Dia menarik jilbabku hingga lepas. Seringanya tampak menyeramkan dibawah remang cahaya rembulan.“Kita bersenang-senang di sini saja, adik iparku yang manis!” bisiknya di dekat telingaku. Disibaknya rambutku dengan kasar. Satu tangannya masih sibuk hendak melepaskan gamis yang kukenakan. Aku masih berusaha mencari cara agar bisa terlepas dari bekapannya. Semakin jijik ketika dia sudah mulai menjamah bagian dari tubuhku. Sedikit kesempatan tangannya terangkat. Aku berteriak semampuku.“Tolooo-“ Mulutku kembali dibekapnya. Tenaganya sangat luar biasa hingga aku tidak bisa berkutik sama sekali. Bugh!Suara pukulan keras kudengar diiringi dengan tubuh Mas Hasim yang terjungkal. Ketika kulirik tengah berdiri seseorang dalam remang. Aku menutup bagian tubuhku yang terbuka dengan kerudung yang tersampir pada semak. Lelaki itu kembali memburu Mas Hasim dan menghadiahinya sebuah pukulan. Aku masih terisak. Otakku seakan berhenti berjalan hingga saat tampak Mas Hasim berlari dan menyalakan s
“Mas, Yasa … cari kami segera!” batinku memanggil namanya. Diluar masih terdengar suara obrolan mereka. Aku menggendong Alika yang masih terlelap. Tidak kubiarkan dia bangun takutnya nanti tidak mau kuajak berangkat. “Mel, mau pergi ke mana malam-malam begini?” Ibu semakin kencang menangis. “Sudahlah, Bu! Yang jelas sekarang aku harus pergi! Nanti kalau aku sudah punya tempat tinggal, aku akan memberitahukan alamatnya pada Ibu,” ucapku. Hatiku sudah terlanjur sakit atas sikap Bapak yang bahkan tidak bertanya dan tidak hendak mendengarkan pembelaanku. “Ya Allah, cucu Ibu ….” Ibu kembali menangis sesenggukan sambil menciumi wajah Alika. Aku pun sebetulnya bingung mau pergi ke mana. Hanya membawa sedikit uang untuk berjualan sayuran nanti di tempat baru dan sedikit tabungan untuk biaya makanku. Bahkan belum ada jatah untuk mencari kontrakan juga. Hati remuk redam membayangkan Alika harus meringkuk bersamaku di emperan. Terkena sapuan dinginnya angin malam. Sepedih ini nasib kita se
“Mas, pamit ya, Dek! Tunggu Mas ke sini jemput kamu sama Alika! Biaya dokter biar Mas yang bayar nanti! Mas pergi! Assalamu’alaikum!” ucapku pada Mela---istriku. Setelah semua kejadian itu dan kemurkaan Bapak Mertuaku yang sudah pada puncaknya, aku tidak punya pilihan. Malam ini aku harus merelakan luka tergores pada hati istriku---Mela. Ya, aku tahu, dia sangat terluka atas semua kejadian ini.“Wa’alaikumsalam! Mas …,” lirihnya. Tampak tatapan matanya yang tergenang cairan bening mengantarkanku. Aku melangkah perlahan membawa tanggung jawab besar dalam pundakku. Aku sudah berjanji akan menjemputnya dengan kendaraan terbaik yang kumiliki dan membawanya pulang pada rumah masa depan kami. Menyusuri jalanan berkerikil kecil yang menghubungkan jalanan kampung dengan jalanan raya yang ada di depan sana. Pulang ke Surabaya, kali ini tujuanku.Ya, meskipun tak pasti apakah keluarga besar masih menerimaku. Namun aku sadar, ada restu Ibu yang harus kupinta. Meskipun dulu berkeras dia menola
POV YASAAku duduk di posko security sambil meluruskan kaki. Perjalanan panjang tadi cukup melelahkan. Suara halus seorang perempuan menyapaku.“Mas Abi ‘kan? Masih inget gak sama aku? Ini Yesa, Mas!” ujarnya dengan netra berbinar. “Yesa? Kamu yang dulu jadi model itu ‘kan?” tanyaku mengingat-ingat.“Iya, Mas! Aku Yesa adiknya Mas Ilham! Btw ngapain di sini? Mas Ilham ada lho di rumah! Ayo maen, Mas! Kasian dia lagi gabut baru putus ama ceweknya!” ucapnya. Ilham, teman kuliahku dulu. Dulu aku sering main ke rumahnya waktu kuliah hingga kenal dengan Yesa---adiknya, yang waktu itu baru masuk semester satu kuliah.Aku berpikir sejenak, sepertinya tidak ada salahnya aku mampir ke rumah Ilham sekalian numpang istirahat sebentar. “Oh, Ilham ada di rumah, Yes? Ya udah Mas mampir bentar, deh! Rumahnya masih yang lama ‘kan?” tanyaku sambil menoleh padanya. Wanita itu mengangguk. Lalu aku berjalan mengikutinya. Kami mengobrol ringan hingga tiba di depan rumah dua lantai miliknya. "Hay, Bro
“Mas, Abi! Ini teh jahenya biar tubuhnya enakan!” Aku terkejut ketika Mei mendorong pintu kamarku tanpa mengetuknya terlebih dulu. Gegass kupakai kembali kaos yang tadi sudah kulepas karena hendak mandi.“Makasih, Mei! Simpan saja di luar, Mei!” Aku tidak nyaman ketika ada wanita lain masuk ke kamarku.“Mei kira Mas Abi parah sakitnya! Mei cuma khawatir ... hmmm ... atau mau Mei pijitin?” tawarnya. “Gak usah, Mei! Tolong pergi dari kamar ini, Mei! Nanti jadi fitnah!” ucapku sambil berjalan ke arah pintu. “M—Mas, a--apa memang gak ada tempat buat aku di hatimu, Mas?” Pertanyaannya sontak membuat kedua netraku membulat. “Istighfar Mei! Maksud kamu apa berkata begitu?” ucapku.“Jujur, aku gak pernah cinta sama Mas Ibra, Mas! Sejak pertemuan pertama dulu, aku sudah jatuh hati sama kamu, Mas! Selama ini pernikahan yang kujalani terasa hambar, Mas! Aku berharap dulu kamulah yang jadi suamiku, tetpi kenapa kamu malah pergi?Aku menerima pernikahan dengan Mas Ibra ini karena terpaksa, a
Beberapa jam yang lalu aku sudah menyimpan kembali gawai milik Alex. Entah apa yang terjadi dengan Mas Yasa di sana. Panggilanku diangkatnya tapi dia tidak berbicara sama sekali. Entah apa maksudnya. Malah kemudian dimatikan. Lalu kukirimi juga pesan tapi tidak dibalasnya. Aku mengabarkan padanya kalau nomorku sudah tidak bisa dihubungi karena ponselku rusak. Lalu aku memintanya untuk mencariku nanti ke alamat ini.Setelah itu aku menelponnya berkali-kali tapi tidak diangkat juga. Sudahlah, mungkin dia memang lagi sibuk di sana. Aku kembali ke luar menemui Alex yang sedang menata sayuran. Punggung lebarnya tampak bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.“Biar aku saja, makasih sudah banyak bantu!” Aku menghampirinya. Tidak enak juga sudah banyak merepotkannya.“Gak apa, kamu ajak Alika main saja dulu, Mel! Aku sekalian belajar berwirausaha!” ucapnya sambil tetap sibuk mengeluarkan berbagai jenis sayuran dari dalam karung belanjaan dan menatanya.“Hmmm … Alika tadi lagi tidur, sepertinya k
“Aku doakan, semoga kamu cepat dapat gantinya kalau gitu! Masalah yang belanja sayur itu! Gini saja, aku tetap akan membawa Alika … kalau kamu memang mau mengantar, biar aku membayar seperti mobil online saja! Bedanya, nanti kamu membantu membawakan sayuran sekalian dan ikut ke dalam pasar, gimana?” tanya Mela pada akhirnya. “Ok,” ujar Alex. Singkat dan tidak banyak debat. Satu kata sepakat akhirnya terjadi.Setelah mencapai kata sepakat dengan Alex, mulai hari itu Alex menjalankan tugasnya dengan baik. Dia mengantar Mela dan ikut berbelanja sayur setiap sore. Lelaki yang sebetulnya berprofesi sebagai supervisor di salah satu perusahaan swasta itu memang sedang mengambil cuti nikah selama dua minggu. Namun ternyata, waktu dua minggunya itu tidak jadi dihabiskan untuk bulan madu. Ketika nasib tidak berpihak, pernikahannya harus batal karena tuduhan miring warga terhadapnya. Namun dia merasa beruntung ketika diketahuinya jika wanita malang yang ditolongnya itu ialah Mela. Seorang pri
POV Mela“Masalahnya, nama pemiliknya di atas namakan Melati Anggraini. Itu nama kamu ‘kan, Mel?” Pertanyaan dari Safina sontak membuatku terdiam. “Siapa orang yang sudah membeli tanah atas nama Melati Anggraini? Ataukah ada nama lain yang sama denganku?” gumamku dalam dada.“Mel, jadinya gimana? Kamu mau aku jemput di mana sore nanti?” Pertanyaannya membuyarkan pikiranku.“Hmmm … aku ke rumahmu saja, Fin! Nanti kamu baru antar aku pulang! Aku juga di sini sama saja, gak ada tempat tinggal lagi!” lirihku.Teringat dengan ucapan Alex tadi yang ternyata memiliki niatan lain dibalik semua kebaikannya menolongku. Sebetulnya Alex juga memiliki paras yang tampan. Dia juga baik, mapan dan perhatian. Namun salahnya dia datang pada saat yang salah. Mungkin jika dia datang sebelum aku mengenal Mas Yasa, akan lain lagi ceritanya. Namun kini di hatiku sudah ada Mas Yasa. Kini aku sudah mengetahui semua kebenaran tentang perasaannya, maka aku harus tahu diri. Rumah ini bukan lagi tempat tinggal
Bapak dari Mela sudah kembali dibawa pulang, keadaannya masih belum ada perubahan. Penyakit stroke bukan hal yang bisa cepat diobati. Butuh waktu, butuh biaya dan butuh kesabaran. Utang Miranda pada Mela dan Yasa sudah dilunasi, kini dia membeli satu buah rumah kecil dari bambu untuknya tinggal. Tidak jauh dari rumah orang tuanya hingga bisa bolak balik juga menjenguk kondisi Bapaknya bergantian dengan Mela.Kini, Miranda mau tidak mau harus berpikir untuk menapkahi kehidupannya karena Hasim masih mendekam dalam penjara. Jika dulu dia selalu mencibir Mela dan merendahkannya karena suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap dan status Mela harus kerja keras menjual sayuran, kini berbalik. Miranda kini berjualan sayur keliling dengan mengambil sayur-mayur dari kebun Mela, nanti setiap mengambil yang baru dia akan setor uang penjualan tadi pagi.Seminggu dua kali, Yasa mengantar mertuanya ke rumah sakit untuk berobat, bagaimanapun ini sudah jadi tanggung jawab dia untuk berbakti, seburuk
Lelaki sepuh itu segera dibopong oleh Yasa---menantu yang selama ini dinistakannya. Menantu yang selalu dihina karena tidak memiliki pekerjaan tetap, menantu yang bahkan diusir dan tidak dianggap.Ada tetesan bening mengalir di sudut netra lelaki tua itu. Dia mencoba bicara tetapi tidak jelas.Di dalam mobil, Mela memangku kepala sang Bapak sambil tak henti berdoa. Dipijatnya lembut tangan keriput yang tiba-tiba menjadi kaku itu. “Bapak, sabar, ya … sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit,” lirih Mela sambil menghapus air mata. Anak mana yang tega melihat orang tuanya terkapar seperti itu. Bu Tati---sang istri duduk dan memijat bagian kaki. Beruntung Alika mau duduk sendiri di kursi depan. Dia sesekali nemplok pada sandaran kursi dan melihat semua yang terjadi di belakang.“Kakek kok bobok, Mah?” tanyanya sambil menatap Mela. “Iya, Sayang … Kakek lagi sakit,” jawab Mela singkat. “Nenek sama Mama kenapa nangis?” tanya Alika lagi.“Mama lagi berdoa biar Allah sembuhkan kakek,” j
“Mbak, bolehkah aku berada di dekat suamimu sebentar, saja!” batin Yesa merangkai kata. Namun gegas dia menepisnya. Tidak mungkin berkata demikian karena pasti akan menyakiti Mela.“Aku tidak akan merebut Mas Abi, Mbak! Aku hanya ingin tinggal satu atap dengan dia.” Lagi-lagi batinnya menepisnya. Meskipun perasaannya sudah terlanjur tumbuh tetapi logikanya masih berjalan. Yesa masih menggunakan rasa empatinya. Jika dia berada di posisi Mela, pasti akan sakit mendengarnya. Namun apakah jika Mela berada di posisinya akankah berpikir sama juga? “Kami pulang dulu, Bro!” Suara Ilham membuyarkan pikiran Yesa yang sedang kacau tak karuan. “Ya sudah hati-hati, salam buat keluarga di Surabaya,” ucap Yasa. “Oke, maen lah sono! Nyokap Lu pasti seneng jika bisa melihat cucu cantiknya,” ucap Ilham sambil mencubit gemas pipi Alika. “Iya, nanti pasti mereka akan gue ajak ke Surabaya, kok!” ucap Yasa datar. Bahkan dia pun belum tahu kapan. “Pulang dulu, ya, Mbak! Makasih sudah menampung adikku y
“Aku harus sudah pulang, semuanya sudah selesai di sini … padahal aku enggan, ingin tinggal di sini lebih lama lagi!” gumam Yesa sambil membereskan pakaiannya. “Jika di Surabaya nanti, aku hanya bisa menatapnya lewat layar kaca, tetapi jika di sini setidaknya aku bisa sesekali bercengkrama dengannya meski aku hanya memposisikan diri sebagai adiknya agar mereka tidak curiga.Ah, andai waktu bisa berputar, dulu aku ikut saja dengannya merantau! Semenjak hari itu, bahkan aku belum pernah lagi merasakan jatuh cinta pada lelaki lain! Trauma itu menyisakkan sesuatu yang janggal dan ketika bertemu dengannya kembali hati ini terasa aman dan damai!” ucap Yesa sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin. “Ye, kita makan siang dulu!” Suara Mela membuatnya menoleh. Perempuan itu tengah berdiri di depan kamarnya. “Iya, Mbak!” jawab Yesa datar. Sementara itu, Mela sudah kembali menghilang. Gadis itu masih meneruskan mengemasi pakaian. “Mas, Abi … maaf jika di hati ini terselip sesuatu yang sa
Yasa sudah pulang dari acara manggungnya. Kini dia dan Ilham tengah mengusut tentang beberapa foto yang tersebar pada Instagram Yesa. Ternyata benar, jejaring sosial media Yesa dihacker orang yang tidak bertanggung jawab.Sementara itu, Yesa dan Mela tengah bersiap karena sebentar lagi mereka akan melaksanakan konferensi pers. Meskipun hanya lewat media youtube akan tetapi mereka tetap harus tampil maksimal. “Mbak Mela, aku ajarin cara make up saja, ya! Produk perawatan kulitnya dipakai tiap hari ‘kan?” selidik Yesa yang sudah rapi dengan gaya casualnya.“Dipake, Ye!” jawab Mela singkat. “Mbak Mela ke salon, gak? Kayaknya ini kulit wajahnya pada kering lagi? Emang gak maskeran?” Yesa memegang pipi Mela yang hendak dia polesi make up. “Mana sempat Mbak ke salon, Ye! Kan kalian pergi, gak ada yang jagain Alika!” ucap Mela sejujurnya. “Hadeuh dasar ibu-ibu ngeyelan, suruh rawat diri saja males kayak gitu! Nih, Mbak … Mas Abi itu setiap hari banyak bertemu dengan wanita-wanita cantik,
“Kita lihat siapa yang akan menyesal, Mbak?” gumamku dalam dada. Aku bergegas ke luar meninggalkannya yang berada di dapur. Toh niatku ke sini untuk berkunjung pada Ibu, bukan untuk bertengkar dengan Mbak Miranda. Sementara itu, dari dalam rumah tampak Mbak Miranda membawa sayuran yang kubawa untuk ibu dan dua ekor ikan mentah dalam plastiknya. Rupanya tidak ada yang matang, maka yang mentah pun jadi. Setidaknya, kini dia mau membawa bahan masakan mentah meskipun sama-sama mengeruk dari sini juga. Tanpa basa-basi, apalagi ucapan terima kasih atas bahan makanan yang kubawa tadi. Dia tergesa berlalu meninggalkan kami. Bu Sari dan Bu Wati saling melempar pandang lalu melirik ke arahku.“Sabar, ya, Mbak Mela … sudah suaminya seperti itu, saudara satu-satunya seperti ini,” ujar Bu Sari. “Iya, ditambah Bapak Mbak Mela juga sejak dulu sudah seperti itu,” tambah Bu Wati.“Mungkin kalau Bapaknya Mbak Mela, sih karena udah tua makanya jadi pemarah. Mbak Mela sabarin saja, ya!” titah Bu Sari
“Mbak, kalau memang berkeras dengan prinsif Mbak dan tidak mau mengembailkan uangnya! Jangan salahkan saya kalau kita akan bertemu di pengadilan!” ujar Mas Yasa penuh penekanan. “Yasa, kamu jangan sok, ya! Mentang-mentang sudah punya rumah sama mobil sekarang! Kalau kamu memang sudah kaya gak bakal permasalahin tuh uang kecil yang dipakai oleh saudara sendiri! Paling kamu itu cuma ngaku-ngaku kaya doang, ya? Palingan itu mobil sama rumah juga kamu ngutang ke Bank, terus nebeng sama si tuh perempuan selingkuhan kamu itu biar bisa punya uang ngalir buat bayar cicilan 'kan?” Mas Hasim tersenyum miring merendahkan. Aku menoleh pada Mas Yasa. Tampak giginya gemelutuk menahan kesal. Dia berdiri, tanpa kusangka, Mas Yasa menarik kerah Mas Hasim sambil melotot.“Mas Hasim! Mela sudah menceritakan semuanya padaku tentang perbuatan bejatmu! Kamu jangan pikir bisa lari dariku. Akan ada waktunya kamu meraung menyesali perbuatanmu!” geram Mas Yasa. Lalu dia mendorong sosok Mas Hasim hingga terja
“Kuncinya mana? Mumpung Alika ada yang jaga!” ucap Yesa lagi tegas sambil melirik pada ibuku yang kini tengah berjalan-jalan di halaman bersama Alika."Sudah mau maghrib lah, Ye! Besok aja!" tolak Mas Yasa. "Oke, besok aku ajak Mbak Mela keliling sekalian belanja! Kamu 'kan mau bikin konten baru Mas, jadi gak usah ikut!" tukas Yesa ringan sambil berlalu ke dalam. Karena hari sudah sore, Mas Yasa bergegas mengantar Ibu pulang. Esok dia akan menjemput Ibu lagi, karena Yesa sudah fix akan mengajakku perawatan di salon. Memang ada acara manggung, tapi besok malam dan di acara kecil saja. Jadinya santai. ***Pagi ini aku sudah rapi. Kami tengah sarapan bersama. Yesa baru saja selesai meneguk air putih pada gelasnya lalu menengadahkan tangan pada suamiku. "Kunci mobil!" ujar Yesa sambil mengangkat satu alisnya. Mereka sedekat ini, terkadang ada rasa cemburu juga di hatiku. Mas Yasa mengeluarkan kunci mobil dan memberikannya pada Yesa. Gadis itu langsung berjalan ke luar meninggalkan ka
“Ya Allah, berikan aku petunjuk seperti apa aku harus bersikap menghadapi semua ini?” batinku. Kakiku mengayun menuju gerbang. Hendak mencari sarapan yang sebetulnya hanya alibiku saja agar bisa memiliki waktu untuk sendirian. Aku berjalan pulang dengan membawa empat porsi bubur ayam. Rasa malas mendera, sebetulnya aku yang terlalu sensitif saja. Bahkan aku belum berbincang juga dengan Yesa.Kudorong pintu depan, ruang tengah masih kosong. Lalu kuberalih ke dapur dan merebus air. Namun dari arah kamar Yesa tampak Mas Yasa keluar tergesa. Wajahnya diliputi kecemasan. “Dek, kita ada obat penurun panas, gak?” tanyanya dengan khawatir.“Gak ada, Mas! Kenapa?” tanyaku sambil menoleh. Keempat porsi bubur sudah kusimpan di atas meja makan. “Yesa tadi nelpon aku, pas kulihat ke kamarnya dia demam, Dek! Panas banget! Ya sudah, Mas beli dulu obat ke apotek depan, ya!” ucap Mas Yasa dengan wajah panik. Aku tersenyum hambar.Rasanya kok sangat gak nyaman ketika suami memperhatikan orang lain.