Iyuhhh banget :((
Ash membuka pintu besar yang ditunjukkan Brad dan mengernyit, karena ruangan itu kosong. Sepertinya ruang untuk memajang hasil seni, entah milik siapa. Banyak lukisan berjejer di sana.“Mana ayahku?” tanya Ash, gusar.“Mungkin tunggu sebentar lagi. Saya rasa masih ada yang mengajaknya bicara.”“Katamu—”“Tidak bisakah kau bersabar sedikit saja?!” Dean sudah ada di belakang Brad, bersama Rowena. “Aku tidak akan meninggalkan Mae.” Ash mendahului bicara, memenggal apapun yang ingin dikatakan ayahnya, menyimpulkan hasil pembicaraan mereka dengan ringkas. Tidak peduli Dean mengatakan apa, Ash tidak akan mengubah apapun.“Aku belum mengatakan apapun, Ash!” Dean menghela napas.“Sama saja. Kau akhirnya ingin aku berpisah dengannya bukan?” Ash tidak meragukan ini.“Ya, aku merasa dia membuatmu semakin aneh. Kau membenciku tanpa alasan karena dirinya.” Dean mendesis.“Kau yang bersyukur Mary menghilang! Aku harus berpikir apa? Kau ingin Mary tidak lagi bertemu denganku!” Ash tahu ia bisa saja
Rumah sakit yang menjadi tujuan mereka tentu saja adalah rumah sakit yang dulu menjadi tempat Ash dirawat dan melarikan diri. Rumah sakit yang berafiliasi dengan Rowena. Paling aman karena mereka bisa datang tanpa pertanyaan.Begitu melihat mobil Dean, mereka menyambut dan membawa Mae masuk. Kalaupun ada pertanyaan yang diajukan, hanya berkisar apa yang terjadi dengan pasien. Jawabannya hanya sedikit, Brad hanya bisa mengulang jawaban tidak jelas yang sama.“Tidak ada luka berat, hanya bahu itu saja. Sepertinya bekas kuku. Saya sudah memastikan tidak ada luka lain, di area lain juga.” Dokter keluar dan memberi penjelasan. Menegaskan kalau luka Mae hanya terpusat di sana saja.“Hanya itu? Dia pingsan!” Dean memprotes, bahkan lebih cepat dari Ash yang masih duduk separuh melamun.“Saya rasa pingsannya itu karena hal lain. Tadi beliau mengatakan tidak ada keluhan sakit apapun selama ini bukan?” Dokter itu mengangguk ke arah Ash, yang tentu menjadi sumber penjelasan riwayat kesehatan Mae,
Ash mengusap memar dan goresan di bahu Mae. Dokter tidak menutup luka itu karena tipis saja sebenarnya. Luka tipis yang tidak akan bisa membuat pingsan.“Ada apa?” Ash menekan kedua pelipisnya, mengingat apa yang sekiranya janggal saat ia meninggalkan Mae.Tapi tidak ada. Ash tidak bisa mengingat detail karena sudah terlalu panik. Ia tidak bisa menunjuk apapun.Ash kembali mengusap memar dan luka Mae. “Siapa…”“Hhhh…”Helaan napas yang membuat Ash berdiri. Mata Mae masih memejam erat, tapi kepalanya menggeleng kuat-kuat.“Pergi!” Ash akhirnya mendengar gumaman tidak jelas dari Mae.“Mary?” Ash menepuk pelan bahunya.“JANGAN!” Mae menjerit keras.“Mary?” Ash memepuk pipinya dengan lebih keras, untuk membangunkannya. Igauan Mae sudah terlihat mengkhawatirkan.“Mary…”“Aku mohon jangan…”Ash yang sudah akan menepuk pipi Mae lagi terdiam. Teriakan Mae tiba-tiba berubah menjadi isak tangis. Mae merintih sambil mencengkram erat selimutnya. “Mary, apa yang…”Ash semakin tidak bisa berkata-k
“Kopi?” Dean mengulurkan kaleng kopi yang baru saja diserahkan oleh Brad.“Aku tidak lagi minum kopi.” Ash melirik dari tempatnya duduk, lalu menggeleng. Ia haus, tapi tidak mungkin mencemari aroma napasnya dengan kopi. Khawatir Mae masih akan bisa menciumnya nanti saat terbangun. “Sejak kapan?” Dean heran. Meski lama tidak dekat, tapi terakhir mereka bersama, Ash masih menikmati kopi.“Sejak Mary takut padanya. Kopi akan membuatnya takut, seperti tadi.” Ash dulu bingung kenapa, tapi kini tidak lagi. Keadaan Mae yang ketakutan persis sama dengan yang dilihatnya tadi.“Kopi… takut?” Dean melirik ke arah ranjang tempat Mae masih tertidur nyenyak. Masih belum amat paham tentu.“Kenapa dia begitu… rusak?” Rowena menganggap kata itu pilihan yang tepat—tapi membuat Ash ingin mengamuk sebenarnya. Hanya tidak punya tenaga. “Aku sudah mengatakannya tadi. Suami pertamanya.” Ash tidak ingin menjelaskan, tapi tidak punya tenaga juga untuk berdebat dan menolak. Melihat keadaan Mae tadi amat mel
“Tapi kau ingin tahu siapa yang menyakiti Mary tadi malam bukan? Kau—”“Aku sudah tahu siapa yang menyakiti Mary. Belum namanya, tapi Mary bertemu monster itu.” Ash menyela ayahnya lagi.“Kau menyimpulkan Monster itu ada di istana tadi malam? Kau yakin?” Rowena tampak ragu karena merasa mereka belum sampai sejauh itu menyimpulkan.“Ya.” Ash menangguk dengan amat yakin.“Maaf, tapi siapa monster ini?” Stone merasa tertinggal tentu.Ash menghela napas, sangat malas mengulang lagi. Dean rupanya paham dan mengambil alih penjelasan itu.“Oh? Yang disebut saat sidang pembunuhan itu? Ya, saya ingat.” Stone mengangguk paham.“Sidang apa? Pembunuhan apa?!” Rowena menyambar sambil membelalak.Ash hanya menggeleng. Bahkan tidak menegur Stone, yang kini panik. Sadar betul ia menyentuh hal yang tidak seharusnya tersebut.“Jadi monster ini yang menyerang Mrs. Cooper malam ini?” Stone berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Rowena, dan memandang Ash saja yang menjawab dengan anggukan.“Anda yakin? Ap
Mae duduk. Memandang jendela yang tirainya terbuka. Tidak amat terang. Pemandangan luar bersalju. Akhir tahun yang normal.Mae menatap butiran salju yang turun entah berapa lama. Tidak ada tujuan khusus, tidak ada keinginan khusus juga untuk melakukan sesuatu. Ia hanya ingin matanya fokus pada sesuatu. Otaknya seperti kurang ingin bekerja, dan pemandangan itu adalah sekilas lalu yang sederhana. Mae tidak perlu membuang tenaga untuk menatap maupun mencerna. Mae bahkan tidak ingin bersusah payah mencerna dimana tempatnya berada. Selama terang dan tidak ada bayangan monster itu sudah cukup.“Pagi, Mae,” Mae berpaling dan otomatis tersenyum, sebelum melihat siapa yang baru saja membuka pintu. Lembut dan nyaman. Panggilan yang menghapus rasa kosong yang menetap sejak tadi, lalu sekaligus mengisinya dengan ribuan ekor kupu-kupu mungil yang beterbangan di seluruh tubuhnya.“Kau tampan hari ini.” Mae mengulurkan tangan, dan Ash menempelkan pipinya ke tangan itu.“Bukankah selalu?” Ash menun
“Ini baru. Itu juga baru?” Mae mengusap gaun hitam kashmir turtleneck yang dipakainya, lalu menunjuk baju yang dipakai Ash.“Iya.” Ash menunjukkan label yang masih menggantung di lengan, dan menariknya sampai putus.“Siapa yang menyediakannya?” tanya Mae. Ia menyukai pilihan gaun kashmir selutut itu, apalagi saat melihat mantel dan sepatu boot hitam yang menjadi padanannya. Sangat cocok dengan gaya yang diinginkannya. Syal merah yang terakhir ada didalam kantong memastikannya tidak tampak muram dengan ada sedikit warna.“Brad aku rasa. Dia yang mengantar tadi pagi.” Ash tidak amat sadar—separuh tertidur, tapi ingat saat Brad menyerahkan kantong berisi baju untuk mereka berdua.“Wow! Aku rasa selera Brad sangat benar. Semua pilihannya cocok.” Mae memutar tubuhnya, puas dengan semua yang menempel. Bahkan sepatunya juga amat pas.“Mungkin untukmu saja. Pilihannya aneh untukku.” Ash memandang jaket tebal berwarna kuning yang jelas untuknya dengan wajah tidak puas. Amat cerah sampai rasany
“Mau apa nenek sihir itu—” Daisy terlambat memotong katanya, karena Brad sudah mendengar dan tampak mengernyit.“Maksudnya, itu mengejutkan. Lady Rowena seharusnya tidak perlu merepotkan diri untuk memilih pakaian untukku.” Mae bergegas menutupi dengan senyum lembut dan keramahan berlebih.“Saya hanya menerima saja tadi. Mungkin Lady Rowena tahu kalau selera berpakaian saya amat terbatas.” Brad tersenyum menjelaskan sambil melirik jaket kuning Ash.“Ya, kau membuatku merasa seperti telur mata sapi.” Ash setuju tentang selera Brad yang terbatas.“Sampaikan terima kasih padanya kalau begitu.” Mae masih tidak paham dengan keistimewaan itu, tapi akan berterima kasih dengan pantas.“Akan saya sampaikan.” Brad mengangguk, dan mengiringi mereka sampai batas lorong perawatan.“Tapi aku serius. Nenek sihir itu kenapa? Jangan-jangan ia memilih yang terlihat bagus tapi berlubang. Apa kau sudah memeriksa detail?” Daisy masih skeptis, dan menatap Mae yang tidak bercela.“Sudah. Kalau berlubang aku