Keesokan harinya, Steven memutuskan untuk membawa Celine pergi berlibur dadakan. Lagipula saat itu adalah akhir pekan. Biarlah mereka melakukan semacam bulan madu singkat.Steven membawa Celine pergi ke Quebec. Celine yang tidak suka naik pesawat terpaksa harus menahan rasa takutnya. Tapi kali ini rasanya berbeda. Ia tidak setakut seperti sebelumnya. Mungkin karena kali ini ada sang suami yang senantiasa menyertainya dan mendampinginya dalam ketakutan.Suami?Yah, Celine sendiri masih merasa asing dan belum terbiasa bahwa ia kini telah memiliki seorang suami. Dan belum terbiasa pula ketika Steven menggodanya dengan memanggilnya sebagai Mrs. Gagnon. Celine jadi tersipu sendiri. "Kenapa kau tersenyum-senyum sendiri?" tanya Steven pada Celine. Wajah Steven juga terlihat tak kalah bahagianya."Aku merasa bahagia," jawab Celine sambil bersandar pada dada bidang Steven sambil menikmati sajian anak-anak muda seniman jalanan yang sedang memainkan beberapa alat musik sambil bernyanyi dengan i
"Ke mana saja kau!" sentak Mr. Reynolds."Nana meracau memanggilmu terus! Tapi kau tidak datang atau menjawab telepon. Nana sudah meninggal!" sambungnya dengan suara keras.Celine seakan terhenyak mendengar bahwa Nana telah meninggal. Ia belum sempat bertemu dengannya dan mengucapkan selamat tinggal. Mengapa Nana pergi dengan begitu cepat. Tanpa dapat ditahannya air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya, pandangannya jadi kabur."Jangan memarahinya lagi! Dia tidak tahu akan terjadi hal seperti ini! Aku yang menyuruhnya untuk pergi bersamaku!" Steven menatap tajam ke arah Mr. Reynolds sambil menegurnya. Ia sudah cukup melihat perlakuan keluarga Reynolds kepada Celine. Hanya dalam satu kali pertemuan saja, pria tua itu sudah memukul Celine."Siapa kau? Jangan ikut campur masalah keluarga!" sentak Mr. Reynolds kepada Steven."Aku, Steven Gagnon! Pemilik Diamond Corporation!" ucap Steven tanpa dapat menahan diri lagi. Seharusnya ia tidak membuka identitasnya di hadapan keluarga
"Kau mau ambil barang-barangmu dulu ke rumah keluarga Reynolds?" tanya Steven saat mereka sudah berada di dalam mobil dan sedang dalam perjalanan.Celine mengangguk pelan. Ia akan mengambil barang-barangnya sekaligus mengembalikan kunci rumah kepada keluarga Reynolds. Sekarang Nana sudah tidak ada. Praktis hubungannya dengan keluarga Reynolds juga sudah berakhir. Ia sudah memiliki Steven sekarang. Jadi ia akan tinggal di rumah Steven.****Tiga bulan kemudian : "Nyonya Gagnon!" sapa Qiana penuh sikap hormat.Hari ini Qiana dipanggil ke Gagnon Manor oleh Nyonya besar Gagnon. Jadi disinilah ia sekarang, berdiri dengan sikap sopan dan hormat di depan Nyonya besar Gagnon."Aku menyuruhmu membantu penyelidikan Noah soal penggelapan uang itu tapi kau malah tidak melaporkannya padaku!" Ucap Nyonya besar Gagnon dengan suara tegas dan galak."Maafkan saya, Nyonya. Tapi saya dan keluarga sedang mengalami kedukaan beberapa bulan terakhir ini. Nenek saya meninggal dunia. Itulah sebabnya saya be
"Steven! Bisakah kau jelaskan padaku mengapa kau melakukan hal gila ini? Apa kau mau membuatku mati lebih cepat?" Nyonya besar Gagnon terlihat sangat terpukul sekali ketika ia melihat Steven."Setelah semua yang telah kulakukan selama ini … tapi kau malah menghancurkannya!" Nyonya besar Gagnon meratap sambil menunjuk Steven dengan tongkatnya. Steven menghela nafas dalam dan ia memejamkan kedua matanya. Kemudian pria bermata unik itu mencubit pangkal hidungnya seakan ia merasa lelah luar biasa. Kemudian tanpa menengok ke arah Celine ia berkata,"Celine bisakah kau tolong tinggalkan kami berdua?" Pinta Steven kepada Celine. "Steven, apakah ….""Kumohon, Celine! Tinggalkan kami!" Steven tiba-tiba meninggikan nada suaranya. Mendengar suara Steven yang baru pertama kali ini bersikap tidak ramah padanya membuat Celine jadi kesal. Ia memutuskan untuk naik ke atas meninggalkan mereka berdua.Tapi baru setengah jalan, ia memutuskan untuk tidak jadi naik. Ia penasaran dengan apa yang akan di
Celine naik ke atas dan mulai membereskan barang-barangnya. Ia tidak akan bisa bersama dengan Steven lagi setelah ia tahu bahwa Steven adalah orang yang berada dibalik kecelakaan ayah dan ibunya.Celine tidak akan bisa hidup tenang bersama dengan seorang yang telah membunuh ayah dan ibunya.Tepat ketika ia selesai membereskan barang-barang miliknya dan hendak beranjak keluar, Steven masuk ke dalam kamar mereka."Celine, mau ke mana kau?" tanya Steven begitu melihat Celine sudah siap dengan koper miliknya di sampingnya.Celine tidak menjawab. Ia hanya menatap Steven dengan penuh kebencian. Sisa-sisa air mata di wajahnya telah cukup menjelaskan kepada Steven mengenai apa yang telah terjadi.Wajah Steven berubah pucat. Celine pasti telah mendengar percakapan antara dirinya dengan sang nenek."Celine … aku bisa menjelaskan …." ucap Steven tapi nada suaranya sendiri masih terdengar ragu."Tak perlu! Aku sudah mendengar semuanya!" potong Celine dengan suara gemetar menahan tangis sekaligus
Celine menatap tajam dan tak percaya ketika melihat Steven tahu-tahu sudah ada di dalam pesawat yang sama dengannya. Sementara Steven semakin mendekat, kemudian ia berjongkok di samping seorang wanita yang duduk di samping Celine."Maaf, Nyonya. Bolehkah saya meminta tolong kepada Anda untuk bertukar tempat sebentar? Wanita yang duduk di sebelah Anda adalah istri saya. Kami sedang bertengkar hebat dan ia langsung pergi naik pesawat begitu saja tanpa memberikan kesempatan kepada saya untuk menjelaskannya," Steven mengeluarkan pesonanya untuk membujuk wanita yang berusia kira-kira pertengahan 50an itu."Kalian berdua suami istri?" tanya wanita setengah baya itu kepada Celine."Bukan!" jawab Celine singkat dan kemudian ia membuang muka."Ayolah, Celine! Kita bisa membicarakan ini baik-baik. Kita masih terikat dengan pernikahan," sahut Steven berusaha membujuk Celine.Namun Celine sama sekali tidak memberikan reaksi apapun. Ia terus saja memandang keluar jendela. Seolah awan terlihat jauh
"Pencuri! Berhenti! Itu milikku!" Celine berteriak panik.Celine berusaha mengejar penjahat yang telah merampas tas dan barang-barangnya. Namun sia-sia saja, orang itu terlalu cepat, dan lagi Celine tidak berani berlari terlalu cepat. Ia sedang mengandung. Ia takut terjadi sesuatu kepada janinnya.Ia masih baru tiba di kota ini dan ia belum mengenal jalanan dan area disana dengan baik. Dan orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak ada yang membantunya. Mereka hanya melihat kejadian itu dengan pandangan bertanya-tanya tapi tidak membantu mengejar penjahat tersebut.Dengan segera kedua penjahat tadi menghilang dengan barang-barang bawaan dan tas tangan Celine. Dengan putus asa, Celine mulai merasa panik. Semua barang-barang berharganya ada di dalam tas itu. Termasuk uang, kartu kredit, kartu ATM, dan surat-surat dokumen penting lainnya.Kini Celine sama sekali tidak memiliki apapun lagi selain pakaian yang melekat pada tubuhnya. Dalam keputusasaan itu, Celine pun menangis. Bagaimana i
Celine berusaha memberontak dengan sia-sia. Pakaiannya sudah koyak sehingga pakaian dalamnya sampai terlihat."Jangan! Tolong jangan! Aku sedang hamil!" Celine memohon sambil menangis."Hei, wanita ini sedang hamil!" teriak si pemuda berbadan besar itu kepada teman-temannya."Hamil?"ulang temannya yang lain dengan nada bodoh.Celine mulai berharap bahwa mereka akan meninggalkannya dan tidak melaksanakan apapun niat mereka terhadapnya setelah tahu bahwa ia sedang hamil. Tapi sedetik kemudian harapannya langsung runtuh."Bagus! Kebetulan aku juga selalu ingin mencoba seperti apa rasanya bermain dengan wanita yang sedang hamil. Katanya mereka lebih bergairah!" teriak si pemuda berbadan besar itu sambil tertawa diikuti oleh temannya.'BUUGGHHH!!!'Pemuda bertubuh besar itu tiba-tiba terdiam dengan tampang bengong. Matanya terbelalak lebar. Kemudian ia tiba-tiba roboh jatuh tepat di depan Celine.Kedua temannya dan Celine sama-sama terkejut. Belum sempat mereka bereaksi, sebuah balok kayu
Devan terduduk lemas tepat di pinggiran jalan, kenyataan yang ia terima tadi begitu pahit dan menyakitkan.Kini ia pun tak punya lagi opsi-opsi yang bisa membuat ia menjadi pemenang di sini."Kenapa? kenapa harus Ethan?" lagi, pertanyaan itulah yang terus saja ia lontarkan karena hanya pertanyaan itu yang tak pernah bisa diubah jawabannya ."Rasanya sangat menyakitkan sekali," ucap Devan, ia memegang dadanya merasakan denyut jantung yang berpacu begitu lambat."Sinta, kenapa malam itu kamu masuk ke kamar Ethan, bukan kamar yang seharusnya kamu masuk? kenapa kamu begitu ceroboh sekali?"Kini tak ada lagi kata-kata yang bisa diucapkan oleh Devan, laki-laki itu hilang arah.Ia duduk, membiarkan dirinya itu dilihat oleh orang-orang yang lalu, ia tidak peduli selagi ia tidak mengganggu siapapun di sini.Devan menarik nafasnya dalam dalam, masih belum bisa ia terima, namun kenyataan lebih menyakitkan akan ia terima Jika ia tidak menerima kenyataan ini.Seenggaknya sekarang ia bisa berpikir
Devan mondar-mandir di depan pintu UGD, sudah hampir setengah jam ia berada di situ bersama dengan pembantunya. Tadi ketika ia membawa Sinta untuk pergi ke rumah sakit, ia meninggalkan pesan kepada bi Diah untuk datang ke rumah sakit, karena Sinta akan melahirkan. Sedikit banyak Ia membutuhkan bantuan wanita itu, bi Diah pernah melewati masa di mana ia melahirkan. seorang laki-laki seperti dirinya, mana mengerti semuanya ini, bukan?"Duduk dulu Mas dan tenangkan diri, berdoa kepada yang di atas semoga semuanya baik-baik saja." ucap Bi Diah."Bagaimana saya bisa tenang, sementara hampir setengah jam berlalu belum ada kabar berita yang saya dapatkan dari dalam. Bagaimana kondisi Sinta? apakah semuanya baik-baik saja, atau tidak? saya ingin tahu semuanya itu agar bisa tenang Bi," ucap Devan.Bi Diah pun merasa sedikit tegang karena sejak tadi belum ada tanda-tanda laporan bahwa persalinan berjalan dengan lancar."Mari kita berdoa untuk keselamatan Mbak Sinta,"Devan menganggukan kepalany
Sinta hampir saja terpesona dengan sosok Devan yang ada di hadapannya, kata-kata lembut namun teratur benar-benar membuat Sinta lupa diri sesaat.Tapi itu hanya terjadi beberapa menit saja sebelum Sinta menarik tangannya dengan tersenyum, merasa sedikit canggung dengan suasana yang tercipta saat ini. Devan pun merasakan hal itu, ia menggaruk kan tengkuknya yang tidak gatal untuk melepaskan kecanggungan yang tercipta itu."Oh iya, aku bersih diri dulu ya, badanku lengket-lengket semua. Kamu tidur aja dulu, lagian ini juga sudah malam, kasihan bayimu."Sinta menganggukkan kepalanya dan kemudian mereka berdua pun berpisah, dengan Sinta pergi ke jalur kanan menuju kamarnya Dan Devan pergi ke jalur kiri menuju kamarnya juga. Apartemen itu memiliki dua kamar, lumayan besar untuk mereka yang hanya tinggal berdua.Setelah sampai di kamarnya, Sinta menutup pintu. Tak lupa mengunci pintu agar Devan tidak bisa masuk.Ia memegang dadanya, detak jantung terasa begitu cepat sekali, Ada apa ini? apa
Shinta nampak tertunduk lesu, padahal dia hanya ingin mengirit uang yang dikeluarkan oleh Devan untuknya selama ini, laki-laki itu telah terlalu banyak mengeluarkan uang untuknya dan ia merasa sedikit tidak enak akan hal itu."Maaf, aku hanya tidak ingin terlalu banyak menggunakan uangmu. Apalagi beberapa peralatan bayi terbilang cukup mahal.""Aku sama sekali tidak masalah akan hal itu, kapan selama ini kamu mendengar aku mengungkit Semua pengeluaran untukmu?" jawab Devan, ia membantu dan mencukupi Sinta selama ini karena benar-benar tulus dari dasar hatinya yang paling dalam, bukan karena ada apanya. meskipun perasaannya ditolak mentah-mentah oleh Sinta, Ia tetap juga berbaik hati kepada wanita ini, bukan? jadi apalagi yang kurang saat ini?"Terima kasih Devan, terima kasih sekali. aku beruntung karena di saat seperti ini, Aku malah dipertemukan dengan orang sebaik kamu. jasamu tidak akan pernah bisa aku lupakan, bahkan sampai aku mati sekalipun nanti. Ketika anak ini lahir, aku aka
Devan tersenyum, "memangnya apa yang ada dalam pikiranmu itu?" tanya Devan.Sinta mencoba membenarkan posisinya agar lebih terasa enak saat ini, Devan membantu Sinta untuk duduk."Tadi ketika aku pulang dan ingin ke kamarku, aku mendengar kamu menyebut mama, Itulah kenapa aku tahu kalau tadi kamu bermimpi tentang mama," jelas Devan yang langsung di anggukkan oleh Sinta, hampir saja ia menuduh Devan yang tidak, tidak.Ia menoleh ke arah jam di dinding yang saat ini sudah menunjukkan pukul 11.00 malam, apakah tadi ia tertidur setelah makan malam? Ah, memang rasanya sangat melelahkan sekali ternyata."Kamu baru pulang?" tanya Sinta."Iya, sekitar hampir 15 menitan yang lalu lah.""Kenapa begitu larut sekali pulangnya? apakah begitu banyak pekerjaan di kantor?" tanya Sinta.Devan menggelengkan kepalanya, "hanya ada beberapa berkas yang harus aku kerjakan saja, mengingat tadi pun kita sudah pergi hampir setengah hari.""Apa kamu sudah makan?"tanya Sinta, ia baru teringat bahwa masih ada be
Nadia kembali tertawa terbahak-bahak diseberang sana hingga menampakkan dua buah lubang pipih yang membuat wanita itu semakin cantik sekali Jika tertawa seperti ini."Oh iya, dia akan memanggil anda apa? Bunda? Mama? Mami? Ibu? atau apa?""Ah, benar juga ya, kenapa selama ini aku tidak kepikiran untuk memilih panggilan yang pas? menurutmu, cocoknya panggilannya apa ya?""Ibu,""Ah, tidak. terlalu gimana gitu. Aku tidak mau dipanggil ibu yang lain dong."Nampak Nadia sedikit berpikir untuk mencari panggilan yang pas saat ini."Mami.. Mungkin,"Kali ini Sinta pula yang tertawa terbahak-bahak, membuat Nadia bingung apa yang salah dengan yang ia ucapkan tadi."Kenapa Anda tertawa?""Kenapa harus mami? apakah kamu juga merasakan kalau panggilan itu tidak pas untukku?" tanya Sinta."Kenapa sampai tidak pas? banyak kok orang sekarang anak-anaknya memanggil dengan panggilan mami.""Tidak, aku tidak mau. cari yang lain saja,"Nadia sedikit kesal dengan ucapan dari Sinta itu, sejak tadi tidak m
Sinta menggelengkan kepalanya, jujur ia sendiri pun belum yakin dengan pasti tentang Apa yang dirasakan oleh hatinya itu terhadap Ethan.Galau atau dilema? kata apa yang pas untuk menggambarkan perasaannya saat ini.Di satu sisi, ia memikirkan tentang anak nya ini. disisi lain juga, ada Ethan yang kalaupun ia mencintai Demian, pastilah Ethan tidak akan ingin menerima anaknya ini. Apalagi jika ia memaksakan diri untuk menerima perasaan Devan. Meskipun saat ini Devan mengatakan ia akan menerima anaknya, tapi jelas berbeda rasanya jika nanti mereka memiliki anak. Pasti Devan akan lebih condong ke anak kandung daripada anak sambung nanti.Lagian baik Ethan ataupun juga Devan mereka berdua berhak mendapat gadis yang baik-baik, bukanlah dirinya ini yang sudah kotor bahkan tidak tahu siapa laki-laki yang telah membuat Ia hamil."Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, semuanya masih terlalu abu-abu untuk aku berikan sebagai jawaban."Devan menganggukkan kepalanya, meskipun seperti itu, Ia te
Di ruangan yang terbilang cukup besar itu, Sinta duduk seorang diri. Ia masih teringat dengan jelas kejadian dulu, saat di mana Devan mengungkapkan perasaan padanya.Entahlah, bagaimanapun ia mencoba, ia tetap tidak bisa menjadi seperti apa yang diinginkan oleh Devan, meskipun hanya sedikit saja, rasa itu benar-benar tidak ada.Sinta menatap ke sekeliling ruangan yang hampir sudah 7 bulan ia tempati. tempat di mana ia berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya hawa hujan yang turun, dan Devan adalah laki-laki yang telah membawa dirinya ke tempat ini.Ia menyandarkan dirinya pada sandaran sofa yang ada di dalam kamarnya sambil mengelus lembut perutnya itu. Tiba-tiba ia kembali teringat dengan percakapannya dengan Nadia tadi. Bisa ia lihat, Bagaimana frustasinya Nadia saat Ia menceritakan semuanya tadi.Ingatannya melayang di mana malam tragedi itu terjadi, obat perangsang yang menjalari tubuhnya itu, benar-benar sulit untuk ia kendalikan. Andai saja malam itu tidak pernah ada, mungk
Kini mereka sudah berada di apartemen. Tak ada satu peralatan bayi pun yang mereka bawa.Bi Diah datang tergopoh-gopoh dari arah dapur untuk menyambut kedatangan majikannya.Alisnya naik ke atas ketika tidak melihat satu barang pun yang dibawa oleh Devan maupun Sinta."Di mana belanjaannya Mas dan Mbak? "Tanya bi dia.Mendengar itu Devan dan juga Sinta langsung saling adu tetap satu sama lainnya. Bertemu dengan Nadia dan mengobrol dengan wanita itu membuat ia lupa dengan tujuan awal pergi ke mall."Tadi kita hanya lihat-lihat saja kok, pas ada yang suka tapi warnanya terlalu norak, pas warnanya bagus eh motifnya yang tidak sesuai keinginan Sinta, jadi untuk hari ini kami memutuskan tidak membeli apapun. Mungkin aku akan mencari lagi waktu yang pas agar kami berdua bisa berbelanja peralatan bayi." Jawab Devan.Sebenarnya Devan tidak perlu berbohong pun, Bi Diah tidak akan memaksa majikannya untuk menjawab, toh Ia hanya sekedar berbasa-basi saja tadi.Bi Diah menganggukkan kepalanya dan