Share

Bab 2

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Sabar, ya, Dek! Maafkan pekerjaan Mas yang tidak keren seperti suaminya Mbak Miranda yang kantoran! Padahal kan pendapatan Mas sekarang saja sudah mulai lebih besar dari pada gaji UMR yang ada! Makanya kamu udah gak usah jualan sayur lagi! Mending di sini bantuin Mas bikin konten biar lebih menarik lagi,” ujarnya.

“Gak apa, Mas! Biar nanti ketika kita sukses bisa memberikan kejutan yang indah untuk mereka! Biar mereka menganga melihat tukang ngendon dan tukang sayur tapi isi rekeningnya lebih besar dari pada suaminya Mbak Miranda yang pekerja kantoran!” ucapku sambil mencoba tersenyum.

Mas Yasa tersenyum lembut. Dia lelaki yang sangat pengertian sebetulnya. Cuma memang karena waktunya habis di kamar jadi seolah dia lelaki yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga.

Pernah dulu beberapa kali menggantikanku keliling menjual sayur. Kami bertukar posisi. Aku dimintanya untuk membuat konten agar tidak terlalu berat kerjanya. Namun dalam hitungan hari, jam tayang langsung menurun drastis. Beberapa subscriber left juga. Daripada semakin parah, akhirnya kami bertukar posisi semula.

“Nih, Dek lihat! Ini uang hasil gajian dari youtube bulan ini!” Mas Yasa menunjukkan sms banking pada gawainya di mana sudah ada uang masuk.

“Alhamdulilah, Mas! Ini biar ditabung saja buat beli rumah, Mas! Aku masih akan tetap jualan sayur selama kita belum punya rumah dan usaha sendiri! Kalau ngonten gini ‘kan rame-ramean, ya, Mas?” tanyaku sambil menatapnya. Alika kini tengah beralih fokus menonton layar laptop dan menonton film kartun kesukaannya.

“Iya kan semua ada plus minusnya! Kalau kerja kantoran gaji tetap jadi tiap bulan sudah pasti dapet segitu, tapi ya segitu saja! Kalau kayak Mas gini bebas! Bisa dapet berkali-kali lipat tapi bisa juga gak dapat!” ujarnya.

“Hmmm … iya, Mas! Gak apa lah … saat ini yang penting kita bisa makan. Sama uangnya jangan diboros-boroskan, Mas! Kita lebih baik perih sekarang asal punya rencana dan tabungan buat masa depan! Aku pengen buka usaha, Mas! Jadi sekarang aku akan bantu kamu semampu yang kubisa!” ujarku.

“Tapi bisa gak kalau kamu gak usah keliling jualan sayur lagi, Dek! Mas sakit kalau kamu dihina-hina dan dikatain terus sama Mbak Miranda!” ucapnya lirih.

“Biar aja, Mas! Sudah kenyang juga aku dari dulu! Nanti tiap bulan boleh aku ngasih ibu, Mas? Biar Bapak gak rewel lagi kalau kita kasih duit! Jadi anggap saja kita ngontrak!” ucapku sambil menatapnya.

“Atau kita ngontrak saja, Dek?” Dia menatap ke arahku. Memberikan ide yang sudah lama terpikir olehku.

“Kalau kita ngontrak, Alika sama siapa kalau aku jualan sayur, Mas? Kan kalau lagi rewel dia malah gangguin kamu terus jadi gak bisa buat ngonten waktunya! Nanti malah makin lama kita bisa beli rumah, Mas!” ucapku sambil melirik ke arah putri kecil kami.

Memang selama di sini, dengak keberadaan ibu, aku tidak khawatir ketika meninggalkan Alika. Kadang Mas Yasa juga gak bisa full jagain dia.

“Mel! Mela!” Kudengar Ibu memanggil dari luar disertai ketukan pada daun pintu. Bahasan kami berhenti sebentar. Lalu aku berjalan menghampirinya.

“Ada apa, Bu?” tanyaku.

“Dipanggil Bapak, katanya ada yang mau diobrolkan dengan Yasa!” ujarnya.

Aku mengerutkan dahi. Tumben sekali Bapak mau mengobrol dengan Mas Yasa. Padahal selama ini jika bertemu pun jarang bertegur sapa.

“Tumben, Bu? Ada apa?” tanyaku akhirnya.

“Ibu juga gak tahu, temuin saja! Ibu mau nganter dulu kue dari Bu RT ke rumah Miranda! Buat kalian ada di meja makan, ya!” ujar Ibu. Wanita yang tidak pernah berucap kasar maupun menyakiti hati kami selama di sini.

Akhirnya aku menggendong Alika dan mengikuti Mas Yasa yang berjalan ke depan menemui Bapak. Wajahnya tampak suram ditekuk ketika menatap ke arah menantu yang memang selama ini sangat tidak disukainya.

“Bapak manggil saya?” tanya Mas Yasa sopan.

Kami duduk pada kursi bambu yang berhadapan dengan tempat Bapak duduk. Dia menatap tajam pada Mas Yasa.

“Iya, Bapak mau bicara serius sama kamu!” ucapnya.

“Mau bicara apa, Pak?” tanya Mas Yasa pelan.

“Kemarin Juragan Amir datang ke sini! Dia sedang mencarikan calon istri untuk anaknya yang duda! Si Amran itu sudah dari dulu juga suka sama si Mela!” ujarnya menjeda. Perasaanku sudah tidak enak dibuatnya.

“Lalu apa hubungannya dengan saya, Pak?” Mas Yasa mengerutkan dahi.

“Saya menginginkan menantu dengan pekerjaan yang jelas! Anak saya harus memiliki orang yang bisa membahagiakannya! Menafkahinya secara lahiriah juga!” ucapnya menjeda. Dipadamkannya rokok yang masih setengah dihisapnya.

Aku dan Mas Yasa masih berdiam melanjutkan kalimat Bapak.

“Selama dua tahun ini, saya lihat kamu hanya berleha-leha dan gak ada kemauan sama sekali. Malah si Mela yang wara-wiri ke sana ke mari mencari rezeki! Hari ini sudah saya putuskan, Bapak ingin agar kamu menceraikan Mela!

Bapak mau menjodohkan Mela dengan Amran yang sudah jelas-jelas memiliki pekerjaan meski hanya seorang supir di pabrik! Tapi jelas-jelas dia punya masa depan!” ujarnya pelan, tegas dan penuh penekanan.

“Mela gak mau, Pak!” Aku langsung menyambar kalimat Bapak. Dia pikir aku itu apa? Semudah itu menentukan hidup dan masa depan hanya karena melihat semuanya dari cangkang.

“Mela! Dengerin Bapak! Semua ini demi kebaikan kamu! Sekarang Kamu pilih, mau tetap menganggap Bapak sebagai orang tua kamu dan mengikuti keinginan Bapak? Atau tetap memilih lelaki pengangguran ini sebagai suami kamu, dan anggap saja Bapakmu ini sudah mati?” teriaknya.

Aku sampai mengelus dada. Kupeluk Alika erat-erat. Menyesal tidak membiarkannya ikut ibu ke rumah Mbak Miranda saja. Kini, anakku harus menyaksikan perbuatan tidak menyenangkan seperti ini.

Bab terkait

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 3

    “Mela, Bapak besarkan kamu dari kecil, berharap suatu hari nanti kamu bisa menjadi kebanggaan keluarga! Namun apa? Tidak ada hal baik yang bisa kamu berikan pada Bapak yang telah berjasa membesarkanmu ini!Bahkan menuruti permintaan kecil Bapak saja kamu tidak mau! Bapak kecewa punya anak seperti kamu, Mela!Setidaknya lihat Mbakmu---Miranda, hidupnya mapan dan terpandang. Punya suami pekerja keras dan sudah karyawan. Sudah punya rumah. Tiap bulan bisa ngasih sama ibu dan Bapak! Lha kamu?Apa yang sudah kamu berikan pada Ibu dan Bapak? Selama dua puluh empat tahun kami besarkan! Gak ada timbal baliknya sama sekali! Bisanya hanya buat malu dan buat Bapak kecewa!” ujarnya lagi. Aku semakin erat memeluk Alika. Ingin aku berlari ke kamar dan menangis sepuas-puasnya. Setiap ucapan Bapak terasa pedih mengiris. Mungkin jika Ibu mengatakan dia bukan Bapak kandungku, maka aku akan percaya. Sejak kecil, perlakuannya sangat berbeda padaku dengan perlakuannya pada Mbak Miranda. Aku menguatkan

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 4

    “Kamu yakin mau ikut? Mas akan coba pulang dulu ke Surabaya, Dek! Mungkin benar, kalau nunggu dari konten ini menghasilkan akan terlalu lama! Mas mau pinjam uang modal pada keluarga, Mas!Kamu beneran mau ikut, tapi harus siap menghadapi sikap keluarga Mas yang memang belum merestui pernikahan kita, Dek! Mas cuma takut kamu gak kuat!” lirihnya. Aku terdiam. Dilemma datang. Sudah dua tahun menikah, bahkan aku belum mengenal seperti apa rupa mertuaku dan saudara-saudara Mas Yasa. Pilihan yang Mas Yasa ambil telah benar-benar membuatnya menjadi orang terbuang juga dari keluarganya. “Aku akan coba, Mas!” lirihku. Dia tersenyum, menatap dengan sorot netra sendu. Hatinya pasti sangat luka dengan semua ucapan Bapak. “Pegang dulu Alika, Mas!” Aku memberikan putri kami yang sejak tadi ketakutan dalam dekapanku. “Ika, Cayang!” ucap Mas Yasa sambil menghujani wajah mungil buah hati kami dengan ciuman. Aku segera membereskan pakaianku. Tekadku sudah bulat, mau ikut ke mana pun Mas Yasa perg

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 5

    Dua hari setelah kepergian Mas Yasa, kondisi ibu membaik. Kehadiran Alika memang benar-benar obat yang mujarab untuknya. Meskipun ada cucu lain dari Mbak Miranda, tapi Ibu selalu memperlakukan Alika istimewa.Ya, meski bukan memanjakannya dengan kemewahan tapi itulah yang aku rasakan. Alika bagi ibu seperti segalanya. Mbak Miranda memiliki dua anak laki-laki. Mungkin karena itulah, Alika jadi cucu perempuan satu-satunya. Jafran bahkan kadang mengeluh pada Mbak Miranda katanya kasih sayang Nenek berat sebelah. Anak bungsu Mbak Miranda itu meskipun lelaki dia adalah seorang pengadu. Padahal usianya baru juga empat tahun. Sementara anak pertamanya sudah duduk di sekolah dasar kelas dua. Agis nama putra pertama Mbak Miranda. “Mel, kapan kamu bisa nyetriakin baju, Mbak? Itu di rumah udah numpuk!” ujarnya sambil menurunkan Jafran dari gendongannya. Anak lelaki itu langsung berlari bermain ke rumah tetangga. “Iya, Mbak! Entar aku setrikain! Ini lagi mau nidurin dulu Alika biar Ibu gak ca

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 6

    “Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas bisa kasih kamu uang kalau kamu tutup mulut! Lagian ‘kan kamu pasti kesepian juga! Yasa bukannya sudah diusir Bapak, ya?” seringainya. “Istighfar, Mas! Aku gak serendah itu! Kumohon Mas, cepat pergi dari kamar ini!” ucapku sambil berjalan menggeser langkah. Aku tidak boleh terus mundur atau akan terpojok olehnya. “Ayolah Mel, Mas sudah gak tahan! Sudah lama Mas suka sama kamu sebetulnya!” ucapnya sambil membuka kancing kemejanya. Aku segera berlari menuju pintu yang kuncinya masih menggantung di sana. Namun tangan Mas Hasim menarik kain dasterku dari samping. Beberapa kancing depan terlepas.“Jangan, Mas!” Aku menepis lengannya tapi tidak merubah posisi. Mas Hasim semakin mendekat ke arahku.“Mau lari ke mana, Mela! Layanin Mas dulu, sebentar saja!” bisiknya. Menjijikan. Kusiku perutnya tapi dia malah terkekeh. Dia mendorong tubuhku sehingga terjatuh di antara tumpukan pakaian. “Mas, Lepas! Tol--,” satu tangannya membekap mulutku. Air m

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 7

    “Sayang, nanti kita telepon ayah, ya, Nak!” ujarku sambil menciumi pipinya dan kubawa dia ke kamar belakang.Kututup pintunya. Kupeluk Alika sambil berbaring di atas ranjang. Gadis kecilku menggeliat dan menatapku heran. Air mata ini terus mengalir. Sakit, sesak dan tak tahu harus mengadu pada siapa lagi sekarang. Kuraba gawai yang tak bernyawa ini. Gawai ini ponsel lama yang hanya bisa menerima panggilan telepon dan sms. Belum bisa akses internet.Semenjak menikah, gak pernah aku memakainya. Kusimpan saja di dalam lemari karena ini kubeli waktu lajang dulu dari hasil nguli. Baru ketika Mas Yasa pergi, kupergi ke counter dan membeli kartu sim. Aku sudah menghubungi pada nomornya kemarin agar dia menghubungi balik. Sepertinya telepati di antara kami masih terpatri. Ponsel jadulku berdering. Mas Yasa menelpon. Dengan binar bahagia aku segera mengangkat panggilan darinya. Berharap mendapat kabar baik dari seberang sana. “Hallo, Assalamualaikum, Mas!” sapaku.“Wa’alaikumsalam … kalian

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 8

    “Mira, Ibu kasih tahu! Mela di sini memang numpang tidur. Namun bukan numpang, tepatnya ini memang rumah Mela karena rumah ini dibangun dari hasil ibu menjual tanah … tapi asal kamu tahu, dia tak pernah merepotkan kami. Mela tidak menumpang makan seperti yang kamu tuduhkan! Justru semua nasi dan lauk pauk yang kami makan itu hasil dari jerih payah Mela berjualan! Bukan dia yang numpang tapi Ibu dan Bapak yang selama ini numpang makan rejekinya Mela!” Aku menoleh. Ibu datang dan menjabarkan semua itu pada Mbak Miranda. Dulu dia tidak pernah berbicara seperti itu karena takut Mbak Miranda yang memang bukan anak kandungnya akan tersinggung. Benar saja, Mbak Miranda meletakkan semua makanan itu kembali ke atas meja dengan setengah dibantingnya. Dia menoleh pada Ibu.“Jadi, ibu mau bilang kalau aku selama ini meski rumah terpisah tapi tetap numpang makan di sini? Jadi ibu kini mau banding-bandingkan Mela sama aku, kalau Mela itu lebih baik di mata Ibu?” ucapnya dengan napas naik turun se

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 9

    Iseng kuklik gambar mic pada gawai jadulku yang sering error sendiri. Eh, tapi ini ada beberapa file rekaman? Apa tidak sengaja tertekan waktu aku terjatuh akibat ulahnya? Coba nanti aku periksa usai shalat maghrib saja.Gegas kutunaikan tiga rakaat. Kulakukan dengan khidmat. Rasanya ada kedamaian menyusup pada relung kalbu setiap kali lantunan kalimat suci itu terucap perlahan dari bibirku. “Robbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’afini wa’fu ‘annii.”“Wahai Tuhanku! Ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkanlah segala kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rezeki padaku, berilah aku petunjuk, berilah kesehatan padaku dan berilah ampunan kepadaku.”Kuhayati setiap bacaan shalat yang kulantunkan dengan khidmat. Memohon pada sang pemilik kehidupan. Kadang ingin menyerah dan pasrah, tapi setiap kali menghayati setiap makna dari rangkaian kalimat yang setiap lima kali sehari aku lantunkan, hati ini segar kembali. Selalu ada pucuk harapan yang terbayang indah

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 10

    “Fina, boleh pinjam pengeras suara?” Aku menoleh pada Safina. Dia mengangguk. Beruntung dia memang cukup aktif dan dipandang juga dalam setiap perkumpulan ibu-ibu. Jadi tidak ada yang berani menentangnya juga. Bisa dikatakan Safina ini salah satu kader dari kampung kami.“Bismillah …,” gumamku lirih ketika mengeluarkan gawai jadul dari saku gamisku. Kutekan file rekaman yang tadi sudah kuperiksa. Meski tidak lantang, tapi cukup terdengar jelas percakapan yang terjadi sebelum kejadian menjijikan itu kualami.Obrolan antara aku dan Mas Hasim mulai terdengar. Semua hadirin kini terdiam dan mendengarkan. Sementara Mbak Miranda memandangku penu kebencian.“Astagfirulloh! Istighfar, Mas! Aku ini adik iparmu!” terdengar suaraku mengawali rekaman ini. “Sebentar doang, Mel! Lagipula kamu baru punya anak satu, pasti rasanya beda!” Kali ini ucapan Mas Hasim terdengar jelas. “Mas, jangan macam-maca atau aku akan teriak?!” Nada suaraku penuh ancaman.“Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas b

Bab terbaru

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 37

    Bapak dari Mela sudah kembali dibawa pulang, keadaannya masih belum ada perubahan. Penyakit stroke bukan hal yang bisa cepat diobati. Butuh waktu, butuh biaya dan butuh kesabaran. Utang Miranda pada Mela dan Yasa sudah dilunasi, kini dia membeli satu buah rumah kecil dari bambu untuknya tinggal. Tidak jauh dari rumah orang tuanya hingga bisa bolak balik juga menjenguk kondisi Bapaknya bergantian dengan Mela.Kini, Miranda mau tidak mau harus berpikir untuk menapkahi kehidupannya karena Hasim masih mendekam dalam penjara. Jika dulu dia selalu mencibir Mela dan merendahkannya karena suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap dan status Mela harus kerja keras menjual sayuran, kini berbalik. Miranda kini berjualan sayur keliling dengan mengambil sayur-mayur dari kebun Mela, nanti setiap mengambil yang baru dia akan setor uang penjualan tadi pagi.Seminggu dua kali, Yasa mengantar mertuanya ke rumah sakit untuk berobat, bagaimanapun ini sudah jadi tanggung jawab dia untuk berbakti, seburuk

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 36

    Lelaki sepuh itu segera dibopong oleh Yasa---menantu yang selama ini dinistakannya. Menantu yang selalu dihina karena tidak memiliki pekerjaan tetap, menantu yang bahkan diusir dan tidak dianggap.Ada tetesan bening mengalir di sudut netra lelaki tua itu. Dia mencoba bicara tetapi tidak jelas.Di dalam mobil, Mela memangku kepala sang Bapak sambil tak henti berdoa. Dipijatnya lembut tangan keriput yang tiba-tiba menjadi kaku itu. “Bapak, sabar, ya … sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit,” lirih Mela sambil menghapus air mata. Anak mana yang tega melihat orang tuanya terkapar seperti itu. Bu Tati---sang istri duduk dan memijat bagian kaki. Beruntung Alika mau duduk sendiri di kursi depan. Dia sesekali nemplok pada sandaran kursi dan melihat semua yang terjadi di belakang.“Kakek kok bobok, Mah?” tanyanya sambil menatap Mela. “Iya, Sayang … Kakek lagi sakit,” jawab Mela singkat. “Nenek sama Mama kenapa nangis?” tanya Alika lagi.“Mama lagi berdoa biar Allah sembuhkan kakek,” j

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 35

    “Mbak, bolehkah aku berada di dekat suamimu sebentar, saja!” batin Yesa merangkai kata. Namun gegas dia menepisnya. Tidak mungkin berkata demikian karena pasti akan menyakiti Mela.“Aku tidak akan merebut Mas Abi, Mbak! Aku hanya ingin tinggal satu atap dengan dia.” Lagi-lagi batinnya menepisnya. Meskipun perasaannya sudah terlanjur tumbuh tetapi logikanya masih berjalan. Yesa masih menggunakan rasa empatinya. Jika dia berada di posisi Mela, pasti akan sakit mendengarnya. Namun apakah jika Mela berada di posisinya akankah berpikir sama juga? “Kami pulang dulu, Bro!” Suara Ilham membuyarkan pikiran Yesa yang sedang kacau tak karuan. “Ya sudah hati-hati, salam buat keluarga di Surabaya,” ucap Yasa. “Oke, maen lah sono! Nyokap Lu pasti seneng jika bisa melihat cucu cantiknya,” ucap Ilham sambil mencubit gemas pipi Alika. “Iya, nanti pasti mereka akan gue ajak ke Surabaya, kok!” ucap Yasa datar. Bahkan dia pun belum tahu kapan. “Pulang dulu, ya, Mbak! Makasih sudah menampung adikku y

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 34

    “Aku harus sudah pulang, semuanya sudah selesai di sini … padahal aku enggan, ingin tinggal di sini lebih lama lagi!” gumam Yesa sambil membereskan pakaiannya. “Jika di Surabaya nanti, aku hanya bisa menatapnya lewat layar kaca, tetapi jika di sini setidaknya aku bisa sesekali bercengkrama dengannya meski aku hanya memposisikan diri sebagai adiknya agar mereka tidak curiga.Ah, andai waktu bisa berputar, dulu aku ikut saja dengannya merantau! Semenjak hari itu, bahkan aku belum pernah lagi merasakan jatuh cinta pada lelaki lain! Trauma itu menyisakkan sesuatu yang janggal dan ketika bertemu dengannya kembali hati ini terasa aman dan damai!” ucap Yesa sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin. “Ye, kita makan siang dulu!” Suara Mela membuatnya menoleh. Perempuan itu tengah berdiri di depan kamarnya. “Iya, Mbak!” jawab Yesa datar. Sementara itu, Mela sudah kembali menghilang. Gadis itu masih meneruskan mengemasi pakaian. “Mas, Abi … maaf jika di hati ini terselip sesuatu yang sa

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 33

    Yasa sudah pulang dari acara manggungnya. Kini dia dan Ilham tengah mengusut tentang beberapa foto yang tersebar pada Instagram Yesa. Ternyata benar, jejaring sosial media Yesa dihacker orang yang tidak bertanggung jawab.Sementara itu, Yesa dan Mela tengah bersiap karena sebentar lagi mereka akan melaksanakan konferensi pers. Meskipun hanya lewat media youtube akan tetapi mereka tetap harus tampil maksimal. “Mbak Mela, aku ajarin cara make up saja, ya! Produk perawatan kulitnya dipakai tiap hari ‘kan?” selidik Yesa yang sudah rapi dengan gaya casualnya.“Dipake, Ye!” jawab Mela singkat. “Mbak Mela ke salon, gak? Kayaknya ini kulit wajahnya pada kering lagi? Emang gak maskeran?” Yesa memegang pipi Mela yang hendak dia polesi make up. “Mana sempat Mbak ke salon, Ye! Kan kalian pergi, gak ada yang jagain Alika!” ucap Mela sejujurnya. “Hadeuh dasar ibu-ibu ngeyelan, suruh rawat diri saja males kayak gitu! Nih, Mbak … Mas Abi itu setiap hari banyak bertemu dengan wanita-wanita cantik,

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 32

    “Kita lihat siapa yang akan menyesal, Mbak?” gumamku dalam dada. Aku bergegas ke luar meninggalkannya yang berada di dapur. Toh niatku ke sini untuk berkunjung pada Ibu, bukan untuk bertengkar dengan Mbak Miranda. Sementara itu, dari dalam rumah tampak Mbak Miranda membawa sayuran yang kubawa untuk ibu dan dua ekor ikan mentah dalam plastiknya. Rupanya tidak ada yang matang, maka yang mentah pun jadi. Setidaknya, kini dia mau membawa bahan masakan mentah meskipun sama-sama mengeruk dari sini juga. Tanpa basa-basi, apalagi ucapan terima kasih atas bahan makanan yang kubawa tadi. Dia tergesa berlalu meninggalkan kami. Bu Sari dan Bu Wati saling melempar pandang lalu melirik ke arahku.“Sabar, ya, Mbak Mela … sudah suaminya seperti itu, saudara satu-satunya seperti ini,” ujar Bu Sari. “Iya, ditambah Bapak Mbak Mela juga sejak dulu sudah seperti itu,” tambah Bu Wati.“Mungkin kalau Bapaknya Mbak Mela, sih karena udah tua makanya jadi pemarah. Mbak Mela sabarin saja, ya!” titah Bu Sari

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 31

    “Mbak, kalau memang berkeras dengan prinsif Mbak dan tidak mau mengembailkan uangnya! Jangan salahkan saya kalau kita akan bertemu di pengadilan!” ujar Mas Yasa penuh penekanan. “Yasa, kamu jangan sok, ya! Mentang-mentang sudah punya rumah sama mobil sekarang! Kalau kamu memang sudah kaya gak bakal permasalahin tuh uang kecil yang dipakai oleh saudara sendiri! Paling kamu itu cuma ngaku-ngaku kaya doang, ya? Palingan itu mobil sama rumah juga kamu ngutang ke Bank, terus nebeng sama si tuh perempuan selingkuhan kamu itu biar bisa punya uang ngalir buat bayar cicilan 'kan?” Mas Hasim tersenyum miring merendahkan. Aku menoleh pada Mas Yasa. Tampak giginya gemelutuk menahan kesal. Dia berdiri, tanpa kusangka, Mas Yasa menarik kerah Mas Hasim sambil melotot.“Mas Hasim! Mela sudah menceritakan semuanya padaku tentang perbuatan bejatmu! Kamu jangan pikir bisa lari dariku. Akan ada waktunya kamu meraung menyesali perbuatanmu!” geram Mas Yasa. Lalu dia mendorong sosok Mas Hasim hingga terja

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 30

    “Kuncinya mana? Mumpung Alika ada yang jaga!” ucap Yesa lagi tegas sambil melirik pada ibuku yang kini tengah berjalan-jalan di halaman bersama Alika."Sudah mau maghrib lah, Ye! Besok aja!" tolak Mas Yasa. "Oke, besok aku ajak Mbak Mela keliling sekalian belanja! Kamu 'kan mau bikin konten baru Mas, jadi gak usah ikut!" tukas Yesa ringan sambil berlalu ke dalam. Karena hari sudah sore, Mas Yasa bergegas mengantar Ibu pulang. Esok dia akan menjemput Ibu lagi, karena Yesa sudah fix akan mengajakku perawatan di salon. Memang ada acara manggung, tapi besok malam dan di acara kecil saja. Jadinya santai. ***Pagi ini aku sudah rapi. Kami tengah sarapan bersama. Yesa baru saja selesai meneguk air putih pada gelasnya lalu menengadahkan tangan pada suamiku. "Kunci mobil!" ujar Yesa sambil mengangkat satu alisnya. Mereka sedekat ini, terkadang ada rasa cemburu juga di hatiku. Mas Yasa mengeluarkan kunci mobil dan memberikannya pada Yesa. Gadis itu langsung berjalan ke luar meninggalkan ka

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 29

    “Ya Allah, berikan aku petunjuk seperti apa aku harus bersikap menghadapi semua ini?” batinku. Kakiku mengayun menuju gerbang. Hendak mencari sarapan yang sebetulnya hanya alibiku saja agar bisa memiliki waktu untuk sendirian. Aku berjalan pulang dengan membawa empat porsi bubur ayam. Rasa malas mendera, sebetulnya aku yang terlalu sensitif saja. Bahkan aku belum berbincang juga dengan Yesa.Kudorong pintu depan, ruang tengah masih kosong. Lalu kuberalih ke dapur dan merebus air. Namun dari arah kamar Yesa tampak Mas Yasa keluar tergesa. Wajahnya diliputi kecemasan. “Dek, kita ada obat penurun panas, gak?” tanyanya dengan khawatir.“Gak ada, Mas! Kenapa?” tanyaku sambil menoleh. Keempat porsi bubur sudah kusimpan di atas meja makan. “Yesa tadi nelpon aku, pas kulihat ke kamarnya dia demam, Dek! Panas banget! Ya sudah, Mas beli dulu obat ke apotek depan, ya!” ucap Mas Yasa dengan wajah panik. Aku tersenyum hambar.Rasanya kok sangat gak nyaman ketika suami memperhatikan orang lain.

DMCA.com Protection Status