Mau apa Ash? :))
Mae duduk. Memandang jendela yang tirainya terbuka. Tidak amat terang. Pemandangan luar bersalju. Akhir tahun yang normal.Mae menatap butiran salju yang turun entah berapa lama. Tidak ada tujuan khusus, tidak ada keinginan khusus juga untuk melakukan sesuatu. Ia hanya ingin matanya fokus pada sesuatu. Otaknya seperti kurang ingin bekerja, dan pemandangan itu adalah sekilas lalu yang sederhana. Mae tidak perlu membuang tenaga untuk menatap maupun mencerna. Mae bahkan tidak ingin bersusah payah mencerna dimana tempatnya berada. Selama terang dan tidak ada bayangan monster itu sudah cukup.“Pagi, Mae,” Mae berpaling dan otomatis tersenyum, sebelum melihat siapa yang baru saja membuka pintu. Lembut dan nyaman. Panggilan yang menghapus rasa kosong yang menetap sejak tadi, lalu sekaligus mengisinya dengan ribuan ekor kupu-kupu mungil yang beterbangan di seluruh tubuhnya.“Kau tampan hari ini.” Mae mengulurkan tangan, dan Ash menempelkan pipinya ke tangan itu.“Bukankah selalu?” Ash menun
“Ini baru. Itu juga baru?” Mae mengusap gaun hitam kashmir turtleneck yang dipakainya, lalu menunjuk baju yang dipakai Ash.“Iya.” Ash menunjukkan label yang masih menggantung di lengan, dan menariknya sampai putus.“Siapa yang menyediakannya?” tanya Mae. Ia menyukai pilihan gaun kashmir selutut itu, apalagi saat melihat mantel dan sepatu boot hitam yang menjadi padanannya. Sangat cocok dengan gaya yang diinginkannya. Syal merah yang terakhir ada didalam kantong memastikannya tidak tampak muram dengan ada sedikit warna.“Brad aku rasa. Dia yang mengantar tadi pagi.” Ash tidak amat sadar—separuh tertidur, tapi ingat saat Brad menyerahkan kantong berisi baju untuk mereka berdua.“Wow! Aku rasa selera Brad sangat benar. Semua pilihannya cocok.” Mae memutar tubuhnya, puas dengan semua yang menempel. Bahkan sepatunya juga amat pas.“Mungkin untukmu saja. Pilihannya aneh untukku.” Ash memandang jaket tebal berwarna kuning yang jelas untuknya dengan wajah tidak puas. Amat cerah sampai rasany
“Mau apa nenek sihir itu—” Daisy terlambat memotong katanya, karena Brad sudah mendengar dan tampak mengernyit.“Maksudnya, itu mengejutkan. Lady Rowena seharusnya tidak perlu merepotkan diri untuk memilih pakaian untukku.” Mae bergegas menutupi dengan senyum lembut dan keramahan berlebih.“Saya hanya menerima saja tadi. Mungkin Lady Rowena tahu kalau selera berpakaian saya amat terbatas.” Brad tersenyum menjelaskan sambil melirik jaket kuning Ash.“Ya, kau membuatku merasa seperti telur mata sapi.” Ash setuju tentang selera Brad yang terbatas.“Sampaikan terima kasih padanya kalau begitu.” Mae masih tidak paham dengan keistimewaan itu, tapi akan berterima kasih dengan pantas.“Akan saya sampaikan.” Brad mengangguk, dan mengiringi mereka sampai batas lorong perawatan.“Tapi aku serius. Nenek sihir itu kenapa? Jangan-jangan ia memilih yang terlihat bagus tapi berlubang. Apa kau sudah memeriksa detail?” Daisy masih skeptis, dan menatap Mae yang tidak bercela.“Sudah. Kalau berlubang aku
“Jangan katakan kau mengajakku ke museum.” Daisy memprotes saat akhirnya mereka berhenti di suatu tempat.Bangunan itu tidak sangat buruk tapi lebih mirip bangunan museum memang. Dindingnya abu-abu dengan jendela kotak membosankan, tapi ditempeli oleh poster yang berwarna biru. Warna cerah yang tidak cocok dengan kesan di sekitarnya.“Ini Sea Life. Apa kau tidak melihat tulisan di depannya?” Ash menunjuk banner yang berkibar terhempas angin. Menempel pada tembok yang membatasi Sungai Thames. Sungai yang tentu saja sekarang berwarna coklat berlumpur. Tidak bisa dinikmati juga.“Ini akuarium.” Mae menunjuk dua patung kuda laut yang ada di atas pintu masuk kaca.Meskipun terlihat seperti bangunan museum, tapi rupanya gedung yang tidak amat berwarna itu adalah akuarium besar. Untuk memperjelas, ada tulisan ‘akuarium’ berukuran besar pada bagian atasnya lagi. Hanya Daisy belum mendongak setinggi itu.“Aku mencari tempat yang sekiranya mendekati suasana laut.” Ash memilih sudah dengan meni
“Jangan turun.” Ash dengan cepat mengunci lagi sabuk pengaman Mae yang baru saja dibuka, dan turun.“Eh? Kenapa?” Mae dengan bingung memandang Ash yang menyambar bungkusan dari kursi belakang, lalu menyerahkannya pada Daisy yang sudah hampir mencapai pintu depan. Mereka bicara sekilas, lalu Ash kembali ke belakang kemudi dan memundurkan mobil yang belum sempat mati sejak tadi.“Kita pergi lagi? Kenapa? Kemana?”Mae memberondong pertanyaan saat melihat mereka keluar lagi dari gang menuju jalan raya. Seharusnya acara mereka hanya tinggal pulang dan makan malam. Bungkusan yang tadi diserahkan pada Daisy adalah makan malam mereka—taco dan ayam goreng.“Aku ingin membawamu ke tempat lain dulu.” Ash tidak berniat menjelaskan lebih lanjut.“Kemana? Apa sangat penting?” Sejujurnya, Mae ingin mereka pulang saja. Tubuhnya sudah cukup lelah, dan bahunya—meski mencoba tidak memikirkannya, memang masih nyeri.“Sebentar saja pokoknya.” Ash berbelok ke arah yang sudah akrab untuk Mae. Mereka menuju k
“Ajakan macam apa itu? Itu bahkan bukan meminta. Kau memakai tanda seru. Kau menyuruh.” Mae menunjuk tulisan itu, sambil memegangi perutnya yang kaku. “Dan kita sudah menikah sungguhan. Aku masih terdaftar sebagai penerima warisan darimu.”Mae tidak mengerti kenapa Ash harus menuliskan ‘for real’. Mereka sudah menikah sungguhan.“Aku hanya ingin menegaskan kalau setelah ini aku tidak akan pernah menyebut Mae Gardner lagi—atau Mary Gardner.” Ash sejenak menatap Mae, untuk melihat reaksinya terhadap nama itu, tapi Mae hanya meneruskan tawanya.Ash tersenyum, lega ia bisa memakai nama Mary lagi tanpa melihat Mae menjerit.“Aku akan memperkenalkan—mengumumkan juga boleh. Aku akan mengatakan pada seluruh dunia kalau kau adalah Mary Cooper.” Ash merogoh kotak beludru hitam yang ada di kantongnya. Sudah ada di sana seharian ini, diantar oleh Brad bersama pakaian.“Ini adalah tandanya agar semua orang tahu kau milikku.” Ash berlutut, dan Mae langsung merasa bersalah telah tertawa.“Oh… My… Kau
“Tidak ada yang harus kau lakukan hari ini bukan?”Ash bertanya dalam gumaman saat merasakan gelitik di pipinya. Mengira kalau Mae baru saja mengelus wajahnya.“Hm?” Mae hanya bergumam saja tapi, dan ini mengherankan Ash. Mae tidak terdengar seperti terjaga, tapi ada yang menyentuh pipinya. Mengelus berulang kali.Ash langsung memaksakan matanya terbuka dan bergegas duduk. Ada sesuatu yang menyentuh pipinya, tapi bukan Mae.“Apa?!” Mae tentu saja ikut tersentak bangun, dan bingung, karena matanya tertutup warna perak dan emas.“Apa… Oh…” Ash tentu juga sama, dan menepis, akhirnya sadar benda apa yang sejak tadi menyentuhnya. Balon yang tadi malam melayang dengan cantik di langit-langit, kini semua telah turun dan memenuhi lantai toko.Tentu ada pula yang jatuh di sudut toko, tepat di atas sofa tempat mereka tertidur, dan akhirnya mengelus pipi Ash,“Balon.” Mae mengambil satu balon yang kini terbang rendah sejajar pandangan matanya.“Yup. Nitrogennya sudah habis pasti.” Ash menepis sem
“Tambah lima puluh lagi.” Parker dengan santai memberi perintah pada Ash yang belum sempat mengambil napas setelah menyelesaikan seratus putaran di lapangan.“Tambahkan sepuluh juga disana.” Parker menunjuk tali yang menggantung di pohon setinggi kurang lebih dua puluh meter. Ash harus menaiki tali itu sampai atas, turun dan mengulangnya nanti.“Yes, Sir.” Ash tidak punya pilihan tentu, kembali berlari mengitari jalur latihan yang biasanya sangat jarang dipakai. Parker membawanya keluar dari barak tadi, agar bisa ‘menyiksanya’ tanpa ada yang melihat. Parker duduk menunggu sambil menghadap laptop, mengerjakan tugasnya sendiri. Beberapa kali melirik saat melihat Ash melambat dan membentak agar Ash mempertahankan kecepatannya.Tapi tentu tidak sampai membuatnya mati. Parker melemparkan botol minuman pada Ash beberapa kali juga.Parker mendekati Ash yang berbaring terlentang di bawah pohon, setelah memanjat sepuluh kali. Kaki dan tangannya mati rasa. “Get down,” katanya.Ash bangkit deng