“Ini baru. Itu juga baru?” Mae mengusap gaun hitam kashmir turtleneck yang dipakainya, lalu menunjuk baju yang dipakai Ash.“Iya.” Ash menunjukkan label yang masih menggantung di lengan, dan menariknya sampai putus.“Siapa yang menyediakannya?” tanya Mae. Ia menyukai pilihan gaun kashmir selutut itu, apalagi saat melihat mantel dan sepatu boot hitam yang menjadi padanannya. Sangat cocok dengan gaya yang diinginkannya. Syal merah yang terakhir ada didalam kantong memastikannya tidak tampak muram dengan ada sedikit warna.“Brad aku rasa. Dia yang mengantar tadi pagi.” Ash tidak amat sadar—separuh tertidur, tapi ingat saat Brad menyerahkan kantong berisi baju untuk mereka berdua.“Wow! Aku rasa selera Brad sangat benar. Semua pilihannya cocok.” Mae memutar tubuhnya, puas dengan semua yang menempel. Bahkan sepatunya juga amat pas.“Mungkin untukmu saja. Pilihannya aneh untukku.” Ash memandang jaket tebal berwarna kuning yang jelas untuknya dengan wajah tidak puas. Amat cerah sampai rasany
“Mau apa nenek sihir itu—” Daisy terlambat memotong katanya, karena Brad sudah mendengar dan tampak mengernyit.“Maksudnya, itu mengejutkan. Lady Rowena seharusnya tidak perlu merepotkan diri untuk memilih pakaian untukku.” Mae bergegas menutupi dengan senyum lembut dan keramahan berlebih.“Saya hanya menerima saja tadi. Mungkin Lady Rowena tahu kalau selera berpakaian saya amat terbatas.” Brad tersenyum menjelaskan sambil melirik jaket kuning Ash.“Ya, kau membuatku merasa seperti telur mata sapi.” Ash setuju tentang selera Brad yang terbatas.“Sampaikan terima kasih padanya kalau begitu.” Mae masih tidak paham dengan keistimewaan itu, tapi akan berterima kasih dengan pantas.“Akan saya sampaikan.” Brad mengangguk, dan mengiringi mereka sampai batas lorong perawatan.“Tapi aku serius. Nenek sihir itu kenapa? Jangan-jangan ia memilih yang terlihat bagus tapi berlubang. Apa kau sudah memeriksa detail?” Daisy masih skeptis, dan menatap Mae yang tidak bercela.“Sudah. Kalau berlubang aku
“Jangan katakan kau mengajakku ke museum.” Daisy memprotes saat akhirnya mereka berhenti di suatu tempat.Bangunan itu tidak sangat buruk tapi lebih mirip bangunan museum memang. Dindingnya abu-abu dengan jendela kotak membosankan, tapi ditempeli oleh poster yang berwarna biru. Warna cerah yang tidak cocok dengan kesan di sekitarnya.“Ini Sea Life. Apa kau tidak melihat tulisan di depannya?” Ash menunjuk banner yang berkibar terhempas angin. Menempel pada tembok yang membatasi Sungai Thames. Sungai yang tentu saja sekarang berwarna coklat berlumpur. Tidak bisa dinikmati juga.“Ini akuarium.” Mae menunjuk dua patung kuda laut yang ada di atas pintu masuk kaca.Meskipun terlihat seperti bangunan museum, tapi rupanya gedung yang tidak amat berwarna itu adalah akuarium besar. Untuk memperjelas, ada tulisan ‘akuarium’ berukuran besar pada bagian atasnya lagi. Hanya Daisy belum mendongak setinggi itu.“Aku mencari tempat yang sekiranya mendekati suasana laut.” Ash memilih sudah dengan meni
“Jangan turun.” Ash dengan cepat mengunci lagi sabuk pengaman Mae yang baru saja dibuka, dan turun.“Eh? Kenapa?” Mae dengan bingung memandang Ash yang menyambar bungkusan dari kursi belakang, lalu menyerahkannya pada Daisy yang sudah hampir mencapai pintu depan. Mereka bicara sekilas, lalu Ash kembali ke belakang kemudi dan memundurkan mobil yang belum sempat mati sejak tadi.“Kita pergi lagi? Kenapa? Kemana?”Mae memberondong pertanyaan saat melihat mereka keluar lagi dari gang menuju jalan raya. Seharusnya acara mereka hanya tinggal pulang dan makan malam. Bungkusan yang tadi diserahkan pada Daisy adalah makan malam mereka—taco dan ayam goreng.“Aku ingin membawamu ke tempat lain dulu.” Ash tidak berniat menjelaskan lebih lanjut.“Kemana? Apa sangat penting?” Sejujurnya, Mae ingin mereka pulang saja. Tubuhnya sudah cukup lelah, dan bahunya—meski mencoba tidak memikirkannya, memang masih nyeri.“Sebentar saja pokoknya.” Ash berbelok ke arah yang sudah akrab untuk Mae. Mereka menuju k
“Ajakan macam apa itu? Itu bahkan bukan meminta. Kau memakai tanda seru. Kau menyuruh.” Mae menunjuk tulisan itu, sambil memegangi perutnya yang kaku. “Dan kita sudah menikah sungguhan. Aku masih terdaftar sebagai penerima warisan darimu.”Mae tidak mengerti kenapa Ash harus menuliskan ‘for real’. Mereka sudah menikah sungguhan.“Aku hanya ingin menegaskan kalau setelah ini aku tidak akan pernah menyebut Mae Gardner lagi—atau Mary Gardner.” Ash sejenak menatap Mae, untuk melihat reaksinya terhadap nama itu, tapi Mae hanya meneruskan tawanya.Ash tersenyum, lega ia bisa memakai nama Mary lagi tanpa melihat Mae menjerit.“Aku akan memperkenalkan—mengumumkan juga boleh. Aku akan mengatakan pada seluruh dunia kalau kau adalah Mary Cooper.” Ash merogoh kotak beludru hitam yang ada di kantongnya. Sudah ada di sana seharian ini, diantar oleh Brad bersama pakaian.“Ini adalah tandanya agar semua orang tahu kau milikku.” Ash berlutut, dan Mae langsung merasa bersalah telah tertawa.“Oh… My… Kau
“Tidak ada yang harus kau lakukan hari ini bukan?”Ash bertanya dalam gumaman saat merasakan gelitik di pipinya. Mengira kalau Mae baru saja mengelus wajahnya.“Hm?” Mae hanya bergumam saja tapi, dan ini mengherankan Ash. Mae tidak terdengar seperti terjaga, tapi ada yang menyentuh pipinya. Mengelus berulang kali.Ash langsung memaksakan matanya terbuka dan bergegas duduk. Ada sesuatu yang menyentuh pipinya, tapi bukan Mae.“Apa?!” Mae tentu saja ikut tersentak bangun, dan bingung, karena matanya tertutup warna perak dan emas.“Apa… Oh…” Ash tentu juga sama, dan menepis, akhirnya sadar benda apa yang sejak tadi menyentuhnya. Balon yang tadi malam melayang dengan cantik di langit-langit, kini semua telah turun dan memenuhi lantai toko.Tentu ada pula yang jatuh di sudut toko, tepat di atas sofa tempat mereka tertidur, dan akhirnya mengelus pipi Ash,“Balon.” Mae mengambil satu balon yang kini terbang rendah sejajar pandangan matanya.“Yup. Nitrogennya sudah habis pasti.” Ash menepis sem
“Tambah lima puluh lagi.” Parker dengan santai memberi perintah pada Ash yang belum sempat mengambil napas setelah menyelesaikan seratus putaran di lapangan.“Tambahkan sepuluh juga disana.” Parker menunjuk tali yang menggantung di pohon setinggi kurang lebih dua puluh meter. Ash harus menaiki tali itu sampai atas, turun dan mengulangnya nanti.“Yes, Sir.” Ash tidak punya pilihan tentu, kembali berlari mengitari jalur latihan yang biasanya sangat jarang dipakai. Parker membawanya keluar dari barak tadi, agar bisa ‘menyiksanya’ tanpa ada yang melihat. Parker duduk menunggu sambil menghadap laptop, mengerjakan tugasnya sendiri. Beberapa kali melirik saat melihat Ash melambat dan membentak agar Ash mempertahankan kecepatannya.Tapi tentu tidak sampai membuatnya mati. Parker melemparkan botol minuman pada Ash beberapa kali juga.Parker mendekati Ash yang berbaring terlentang di bawah pohon, setelah memanjat sepuluh kali. Kaki dan tangannya mati rasa. “Get down,” katanya.Ash bangkit deng
“Jadi benar dia bukan orang biasa.” Ash lega kesimpulannya tepat. Pria itu merasa perlu membersihkan jejak, berarti memang ia berada dalam kehidupan yang sama seperti ayahnya dan Rowena.“Benar. Kesimpulan Anda benar.” Stone memberi apresiasi sebelum menyebut hal yang tidak disukai Ash. “Tanpa petunjuk lebih lanjut, saya tidak akan bisa mencari siapa pria itu.”“Tidak!” Ash tentu paham apa yang dimaksud Stone. Ia ingin jalan mudah dengan bertanya pada Mae.“Tapi ini…”“Ada jalan lain lagi.” Ash menyela. “Mungkin aku bisa bertanya pada Daisy. Kata Mae pria ini teman Carol dan sering memberinya uang. Daisy mungkin tidak tahu Mae menikah dengannya, tapi bisa jadi pernah bertemu dengannya.”“Oh? Itu ide bagus.” Stone setuju.“Tapi tidak bisa hari ini. Aku akan bicara padanya setelah sidang itu.” Ash tidak bisa bertanya hari ini. Paling tidak besok setelah sidang itu. Mengurangi beban, dan mungkin momen bahagia melihat Carol mendapat hukuman akan memudahkannya mendapat jawaban.“Oh, benar.
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga