yang nyenyak Mae :))
“Sleeping.” (Tidur)Ash menjawab dalam bisikan saat Dean bertanya dengan pandangan matanya. Ia perlu bertanya karena Mae masih berbaring di paha Dean. Pemandangan yang boleh saja terjadi, tapi tentu tidak normal.“Sudah berapa lama?” Dean bertanya dalam bisikan juga.“Mmm… Empat jam.” Ash tidak amat menghitung, jadi perlu memeriksa ponselnya untuk tahu.“Kakimu baik-baik saja?” Dean jelas membelalak, heran Ash bisa bertahan dalam posisi itu selama empat jam.“Tidak ada rasanya.” Ash menggeleng. Kakinya sudah mati rasa entah sejak kapan.Dean menggelengkan kepala dan tertawa pelan. Tidak lagi akan berkomentar atas kegilaan anaknya pada Mae.“Bagaimana?” tanya Ash, tentu bertanya kelanjutan yang tidak ditampilkan televisi.“Hell broke loose.” (Neraka lepas kontrol—idiom yang berarti keadaan tidak terkontrol/kacau karena suatu kejadian)Dean mengucap hal buruk, tapi bibirnya tersenyum. Tujuannya memang membuat kekacauan.“Apa kau akan terpengaruh?” tanya Ash.Dean langsung tersentak denga
“Apa kau sudah menyiapkannya?” tanya Monroe, begitu melihat penampakan Stewart. Ia yang akan menjadi pengacaranya selama kasus ini.Ini pertemuan kedua mereka setelah Stewart mendampinginya saat interogasi pertama beberapa hari lalu.Suasananya sudah jauh berbeda. Kemarin Monroe masih memakai jas dan terlihat beberapa polisi masih memperlakukannya dengan segan. Tapi kini Monroe sudah memakai seragam jumpsuit orange yang mencolok dengan nomor. Tidak ada juga yang menyediakan minuman dan lainnya di dalam ruang penjengukan penjara itu.Rambut Monroe yang menipis di bagian kepala kini menampakkan kebotakan. Biasanya Monroe akan menyempatkan waktu untuk melakukan perawatan untuk memperlambat kebotakannya. Tapi dengan perkembangan yang ada, kemungkinan dua bulan lagi rambut bagian atasnya akan habis—karena stress.“Sudah, tapi saya merasa ini bukan ide bagus.” Stewart menggeleng tidak setuju.“Lalu apa cara yang kau punya? Membuatku gila? Kau pikir juri akan percaya!” bentak Monroe.Membuat
“Kami akan mengerti seandainya Anda tidak bisa menjelaskan. Cukup katakan saja iya atau tidak.”Stone tersenyum saat Mae terlihat meremas tangannya. Meski tadi mereka bersikap tidak saling mengenal, tapi keramahan Stone tetap sama tentu. Anak buah yang mendampinginya juga terlihat sabar meski beberapa kali Mae kesulitan menjawab. Antara diam atau menggeleng.“Ya.” Mae sebenarnya juga tahu kalau ia harus menjawab sejelas mungkin agar Monroe mendapat tuntutan yang setimpal, tapi sulit sekali membiasakan diri untuk mengingat apa yang dilakukan Monroe.“Apa Anda tahu kalau sebenarnya status pernikahan Anda tidak pernah resmi?” tanya Stone, melanjutkan pertanyaan selanjutnya saat melihat tangan Mae lebih rileks.Tapi pertanyaan itu malah membawa ketegangan baru, karena Mae tidak tahu sama sekali. “Itu—bagaimana bisa?” tanya Mae dengan mata membulat sempurna. Ia merasa menikah dengan Monroe tentu. Meski sederhana ada pesta dan lainnya.“Kemungkinan untuk menipu Anda saja. Randall Monroe ingi
“Anda memang tidak pernah mengecewakan. Itu juga kesimpulan saya.” Stone mengangguk berkali-kali dengan puas.“Kalau setiap kali ia tinggal di suatu tempat, lalu kebetulan di tempat itu ada korban wanita, maka polanya akan terbaca. Orang akan curiga.” Ash melanjutkan pemahamannya.“Benar. Dan kalau korban yang lain keadaannya seburuk Mrs. Cooper, bisa dipastikan mereka memilih diam.” Stone tampak prihatin. Membayangkan ada banyak wanita—entah berapa banyak—korban dari Monroe yang tidak mendapat bantuan ‘selengkap’ Mae, rasanya menyedihkan.“Perilaku abusive seperti Randall Monroe, biasanya ada karena candu. Mereka menyukai rasa kemenangan atas orang lain berkuasa atas sesuatu, tidak akan bisa dilepaskan dengan mudah. Karena Monroe tidak pernah menikah secara resmi dengan siapapun—itu berarti ia melampiaskan kebiasaannya itu dengan cara seperti yang dilakukannya pada Mrs. Cooper. Hubungan singkat sampai wanita itu—”Stone tidak melanjutkan karena Ash terlihat meremas kedua tangannya.
“Ini, Sir.” Ash menyerahkan dokumen yang sudah lengkap—perizinan pernikahan—kepada Parker. Sudah beberapa lama siap, tapi baru kali ini Ash bisa menyerahkan. Terlalu sibuk dengan segala perkara yang terjadi.Parker mengangguk, dan memeriksa sekilas. “Dismis.”Begitu saja, Parker menyuruhnya keluar. Tidak salah, hanya mengherankan, karena terlalu pendek. Ash biasanya menghabiskan waktu minimal lima menit sebelum bisa keluar setiap kali bertemu Parker. Satu menit untuk menyampaikan laporan atau urusan, sisa yang lain biasanya dipakai Parker untuk mengeluh, berdiskusi, atau sekadar mengobrol tidak penting.Ash biasanya akan mengeluh dalam hati setiap kali Parker menemukan ada saja alasan untuk menahan kepergiannya, tapi saat tidak ada alasan, Ash malah merasa janggal. Bukan kehilangan, tapi rasa kalau ada sesatu yang salah.“Maaf, Sir. Apa ada masalah?” Ash tidak akan ikut campur kalau masalah pribadi, tapi Parker juga jarang bercerita tentang masalah pribadi yang berat. Paling hanya tri
“Ck, apa harus?” Monroe memandang keranjang besar yang ada di atas troli, yang ada di depannya.“Tentu saja—Sir.” Marco, pria yang menjadi pendampingnya sejak tadi, menambahkan ‘Sir’ dengan nada mengejek. Ia kesal karena Monroe sudah terlalu sering mengeluh sejak tadi.“Kau itu ingin pergi atau tidak?! Jangan banyak mengeluh! Kau pikir bisa memilih kursi kelas satu seperti penerbangan?!” Marco membentak dan menunjuk lagi ke arah keranjang itu.“Bau!” Monroe mengeluh karena keranjang itu tadinya berisi ikan, ayam Pokoknya aneka jenis protein hewani yang menyuplai dapur penjara.“Memangnya kau berharap apa? Aroma bunga? CEPATLAH!” Marco akhirnya mendorong punggung Monroe sampai terjungkal dan terjatuh ke dalam keranjang itu.“Brengsek! Aku membayarmu!” Monroe langsung berusaha berdiri dan melepaskan diri dari belitan tali yang tadi pakai untuk mengikat box yang lebih kecil, sambil mencaci maki Marco. Ia membayar mahal jasa Marco dan tentu berharap akan ada rasa sedikit hormat.“Memang ke
Ash memeriksa notifikasi pesan, tapi belum ada kabar dari Stone tentang Monroe yang melarikan diri. Entah karena Stone belum sempat memberitahunya atau Ian mendapat kabar lebih cepat darinya.“Kapan?” tanya Ash.“Nanti malam,” kata Ian.“Huh?” Ash merasa salah mendengar. Ian menyebut tentang kejadian di masa depan yang belum terjadi.“Kau meremehkan informasi dariku? Tentu saja aku tahu sebelum terjadi.” Ian terdengar menyombong.“Dari mana kau—keluargamu?” Ash merasa tidak perlu bertanya sebenarnya karena siapa lagi yang bisa memberi informasi secepat itu pada Ian? Keluarganya memang memiliki koneksi yang unik.“Yup. Aku sedang memastikan informasi ini akurat. Lalu apa rencanamu?” tanya Ian.“Aku—” Ash nyaris saja menyebut apa keinginannya, tapi kemudian menyadari kalau masih ada Parker di ruangan itu. Masih tampak menulis dan tidak peduli tapi bukan berarti tidak mendengar.“Temui aku di luar.” Ash memutus panggilan itu, lalu kembali ke hadapan Parker.“Sir.” Ash mencoba bicara deng
“Jangan menyebut namamu dengan sembarangan.” Ash menegur Ian. Penyebutan nama itu tidak perlu.“Dia akan mati. Apa bedanya? Aku ingin dia tahu siapa yang memburunya.” Ian mulai tertawa geli, yang tentu terdengar seperti tawa maniak untuk Monroe.“Siapa… Apa maksudmu mati?!” Monroe mencicit ketakutan.“Apa aku terlihat akan mati?” Ian menyambar kerah baju orange yang masih dipakai Monroe.“LEPASKAN!” Monroe meronta, dan memang Ian tidak ingin memegangnya terlalu lama.Ia menghempaskan Monroe ke hadapan Ash yang duduk menunggu di atas kap mobil.“AGH!” Monroe berseru kaget, karena baru saja bertemu dengan wajah diam Marco yang tergeletak tidak jauh dari kaki Ash.“Dia tidak mati. Jangan panik begitu. Satu-satunya yang akan mati malam ini adalah kau.” Ian menampar kepala Monroe agar diam.Ash hanya membuat Marco pingsan karena tidak ingin menyerahkan Monroe dengan rela tadi. “Halo.” Ash menyapa sambil menundukkan tubuh, agar Monroe yang sedang beringsut menjauh, bisa melihat wajahnya den