Kan... mending diem di penjara tau wkwkwkw
“Saya menemukan ini, Sir.” Stone tersenyum saat menerima map yang berisi file kasus itu, karena yang melapor padanya adalah detektif yang diberinya tugas untuk melacak jejak masa lalu Monroe.“Kapan dan dimana?” Stone bisa membaca dan memeriksa dengan lebih detail tentang kasus itu dari dalam map, tapi ia sedang tidak punya banyak waktu. Karenanya butuh laporan secara verbal. Intinya saja.“Ipswich. Sekitar sepuluh tahun lalu. Randall Monroe memiliki rumah yang saat ini dihuni oleh salah satu sepupunya. Tapi ia sempat tinggal di sana selama kurang lebih dua tahun—dan itu sepuluh tahun lalu.”Stone kembali tersenyum karena memang kebetulan seperti itu yang sedang dicarinya. Kebetulan Monroe tinggal di sana, dan kebetulan ada kasus yang terjadi.“Lalu?”“Penemuan dua mayat wanita korban penganiayaan, dan sampai sekarang belum selesai kasusnya.”“Ah! jangan terlalu bodoh seperti itu! Aku sudah menyebut kemarin kalau jangan mencari mayat. Bukan tidak mungkin tapi mayat tidak bisa ber
Stone memandang truk yang beraroma amis itu dengan kesal. Mereka sangat terlambat. Fajar sudah menyingsing dan baru saja bisa menemukan jejak Monroe. Itu pun sudah jejak yang dingin, karena truk itu sudah jelas ditinggalkan sejak berjam-jam yang lalu.Tidak ada saksi atau siapapun di sekitar truk itu. Ikan yang hidup saja tidak mungkin menjadi saksi, apalagi yang mati.“CK!” Stone menendang salah satu box yang ada di dalam truk karena jengkel, mengalirkan lelehan es ke lantai truk.“Tidak ada CCTV atau apapun di sekitar sini. Kami tidak bisa memeriksa siapa yang mondar-mandir di sekitar sini, Sir.”Stone menepuk tengkuknya dengan frustasi. Laporan itu sudah bisa diduga. Tidak mungkin Monroe akan memakai jasa sembarangan untuk membantunya melarikan diri. Tempat itu dipilih dengan hati-hati agar tidak ada jejak yang terlihat.“Kalau ada wartawan yang mencium berita ini, maka hancurlah kita,” keluh Stone.Tugasnya bukan hanya untuk menyelesaikan kasus, tapi juga memastikan institusi yang
“STOP! Tolong…”“Tolong? Kau bisa mengucapkan kata tolong? Aku pikir kau tidak mengenali kata itu, dan tidak tahu apa artinya.” Ash mendengus, dan menuang seluruh sisa kopi yang ada dalam gelasnya. Ia dengan sengaja memilih gelas ukuran besar, jadi bisa menyiram wajah Monroe dengan merata.“Aku bayangkan Mary mengucapkan kata itu berulang kali—jutaan kali, tapi terus kau abaikan.” Ash menuang tetes terakhir dan melemparkan gelas kertas itu ke wajah Monroe, sambil terus menatapnya,Menikmati setiap detik saat Monroe merintih sambil meraba wajahnya yang merah, belum lagi luka robek di telinganya yang ikut menjadi nyeri akibat pedih bercampur panas.“Kenapa kau tidak menikmatinya? Kau melakukan hal ini setiap hari pada Mary bukan? Atau dua hari sekali? Kau menikmatinya saat itu,” sergah Ash.“Tidak… tidak begitu…” rintih Monroe.“Tidak bagaimana? Mary sampai sekarang tidak bisa mencium aroma kopi, bahkan tidak bisa mentolerir rasa mocca, padahal sudah tercampur coklat.”Ash tentu menyada
Tidak mungkin Ash akan rela melepaskannya begitu saja.“Kau sudah mendapat kesempatan, dan mengacau pada akhirnya.” Ash menunjuk Stone.Ash tidak melakukan apapun saat Monroe ada di penjara— sesuai janji, tapi Stone membiarkannya lolos, dan nyaris membuatnya tidak mendapat hukuman apapun.Meski bukan seluruhnya salah Stone, tapi tetap menjadi tanggung jawabnya untuk memastikan Monroe mendapat hukuman.“Anda benar, dan saya meminta maaf untuk itu.” Stone mengangguk sambil mendekat, tapi langsung berhenti saat melihat tangan Ash yang masih memegang pistol terarah pada kepala Monroe. Maju sedikit lagi, Ash akan menarik pelatuknya.“Ini lebih mudah, lebih memuaskan juga untukku,” kata Ash, dengan nada dingin yang tenang.“Ash… Please.” Dean bergidik lalu menggelengkan kepala. Ia belum pernah menghadapi Ash yang begitu menyeramkan.Selama ini tingkat marah Ash padanya ternyata tidak amat buruk, karena inilah yang terburuk. Tidak sedikitpun tersisa kehangatan dalam pandangan matanya.“Saya
Percapakan antara Ash dan Dean sejak tadi sepertinya tidak mampu dicerna oleh otak Monroe.“Benar, Randall. Dia anakku. Kau pikir kenapa aku begitu bersemangat menyusun rencana rumit untuk menjebakmu?” Dean tersenyum. Jenis senyum menantang yang biasa ditunjukkan saat sedang memancing keributan.Monroe melirik ke arah Ash dengan takut-takut, lalu beralih pada Dean. “Kau kalah karena memilih lawan yang salah, Randall. Mary adalah istrinya, menantuku. Kau sangat-sangat kalah.” Dean mengangguk, menegaskan kalau perlawanan Monroe tidak akan berguna. “Aku akan memastikan kau tetap kalah setelah ini.” Semua luka itu memang membuat otak Monroe berjalan lambat. Wajahnya terlihat bodoh saat memikirkan apa yang dimaksud oleh Dean.“Sebentar.” Ash maju.Stone baru saja berpaling ke belakang, untuk melihat apa yang diinginkan Ash, tapi keinginan itu sudah terjadi.Suara derak benda yang patah, juga jerit kesakitan dari Monroe membahana, sebelum akhirnya diam. Monroe kembali pingsan karena tidak
“It’s that blood?” (Apa itu darah?)Mae memekik kaget saat melihat noda darah yang menempel di lengan jaket Ash. Jaket Ash berwarna krem yang agak terang, Noda itu masih bisa dikenali sebagai darah meski sudah kering.“Bukan dari lukaku.” Penjelasan Ash tidak lengkap, tapi sudah cukup untuk Mae—yang tampak menghela nafas lega, karena yang terpenting adalah Ash tidak terluka.“Apa sudah selesai?” tanya Mae saat Ash menyerahkan ponselnya kembali.Mae tidak memeriksanya, lebih tertarik untuk memeriksa mixer yang sedang mengaduk adonan. Ia ingin tahu—tapi tidak sangat menanti jawaban karena lebih fokus pada resep baru yang dikembangkannya untuk toko. “Sudah.” Ash duduk, dan memandang Mae bekerja selama beberapa lama. Mae membuat alas kertas untuk loyang, lalu perlahan menuang adonan yang telah jadi, meratakan permukaan, lalu memanggangnya memakai oven yang telah dipanaskan.“Apa?” Setelah menutup pintu oven, Mae baru menyadari kalau sejak tadi pandangan mata Ash tidak pernah lepas dariny
“Apa maksudmu tidak bisa? Aku diculik! Tanganku patah, Tolol!”Monroe membentak lalu meringis kesakitan karena tangannya yang tersangga sedikit membentur meja. Tangannya yang dipatahkan Ash masih belum sembuh meski sudah dua bulan berlalu. Ia sempat menjalani operasi untuk memperbaiki posisi tulang, tapi belum bisa pulih sempurna.Dokter sudah menyebut mungkin tangannya akan sulit berfungsi dengan normal lagi. Karena itu Monroe sangat marah mendengar Damian—pengacara barunya, mengatakan kalau tuntutannya untuk Ashton Cooper ditolak polisi.“Anda melarikan diri, bukan diculik.” Damian menghela napas, mencoba bersabar. Ini pekerjaan pro bono* pertamanya sebagai pengacara. Pekerjaan ini tidak menghasilkan uang untuknya, dan tentu penyebutan ‘tolol’ membuatnya kesal. Satu-satunya yang masih membuatnya bertahan adalah CV. Ia butuh pengalaman agar ada firma besar yang menerimanya. Kasus Randall Monroe mendapat banyak eksposure jadi sangat cocok untuk menjadi bahan resume.Damian tidak berh
Carol mendecak saat panggilan yang dilakukannya hanya terjawab oleh pesan suara. Ini masih bagus, minggu lalu ia menunggu sampai sepuluh menit—sampai batas waktu teleponnya habis—hanya untuk mendengar nada tunggu berlagu. Saat itu Carol sudah berharap kalau Dean akan menjawab panggilannya, atau mungkin asistennya, tapi kembali kandas. Kini Carol harus menunggu minggu depan lagi untuk mencoba menghubungi Dean.“Mungkin dia sibuk. Pemilu baru saja lewat.” Carol bergumam sambil mencubit bibirnya berulang kali. Gelisah sebenarnya, tapi mencoba menghibur diri.“Kenapa tidak ada kabar?” Carol bergumam lagi sambil melamun. Ia bahkan tidak peduli saat napi lain mendorong tubuhnya dengan kasar saat mencoba mendekati booth telepon. Giliran Carol sudah habis.“Tapi dia sudah menang. Memakai caraku.” Carol mulai kesal sekarang. Ia sudah yakin Dean akan menepati janji. Sikapnya cukup simpatik saat mereka bertemu kemarin.Awalnya Carol menyangka Dean akan bersikap keji—mirip Monroe yang berubah se
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga