"Nona, bisa aku berbicara sebentar?" tanya Vernon pada Berlin yang tengah membuat minuman di dapur. Pagi-pagi sekali, pria itu berkunjung ke rumah sang bos dan sengaja mencari Berlin."Kenapa?" tanya Berlin sembari menoleh ke arah Vernon yang sudah berdiri tepat di belakangnya."Kak Vernon ingin susu? Aku sedang membuat susu—""Tidak perlu menawari pria pemalas itu!" sentak Devan menyela perkataan Berlin.Devan segera merampas susu hangat di tangan Berlin dan tak rela sang kekasih membuatkan minuman untuk pria lain, sekalipun itu hanyalah Vernon."Pelit sekali," gerutu Vernon lirih."Kau ingin membicarakan apa? Memangnya kau ada kepentingan apa dengan Berlin?" sinis Devan."Maaf, Bos. Aku hanya ingin berbicara empat mata dengan Nona Berlin. Boleh, kan?" tanya Vernon."Tidak boleh! Bicara saja denganku!" sentak Devan."Ini berkaitan dengan Nona Berlin. Jadi, aku harus menyampaikannya pada Nona Berlin," tegas Vernon."Oh, kau sudah berani menjawabku?!" sungut Devan."Aku tidak memiliki
"Aku mempunyai informasi untukmu," ujar Vernon pada Sheena melalui telepon."Informasi apa? Awas saja kalau kau hanya membawa informasi tidak berguna!" sungut Sheena."Kau harus membantuku terlebih dahulu,""Membantu apa? Kau saja tidak mengatakan apapun mengenai foto yang ditemukan oleh ibuku!" "Kau pasti penasaran siapa pemilik foto itu," cetus Vernon."Bukan orang yang kukenal, kan?" tanya Sheena mulai gusar."Mungkin kau belum pernah bertemu dengannya. Tapi ... mungkin juga kau pernah bertemu dengannya,""Apa maksudmu?" tanya Sheena bingung."Bantu aku dulu, setelah itu baru aku akan memberitahumu!" titah Vernon."Apa yang kau mau?""Carikan sisir dan sikat gigi yang digunakan oleh ibumu. Pastikan itu sikat gigi ibumu dan di sisir itu ada beberapa helai rambut ibumu!" pinta Vernon."Apa yang akan kau gunakan dengan sikat gigi ibuku?" tanya Sheena makin bingung."Lakukan saja perintahku! Kirimkan barangnya pada staffku. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu," ujar Vernon."Jangan
"Vernon aneh sekali," gumam Berlin mengingat kembali sikap Vernon yang menanyakan banyak hal mencurigakan padanya."Berlin, aku akan ke dokter. Kau mau ikut?" tawar Devan sembari membuka lemari pakaiannya."Kau mau kemana, Vernon?" tanya Berlin tak sengaja salah sebut nama karena dirinya terlalu memikirkan Vernon."Apa?" Devan sontak menoleh ke arah Berlin dan menatap tajam ke arah sang kekasih."Kau menyebut nama siapa tadi?" tanya Devan dengan amarah tertahan."Apa? Menyebut nama siapa? Tentu saja aku menyebut namamu, Devan!" tukas Berlin."Telingaku masih berfungsi dengan baik! Kau menyebut nama Vernon. Iya, kan?" sentak Devan."Kenapa jadi Vernon? Aku tidak menyebut nama Vernon," kilah Berlin."Kau masih memikirkan pria itu? Kenapa Vernon begitu penasaran tentangmu? Ada hubungan apa kau dengan Vernon?" tuduh Devan mulai berpikir macam-macam pada Berlin hanya karena gadis itu tak sadar salah menyebut nama."Hubungan apa? Aku juga tidak tahu kenapa dia begitu penasaran padaku. Aku s
Tiga belas tahun lalu di panti asuhan.Devan yang tiba-tiba terbangun di panti asuhan setelah disekap beberapa hari, mau tak mau harus tinggal sementara di tempat asing yang baru pertama kali dikunjunginya."Kak, Ibu bilang Kakak akan tidur di kasurku," Seorang gadis kecil menghampiri Devan yang waktu itu masih berbadan gempal.Siapa lagi gadis kecil manis itu kalau bukan gadis yang telah menjadi kekasihnya kini, yaitu Berlin."Ibu bilang badan Kakak terlalu besar. Tidak ada lagi kasur kosong, jadi kita harus berbagi kasur," oceh Berlin kecil pada Devan yang waktu itu masih berusia remaja.Devan hanya diam saja mendengar Berlin kecil yang terus berbicara tanpa henti."Badan anak lain juga besar. Kasurnya tidak muat kalau dipakai tidur dengan Kakak. Karena hanya aku yang berbadan kecil di sini, jadi Kakak harus tidur bersamaku." Devan masih terdiam tak bereaksi.Mayat yang dilihat oleh Devan di gudang tempatnya disekap, membuat psikis pria kecil itu terguncang seketika.Darah yang berc
Berlin duduk termenung di kamar sembari menatap ke luar jendela yang memperlihatkan rintik hujan di sore hari.Ucapan Devan mengenai sang ibu asuh membuat pikiran Berlin berkecamuk, ingin mencari tahu apa saja yang sudah diperbuat oleh Bu Wanda di masa lalu hingga membuat dirinya terjebak di panti asuhan."Berlin, apa yang kau lakukan di sana?" tanya Devan membuyarkan lamunan Berlin mengenai Bu Wanda."Kenapa?""Kau masih saja memikirkan wanita itu? Aku tidak sedekat apa kau dengan wanita itu. Tapi melihat kau berkorban banyak—""Berkorban apa? Memangnya apa yang kau tau tentangku di panti asuhan? Kau mengawasiku selama ini?" selidik Berlin."Aku ... memang mengawasimu. Kenapa? Kau tidak terima?" cibir Devan."Dari pada kau melamun di sini, bagaimana ... kalau kita menghangatkan badan saja? Saat hujan seperti ini, lebih baik kita—""Membuat makanan hangat saja! Aku akan buatkan sesuatu untukmu!" potong Berlin cepat, sebelum Devan mengajak dirinya menghangatkan diri di ranjang."Makana
"Ayah, Ibu kemana? Kenapa sepi sekali?" tanya Sheena pada sang ayah yang tengah menyeruput kopi panas."Hm? Ibumu? Ibu pergi ke Jerman dua hari yang lalu. Kau baru sadar?" tanya Tuan Mahesa."Ke Jerman? Untuk apa Ibu ke Jerman?" tanya Sheena.'Apa Ibu ke Jerman untuk mencari anaknya itu? Ibu ke Jerman untuk mencari pemilik foto yang ditemukan oleh Ibu?' batin Sheena menerka-nerka."Ayah juga tidak tahu. Coba kau tanyakan sendiri pada ibumu," cetus Tuan Mahesa merasa tak enak hati pada Sheena jika harus membeberkan alasan sebenarnya Nyonya Firda pergi ke Jerman."Em, kebetulan Devan juga sudah kembali ke Jerman untuk melanjutkan pengobatan. Boleh aku menyusul Devan dan Ibu?" pinta Sheena."Menyusul Devan? Untuk apa?" tanya Tuan Mahesa."Tentu saja untuk menjenguk calon suamiku," tukas Sheena."Calon suami?" cibir Tuan Mahesa."Kenapa? Ayah tidak ada masalah dengan Devan, kan?""Kau tidak curiga dengan penyakit Devan? Apa dia pernah memperlihatkan gelagat aneh padamu?" tanya Tuan Mahesa
"Untuk apa kau menanyakan hal aneh-aneh pada Berlin? Kau tahu sesuatu tentang Berlin?" tanya Devan pada Vernon."Kenapa? Kau penasaran apa yang temukan tentang gadismu?" cibir Vernon."Apa yang kau temukan tentang Berlin?""Cari tahu saja sendiri!" ketus Vernon."Hei, kau berani—""Aku akan profesional menyangkut pekerjaan. Tapi soal Berlin, itu adalah masalah pribadimu! Aku juga punya kehidupan pribadi yang harus kuurus! Aku juga punya rasa lelah! Aku sudah lelah menjadi kacungmu selama belasan tahun ini!" ungkap Vernon.Untuk pertama kalinya, pria yang pernah menjadi kakak angkat dari Devan itu mengutarakan isi hatinya dan rasa lelahnya menjadi babu di keluarga Devan selama bertahun-tahun."Kau sedang protes? Apa Ayah memberimu banyak pekerjaan?" tanya Devan.Setelah mengingat kembali masa lalunya yang menyakitkan bersama keluarga Devan, Vernon mendadak berubah dan ingin mengakhiri sakit hati yang dipendamnya selama ini.Melihat Berlin dan Sheena membuat dirinya teringat kembali pad
Vernon dan Devan terdiam dan diselimuti suasana canggung. Kedua pria itu saling membuang muka dengan perasaan malu bercampur jijik setelah apa yang diucapkan oleh Devan."Kau bisa mengambil liburan. Aku harus pergi!" ujar Devan bergegas melarikan diri dari suasana kikuk itu.Devan segera melajukan kendaraannya menuju menjauh dari Vernon dan menuju ke rumah sakit tempatnya akan menerima terapi."Aku masih normal. Aku masih normal. Aku masih normal! Kenapa aku mengatakan hal menjijikkan seperti itu pada Vernon?" gerutu Devan kesal pada dirinya sendiri.Pria itu memberhentikan kendaraannya sejenak, kemudian menghubungi sang kekasih yang kini tengah menunggunya di rumah."Halo, Sayang? Aku mencintaimu, Berlin. Aku mencintaimu. Aku masih sangat sangat menyukai wanita!" ujar Devan begitu Berlin mengangkat panggilan telepon darinya."Devan? Kau ini kenapa? Kau sekarat?" tanya Berlin."Aku baru saja mengatakan hal yang tidak pernah kubayangkan pada seorang pria. Sepertinya otakku mulai rusak,