista sambil mengernyitkan dahi. Perawat muda ini ikut vibe bahagia yang ditularkan oleh Dokter Pamela. Dia yang tidak pernah senyum sejak peristiwa tragis yang dialaminya, baru saja bisa tersenyum meski tipis. Adista merasakan bahwa atmosfer dalam lingkungan Dokter Pamela sangat menyenangkan. Rasa takut, marah, khawatir yang semula membelenggu dirinya sedikit-sedikit mulai terlepas. "Ayo, lihat Rendi!"ajak Dokter Pamela sambil berjalan cepat ke arah kamar. Mau tidak mau, Adista jadi menyusul langkahnya. Saat mereka sampai di ambang pintu, tampak Rendi dengan wajah pucat pasi duduk menekuk lutut sambil memandangi kupu-kupu yang terbang mengitari ranjang. Binatang bersayap cantik tersebut seperti sengaja menggoda pria tamp
"Ada apa dengan Adista, Mbok?"tanya Dokter Pamela dengan ekspresi cemas mendekati ranjang. Rendi mengikuti ke ranjang lalu meminta aroma terapi dari Mbok Darmi. Pria ini memijat kaki Adista dengan minyak tersebut."Saya tadi bercerita soal kecelakaan pesawat. Nona Adista tiba-tiba pingsan,"jelas Mbok Darmi."Kecelakaan pesawat?"tanya Dokter Pamela bingung."Maaf, Nyonya. Soal Tuan dan Nona Alena. Maaf,"balas Mbok Darmi merasa bersalah. Wanita tua ini berkata dengan menundukkan kepala.Dokter Pamela merenung sejenak seusai Mbok Darmi berkata. Wanita ini merasa ada sesuatu pada Adista. Sejak mereka bertemu pertama kali saat interview, Dokter Pamela merasakan sebuah chemistry unik di antara dirinya dengan perawat tersebut."Apa mungkin dia punya pengalaman tak mengenakan dengan pesawat terbang?"tanya Dokter Pamela sembari merapikan anak rambut yang menutupi wajah Adista. Tiba-tiba pandangan Dokter Pamela tercengang pada saat melihat ada luka bekas jahitan di kening Adista sebelah kanan.
"Oh my God! Aku jadi ingat semua. Bang Rendi dapat ini dari mana?"tanya Adista dengan berurai air mata. Meski masih samar-samar dalam ingatan, tetapi Adista sudah bisa mengingat sedikit demi sedikit peristiwa tragis yang pernah dialaminya saat masa kanak-kanak dulu."Boneka ini jatuh, saat Nona diselamatkan oleh seorang bapak-bapak. Sebelum pesawat terbang meledak,"ungkap Rendi menceritakan kembali peristiwa tragis yang sempat disaksikan belasan tahun yang lalu.Oleh karena dia saksi utama, maka dari itu Dokter Pamela merengkrutnya jadi staf ahli di laboratorium klinik. Kini, boneka yang disimpan oleh Rendi telah menemukan tuan putrinya. "Akhirnya, semua jadi jelas. Nona pasti tahu dengan maksudku," ucap Rendi dengan ekspresi lega. Dokter Pamela kehabisan kata-kata karena saking bahagianya. Dari kedua pelupuk mata mengalir deras bulir-bulir bening.Ya, wanita yang telah belasan tahun dalam kesendirian tak berujung dan hanya punya satu keyakinan bahwa sang putri akan kembali ke peluka
"Anak Nyonya dirawat di Rumah Sakit Mayapada Medica Gedung Seroja laantai 8 nomor 2204." "Terima kasih atas bantuannya, Pak,"ucap Adista sembari memberikan lembaran uang. "Saya harus lekas ke rumah sakit. Silakan lanjutkan tugas Anda. Maaf, merepotkan.""Baik, Nyonya. Saya permisi."Adista berjalan penuh percaya diri. Dia dulu hanya seorang perawat junior yang selalu mengemis pekerjaan dan tidak pernah memakai pakaian bagus bahkan jarang makan menu mahal karena kemiskinan.Dia lakukan penghematan biaya demi mencukupi kebutuhan keluarga, terutama biaya pengobatan bapaknya. Adista merasa bangga sebagai anak orang miskin yang bisa mengenyam pendidikan tinggi hingga menjadi seorang perawat. Namun, itu kisah masa lalu Adista yang gadis lugu dan miskin, meskipun cantik.Kini, dirinya seperti terlahir kembali sebagai wanita cantik yang terlahir dalam keluarga konglomerat. Adista telah memiliki semua impian para wanita. Dia memiliki segala kualifikasi yang tinggi, lulusan kedokteran luar n
"Dokter akan memeriksa pasien." Tiba-tiba Femy muncul memberitahu jadwal pemeriksaan. Adista menoleh dan kaget begitu bertatap mata dengan perawat tersebut, lagi. Ini orang dibayar berapa oleh Vira, batin Adista. Perawat dekat ranjang Gilbert mengamati Adista dan menjadi terkesiap. Ya, dia merasa mengenali gesture tubuh wanita cantik di depannya. Tali kasih persahabatan di antara keduanya masih kuat terasa. Wanita perawat ini mendekat ke arah Adista. "Apa kabar?" Sapaan dari Maya membuat Adista mati kutu sesaat dan beruntung bisa segera mengendalikan diri. Dokter cantik lulusan University of Auckland tersenyum manis lalu balik menyapa,"I'm fine. Thanks you " Maya pun dibuat tercengang saat mendengar suara Adista yang familiar di telinganya. Namun, perawat ini buru-buru menyangkal bahwa Adista tidak sefasih itu dalam berbahasa Inggris. Dirinya telah salah orang. Padahal, andai benar seperti dugaannya, Maya akan bercerita banyak tentang sikap intimidasi Femy dan Vira terhadap diriny
"Alergi seafood bisa sakit macam gitu? Dia sempat pingsan tadi.""Ya, memang itu salah satu gejala alergi seafood. Macam-macam gejala alergi itu. 1. Ada yang kulit terasa gatal dan kering (eksim), sakit perut, diare, mual, dan muntah. 2. Hidung tersumbat, mengi, dan sesak napas. Bengkak di bibir, wajah, lidah, dan tenggorokan. 3. Kepala terasa pusing hingga pingsan. Pada kondisi tertentu, reaksi alergi bisa menjadi sangat serius dan membahayakan nyawa penderitanya. Kondisi ini disebut juga syok anafilaktik. Paham?"Dylan mendengar penjelasan dari Nugraha langsung tersenyum. Semakin yakin dirinya akan status Gilbert. "Oke. Gue bahagia dengar penjelasan lu. Pamit dulu.""Gila, lu. Ada yang sakit, malah bahagia.""Lu mau ke mana?"tanya Nugraha heran."Yang gue tahu, alergi itu dipengaruhi oleh gen dan alergi dia sama kayak gue. Thanks, Bro." Dylan beranjak meninggalkan ruangan dengan senyum lebar menghiasi kedua pipi. Pria ini hanya perlu sebuah pernyataan resmi secara medis bahwa kromos
"Iya. Mama paham. Alena cinta Dylan dan kamu dianggap sebagai Abang.""Buat apa mencintai pria yang sering menyakiti hati? Aku baru kali ini bikin luka hati Alena, itu pun terpaksa kulakukan. Aku ingin Alena hanya untukku dan rasa cinta bisa ditumbuhkan pelan-pelan."Dokter Pamela sudah tidak bisa menanggapi omongan Rendi. Dia akan pasrahkan keputusan akhir kepada Alena. Padahal saat ini kondisi psikis Alena belum stabil. Pemilik klinik kesehatan ini harus pandai-pandai mengatur strategi agar sama-sama nyaman."Kali ini Mama mohon belas kasihan dari kamu. Tunggu keadaan Alena sampai sehat dulu. Tolong jangan ganggu dengan situasi yang bisa memicu kepanikan dia. Bisa, kan?"Permintaan dari Dokter Pamela ini layaknya buah simalakama bagi Rendi. Di satu sisi, ia ingin segera menikah dengan Alena dan di sisi yang lain, dia terpaksa menuruti kemauan wanita yang telah banyak berjasa dalam hidupnya itu. Tiada lagi yang bisa Rendi lakukan, selain ...."Baik, Ma! Aku akan tunggu sampe Alena pu
Setelah itu, Dokter itu menutup pintu lalu buru-buru ke ruang kemudi. Mereka harus segera menemui psikiater langganan Alena. Sejak kasus penculikan dan pelecehan di gudang milik Pak Gunadi, Alena menjadi pelanggan setia psikiater. Hal ini sudah berhasil disembuhkan, akan tetapi kambuh kembali karena guncangan yang dialaminya kembali. Anxiety disorder yang dialami oleh Alena, sudah lama sembuh. Namun gangguan tersebut sekarang mulai terlihat gejalanya kembali. Wanita cantik ini tampak gelisah, sekujur tubuh gemetar dengan keringat membasahi raut wajah dan leher. Dalam waktu 30 menit, mereka pun telah sampai tujuan. Alena yang masih dilanda kecemasan duduk meringkuk dengan tubuh menggigil. Dokter Pamela langsung memeluknya. Wanita ini berkata,"Tenang, Sayang! Mama ada sama kamu." Beberapa saat, Dokter Pamela perlu memberi waktu pada Alena agar bisa stabil emosinya. Setelah Alena sedikit tenang, akhirnya mereka keluar mobil dan langsung menuju ruang pemeriksaan. Psikiater melakuka
"Syok! Bangun dari tidur tanpa pakaian ditutup selimut.""Oke. Kita lapor polisi. Bisa-bisanya, tadi di kafe, dia gak bilang apa-apa ke Mommy."Baru juga mulut Dokter Pamela berhenti berucap, terdengar nada dering ponsel. Wanita ini mengambilnya dari dalam tas. Ia menatap layar ponsel lalu menoleh ke arah Alena."Rendi,"ucapnya hampir seperti orang berbisik."Apa pun ucapan dia, Mommy gak boleh pergi!"pinta Alena segera.Dokter Pamela pun mengangguk lalu menerima panggilan masuk."Iya, Ren. Ada apa?"tanyanya kepada anak angkatnya itu."Mama ada di mana? Aku mau bicara empat mata,"balas Rendi dari ujung telepon."Mama lagi home care, nih,"jawab Dokter Pamela yang langsung diacungi jempol oleh Alena."Kapan selesai, Ma?""Bisa sejam atau lebih. Setelah perawatan biasanya ada sesi diskusi. Ada apa, sih? Macam emergency saja,"sahut Dokter Pamela berniat memancing omongan lawan bicaranya."Bisa dibilang gitu. Hari ini aku harus bisa bicara dengan Mama.""Ngomong saja sekarang. Sama saja,
Ia memesan segelas jus jeruk lalu dengan pandangan tajam menatap ke arah jalan. Mobil Dokter Pamela sudah memasuki tempat parkir. Mata Alena terbelalak, di belakangnya muncul mobil Rendi."Bulshit! Ngapain ngikut?"keluh Alena dengan suara lirih. Rasa kesalnya membuat gigi-giginya gemerutuk. Ia ambil daftar menu buat menutup wajahnya. Kemudian dari baliknya ia mengintip ke arah pintu masuk.Kini tampak Rendi sudah berjalan menghampiri Dokter Pamela. Alena semakin ambil sikap. Beruntung, di saat pikiran wanita ini sedang buntu, ada seorang waiters melintas. Alena segera memanggilnya lirih."Maaf, boleh sAya minta tolong?"tanya Alena dengan sedikit membungkuk."Silakan, Nyonya,"balas si waiters ramah."Boleh saya minta secarik kertas?"tanya Alena lagi.Waiters tersebut segera menyobek selembar kertas dari book note yang dibawanya. "Silakan, Nyonya!"Waiters itu mengulurkan kertas beserta bolpoin. Alena menerima dengan tersenyum."Saya tulis pesan dulu,"ucap Alena. Dokter muda ini buru-bu
"Bang, kamu panggil aku apa?" "Sepertinya tadi aku harus lebih keras lagi saat memanggilmu, Sayang." Rendi semakin terkekeh. "Mulai sekarang, itu panggilan untuk kamu, Alena. Sejak semalam, kamu sudah menjadi milikku. Itu artinya, kamu tidak boleh pergi. Apalagi, tadi malam Abang tidak menggunakan pengaman dan mengeluarkannya di dalam. Abang berharap kamu hamil." Betapa kaget Alena mendengar penjelasan dari Rendi. Dengan kedua mata melotot, ia pun bertanya,"Apa maksud Abang? Sengaja bikin aku hancur? Suka liat Mommy terpuruk?" Rendi segera merangkul tubuh Alena. Pria dengan menitikkan air mata berucap,"Abang ingin jagain kamu. Abang cinta kamu sejak awal kita pertemu. Abang gak rela disakiti Dylan lagi." "Bukan begini caranya, Bang!"teriak Alena lalu membalut rapat tubuhnya dengan selimut. Ia bangkit lalu mengambil pakaian di atas kasur. Ia berlari menuju kamar mandi. Rendi mengejar langkah kaki Alena. Pria ini berdiri di depan pintu kamar mandi. Ia tidak akan menyesali apa pun ya
Sedang asyik menikmati pemandangan alam tiba- tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya dan deru nafas hangat mendekati daun telinga Alena."Kamu suka?"tanya Rendi berbisik.Seperti terkena hipnotis, Alena mengangguk dan mengukirkan lengkung senyuman di kedua pipi. Namun, tak lama ia berjengit kaget setelah menyadari sesuatu.Saat itulah, Alena kembali tersadar akan kenyataan. Ia buru-buru melepaskan diri dari Rendi. Ia mendorong pria tersebut agar menjauh."Kenapa Abang bawa aku ke sini?"tanya Alena terdengar geram. Gigi-giginya terdengar gemerutuk. Ia begitu benci dengan situasi seperti saat ini. Ia semakin ngeri berhadapan dengan Rendi."Aku ingin menyelamatkan kamu dari Dylan. Dia tak pantas untukmu. Pria plin-plan seperti dia, akan selalu membuatmu sakit hati. Apalagi dengan keadaan kamu yang sekarang. Abang khawatir itu jadi alasan dia untuk mendua atau bahkan meninggalkan kamu,"ungkap Rendi dengan tatapan sendu ke arah Alena."Bang, ingat! Aku sudah tunangan dengan Tuan Dy
"Mbok Darmi?" Terdengar suara Alena yang terbata-bata dari dalam kamar. "Tolong buka pintu, Non!" Akhirnya terdengar suara langkah kaki menuju pintu. Pada saat pintu terbuka, tampak wajah sembab Alena yang sehabis menangis. Jejak basah masih menggenang pada pelupuk mata dan pipi. Alena menyeka jejak itu dengan ujung lengan baju. "Non, apa yang terjadi?"tanya Mbok Darmi dengan wajah cemas. "Gak ada apa, Mbok. Tolong bikinkan aku jus jeruk,"ucap Alena terdengar terbata-bata. Hatinya terlampau sakit dan itu membuat suaranya serak. "Mbok akan bikinkan. Tapi, kalo ada sesuatu gak mengenakkan, Non bisa cerita ke Mbok. Jangan dipendam sendiri!" "Iya, Mbok. Makasih, ya,"balas Alena yang beranjak menuju jendela. Ia membuka kacanya lalu menikmati pemandangan di hadapannya. Ia ingin menggalau ingatan tentang kejadian barusan. "Mbok, tinggal ke dapur dulu." Ucapan Mbok Darmi tanpa balasan dari Alena. Wanita tua ini beranjak keluar kamar lalu menutup pintu. Alena menatap hamparan la
"Oke. Aku tunggu di sana." Terdengar suara langkah kaki menjauh. Alena menutup program dalam layar laptopnya lalu berjalan menuju toilet. Ia membasuh muka beberapa saat. Setelah itu menyeka wajah sambil menarik napas dalam-dalam. Ia embuskan napas kembali dengan perasaan sedikit lega.Kini langkah kaki wanita berambut lebat tersebut mengarah menghampiri Dylan. Ia harus bisa berbicara secara mendetail dengan calon suaminya. Saat dirinya sampai, tampak Dylan sedang mengobrol dengan Rendi. Begitu wanita ini mendekat, kedua pria buru-buru mengakhiri pembicaraan."Aku harus pergi menemui Mama. Kalian jaga rumah baik-baik,"ucap Rendi seraya berdiri. Ia menepuk bahu Dylan lalu berjalan menghampiri Alena. Ia pun berbicara lirih kepada adik angkatnya itu. "Ada apa-apa, buruan kasih kabar!""Baik, Bang,"balas Alena pelan sambil mengangguk. Rendi berlalu menuju anak tangga dan Alena melihat kepergiannya sampai menghilang dari pandangan. Dylan yang tidak sabaran lalu bangkit dan berjalan mendek
Analis ini menautkan kedua alis setelah membaca isi kertas tersebut. la menatap Dylan, seolah-olah bertanya maksud dari kertas ini."Gue nggak tau siapa yang kirim kertas itu, tapi gue rasa ada yang janggal,"jelas Dylan berhati-hati."Janggal gimana? Emang yang dia maksud anaknya siapa?"tanya Rendi seraya menatap tajam ke arah Dylan."Alena ... maybe.""Dia sedang berjalan kemari,"ucap Rendi memperingatkan Dylan. Saat menoleh ke arah dalam, ia melihat kehadiran wanita itu. "Pergi saja ke laboratorium! Aku sempat minta tes kesuburan terhadap Abimana.""Oke. Lebih baik aku ke sana dulu sebelum menemui Abimana,"balas Dylan. Ucapan Dylan berakhir tepat pada saat langkah kaki Alena sampai di dekat mereka. Ia membawa cemilan untuk menemaninya menonton drama Korea. Sebungkus besar kacang telur dan sebotol jus mangga berada dalam genggamannya. "Ada yang mau temani aku nonton tivi?"tanya Alena dengan wajah memelas.Rendi seketika menyenggol perut Dylan. "Biar Abang saja yang temani kamu. Dyl