Pelan-pelan ya Mae, udah pinter ☺
“Aku rasa itu untuk besok saja. Timbangan kalori yang kemarin saja belum aku habiskan.” Ash meletakkan tumpukan cookies menggunung yang baru saja dibawa Mae ke tengah meja makan. Bukan kebiasaannya menolak apa yang diberikan Mae, tapi yang ini harus.Cookies lemon buatan Mae masih tampak lezat dan menggiurkan seperti biasa. Kalau memungkinkan Ash akan mengambil sepuluh keping lagi, tapi ia tahu benar hitungan kalorinya sudah melewati batas untuk sarapan hari ini—dan juga beberapa hari sebelumnya. Sekali atau dua kali mungkin tidak masalah, tapi kelebihan itu sudah berlangsung paling tidak satu minggu ini, karena Mae selalu menyediakan kue setiap hari sekarang—bahkan termasuk roti tawar dan sourdough.Yang dilakukan Mae selama ada di rumah itu kurang lebih setiap hari adalah membuat kue. Jenis apapun dan jumlahnya banyak.“Aku setuju. Bukan tidak lezat, tapi aku akan memerlukan jam tambahan untuk berolahraga kalau memakannya lagi.”Dean yang baru saja menyelesaikan sarapannya juga iku
Dean turun dari mobil didampingi Brad seperti biasa, dan rombongan RaSP langsung mengelilinginya. Acara di hadapan publik seperti ini memang selalu membutuhkan pengawalan ekstra.“Terima kasih atas kedatangannya.”Dean tersenyum dan melambai pada calon penonton yang memenuhi area depan gedung tempat acara debat malam ini. Mereka masih di luar karena acara belum akan dimulai.Dean tentu mendekati rombongan orang yang jelas adalah pendukungnya—membawa poster dan meneriakkan namanya, jumlahnya lebih banyak dari pendukung peserta lain. Ia lalu menjabat beberapa tangan yang terulur. Tak lupa sambil berterima kasih berulang kali untuk masing-masing tangan. Ia tidak akan meninggalkan keramahan meski beberapa tangan bersemangat itu nyaris menampar dan mencakar wajahnya.“Tolong jangan terlalu kasar. Mereka tidak sengaja.” Dean bahkan menegur saat pengawalnya mulai dengan tegas mendorong pendukungnya agar mundur. Intinya, penampilan Dean tidak tercela.Dean melambai untuk terakhir kalinya sebe
“Acara apa?” tanya Mae, dengan amat heran.Ash baru saja mengusulkan hal yang menurutnya aneh, yaitu menonton televisi. Kegiatan yang belum pernah mereka lakukan secara khusus. Beberapa kali mereka menghabiskan waktu di depan televisi yang menyala, tapi tidak pernah dengan serius mengikuti acara.Kini Ash tiba-tiba mengajaknya pindah ke ruang tengah di mana televisi besar berada, dan duduk di sana.“Acara perdebatan ayahku akan dimulai. Aku ingin menontonnya.” Ash menghidupkan televisi sementara Mae tertawa geli. “Aku tidak pernah menyangka akan ada hari di mana kau akan begitu mendukung apapun yang dilakukan oleh ayahmu.” Selain geli, Mae juga takjub. Ini pertama kali Ash rela memperlihatkan dukungan.“Bukan itu saja sebenarnya. Aku ingin melihat kehancuran seseorang,” kata Ash.“Apa kau baru saja ingin ayahmu kalah?” Mae lebih terkejut lagi. Mengira kalau yang dimaksud Ash adalah Dean. Tapi itu terlalu kejam, seharusnya hubungan mereka sudah semakin baik.“Bukan, Mary.” Ash masih m
“Aku tidak bersimpati pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga!” desis Monroe, sesaat kehilangan ketenangan diri. “Oh? Aku juga tidak mengatakan itu. Aku tadi menyebut ‘kalian’, maksudku partai. Bukan dirimu secara pribadi. Kenapa sensitif sekali?”Dean mengernyit, berpura-pura heran melihat reaksi Monroe. Tentu juga dilebih-lebihkan, untuk mengesankan kalau memang Monroe tidak suka masalah itu dibahas. “Siapa saja juga akan menjadi sensitif kalau tiba-tiba kau menuduh seperti itu.” Monroe sudah berhasil menghela napas dan lebih tenang. “Maaf kalau kau merasa seperti itu, Randall. Aku pikir ini normal. Aku tadi benar hanya menyebut kalian secara menyeluruh.” Dean bisa terlihat amat bersungguh-sungguh saat menyesal. “Tidak perlu.” Monroe semakin jengkel pastinya, karena permintaan maaf itu pasti malah hanya berujung simpati untuk Dean. Mengaku salah dan meminta maaf yang terkalkulasi dan sengaja.“Dan undang-undang yang kau maksud itu sudah tidak berlaku per enam tahun lalu.” Monroe
“Benar.” Dean mengakuinya karena memang tepat.“Karena itulah kami ingin memperbaiki keadaan itu. Bukan membela yang terlalu buruk, tapi memperbaiki yang masih bisa diselamatkan. Syarat adanya sesi konseling ini tentu termasuk derajat keburukannya seperti apa. Tidak disarankan untuk kekerasan yang sudah termasuk kriminal berat yang kau sebutkan tadi. Dan tentu saja kami juga mencakup kekerasan yang terjadi pada pria. Ini sering dilupakan, tapi pria sangat bisa dan ada yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. ”Napas Monroe masih cukup lega, dan serangan balasannya cukup kuat karena mencoba mengambil hati pihak yang sejak tadi belum tersebut oleh Dean—yaitu pria. Dean ingin mendecak kesal, tapi yang muncul tentu senyuman, tidak akan mengakui telah terpukul.“Itu amat benar, Randall. Untuk konteks ini, kita berdiri pada sisi yang sama.” Dean memilih mengaku dan menumpang. Setidaknya ia tidak terlihat amat ‘mengabaikan’ pria.“Senang mendengar itu. Menjaga keutuhan keluarga mema
Suara Carol mengalun—terdengar merdu untuk Dean, apalagi sangat penuh dengan penghayatan. Ratu drama yang bahkan bisa terdengar sangat meyakinkan dari suara saja.Seisi studio itu langsung diam. Bahkan ada kameramen yang menjengukkan kepala untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri, karena tidak puas melihat hasil rekaman dari layar. Terutama untuk memandang wajah pucat Monroe yang terlihat seperti baru ditampar—atau ditendang—boleh apa saja, yang pasti menyakitkan.[Namanya—-Dia sekarang sudah menikah dan saya harap hidupnya bahagia, tapi sebelumnya ia mengalami kejadian mengerikan akibat Sir Monroe]Dean meminta Brad menyensor penyebutan nama Mae tentu. Ia tidak akan mengumumkannya pada satu dunia. Ini juga tidak akan dianggap aneh. Secara umum, sebagai korban tentu saja identitasnya harus dilindungi.[Saat pertama kali mendekat—, Sir Monroe merayu dan menyebut kalau— sangat mirip dengan istrinya yang sudah meninggal. Ia berjanji akan memperlakukannya dengan penuh cinta. Tapi yang
Mae masih menatap ke arah layar televisi, meski tayangan sudah berganti sekitar sepuluh menit yang lalu.Acara perdebatan yang disiarkan langsung tadi berakhir dengan kegugupan canggung saat Bryan menutup dengan ucapan terima kasih. Stasiun televisi itu kini menayangkan berita, yang merupakan rangkuman apa yang terjadi saat perdebatan tadi.Sudah jelas mereka bekerja dengan tergesa, karena yang ditayangkan hanyalah potongan dari perdebatan tadi, sementara pembaca beritanya berulang kali hanya mengucapkan ‘tidak tahu apa yang terjadi’, dan ‘belum mendapat kabar tentang situasi terbaru.’Mereka hanya ingin mendapat alasan untuk menayangkan potongan aneka adegan seru yang terjadi, padahal sebenarnya belum ada informasi tambahan yang ingin disampaikan pada penonton.“Mary?” Ash memanggil dengan lembut, sambil mengusap punggung tangan Mae.Tangan yang sejak tadi menggenggam erat sampai tangan kiri Ash mati rasa sekarang. Saat Dean menayangkan suara Carol terutama, Mae mencengkram tangan Ash
“Sleeping.” (Tidur)Ash menjawab dalam bisikan saat Dean bertanya dengan pandangan matanya. Ia perlu bertanya karena Mae masih berbaring di paha Dean. Pemandangan yang boleh saja terjadi, tapi tentu tidak normal.“Sudah berapa lama?” Dean bertanya dalam bisikan juga.“Mmm… Empat jam.” Ash tidak amat menghitung, jadi perlu memeriksa ponselnya untuk tahu.“Kakimu baik-baik saja?” Dean jelas membelalak, heran Ash bisa bertahan dalam posisi itu selama empat jam.“Tidak ada rasanya.” Ash menggeleng. Kakinya sudah mati rasa entah sejak kapan.Dean menggelengkan kepala dan tertawa pelan. Tidak lagi akan berkomentar atas kegilaan anaknya pada Mae.“Bagaimana?” tanya Ash, tentu bertanya kelanjutan yang tidak ditampilkan televisi.“Hell broke loose.” (Neraka lepas kontrol—idiom yang berarti keadaan tidak terkontrol/kacau karena suatu kejadian)Dean mengucap hal buruk, tapi bibirnya tersenyum. Tujuannya memang membuat kekacauan.“Apa kau akan terpengaruh?” tanya Ash.Dean langsung tersentak denga