Jangan pake berantem lagi ya kalian :))
Tidak mungkin Ash akan rela melepaskannya begitu saja.“Kau sudah mendapat kesempatan, dan mengacau pada akhirnya.” Ash menunjuk Stone.Ash tidak melakukan apapun saat Monroe ada di penjara— sesuai janji, tapi Stone membiarkannya lolos, dan nyaris membuatnya tidak mendapat hukuman apapun.Meski bukan seluruhnya salah Stone, tapi tetap menjadi tanggung jawabnya untuk memastikan Monroe mendapat hukuman.“Anda benar, dan saya meminta maaf untuk itu.” Stone mengangguk sambil mendekat, tapi langsung berhenti saat melihat tangan Ash yang masih memegang pistol terarah pada kepala Monroe. Maju sedikit lagi, Ash akan menarik pelatuknya.“Ini lebih mudah, lebih memuaskan juga untukku,” kata Ash, dengan nada dingin yang tenang.“Ash… Please.” Dean bergidik lalu menggelengkan kepala. Ia belum pernah menghadapi Ash yang begitu menyeramkan.Selama ini tingkat marah Ash padanya ternyata tidak amat buruk, karena inilah yang terburuk. Tidak sedikitpun tersisa kehangatan dalam pandangan matanya.“Saya
Percapakan antara Ash dan Dean sejak tadi sepertinya tidak mampu dicerna oleh otak Monroe.“Benar, Randall. Dia anakku. Kau pikir kenapa aku begitu bersemangat menyusun rencana rumit untuk menjebakmu?” Dean tersenyum. Jenis senyum menantang yang biasa ditunjukkan saat sedang memancing keributan.Monroe melirik ke arah Ash dengan takut-takut, lalu beralih pada Dean. “Kau kalah karena memilih lawan yang salah, Randall. Mary adalah istrinya, menantuku. Kau sangat-sangat kalah.” Dean mengangguk, menegaskan kalau perlawanan Monroe tidak akan berguna. “Aku akan memastikan kau tetap kalah setelah ini.” Semua luka itu memang membuat otak Monroe berjalan lambat. Wajahnya terlihat bodoh saat memikirkan apa yang dimaksud oleh Dean.“Sebentar.” Ash maju.Stone baru saja berpaling ke belakang, untuk melihat apa yang diinginkan Ash, tapi keinginan itu sudah terjadi.Suara derak benda yang patah, juga jerit kesakitan dari Monroe membahana, sebelum akhirnya diam. Monroe kembali pingsan karena tidak
“It’s that blood?” (Apa itu darah?)Mae memekik kaget saat melihat noda darah yang menempel di lengan jaket Ash. Jaket Ash berwarna krem yang agak terang, Noda itu masih bisa dikenali sebagai darah meski sudah kering.“Bukan dari lukaku.” Penjelasan Ash tidak lengkap, tapi sudah cukup untuk Mae—yang tampak menghela nafas lega, karena yang terpenting adalah Ash tidak terluka.“Apa sudah selesai?” tanya Mae saat Ash menyerahkan ponselnya kembali.Mae tidak memeriksanya, lebih tertarik untuk memeriksa mixer yang sedang mengaduk adonan. Ia ingin tahu—tapi tidak sangat menanti jawaban karena lebih fokus pada resep baru yang dikembangkannya untuk toko. “Sudah.” Ash duduk, dan memandang Mae bekerja selama beberapa lama. Mae membuat alas kertas untuk loyang, lalu perlahan menuang adonan yang telah jadi, meratakan permukaan, lalu memanggangnya memakai oven yang telah dipanaskan.“Apa?” Setelah menutup pintu oven, Mae baru menyadari kalau sejak tadi pandangan mata Ash tidak pernah lepas dariny
“Apa maksudmu tidak bisa? Aku diculik! Tanganku patah, Tolol!”Monroe membentak lalu meringis kesakitan karena tangannya yang tersangga sedikit membentur meja. Tangannya yang dipatahkan Ash masih belum sembuh meski sudah dua bulan berlalu. Ia sempat menjalani operasi untuk memperbaiki posisi tulang, tapi belum bisa pulih sempurna.Dokter sudah menyebut mungkin tangannya akan sulit berfungsi dengan normal lagi. Karena itu Monroe sangat marah mendengar Damian—pengacara barunya, mengatakan kalau tuntutannya untuk Ashton Cooper ditolak polisi.“Anda melarikan diri, bukan diculik.” Damian menghela napas, mencoba bersabar. Ini pekerjaan pro bono* pertamanya sebagai pengacara. Pekerjaan ini tidak menghasilkan uang untuknya, dan tentu penyebutan ‘tolol’ membuatnya kesal. Satu-satunya yang masih membuatnya bertahan adalah CV. Ia butuh pengalaman agar ada firma besar yang menerimanya. Kasus Randall Monroe mendapat banyak eksposure jadi sangat cocok untuk menjadi bahan resume.Damian tidak berh
Carol mendecak saat panggilan yang dilakukannya hanya terjawab oleh pesan suara. Ini masih bagus, minggu lalu ia menunggu sampai sepuluh menit—sampai batas waktu teleponnya habis—hanya untuk mendengar nada tunggu berlagu. Saat itu Carol sudah berharap kalau Dean akan menjawab panggilannya, atau mungkin asistennya, tapi kembali kandas. Kini Carol harus menunggu minggu depan lagi untuk mencoba menghubungi Dean.“Mungkin dia sibuk. Pemilu baru saja lewat.” Carol bergumam sambil mencubit bibirnya berulang kali. Gelisah sebenarnya, tapi mencoba menghibur diri.“Kenapa tidak ada kabar?” Carol bergumam lagi sambil melamun. Ia bahkan tidak peduli saat napi lain mendorong tubuhnya dengan kasar saat mencoba mendekati booth telepon. Giliran Carol sudah habis.“Tapi dia sudah menang. Memakai caraku.” Carol mulai kesal sekarang. Ia sudah yakin Dean akan menepati janji. Sikapnya cukup simpatik saat mereka bertemu kemarin.Awalnya Carol menyangka Dean akan bersikap keji—mirip Monroe yang berubah se
“Oh? Anda terluka? Duduklah.” Dokter itu menawarkan kursi sambil tersenyum. Carol tidak biasanya mudah terpesona dengan ketampanan pria yang berusia di bawahnya tapi yang ini terlalu menawan sampai ia hanya bisa mengangguk dan duduk dengan patuh.“Sayatannya cukup dalam. Aku akan menjahit dan menyuntikmu dengan obat. Mungkin kau harus meminum pereda rasa sakit juga nanti.” Dokter memberi penjelasan dengan ramah. Dokter penjara yang ada di luar, tidak membentak maupun memperlakukan napi dengan kasar, tapi bukan berarti akan ramah juga seperti dokter di luar sana. Namun, dokter yang ini sepertinya ia tidak membedakan pasien. Napi atau bukan keramahannya tidak berkurang.Carol sudah lupa pada lukanya. Ia justru menatap wajah dokter itu saat ia mulai memakai sarung tangan dan menyuntikkan obat setelah membebat luka di tangannya,. Carol nyaris bisa mengabaikan rasa sakit dari bekas suntikan itu, tapi rasanya pegal, jadi ia mengibaskan tangannya.“Apa ada rasa pegal?” tanya dokter bermata
“Uangnya cukup bukan?” tanya Ash, sambil berpaling menatap Ian yang juga duduk menghadap ke arah sungai.Sejak tadi ia ingin membicarakan itu, tapi sulit karena Mae dan Amy yang selalu dekat. Kini mereka sedang menyusuri tepi sungai Velues yang cukup jauh, diluar jarak dengar.“Cukup, dan memang semahal itu.” Ian mengangguk sambil bergidik. Awalnya ia tidak amat percaya saat mendengar tarif menyewa jasa ‘pembalasan dendam’ itu, karena harganya bahkan melebihi rumah miliknya. Tapi rupanya benar semahal itu.“Mahal pun tidak masalah asal berhasil. Aku puas.” Ash tentu saja akan membayar semahal apapun tarifnya karena hasilnya memuaskan. Ash tidak bisa berhenti tersenyum saat melihat kiriman video yang memperlihatkan bagaimana ia menghajar Monroe tanpa terlihat mencurigakan. Lalu video bagaimana ia membujuk Carol untuk menerima obat yang bahkan terlihat mencurigakan. Ash sudah mengakui keberhasilannya sampai di sana.“Ia bahkan memilih metode karma. Aku takjub,” kata Ash. Ia tidak menyeb
“Oke, masih lumayan.” Ian menyesap minumannya dengan puas. Ini gelas keempatnya dan masih memuaskan. Selain bertempat di hotel yang mewah dan cantik, Ian masih bisa memuji makanan paling tidak.Kelezatan champagne yang diminumnya itu, bisa menambal jengkel akibat terpaksa mendatangi pernikahan adiknya. Kalau bukan karena paksaan dari ibunya, Ian akan melewatkan begitu saja.Bukan karena tidak dekat ataupun membenci, tapi Ian tahu tamunya akan banyak berasal dari sisi keluarga ayahnya.Ilda—adiknya, menghabiskan musim panasnya tahun lalu di Italia, dan kembali membawa pria yang mungkin masih bersaudara dengan ayahnya. Yang jelas ia memutuskan untuk menikah musim dingin ini, tanpa peringatan apapun karena tidak memberitahunya. Ian bahkan baru bertemu pria itu tadi malam. “Kau masih marah?” Ilda mendekat sambil mengangkat gaunnya yang menjuntai. Ia memilih gaun yang memiliki ekor sepanjang lima meter paling tidak. “Tidak marah. Kapan aku marah?!” Ian mendengus, dan sama sekali tidak