Lusi memacu mobilnya dengan kecepatan yang lumayan kencang. Wanita itu menembus pekatnya malam. Jalanan yang cukup sepi memudahkannya untuk mengebut.Alamat Arman adalah tujuannya. Tentu siapa lagi yang bisa melindungi dirinya selain laki-laki itu menurut Lusi. Karena itulah dia sudah membulatkan hati untuk menyerahkan masa depannya bersama patner in crime-nya tersebut.Seharusnya butuh waktu sekitar enam puluh menit jika jalanan sedang padat. Namun, berkat kecepatan mobilnya yang lumayan tinggi Lusi sudah tiba di kediaman Arman setelah empat puluh menit berkendara.Lusi membunyikan klakson mobil. Dia berharap Arman segera keluar rumah untuk membukakan pintu pagar. Sayang sampai klakson yang kelima tidak ada tanda-tanda Arman menampakkan batang hidungnya."Hufff!" Lusi mendengkus kesal, "pasti dia sedang ngelayap."Lusi segera melepas sabuk pengamannya. Wanita itu turun dari sedan berwarna hitam metalik tersebut. Kakinya mengarah ke pintu pagar. Saat ia arahkan pandangannya pada halam
"Kenapa aku harus menyerahkan diri ke polisi?" balas Arman dengan seringai sinis, "aku gak ada masalah dengan Haris jadi hidupku fine-fine aja," jelasnya dengan percaya diri."Saya gak ada masalah dengan Haris." Lusi mengulangi perkataan Arman dengan nada sinis, "Mas Haris bahkan sudah tahu tiap bulan kamu dapat aliran dari aku, itu kamu bilang nggak ada sangkut pautnya dengan dia?""Ck!" Arman hanya bisa berdecak."Inget juga kalo Mas Haris pernah mendapatkan foto-foto mesra kita pas belanja di super market," kata Lusi lagi, "belum lagi data tentang seberapa seiringnya aku check in di Sky hotel. Dan yang paling membuat aku gak bisa berkutik, Mas Haris mulai sadar kalau kita bekerja sama membuat fitnah untuk mendapat Miranti dari rumahnya.""Argghhh!" Arman meluapkan kekesalannya sang dengan meninju tembok rumah."Udah nggak usah banyak berpikir, Man, kita harus cepat meninggalkan rumah ini sebelum Polisi datang menjemput kita." Lagi-lagi Lusi mengingatkan."Gak semudah itu, Lusi.""A
Malam telah berganti pagi. Perlahan gelapnya malam berangsur terang. Kini bahkan di ufuk timur mentari mulai mengintip di balik bukit. Arman masih mengendarai mobil. Pria itu melirik ke samping tampak Lusi yang tengah tertidur. Dia mendengkus pelan. Sebenarnya Arman sudah cukup lelah. Namun, dia belum menemukan tempat yang pas untuk beristirahat. Dirinya juga harus berhati-hati memilih tempat. Arman tidak mau ada yang sampai mengenalinya kendati sekarang sudah jauh ke luar dari kota Jakarta. Akhirnya setelah berjam-jam Arman menemukan tempat untuk berehat. Di sebuah kedai makan pria itu menepikan mobil. "Bangun!" Arman cukup keras menonyor kepala Lusi. Hal tersebut membuat kepala Lusi sedikit terantuk sehingga mengenai kaca jendela mobil. Otomatis Lusi terbangun karenanya. Entah ke mana perginya rasa cinta yang pernah singgah di hati pria itu pada Lusi. Sehingga dengan entengnya Arman melakukan hal tersebut. Arman sendiri memang mulai ilfil bahkan muak sama Lusi ketika merasa di
"Ada nih." Arman menyahut dengan wajah yang semringah. Pria itu segera memasang kartu tersebut ke ponselnya sendiri. Lusi sendiri cukup senang melihat muka Arman cerah. Karena itu tandanya mood Arman sedang baik. "Punya kamu mana?" tanya Arman kemudian. "Ada tuh di dalam tas," sahut Lusi sambil fokus mengemudi. Arman meraih tas Lusi yang ada di jok belakang. Dia pun segera memasang kartu SIM yang satunya ke ponsel tersebut. Dirinya merasa beruntung ada perdana yang sudah aktif. Sehingga tidak lagi repot-repot registrasi. Karena saat ini baik Arman maupun Lusi tentu tidak membawa Kartu KK sebagai salah satu syarat resgistrasi nomor. Akhirnya setelah dipasang kartu perdana yang ada quota internetnya, Arman bisa searching hotel-hotel terdekat. Seperti biasa dirinya memilih beristirahat di hotel bintang tiga. Selain untuk berhemat dan memang tidak ada juga hotel bintang lima di kawasan tersebut. Arman memesan satu kamar untuk berdua. Tiba di kamar dia dan Lusi langsung menjatuhkan b
Arman meneguk ludah. Pria itu tengah berpikir keras bagaimana caranya menghindari razia tersebut."Aduh gimana dong, Man?" keluh Lusi cukup panik sambil menggoyangkan lengan Arman."Bisa diam gak sih?" hardik Arman langsung menyingkirkan tangan Lusi, "ini juga aku lagi mikir cari jalan keluarnya," ocehnya kesal."Ah coba tadi kita stay di hotel dulu jadinya gak ketemu razia." Lusi kembali mengomel.Arman tidak menggubris. Pria itu menatap sekeliling. Hingga akhirnya lewat kaca spion dia melihat ada sebuah warung makan di belakang sana. Tanpa berpikir panjang pria itu memutar balikkan mobilnya."Ngapain ke warung makan lagi, Man?" tanya Lusi saat Arman memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah makan. "Kita udah makan lho tadi di hotel," imbuhnya mengingatkan."Diem!" Arman menaruh jari telunjuknya di bibir Lusi, "kita pura-pura makan di sini dulu sampai razia di depan sana selesai.""Ohhh." Mulut Lusi membulat lebar. "Tapi aku gak makan ya, Man. Perut aku masih kenyang."Arman memut
Gadis berkerudung hitam itu sedikit merasa kasihan. Akhirnya dia menuruti perintah Lusi dengan menemui bosnya di dalam toko. Tidak berselang lama dia kembali bersama bosnya.Lusi sendiri langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Perempuan itu bergegas melepas cincin perkawinannya."Ini berlian asli."Pemilik toko berwajah oriental itu segera memeriksa cincin yang Lusi sodorkan. "Ada kwitansinya?""Seperti yang sudah dibilang tadi, saya dan suami saya itu nggak ada rencana buat jual cincin ini, tapi kami kecopetan di jalan makanya kami butuh uang."Bapak pemilik toko terus mengamati cincin milik Lusi."Apa perlu saya panggil suami saya yang ada di mobil?" Lusi menantang dengan sopan."Gak usah." Pria berkacamata itu menggeleng, "baik karena tidak ada kwitansinya saya akan bayar sebanyak dua puluh juta."Mata Lusi langsung membulat kaget. "Suami saya belinya itu hampir seratus ratus lebih lho, Pak," ujarnya sedikit hiperbola.Pemilik toko menggeleng. "Saya tahu harga pasarannya. Kalau
"Udah? Abang ke sini cuma mau nyampein itu doang?"Pertanyaan dari Gavin membuat Gibran dan Abrina menoleh. Si gadis otomatis melepas pegangan tangannya pada Gibran begitu melihat raut cemburu pada wajah Gavin."Kenapa memang?" Seperti biasa Gibran membalas pertanyaan Gavin dengan tenang."Gak, gue cuma mau ngajak Abrina balik.""Balik? Balik ke mana?" tanya Gibran dan Abrina sama-sama heran.Gavin cukup terpana melihat kekompakan kakak dan gebetannya. "Ke rumah elu lah emang mau ke mana lagi? Kan gak mungkin gue anter ke apartemen Bang Gibran," balasnya sambil melirik sengit ke arah sang kakak.Gibran sendiri hanya bisa tersenyum tipis melihat sang adik tampak sewot."Vin, aku gak salah denger kan?" tanya Abrina serius. "Waktu pulang aku masih dua jam lebih lho," lanjutnya sambil menunjuk jam di dinding yang ternyata baru pukul lima sore kurang sepuluh menit."Lu gak salah dengar kok. Udeh cepet gue anterin." Gavin menyuruh sambil mengulurkan tangannya pada Abrina yang masih santai d
Sapaan lembut seperti itu sudah Gavin dengar ratusan kali tiap kali menjemput dan mengantarkan Abrina. Namun, tetap saja ada desir bahagia tiap kali Gavin mendengarnya. Pemuda itu merasa sudah mengantongi lampu hijau dari Miranti."Tante lagi sibuk gak sore ini?" tanya Gavin usai menyalami Miranti."Biasalah Tante lagi prepare buatin kue-kue pesanan. Kenapa memangnya, Gavin?" Miranti balik tanya dengan lembut."Hari ini aku lagi ulang tahun, Tante. Makanya aku mau traktir Tante makan di luar.""Oh ya? Wah selamat, ya," ucap Miranti langsung mengulurkan tangan, "karena kamu yang ulang tahun maka tante yang akan traktir kamu."Abrina sendiri terbengong mendengar penuturan Gavin. Karena dia tahu ulang tahun pemuda itu masih enam bulan lagi."Engak lah, Tante. Aku aja yang nraktir Tante, yuk!" ajak Gavin sambil menarik tangan Miranti."Tapi Tante belum ganti baju, Vin.""Gak papa, Tante tetap keliatan cantik kok meski pake baju rumah.""Vin, kamu sebenarnya lagi kenapa sih? Kok tiba-tiba