Ga jahat-jahat amat kok :))
“Nenek sihir itu kalah juga akhirnya.” Daisy dengan puas tertawa, sampai suaranya menggema di ruang toko yang memang masih kosong itu.“Jangan menyeramkan begitu!” sergah Mae, tapi sambil tertawa juga. Hanya lebih sopan. Suara tawa Daisy tadi terlalu mirip tawa jahat ala antagonis yang berhasil membunuh lawannya.“Kau tidak marah aku mengatakannya pada Ash?” tanya Daisy sambil berpaling memandang sekitar.Mae dengan tanggap mencari kursi dan mendekatkannya pada Daisy. Ia belum bisa berdiri terlalu lama.“Sebenarnya ingin, tapi hasilnya instan sekali, jadi aku tidak akan membuat keributan.” Mae menunduk dan menekan hidung Daisy yang tersenyum bandel.Mae tentu bisa menebak dari mana Ash mengetahui masalahnya dengan Rowena. “Aku juga tidak akan mengatakannya kalau Rowena tidak keterlaluan.” Daisy mencibir.“Dia…” Mae tidak ingin menyebutnya amat jahat karena paham apa alasannya. “Yang penting toko ini sudah kembali padaku.” Mae akan bisa tersenyum padanya Rowena saat mereka bertemu lag
Carol tidak ingin pengacara itu salah paham dan melapor pada Monroe. Urusannya bisa menjadi panjang—dan menakutkan. Keadaannya tidak boleh menjadi lebih buruk lagi. Carol sudah mengiba, menyembah dan merendahkan diri, sampai rela bersopan-santun pada Monroe dan Stewart, karena hanya mereka tempatnya meminta tolong saat ini.Ketenangan dan kesombongan Carol yang dulu masih bisa dipertahankan saat menghadapi Mae, sudah lama tidak terlihat, karena semakin nyata nasibnya akan terbenam dalam lumpur setelah ini.“Siapa yang dimaksudkan olehnya?” tanya Stewart. Ingin tahu siapa yang dibahas Faraday.“Eh? Itu… tidak ada.” Carol menggeleng. Mulai panik, dan memeras otak agar Stewart tidak bertanya lebih lanjut.“Kau jangan…”“Tidak ada. Sungguh.” Carol menghindar.Stewart memandangnya, menimbang, akhirnya mengangguk, menyimpan pesan itu tanpa bertanya lagi.“Mr. Stewart, mmm…Apa Anda sudah menyampaikan pesan saya pada Sir Monroe?” tanya Carol. Ia menagih sedikit janji.“Sudah, dan katanya aku
“Jangan. Sebelah sini saja. Maaf.”Mae mengarahkan orang yang sedang menggeser mixer besar dengan penuh penyesalan, karena ini sudah dua kali ia berubah pikiran. Mixer itu berat.“Ada lagi, Mrs. Cooper?”Mereka masih bisa tersenyum ramah tapi, sepertinya paham kalau Mae sedang dalam fase penuh tekanan.Hari-H pembukaan toko itu adalah lima hari lagi, tentu kesibukan Mae semakin memuncak. Ia merasa sudah menyiapkan semuanya, tapi ternyata ada saja detail yang sepertinya terlupa atau salah. Mae kemarin harus mengembalikan semua flyer ke percetakan, karena mereka salah mencetak nama kue. Kalau satu Mae masih bisa maklum, tapi ada tiga nama kue yang salah. Meski sudah diperbaiki, hal ini menggerus rasa percaya diri Mae. Merasa kalau nama kue pilihannya mungkin terlalu sulit dicerna.Butuh bujukan Daisy—dan Ash melalui telepon—untuk mencegah Mae merombak semua menunya. Ini akan memakan lebih banyak waktu.“Aku rasa cukup. Terima kasih.” Mae mengangguk sambil menarik napas panjang.Lega kar
Begitu pula Mae. Ash tidak mengatakan apapun, karena cukup sulit dihubungi beberapa hari terakhir, dan Mae pun terlalu sibuk.“CEPAT BERANGKAT!” Poppy kembali berseru, karena tahu Mae kebingungan harus melakukan apa.Daisy menepuk punggung Mae agar ia bergerak.“Ash pulang… aku…” “Pergi. Aku bisa pulang sendiri naik taksi.” Daisy menepuk dadanya. Ia memang sudah terbiasa bepergian sendiri sekarang.“Oke.” Mae menyambar mantel dan keluar.“Tunggu! Rapikan dulu—” Daisy ingin mengingatkan kalau Mae masih memakai apron dan rambutnya masih tertutup kain agar tidak kotor, tapi Mae sudah menyetop taksi begitu melangkah keluar. Ia akan naik kereta saja. Mae tidak yakin ia bisa menyetir sejauh sampai Andover dengan tenang saat ini.“Kenapa tidak ada yang memberitahuku?!” Mae menyalurkan amarah pada Poppy setelah menyebutkan tujuannya pada sopir taksi.“Karena ada pengumuman resmi dari—ah, kau bukan istri Ash! Kau tidak akan mendapatkannya!” Poppy terdengar mengutuk kebodohannya.Mae tentu saja
Pemandangan yang sangat jauh dari normal terlihat. Ash yang jarang tersenyum dan lebih sering datar, tiba-tiba saja mekar seperti musim semi.Tangan yang biasanya tidak segan menampar, menyambut dengan lembut, merengkuh penuh kasih. Belum lagi senyumnya yang hangat. Tentu saja Ash tidak pernah tersenyum seperti itu di hadapan siapapun yang ada di sana.Pelukan Ash dan Mae itu sederhana, sama seperti sambutan keluarga yang lain yang tentu banyak memeluk dan mencium karena rindu—tapi masalahnya yang melakukan adalah Ash.Ash yang tidak pernah terlihat dekat dengan siapapun, bahkan tidak pernah mengundang keluarganya saat ada sambutan seperti itu—sampai orang-orang mengira ia sebatang kara.Ash yang tidak pernah terlihat selembut itu. Fakta ini yang paling mencengangkan, dan mengundang perhatian. Belum lagi fakta kalau sejak tadi Mae sempat menjadi pusat beberapa tentara lajang—dan mungkin yang tidak lagi lajang—sebelum Ash memanggil.Karena terlambat, Mae memang sempat kebingungan. Ia da
“Aku saja, atau orang-orang banyak yang memandang kita?” Mae heran saat menyadari kalau lebih banyak orang yang melirik ke arahnya.Bukan hanya setelah mereka turun di stasiun, tapi juga selama mereka di atas kereta tadi. Mae saja tidak mendapat perhatian sebanyak itu saat berangkat tadi, padahal ia memakai apron dan kain penutup tadi. Mae sangat malu saat Poppy menunjuknya tadi. Mae meninggalkan kain dan apron itu di mobil Poppy sampai sekarang, karena tidak lagi bertemu dengannya.Ash langsung menariknya keluar dari base tadi, mendahului sementara yang lain masih sibuk bersosialisasi.Karena Mae tidak membawa mobil, mereka memutuskan naik kereta juga ke Reading. Semua mobil Ash sudah ada di Reading. “Ini. Menarik perhatian.” Ash menepuk seragamnya yang tentu membuat orang melirik dua kali saat melihatnya. Karena itu Ash kalau bisa akan memilih naik mobil. Malas menjadi pusat perhatian.“Aku rasa karena wajah juga. Tergantung siapa yang memakai.” Mae terkekeh, saat melihat seorang ga
“Di sudut yang kanan juga. Semprot lagi, lalu gosok sampai bersih.” Mae menunjuk, dan Ash dengan patuh melaksanakan. Menyemprotkan cairan pembersih ke atas permukaan meja metal, dan menggosok sampai berkilau.Patuh, tapi bukan tidak memprotes. “Kenapa harus sampai sudut ini? Kita hanya menempati sebelah sana.” Ash menunjuk bagian dimana mereka ‘bergumul’ tadi. Sudah sangat jauh dari tempat Ash menggosok saat ini. Tentu bagian itu adalah yang pertama dibersihkan Ash, sampai tiga kali malah. Memakai air dan cairan pembersih, setiap kalinya. Bahkan termasuk lantai juga ikut dibersihkan olehnya. Semua atas perintah Mae“Karena aku tidak tahu sampai mana kuman dan bakterinya menyebar. Aku tidak mau ada kotoran yang tertinggal.” Mae menunjuk sekali lagi, menyuruh Ash mengulang.“Kau juga menikmatinya tadi.” Ash bergumam, sedikit tidak rela disalahkan, karena ingat betul Mae tidak amat menolak saat mereka melakukannya tadi.“Aku sudah meminta pulang, kau yang merayuku. Kau yang tidak sabar
“This is your life.” (Ini hidupmu)Mae menepuk pelan seragam Ash. “Tapi aku tidak menyukai sedikitpun saat dimana aku meninggalkanmu sendiri,” kata Ash.Masa itu menyiksa, apalagi saat seperti kemarin—dimana Mae membutuhkannya. Ash merasa amat beruntung bisa menemukan Mae dalam keadaan hidup. Belum terlambat, tapi sedikit lagi.“Aku juga tidak menyukainya, tapi apa ini jalan keluarnya? Terlalu ekstrim, Ash. Kau seperti membakar semua keringat dan kerja kerasmu menjadi percuma.” Mae yang tidak rela Ash membuang semua itu. “Tapi aku ingin ada didekatmu saat kau membutuhkan. Aku ingin—”“Jangan mengukurnya dari diriku saja. Bagaimana denganmu? Apa kau tidak memikirkannya? Itu tidak sehat. Kau sendiri yang mengatakannya padaku dulu. Kau ingin aku memikirkan diriku sendiri.” Mae mengembalikan saran Ash.“Tidak sama, aku tidak membutuhkan perhatian dan pertolongan—”PAK! Mae mendorong dada Ash—kasar, karena marah. “Apa aku beban yang harus selalu ditolong?”“Bukan, Mary. Tolong…” Ash mend