“Mas, Abi! Ini teh jahenya biar tubuhnya enakan!” Aku terkejut ketika Mei mendorong pintu kamarku tanpa mengetuknya terlebih dulu. Gegass kupakai kembali kaos yang tadi sudah kulepas karena hendak mandi.“Makasih, Mei! Simpan saja di luar, Mei!” Aku tidak nyaman ketika ada wanita lain masuk ke kamarku.“Mei kira Mas Abi parah sakitnya! Mei cuma khawatir ... hmmm ... atau mau Mei pijitin?” tawarnya. “Gak usah, Mei! Tolong pergi dari kamar ini, Mei! Nanti jadi fitnah!” ucapku sambil berjalan ke arah pintu. “M—Mas, a--apa memang gak ada tempat buat aku di hatimu, Mas?” Pertanyaannya sontak membuat kedua netraku membulat. “Istighfar Mei! Maksud kamu apa berkata begitu?” ucapku.“Jujur, aku gak pernah cinta sama Mas Ibra, Mas! Sejak pertemuan pertama dulu, aku sudah jatuh hati sama kamu, Mas! Selama ini pernikahan yang kujalani terasa hambar, Mas! Aku berharap dulu kamulah yang jadi suamiku, tetpi kenapa kamu malah pergi?Aku menerima pernikahan dengan Mas Ibra ini karena terpaksa, a
Beberapa jam yang lalu aku sudah menyimpan kembali gawai milik Alex. Entah apa yang terjadi dengan Mas Yasa di sana. Panggilanku diangkatnya tapi dia tidak berbicara sama sekali. Entah apa maksudnya. Malah kemudian dimatikan. Lalu kukirimi juga pesan tapi tidak dibalasnya. Aku mengabarkan padanya kalau nomorku sudah tidak bisa dihubungi karena ponselku rusak. Lalu aku memintanya untuk mencariku nanti ke alamat ini.Setelah itu aku menelponnya berkali-kali tapi tidak diangkat juga. Sudahlah, mungkin dia memang lagi sibuk di sana. Aku kembali ke luar menemui Alex yang sedang menata sayuran. Punggung lebarnya tampak bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan.“Biar aku saja, makasih sudah banyak bantu!” Aku menghampirinya. Tidak enak juga sudah banyak merepotkannya.“Gak apa, kamu ajak Alika main saja dulu, Mel! Aku sekalian belajar berwirausaha!” ucapnya sambil tetap sibuk mengeluarkan berbagai jenis sayuran dari dalam karung belanjaan dan menatanya.“Hmmm … Alika tadi lagi tidur, sepertinya k
“Aku doakan, semoga kamu cepat dapat gantinya kalau gitu! Masalah yang belanja sayur itu! Gini saja, aku tetap akan membawa Alika … kalau kamu memang mau mengantar, biar aku membayar seperti mobil online saja! Bedanya, nanti kamu membantu membawakan sayuran sekalian dan ikut ke dalam pasar, gimana?” tanya Mela pada akhirnya. “Ok,” ujar Alex. Singkat dan tidak banyak debat. Satu kata sepakat akhirnya terjadi.Setelah mencapai kata sepakat dengan Alex, mulai hari itu Alex menjalankan tugasnya dengan baik. Dia mengantar Mela dan ikut berbelanja sayur setiap sore. Lelaki yang sebetulnya berprofesi sebagai supervisor di salah satu perusahaan swasta itu memang sedang mengambil cuti nikah selama dua minggu. Namun ternyata, waktu dua minggunya itu tidak jadi dihabiskan untuk bulan madu. Ketika nasib tidak berpihak, pernikahannya harus batal karena tuduhan miring warga terhadapnya. Namun dia merasa beruntung ketika diketahuinya jika wanita malang yang ditolongnya itu ialah Mela. Seorang pri
POV Mela“Masalahnya, nama pemiliknya di atas namakan Melati Anggraini. Itu nama kamu ‘kan, Mel?” Pertanyaan dari Safina sontak membuatku terdiam. “Siapa orang yang sudah membeli tanah atas nama Melati Anggraini? Ataukah ada nama lain yang sama denganku?” gumamku dalam dada.“Mel, jadinya gimana? Kamu mau aku jemput di mana sore nanti?” Pertanyaannya membuyarkan pikiranku.“Hmmm … aku ke rumahmu saja, Fin! Nanti kamu baru antar aku pulang! Aku juga di sini sama saja, gak ada tempat tinggal lagi!” lirihku.Teringat dengan ucapan Alex tadi yang ternyata memiliki niatan lain dibalik semua kebaikannya menolongku. Sebetulnya Alex juga memiliki paras yang tampan. Dia juga baik, mapan dan perhatian. Namun salahnya dia datang pada saat yang salah. Mungkin jika dia datang sebelum aku mengenal Mas Yasa, akan lain lagi ceritanya. Namun kini di hatiku sudah ada Mas Yasa. Kini aku sudah mengetahui semua kebenaran tentang perasaannya, maka aku harus tahu diri. Rumah ini bukan lagi tempat tinggal
“Sebuah surat? Siapa yang mengirimiku surat dan pakaian baru ini?” Aku mengerutkan dahi sambil memungut kertas yang masih terlipat itu.Kubuka lipatan kertas itu dan menyimpan kembali gamis baru itu ke atas tempat tidur.[Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Teruntuk Istriku---Mela dan Alika putriku tercinta. Apa kabar kalian di kampung halaman? Baik-baik saja ‘kan? Mas coba hubungi nomor kamu berulang kali tapi masih tidak aktif juga,Dek! Karena itu Mas mencoba mengirimkan surat ini padamu, untuk memberitahu kalau nomor Mas sekarang ganti. Ponsel Mas hilang waktu dalam perjalanan ke kantornya Ibra beberapa hari lalu.Oh, iya! Mas mau mengabarkan kalau di sini Mas mendapat dukungan dari orang-orang baik, Dek! Semoga chanel Youtube Mas melejit cepat dan juga kini Mas tengah menyelesaikan project besar dari perusahaan yang dikelola Ibra. Alhamdulilah uangnya lumayan, bisa untuk segera mewujudkan impian kita. Memiliki rumah meski sederhana dan kendaraan sendiri. Ini yang dalam a
“Bapak masih mau ngobrol sama Nak Alex! Kamu itu gak sopan ngusir tamu!” celotehnya sambil kemudian mempersilakan Alex untuk duduk kembali. Aku diam saja. Percuma berdebat dengan Bapak. Lalu masuk ke dalam sambil membawa kue untuk Alika. Bagaimana caraku agar Alex tidak mempengaruhi Bapak? Aku hanya takut, jika Alex berkata kalau dia menyukaiku dan ingin menjadikanku istrinya. Maka aku harus bersiap kembali berperang dengan Bapak yang keras kepala dan selalu membenci Mas Yasa.Kusimpan kue itu di ruang tengah. Memang selama beberapa pekan ini mengenalnya, aku bisa melihat jika dia begitu menyayangi Alika. Kuambil piring dan kusimpan beberapa potong kue itu ke atasnya lalu kubawa ke kamar Ibu. Siapa tahu nanti dia pas bangun merasa lapar. Dia tampak masih meringkuk. Kubetulkan selimutnya lalu kuusap punggung ringkihnya. “Aku tidak takut apapun lagi selama doa dan restu ibu bersamaku! Bukannya surga yang mulia saja ada di telapak kakimu, Bu?” lirihku sambil menatapnya beberapa lama.
Selamat Membaca! Besok aku akan pilih tiga komentar pertama di bab 22,ya! Masing-masing akan mendapatkan 50 koin emas! Setibanya di rumah nanti akan kubagikan saja sayuran yang masih banyak ini pada beberapa tetangga yang ekonominya memang susah juga. Setidaknya sayuran ini bisa bermanfaat untuk mengganjal perut mereka. Baru saja aku kembali. Seorang tukang paket baru saja keluar dari halaman rumah. Aku tidak sempat bertegur sapa dengannya. Semoga saja ada kiriman kembali dari Mas Yasa, jadi aku bisa menghubungi dia, kalau perlu aku bawa Ibu dan menyusulnya. Aku mengucap salam, tapi tidak ada yang menjawab. Langsung aku pergi ke dalam mencari Ibu. Berharap besar, paketan itu untukku dari Mas Yasa.Tampak wanita itu baru saja melipat mukena, sementara Alika tampak terlelap di atas ranjang. “Bu, tadi ada tukang paket, ya?” tanyaku. “Iya, sepertinya barusan pas ibu shalat, Mel! Mungkin Bapak yang terima!” ujar Ibu. “Di mana, Bapak?” tanyaku padanya. Aku bergegas meletakkan bakul ju
Hari ini aku berkeliling seperti biasa. Membawa bakul berisi sayuran. Masakan sudah kusiapkan di dalam tudung saji. Tidak lupa, aku sudah wanti-wanti agar Ibu tidak memakan ayam itu. Begitupun kusampaikan pada Ibu agar tidak memberi makan Alika dari ayam itu. Menjelang zuhur, aku sudah pulang. Seperti biasa aku bergegas membersihkan diri. Nanti sore sebelum ke pasar, aku akan berkeliling membagikan sayuran sisa. Padahal belanja sudah kukurangi, tapi tetap saja masih sisa. Kini balik modal saja sudah untung. Sisanya kami bisa makan dengan lauk. Kadang dapat beras juga ketika ada orang yang tidak punya uang, pembayaran barter pun masih aku terima. Ah, hidupku kini jadi seperti berputar-putar di tempat. Jualan, pulang, urus Ibu dan Alika, ke pasar, tidur. Begitulah setiap hari. Hanya terselip rindu dan rasa kosong di hati. Ketiadaan kabarnya benar-benar membuatku merasa kehilangan, sendirian, dan mulai pupus harapan. Kulihat tudung saji. Benar saja ayam yang kumasak sudah raib tanpa j