Di bisikin aja Mae pasti mau denger kok
“Kau benar baik-baik saja?”Ash menyambut Mae yang baru saja keluar dari toilet. Tampak lebih pucat, tapi masih bisa berdiri.Mae memuntahkan seluruh makanan tidak seberapa yang tadi ditelannya. Padahal kata Ian makanannya lezat. Termasuk salmon gemuk yang menggiurkan. Tapi Mae tidak merasakan lezat tadi, dan kini semuanya sudah tidak ada lagi di dalam perutnya.“Ya, aku hanya terlalu tegang.” Mae memeriksa sekitar lorong yang mewah itu. Toilet itu tidak jauh dari ballroom, tentu ornamen dan gaya interior-nya mirip.Mae lalu melepaskan sepatu dan melompat di tempat saat melihat tidak ada orang lain. Sepertinya semua orang masih ada di ballroom karena acara menginjak yang lebih santai. Ada hiburan dari penyanyi entah siapa, yang pasti sangat terkenal karena Mae sampai mendengar suara seruan dan tepuk tangan dari dalam toilet tadi.“Apa—” Ash bingung melihat Mae terus melompat selama beberapa menit.“Melancarkan peredaran darah. Aku tidak tahu apakah akan manjur, tapi rasanya lebih hanga
“Le…lepaskan… pergi…” Mae tahu ia harus menjauh, tapi seluruh atom di tubuhnya memilih untuk takut. Mereka masih ingat rasa sakit apa yang mendera hampir setiap sudut tubuh Mae.“Kau bersama siapa? Kau tidak mungkin sendiri.” Monroe mendorong kacamatanya ke atas hidung, sambil maju mendekati Mae, yang perlahan mundur tapi amat lambat karena kakinya tidak lagi bisa menopang dengan baik.“Apa salah satu bangsawan itu ada yang memeliharamu? Kata Carol kau menjadi peliharaan pria tua sekarang.”“LE…” Mae menepis saat tangan Monroe terulur, tapi Monroe berhasil menarik satu tangan Mae yang lain, lalu menaut pingganggangnya. Memeluk dan menahannya. Rontaan Mae tidak bisa dikatakan perlawanan.“Kau semakin indah, Mary. Tahu begini aku tidak akan melepaskanmu…” Monroe berbisik dan mengusap telinga Mae dengan hidung.Tubuh Mae menggigil, dan air mata turun tidak kendali. Masih ingat, tubuhnya masih ingat. Setiap tendangan, jambakan, tamparan, cubitan, gigitan, cekikan—Mae tidak lupa, hanya me
Ash membuka pintu besar yang ditunjukkan Brad dan mengernyit, karena ruangan itu kosong. Sepertinya ruang untuk memajang hasil seni, entah milik siapa. Banyak lukisan berjejer di sana.“Mana ayahku?” tanya Ash, gusar.“Mungkin tunggu sebentar lagi. Saya rasa masih ada yang mengajaknya bicara.”“Katamu—”“Tidak bisakah kau bersabar sedikit saja?!” Dean sudah ada di belakang Brad, bersama Rowena. “Aku tidak akan meninggalkan Mae.” Ash mendahului bicara, memenggal apapun yang ingin dikatakan ayahnya, menyimpulkan hasil pembicaraan mereka dengan ringkas. Tidak peduli Dean mengatakan apa, Ash tidak akan mengubah apapun.“Aku belum mengatakan apapun, Ash!” Dean menghela napas.“Sama saja. Kau akhirnya ingin aku berpisah dengannya bukan?” Ash tidak meragukan ini.“Ya, aku merasa dia membuatmu semakin aneh. Kau membenciku tanpa alasan karena dirinya.” Dean mendesis.“Kau yang bersyukur Mary menghilang! Aku harus berpikir apa? Kau ingin Mary tidak lagi bertemu denganku!” Ash tahu ia bisa saja
Rumah sakit yang menjadi tujuan mereka tentu saja adalah rumah sakit yang dulu menjadi tempat Ash dirawat dan melarikan diri. Rumah sakit yang berafiliasi dengan Rowena. Paling aman karena mereka bisa datang tanpa pertanyaan.Begitu melihat mobil Dean, mereka menyambut dan membawa Mae masuk. Kalaupun ada pertanyaan yang diajukan, hanya berkisar apa yang terjadi dengan pasien. Jawabannya hanya sedikit, Brad hanya bisa mengulang jawaban tidak jelas yang sama.“Tidak ada luka berat, hanya bahu itu saja. Sepertinya bekas kuku. Saya sudah memastikan tidak ada luka lain, di area lain juga.” Dokter keluar dan memberi penjelasan. Menegaskan kalau luka Mae hanya terpusat di sana saja.“Hanya itu? Dia pingsan!” Dean memprotes, bahkan lebih cepat dari Ash yang masih duduk separuh melamun.“Saya rasa pingsannya itu karena hal lain. Tadi beliau mengatakan tidak ada keluhan sakit apapun selama ini bukan?” Dokter itu mengangguk ke arah Ash, yang tentu menjadi sumber penjelasan riwayat kesehatan Mae,
Ash mengusap memar dan goresan di bahu Mae. Dokter tidak menutup luka itu karena tipis saja sebenarnya. Luka tipis yang tidak akan bisa membuat pingsan.“Ada apa?” Ash menekan kedua pelipisnya, mengingat apa yang sekiranya janggal saat ia meninggalkan Mae.Tapi tidak ada. Ash tidak bisa mengingat detail karena sudah terlalu panik. Ia tidak bisa menunjuk apapun.Ash kembali mengusap memar dan luka Mae. “Siapa…”“Hhhh…”Helaan napas yang membuat Ash berdiri. Mata Mae masih memejam erat, tapi kepalanya menggeleng kuat-kuat.“Pergi!” Ash akhirnya mendengar gumaman tidak jelas dari Mae.“Mary?” Ash menepuk pelan bahunya.“JANGAN!” Mae menjerit keras.“Mary?” Ash memepuk pipinya dengan lebih keras, untuk membangunkannya. Igauan Mae sudah terlihat mengkhawatirkan.“Mary…”“Aku mohon jangan…”Ash yang sudah akan menepuk pipi Mae lagi terdiam. Teriakan Mae tiba-tiba berubah menjadi isak tangis. Mae merintih sambil mencengkram erat selimutnya. “Mary, apa yang…”Ash semakin tidak bisa berkata-k
“Kopi?” Dean mengulurkan kaleng kopi yang baru saja diserahkan oleh Brad.“Aku tidak lagi minum kopi.” Ash melirik dari tempatnya duduk, lalu menggeleng. Ia haus, tapi tidak mungkin mencemari aroma napasnya dengan kopi. Khawatir Mae masih akan bisa menciumnya nanti saat terbangun. “Sejak kapan?” Dean heran. Meski lama tidak dekat, tapi terakhir mereka bersama, Ash masih menikmati kopi.“Sejak Mary takut padanya. Kopi akan membuatnya takut, seperti tadi.” Ash dulu bingung kenapa, tapi kini tidak lagi. Keadaan Mae yang ketakutan persis sama dengan yang dilihatnya tadi.“Kopi… takut?” Dean melirik ke arah ranjang tempat Mae masih tertidur nyenyak. Masih belum amat paham tentu.“Kenapa dia begitu… rusak?” Rowena menganggap kata itu pilihan yang tepat—tapi membuat Ash ingin mengamuk sebenarnya. Hanya tidak punya tenaga. “Aku sudah mengatakannya tadi. Suami pertamanya.” Ash tidak ingin menjelaskan, tapi tidak punya tenaga juga untuk berdebat dan menolak. Melihat keadaan Mae tadi amat mel
“Tapi kau ingin tahu siapa yang menyakiti Mary tadi malam bukan? Kau—”“Aku sudah tahu siapa yang menyakiti Mary. Belum namanya, tapi Mary bertemu monster itu.” Ash menyela ayahnya lagi.“Kau menyimpulkan Monster itu ada di istana tadi malam? Kau yakin?” Rowena tampak ragu karena merasa mereka belum sampai sejauh itu menyimpulkan.“Ya.” Ash menangguk dengan amat yakin.“Maaf, tapi siapa monster ini?” Stone merasa tertinggal tentu.Ash menghela napas, sangat malas mengulang lagi. Dean rupanya paham dan mengambil alih penjelasan itu.“Oh? Yang disebut saat sidang pembunuhan itu? Ya, saya ingat.” Stone mengangguk paham.“Sidang apa? Pembunuhan apa?!” Rowena menyambar sambil membelalak.Ash hanya menggeleng. Bahkan tidak menegur Stone, yang kini panik. Sadar betul ia menyentuh hal yang tidak seharusnya tersebut.“Jadi monster ini yang menyerang Mrs. Cooper malam ini?” Stone berpura-pura tidak mendengar pertanyaan Rowena, dan memandang Ash saja yang menjawab dengan anggukan.“Anda yakin? Ap
Mae duduk. Memandang jendela yang tirainya terbuka. Tidak amat terang. Pemandangan luar bersalju. Akhir tahun yang normal.Mae menatap butiran salju yang turun entah berapa lama. Tidak ada tujuan khusus, tidak ada keinginan khusus juga untuk melakukan sesuatu. Ia hanya ingin matanya fokus pada sesuatu. Otaknya seperti kurang ingin bekerja, dan pemandangan itu adalah sekilas lalu yang sederhana. Mae tidak perlu membuang tenaga untuk menatap maupun mencerna. Mae bahkan tidak ingin bersusah payah mencerna dimana tempatnya berada. Selama terang dan tidak ada bayangan monster itu sudah cukup.“Pagi, Mae,” Mae berpaling dan otomatis tersenyum, sebelum melihat siapa yang baru saja membuka pintu. Lembut dan nyaman. Panggilan yang menghapus rasa kosong yang menetap sejak tadi, lalu sekaligus mengisinya dengan ribuan ekor kupu-kupu mungil yang beterbangan di seluruh tubuhnya.“Kau tampan hari ini.” Mae mengulurkan tangan, dan Ash menempelkan pipinya ke tangan itu.“Bukankah selalu?” Ash menun
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga