Makasih gitu Ash... Ntar Dean guling-guling kesenengan klo denger wkwkkw
“Lalu kapan ayahmu akan melakukannya?” tanya Ian. “Katanya beberapa hari lagi. Aku tidak amat tahu. Aku disuruh menunggu saja.” Ash mengeluh sambil mengangguk untuk membalas salah satu anak buahnya yang baru berpapasan dan memberi hormat.Ash baru saja meninggalkan kantornya untuk pulang. Baru dua hari ini ia kembali bertugas secara aktif.“Apa yang akan dilakukannya?” Ian juga penasaran.“Entah.” Ash juga tidak amat tahu.“Misterius sekali ayahmu.” “Memang. Aku harap saja ia berhasil. Kalau tidak…”Ash menggantung kalimatnya, tapi Ian cukup paham dan menyeringai. “Aku sudah mencicil sedikit informasi, dan cukup menghafal dimana tempat tinggal yang menjadi tempatnya tidur—rumah di dekat Harrow. Ada orang yang selalu mendampinginya, tapi tidak terlihat amat bisa melawan kalau kita mendekat.”Ian mendadak terdengar sangat efisien, dan serius. Ia tidak bermain-main kalau soal rencana seperti ini.“Randall Monroe orang yang sangat sibuk. Ia tidak kalah sibuk dengan ayahmu dan Lady Rowen
“Ah, perusak acara sudah kembali.”Amy mengeluh dengan jelas dan keras saat melihat Ash berjalan masuk ke dapur, dan dikhawatirkan akan mengganggu acaranya dengan Mae.Mereka sedang membuat kue bersama—Mae yang membuat, Amy yang mengacaukan tepatnya.Terlihat paling berantakan karena pipinya tercoreng tepung dan tangannya berwarna pink terkena pewarna, tapi sumbangan pekerjaan yang dilakukan Amy tidak lebih dari menimbang bahan dan menuang adonan ke dalam loyang.“Kau ingin aku pergi atau bagaimana? Kau boleh melupakan tentang Paris itu juga tapi.” Ash mengancam sambil tersenyum manis.“Jangan begitu!” Amy menjerit sambil menggeleng. Kalah dengan mudah kali ini, karena selain Ash, ia tidak punya siapapun untuk membawanya berlibur. Kedua orang tuanya tidak mungkin punya waktu mengajaknya berlibur beberapa bulan ini.Mae yang sedang mengatur suhu oven, terkekeh mendengar pertengkaran itu. Jenis pertengkaran mereka berbeda dengan Ash saat bersama Daisy—Amy tidak mungkin mengumpat dan Ash
“Aku ingin melanjutkan pembicaraan itu—tentang monster itu.” Ini bukan pertama kali Ash mengangkat masalah itu. Ash kemarin mencoba saat Mae terlihat santai dan gembira. Memang sengaja memilih keadaan di mana Mae terlihat paling tidak terbebani, tapi reaksi Mae sama seperti sekarang. Langsung mengalihkan pandangan dan menjauh.“Mary…”“Tidak mau. Untuk apa?!” Mae menggeleng sambil mengusap lengannya. Sedikit saja bahasan, sudah cukup untuk membuat bulu halusnya berdiri karena takut.“Mary…”“Jangan memanggilku dengan nama itu!” sergah Mae, sambil mengusap telinganya. Kembali menjadi sensitif dengan nama itu, karena teringat pada Monroe. “Aku sengaja memanggilmu dengan nama itu karena aku ingin membuatmu tahu kalau nama itu tidak harus berarti teror,” kata Ash, sambil kembali meraih tangan Mae, menggenggam dan mengusap lembut.Mae tidak lagi tampak takut, karena bingung. Selama ini tentu ia mengira Ash memanggilnya dengan ‘Mary’ karena memang lebih menyukai nama itu—atau mungkin karen
“Aku rasa itu untuk besok saja. Timbangan kalori yang kemarin saja belum aku habiskan.” Ash meletakkan tumpukan cookies menggunung yang baru saja dibawa Mae ke tengah meja makan. Bukan kebiasaannya menolak apa yang diberikan Mae, tapi yang ini harus.Cookies lemon buatan Mae masih tampak lezat dan menggiurkan seperti biasa. Kalau memungkinkan Ash akan mengambil sepuluh keping lagi, tapi ia tahu benar hitungan kalorinya sudah melewati batas untuk sarapan hari ini—dan juga beberapa hari sebelumnya. Sekali atau dua kali mungkin tidak masalah, tapi kelebihan itu sudah berlangsung paling tidak satu minggu ini, karena Mae selalu menyediakan kue setiap hari sekarang—bahkan termasuk roti tawar dan sourdough.Yang dilakukan Mae selama ada di rumah itu kurang lebih setiap hari adalah membuat kue. Jenis apapun dan jumlahnya banyak.“Aku setuju. Bukan tidak lezat, tapi aku akan memerlukan jam tambahan untuk berolahraga kalau memakannya lagi.”Dean yang baru saja menyelesaikan sarapannya juga iku
Dean turun dari mobil didampingi Brad seperti biasa, dan rombongan RaSP langsung mengelilinginya. Acara di hadapan publik seperti ini memang selalu membutuhkan pengawalan ekstra.“Terima kasih atas kedatangannya.”Dean tersenyum dan melambai pada calon penonton yang memenuhi area depan gedung tempat acara debat malam ini. Mereka masih di luar karena acara belum akan dimulai.Dean tentu mendekati rombongan orang yang jelas adalah pendukungnya—membawa poster dan meneriakkan namanya, jumlahnya lebih banyak dari pendukung peserta lain. Ia lalu menjabat beberapa tangan yang terulur. Tak lupa sambil berterima kasih berulang kali untuk masing-masing tangan. Ia tidak akan meninggalkan keramahan meski beberapa tangan bersemangat itu nyaris menampar dan mencakar wajahnya.“Tolong jangan terlalu kasar. Mereka tidak sengaja.” Dean bahkan menegur saat pengawalnya mulai dengan tegas mendorong pendukungnya agar mundur. Intinya, penampilan Dean tidak tercela.Dean melambai untuk terakhir kalinya sebe
“Acara apa?” tanya Mae, dengan amat heran.Ash baru saja mengusulkan hal yang menurutnya aneh, yaitu menonton televisi. Kegiatan yang belum pernah mereka lakukan secara khusus. Beberapa kali mereka menghabiskan waktu di depan televisi yang menyala, tapi tidak pernah dengan serius mengikuti acara.Kini Ash tiba-tiba mengajaknya pindah ke ruang tengah di mana televisi besar berada, dan duduk di sana.“Acara perdebatan ayahku akan dimulai. Aku ingin menontonnya.” Ash menghidupkan televisi sementara Mae tertawa geli. “Aku tidak pernah menyangka akan ada hari di mana kau akan begitu mendukung apapun yang dilakukan oleh ayahmu.” Selain geli, Mae juga takjub. Ini pertama kali Ash rela memperlihatkan dukungan.“Bukan itu saja sebenarnya. Aku ingin melihat kehancuran seseorang,” kata Ash.“Apa kau baru saja ingin ayahmu kalah?” Mae lebih terkejut lagi. Mengira kalau yang dimaksud Ash adalah Dean. Tapi itu terlalu kejam, seharusnya hubungan mereka sudah semakin baik.“Bukan, Mary.” Ash masih m
“Aku tidak bersimpati pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga!” desis Monroe, sesaat kehilangan ketenangan diri. “Oh? Aku juga tidak mengatakan itu. Aku tadi menyebut ‘kalian’, maksudku partai. Bukan dirimu secara pribadi. Kenapa sensitif sekali?”Dean mengernyit, berpura-pura heran melihat reaksi Monroe. Tentu juga dilebih-lebihkan, untuk mengesankan kalau memang Monroe tidak suka masalah itu dibahas. “Siapa saja juga akan menjadi sensitif kalau tiba-tiba kau menuduh seperti itu.” Monroe sudah berhasil menghela napas dan lebih tenang. “Maaf kalau kau merasa seperti itu, Randall. Aku pikir ini normal. Aku tadi benar hanya menyebut kalian secara menyeluruh.” Dean bisa terlihat amat bersungguh-sungguh saat menyesal. “Tidak perlu.” Monroe semakin jengkel pastinya, karena permintaan maaf itu pasti malah hanya berujung simpati untuk Dean. Mengaku salah dan meminta maaf yang terkalkulasi dan sengaja.“Dan undang-undang yang kau maksud itu sudah tidak berlaku per enam tahun lalu.” Monroe
“Benar.” Dean mengakuinya karena memang tepat.“Karena itulah kami ingin memperbaiki keadaan itu. Bukan membela yang terlalu buruk, tapi memperbaiki yang masih bisa diselamatkan. Syarat adanya sesi konseling ini tentu termasuk derajat keburukannya seperti apa. Tidak disarankan untuk kekerasan yang sudah termasuk kriminal berat yang kau sebutkan tadi. Dan tentu saja kami juga mencakup kekerasan yang terjadi pada pria. Ini sering dilupakan, tapi pria sangat bisa dan ada yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. ”Napas Monroe masih cukup lega, dan serangan balasannya cukup kuat karena mencoba mengambil hati pihak yang sejak tadi belum tersebut oleh Dean—yaitu pria. Dean ingin mendecak kesal, tapi yang muncul tentu senyuman, tidak akan mengakui telah terpukul.“Itu amat benar, Randall. Untuk konteks ini, kita berdiri pada sisi yang sama.” Dean memilih mengaku dan menumpang. Setidaknya ia tidak terlihat amat ‘mengabaikan’ pria.“Senang mendengar itu. Menjaga keutuhan keluarga mema