Yukkk bagikan :))
Ash menghela napas, karena jawaban jujurnya akan membuat Mae marah lagi sepertinya. Tapi Ash tidak ingin berbohong.“Aku mengerti kenapa kau marah, tapi aku tidak merasa keputusan itu berlebihan.”Mae menggeleng, lalu duduk pada kursi tunggu yang ada di dekat kaca besar bagian depan. Mae meletakkan beberapa kursi tunggal berjejer untuk pembeli yang mungkin sudah lanjut atau susah berdiri saat mengantri kasir nanti.Ash menyusul dan menarik satu kursi ke hadapan Mae. Sudah cukup lega karena Mae tidak menghindar lagi.“Aku melakukan ini bukan karena melanggar tidak mampu atau lemah, Mary. Ini tentang aku yang ingin ada yang ada disampingmu. Aku yang menjadi penyebabnya, bukan dirimu.” Ash menegaskan sisi dirinya saja.“Dengan cara membuang hasil kerja keras selama bertahun-tahun? Tidakkah kau berpikir ini sangat konyol? Tidakkah kau punya tujuan atau ambisi—”“Sejujurnya—tidak ada. Kehidupanku sangat random dan aku bahkan sempat iri karena kau saja punya mimpi ini.” Ash ikut menunjuk
“Bagaimana?” tanya Mae, sambil memutar tubuhnya. Memamerkan gaun warna abu-abu dengan rok mekar yang dipakainya.“Cantik. Cocok sekali.” Ash mengangguk setuju.“Ash, kau menyebut hal yang sama untuk lima gaun sebelumnya!” sergah Mae. Komentar Ash sangat mirip malah. “Tapi memang kau cantik memakai apapun. Aku harus mengatakan apa?” Ash tidak mengada-ngada, bicara apa adanya. Apapun warna dan modelnya, menurut Ash, Mae tetap cantik untuknya.“Saya rasa Anda bertanya pada orang yang salah. Yang ini sudah terlalu terpesona pada Anda.” Pegawai butik yang mendampingi Mae berkomentar sambil menahan senyum, sementara tangannya sibuk membereskan gaun lain dan membawanya keluar.Mae mengangkat tangan. Sangat setuju, meminta pendapat Ash soal gaun yang akan dipakainya adalah kesalahan besar.“Apa kau mengambil semua foto daun yang aku pakai?” tanya Mae, saat melihat Ash kembali mengangkat ponsel ke arahnya.Ash mengangguk. Ia tidak biasa mengambil foto secara random, tapi ini keadaan yang luar
“You look stunning!” Mae menunjuk Ash dan memekik. (Kau mempesona)Ash tidak memakai seragam yang biasa dilihat Mary—seragam loreng kecoklatan—yang ini jauh berbeda. Dari warna saja sudah biru, lalu lebih banyak benda berkilau—aneka lencana menempel berjejer di kedua dadanya. Ash memakai semua tanda pangkat dan lencana penghargaan yang pernah diterimanya—karena memang harus.“Ini seragam acara formal.” Ash menjelaskan. Jenis seragamnya tidak hanya satu tentu.“Kau yakin tidak memerlukan dada yang lebih luas lagi? Sepertinya terlalu sesak.” Mae mengusap lencana yang berderet itu dengan takjub. Meski tidak tahu darimana atau apa yang dilakukan Ash untuk mendapatkannya, Mae tahu setiap butirnya mengandung pencapaian.“Itu lucu sekali.” Ash sudah tergelak sejak tadi tentu.“Dan aku rasa kau lebih berhak mendapatkan sebutan itu. Kau juga amat mempesona.” Ash tidak bisa berhenti tersenyum semenjak melihat Mae keluar dari kamar.Pilihan Mae—bersama Daisy, Poppy dan Gina—jatuh pada gaun off s
Acara itu tidak dimulai dengan makan, tapi mengobrol sebelum tamu utama—Raja–hadir. Mae merasa terseret, ketika beberapa kali Ash menariknya berpindah dengan cepat, saat ada yang menyapa. Padahal yang menyapa Ash cukup banyak.Sekedar ‘halo’, sampai ada yang memeluk bertanya kabar. Perjamuan itu mulai mirip acara reuni karena Ash bertemu beberapa teman yang jarang ditemuinya. Mereka ada di unit berbeda, jadi tidak mungkin sering bertemu.Tapi Mae sudah lega karena mereka semua menanggapi positif saat Ash memperkenalkan dirinya. Mereka kebanyakan terkejut Ash membawa wanita, dan mengucapkan selamat.“Kau tidak pernah membawa siapapun untuk acara seperti ini?” bisik Mae, saat akhirnya mereka bisa menyingkir sedikit ke tepi untuk minum. Tersenyum dan menyapa begitu banyak orang akan membuat siapa saja haus.“Belum pernah, dan aku sudah menyesal membawamu,” keluh Ash.Mae menurunkan wine di tangannya, tidak jadi minum. “Kau menyesal? Aku membuatmu menyesal?” Mae ketus pastinya.“Karena mer
Parker terutama, karena persis di sebelah Stone, kepalanya menoleh begitu cepat karena terkejut. Sementara Ash tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah Stone bicara lagi, kecuali menjegal dan membekap mulutnya—yang mana tidak mungkin.Ia hanya bisa memandang dengan ngeri saat Stone menjabat tangan Mae dan meneruskan keramahannya.“Anda sangat mempesona malam ini, Mrs. Cooper. Pantas saja suami Anda ini selalu mudah terpancing saat terjadi sesuatu sedikit saja pada Anda.”Seolah belum cukup memberi kejutan dengan memanggil Mae ‘Mrs. Cooper’, Stone malah memperjelas dengan menyebut Ash adalah suami Mae.“Maaf, siapa?” Gina yang tadi berada di samping Rowena, langsung bergeser, dan Mae ikut merasakan horor sekarang. Mengesampingkan peraturan, Gina akan marah—pasti marah.“Siapa apa?” Stone bingung.“Mrs. Cooper?” Gina menunjuk Mae, ingin pembenaran.“Ya, ini istri Mr. Cooper.” Stone seperti tanpa dosa memperjelasnya lagi.Parker yang maju berikutnya, sambil menyambar tangan Gina, merema
“Saya ingin mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang telah diberikan. Saya tidak bisa mengukur rasa syukur—”Dean sudah ada di depan, memberi sambutan, tentu mengucapkan hal yang kurang lebih normal seperti yang lain. Yang tidak normal adalah semua penghuni meja yang bersama Mae dan Ash, karena terlihat mendengar paling tekun. Tidak ada yang saling bicara, semua memandang Dean seolah apa yang dikatakannya penting.Bahkan Ash dan Mae bersikap sama, karena tidak ingin bertemu pandang dengan siapapun.“Sejak kapan kau begitu tertarik dengan apa yang diucapkan aya—”“Shut up!” Ash mendesis sambil menyepak kaki Ian di bawah meja, untuk menghentikannya menyebut ‘ayah’. Ash tidak memerlukan rahasia lainnya terbuka malam ini.“Aku sudah berbisik.” Ian langsung tampak berduka, karena Ash tepat menendang tulang keringnya. Ia sudah berbisik tadi, seharusnya tidak ada yang mendengar.“Tapi aneh juga kau memperhatikannya sampai seperti itu.” Ian masih penasaran dan melirik Mae yang kurang lebih
“Kau benar baik-baik saja?”Ash menyambut Mae yang baru saja keluar dari toilet. Tampak lebih pucat, tapi masih bisa berdiri.Mae memuntahkan seluruh makanan tidak seberapa yang tadi ditelannya. Padahal kata Ian makanannya lezat. Termasuk salmon gemuk yang menggiurkan. Tapi Mae tidak merasakan lezat tadi, dan kini semuanya sudah tidak ada lagi di dalam perutnya.“Ya, aku hanya terlalu tegang.” Mae memeriksa sekitar lorong yang mewah itu. Toilet itu tidak jauh dari ballroom, tentu ornamen dan gaya interior-nya mirip.Mae lalu melepaskan sepatu dan melompat di tempat saat melihat tidak ada orang lain. Sepertinya semua orang masih ada di ballroom karena acara menginjak yang lebih santai. Ada hiburan dari penyanyi entah siapa, yang pasti sangat terkenal karena Mae sampai mendengar suara seruan dan tepuk tangan dari dalam toilet tadi.“Apa—” Ash bingung melihat Mae terus melompat selama beberapa menit.“Melancarkan peredaran darah. Aku tidak tahu apakah akan manjur, tapi rasanya lebih hanga
“Le…lepaskan… pergi…” Mae tahu ia harus menjauh, tapi seluruh atom di tubuhnya memilih untuk takut. Mereka masih ingat rasa sakit apa yang mendera hampir setiap sudut tubuh Mae.“Kau bersama siapa? Kau tidak mungkin sendiri.” Monroe mendorong kacamatanya ke atas hidung, sambil maju mendekati Mae, yang perlahan mundur tapi amat lambat karena kakinya tidak lagi bisa menopang dengan baik.“Apa salah satu bangsawan itu ada yang memeliharamu? Kata Carol kau menjadi peliharaan pria tua sekarang.”“LE…” Mae menepis saat tangan Monroe terulur, tapi Monroe berhasil menarik satu tangan Mae yang lain, lalu menaut pingganggangnya. Memeluk dan menahannya. Rontaan Mae tidak bisa dikatakan perlawanan.“Kau semakin indah, Mary. Tahu begini aku tidak akan melepaskanmu…” Monroe berbisik dan mengusap telinga Mae dengan hidung.Tubuh Mae menggigil, dan air mata turun tidak kendali. Masih ingat, tubuhnya masih ingat. Setiap tendangan, jambakan, tamparan, cubitan, gigitan, cekikan—Mae tidak lupa, hanya me
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga