Hari ini aku berkeliling seperti biasa. Membawa bakul berisi sayuran. Masakan sudah kusiapkan di dalam tudung saji. Tidak lupa, aku sudah wanti-wanti agar Ibu tidak memakan ayam itu. Begitupun kusampaikan pada Ibu agar tidak memberi makan Alika dari ayam itu. Menjelang zuhur, aku sudah pulang. Seperti biasa aku bergegas membersihkan diri. Nanti sore sebelum ke pasar, aku akan berkeliling membagikan sayuran sisa. Padahal belanja sudah kukurangi, tapi tetap saja masih sisa. Kini balik modal saja sudah untung. Sisanya kami bisa makan dengan lauk. Kadang dapat beras juga ketika ada orang yang tidak punya uang, pembayaran barter pun masih aku terima. Ah, hidupku kini jadi seperti berputar-putar di tempat. Jualan, pulang, urus Ibu dan Alika, ke pasar, tidur. Begitulah setiap hari. Hanya terselip rindu dan rasa kosong di hati. Ketiadaan kabarnya benar-benar membuatku merasa kehilangan, sendirian, dan mulai pupus harapan. Kulihat tudung saji. Benar saja ayam yang kumasak sudah raib tanpa j
“Apakah benar aku menyerah saja, Mas? Namun apa arti pengorbananku selama ini jika harus berakhir sampai di sini?” “Kenapa kamu gak datang? Kenapa kamu mengabaikan aku dan Alika? Aku benci kamu, Mas! Aku benci!” ucapku menjerit dalam diam. Kupukul bantal melampiaskan rasa emosi, kesal, kecewa dan tidak tahu harus berbuat seperti apa. “Apa kamu masih saja akan diam kalau kamu tahu ada lelaki lain yang mengharapkanku?! Bicara, Mas?!” pekikku tertahan ditengah isak. Malam itu kuhabiskan dengan menangis. Pakaian dari Alex yang diberikan oleh Bapak masih tergeletak di lantai. Benci sekali aku dengan semua ini. Aku menjalani hari-hari seolah tanpa tujuan. Setiap pagi dan petang hanya mengengok ke arah jalan. Berharap Mas Yasa datang. Sudah lima hari aku di rumah dan membuat keripik. Menunggu tukang paket dan berharap membawa sepucuk surat darinya. Lagi pula jualan sayur pun sudah tidak selaku dulu, kini bertambah lagi satu orang yang keliling juga di kampung sebelah. Lahan jualanku sem
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Degub jantung berpacu hebat. Tampak seorang lelaki berkulit bersih dengan cambang halus pada kedua pipinya tengah menatap dingin ke arah kerumunan yang ada di teras. Kakiku seolah terpisah dengan tulangnya. Lemas lunglai tak bertenaga. Bibirku seakan kelu, hanya mampu menganga tanpa suara. Keseimbanganku mendadak hilang, hatiku tak kuasa menahan buncah bahagia yang luar biasa. Tubuhku terasa melayang, tapi tangan kekar itu secepat kilat menopangnya.“Dek, kamu kenapa?” lirihnya. Suara yang sama yang selama setahun ini kurinadukan. Netra penuh cinta itu kini hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahku. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya, harum aroma tubuhnya dan ini nyata, aku bisa menggenggam jemarinya. Tidak kuat aku berucap. Kubenamkan wajah ini pada dada bidangnya. Ini benar-benar suamiku. Mas Yasaku sudah kembali. Aku terus menangis melepas semua beban, semua kegamangan dan ketakutan! Kupeluk erat tubuhnya yang kini ada di depanku.
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Degub jantung berpacu hebat. Tampak seorang lelaki berkulit bersih dengan cambang halus pada kedua pipinya tengah menatap dingin ke arah kerumunan yang ada di teras. Kakiku seolah terpisah dengan tulangnya. Lemas lunglai tak bertenaga. Bibirku seakan kelu, hanya mampu menganga tanpa suara. Keseimbanganku mendadak hilang, hatiku tak kuasa menahan buncah bahagia yang luar biasa. Tubuhku terasa melayang, tapi tangan kekar itu secepat kilat menopangnya.“Dek, kamu kenapa?” lirihnya. Suara yang sama yang selama setahun ini kurinadukan. Netra penuh cinta itu kini hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahku. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya, harum aroma tubuhnya dan ini nyata, aku bisa menggenggam jemarinya. Tidak kuat aku berucap. Kubenamkan wajah ini pada dada bidangnya. Ini benar-benar suamiku. Mas Yasaku sudah kembali. Aku terus menangis melepas semua beban, semua kegamangan dan ketakutan! Kupeluk erat tubuhnya yang kini ada di depanku.
Aku menatapnya. Hanya samar terdengar suaranya. Tampaknya dia sedang berbicara serius dengan seseorang.“Iya, nanti aku harus bilang dulu sama Mela! Maaf, ya … belum bisa kasih keputusan sekarang. Assalamu’alaikum!” ucapnya. Dia kembali mendekat lalu menutup panggilan itu. Dia menatap ragu padaku, aku menangkap itu dari sorot netranya. “Ada apa, Mas? Tadi katanya mau bicara padaku, ya?” Aku menatapnya. Dia tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng kepala."Nanti saja," lirih nya sambil menarik napas panjang. Kami kembali saling terdiam. Aku duduk di tepi tempat tidur dan turut tersenyum melihat bahagianya Alika bermain dengan boneka kelinci barunya.“Ma, nanti bobok di cini, ya!” ujar Alika sambil melompat ka pangkuanku dan membawa boneka kelincinya.“Iya, Sayang! Ini rumah kita sekarang,” jawabku sambil mengusap gemas pucuk kepalanya.“Wah asiiik, Ika boleh bobok di kasul empuknya, Mah?” tanyanya sambil mendongak ke arahku. “Iya, nanti Ika boleh bobo di sini!” ucapku. “Ehmm … kama
“Ya Allah, Dek! Ternyata kalian di sini tidak baik-baik saja! Maafkan, Mas, Dek!” Mas Yasa merengkuhku dan meminta maaf berulang. “Mas berjanji, akan membuat pelajaran untuk kakak ipar kamu yang kurang ajar itu! Berani sekali dia berbuat seperti itu pada istriku! Bersiaplah untuk menyesal, Hasim!” Kudengar Mas Yasa berbicara dengan geram. Aku menatapnya lalu mengangguk pelan. “Iya, Mas!” ucapku.“Kamu mau buat dia semenderita apa?” tanyanya menatapku tajam. Ada rasa sakit yang terbaca dari sorot netranya.“Buat saja dia jera, Mas! Bahkan jika waktu itu Alex tidak datang menolongku dan dia berhasil melecehkanku entah seperti apa, Mas! Mungkin aku lebih memilih mati karena tidak sanggup bertemu kamu lagi!” ucapku sambil menyeka sudut mata yang tiba-tiba hangat. Mas Yasa langsung mengambil gawai, lalu menelpon seseorang. Dia menjauh dariku, tampak dia melakukan pembicaraan serius. Tidak berapa lama, dia kembali dan menghampiriku.“Dek, Mas sudah menyuruh orang untuk menyelidiki semuan
“Iya, Mas! Gak apa! Ajak saja dia ke sini! Nanti aku siapin kamarnya!” ucapku sambil tersenyum dan menatap pada Mas Yasa yang tampak masih ragu akan keputusanku.Setelah itu aku bergegas menyiapkan kamar yang ada di bawah. Sementara itu, Mas Yasa bersama Alika lanjut memberi makan dua ekor kelinci yang tadi dibelinya. Alika sangat senang ketika mendapatkan dua ekor kelinci warna putih. Meskipun tadinya merengek terus minta warna pink dan hijau, tetapi mana ada? Kelinci mainan saja yang berwarna-warni seperti itu. Sambil membereskan kamar yang ada di bawah. Kutatap sekilas pantulan wajahku pada cermin yang tertempel pada meja rias kecil. Tiba-tiba aku merasa tidak percaya diri. Ya, semenjak kedatangan Mas Yasa dengan segala pesonanya, aku menjadi merasa rendah diri. Rasanya aku dan dia, ibarat langit dan bumi. Mas Yasa putih terawat, sedangkan aku cokelat dan berwarna gelap. Kulit tanganku bahkan tampak kering. Selintas terpikir untuk merengek minta ke salon? Tetapi rasanya malu juga
“Ya Allah, berikan aku petunjuk seperti apa aku harus bersikap menghadapi semua ini?” batinku. Kakiku mengayun menuju gerbang. Hendak mencari sarapan yang sebetulnya hanya alibiku saja agar bisa memiliki waktu untuk sendirian. Aku berjalan pulang dengan membawa empat porsi bubur ayam. Rasa malas mendera, sebetulnya aku yang terlalu sensitif saja. Bahkan aku belum berbincang juga dengan Yesa.Kudorong pintu depan, ruang tengah masih kosong. Lalu kuberalih ke dapur dan merebus air. Namun dari arah kamar Yesa tampak Mas Yasa keluar tergesa. Wajahnya diliputi kecemasan. “Dek, kita ada obat penurun panas, gak?” tanyanya dengan khawatir.“Gak ada, Mas! Kenapa?” tanyaku sambil menoleh. Keempat porsi bubur sudah kusimpan di atas meja makan. “Yesa tadi nelpon aku, pas kulihat ke kamarnya dia demam, Dek! Panas banget! Ya sudah, Mas beli dulu obat ke apotek depan, ya!” ucap Mas Yasa dengan wajah panik. Aku tersenyum hambar.Rasanya kok sangat gak nyaman ketika suami memperhatikan orang lain.
Bapak dari Mela sudah kembali dibawa pulang, keadaannya masih belum ada perubahan. Penyakit stroke bukan hal yang bisa cepat diobati. Butuh waktu, butuh biaya dan butuh kesabaran. Utang Miranda pada Mela dan Yasa sudah dilunasi, kini dia membeli satu buah rumah kecil dari bambu untuknya tinggal. Tidak jauh dari rumah orang tuanya hingga bisa bolak balik juga menjenguk kondisi Bapaknya bergantian dengan Mela.Kini, Miranda mau tidak mau harus berpikir untuk menapkahi kehidupannya karena Hasim masih mendekam dalam penjara. Jika dulu dia selalu mencibir Mela dan merendahkannya karena suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap dan status Mela harus kerja keras menjual sayuran, kini berbalik. Miranda kini berjualan sayur keliling dengan mengambil sayur-mayur dari kebun Mela, nanti setiap mengambil yang baru dia akan setor uang penjualan tadi pagi.Seminggu dua kali, Yasa mengantar mertuanya ke rumah sakit untuk berobat, bagaimanapun ini sudah jadi tanggung jawab dia untuk berbakti, seburuk
Lelaki sepuh itu segera dibopong oleh Yasa---menantu yang selama ini dinistakannya. Menantu yang selalu dihina karena tidak memiliki pekerjaan tetap, menantu yang bahkan diusir dan tidak dianggap.Ada tetesan bening mengalir di sudut netra lelaki tua itu. Dia mencoba bicara tetapi tidak jelas.Di dalam mobil, Mela memangku kepala sang Bapak sambil tak henti berdoa. Dipijatnya lembut tangan keriput yang tiba-tiba menjadi kaku itu. “Bapak, sabar, ya … sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit,” lirih Mela sambil menghapus air mata. Anak mana yang tega melihat orang tuanya terkapar seperti itu. Bu Tati---sang istri duduk dan memijat bagian kaki. Beruntung Alika mau duduk sendiri di kursi depan. Dia sesekali nemplok pada sandaran kursi dan melihat semua yang terjadi di belakang.“Kakek kok bobok, Mah?” tanyanya sambil menatap Mela. “Iya, Sayang … Kakek lagi sakit,” jawab Mela singkat. “Nenek sama Mama kenapa nangis?” tanya Alika lagi.“Mama lagi berdoa biar Allah sembuhkan kakek,” j
“Mbak, bolehkah aku berada di dekat suamimu sebentar, saja!” batin Yesa merangkai kata. Namun gegas dia menepisnya. Tidak mungkin berkata demikian karena pasti akan menyakiti Mela.“Aku tidak akan merebut Mas Abi, Mbak! Aku hanya ingin tinggal satu atap dengan dia.” Lagi-lagi batinnya menepisnya. Meskipun perasaannya sudah terlanjur tumbuh tetapi logikanya masih berjalan. Yesa masih menggunakan rasa empatinya. Jika dia berada di posisi Mela, pasti akan sakit mendengarnya. Namun apakah jika Mela berada di posisinya akankah berpikir sama juga? “Kami pulang dulu, Bro!” Suara Ilham membuyarkan pikiran Yesa yang sedang kacau tak karuan. “Ya sudah hati-hati, salam buat keluarga di Surabaya,” ucap Yasa. “Oke, maen lah sono! Nyokap Lu pasti seneng jika bisa melihat cucu cantiknya,” ucap Ilham sambil mencubit gemas pipi Alika. “Iya, nanti pasti mereka akan gue ajak ke Surabaya, kok!” ucap Yasa datar. Bahkan dia pun belum tahu kapan. “Pulang dulu, ya, Mbak! Makasih sudah menampung adikku y
“Aku harus sudah pulang, semuanya sudah selesai di sini … padahal aku enggan, ingin tinggal di sini lebih lama lagi!” gumam Yesa sambil membereskan pakaiannya. “Jika di Surabaya nanti, aku hanya bisa menatapnya lewat layar kaca, tetapi jika di sini setidaknya aku bisa sesekali bercengkrama dengannya meski aku hanya memposisikan diri sebagai adiknya agar mereka tidak curiga.Ah, andai waktu bisa berputar, dulu aku ikut saja dengannya merantau! Semenjak hari itu, bahkan aku belum pernah lagi merasakan jatuh cinta pada lelaki lain! Trauma itu menyisakkan sesuatu yang janggal dan ketika bertemu dengannya kembali hati ini terasa aman dan damai!” ucap Yesa sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin. “Ye, kita makan siang dulu!” Suara Mela membuatnya menoleh. Perempuan itu tengah berdiri di depan kamarnya. “Iya, Mbak!” jawab Yesa datar. Sementara itu, Mela sudah kembali menghilang. Gadis itu masih meneruskan mengemasi pakaian. “Mas, Abi … maaf jika di hati ini terselip sesuatu yang sa
Yasa sudah pulang dari acara manggungnya. Kini dia dan Ilham tengah mengusut tentang beberapa foto yang tersebar pada Instagram Yesa. Ternyata benar, jejaring sosial media Yesa dihacker orang yang tidak bertanggung jawab.Sementara itu, Yesa dan Mela tengah bersiap karena sebentar lagi mereka akan melaksanakan konferensi pers. Meskipun hanya lewat media youtube akan tetapi mereka tetap harus tampil maksimal. “Mbak Mela, aku ajarin cara make up saja, ya! Produk perawatan kulitnya dipakai tiap hari ‘kan?” selidik Yesa yang sudah rapi dengan gaya casualnya.“Dipake, Ye!” jawab Mela singkat. “Mbak Mela ke salon, gak? Kayaknya ini kulit wajahnya pada kering lagi? Emang gak maskeran?” Yesa memegang pipi Mela yang hendak dia polesi make up. “Mana sempat Mbak ke salon, Ye! Kan kalian pergi, gak ada yang jagain Alika!” ucap Mela sejujurnya. “Hadeuh dasar ibu-ibu ngeyelan, suruh rawat diri saja males kayak gitu! Nih, Mbak … Mas Abi itu setiap hari banyak bertemu dengan wanita-wanita cantik,
“Kita lihat siapa yang akan menyesal, Mbak?” gumamku dalam dada. Aku bergegas ke luar meninggalkannya yang berada di dapur. Toh niatku ke sini untuk berkunjung pada Ibu, bukan untuk bertengkar dengan Mbak Miranda. Sementara itu, dari dalam rumah tampak Mbak Miranda membawa sayuran yang kubawa untuk ibu dan dua ekor ikan mentah dalam plastiknya. Rupanya tidak ada yang matang, maka yang mentah pun jadi. Setidaknya, kini dia mau membawa bahan masakan mentah meskipun sama-sama mengeruk dari sini juga. Tanpa basa-basi, apalagi ucapan terima kasih atas bahan makanan yang kubawa tadi. Dia tergesa berlalu meninggalkan kami. Bu Sari dan Bu Wati saling melempar pandang lalu melirik ke arahku.“Sabar, ya, Mbak Mela … sudah suaminya seperti itu, saudara satu-satunya seperti ini,” ujar Bu Sari. “Iya, ditambah Bapak Mbak Mela juga sejak dulu sudah seperti itu,” tambah Bu Wati.“Mungkin kalau Bapaknya Mbak Mela, sih karena udah tua makanya jadi pemarah. Mbak Mela sabarin saja, ya!” titah Bu Sari
“Mbak, kalau memang berkeras dengan prinsif Mbak dan tidak mau mengembailkan uangnya! Jangan salahkan saya kalau kita akan bertemu di pengadilan!” ujar Mas Yasa penuh penekanan. “Yasa, kamu jangan sok, ya! Mentang-mentang sudah punya rumah sama mobil sekarang! Kalau kamu memang sudah kaya gak bakal permasalahin tuh uang kecil yang dipakai oleh saudara sendiri! Paling kamu itu cuma ngaku-ngaku kaya doang, ya? Palingan itu mobil sama rumah juga kamu ngutang ke Bank, terus nebeng sama si tuh perempuan selingkuhan kamu itu biar bisa punya uang ngalir buat bayar cicilan 'kan?” Mas Hasim tersenyum miring merendahkan. Aku menoleh pada Mas Yasa. Tampak giginya gemelutuk menahan kesal. Dia berdiri, tanpa kusangka, Mas Yasa menarik kerah Mas Hasim sambil melotot.“Mas Hasim! Mela sudah menceritakan semuanya padaku tentang perbuatan bejatmu! Kamu jangan pikir bisa lari dariku. Akan ada waktunya kamu meraung menyesali perbuatanmu!” geram Mas Yasa. Lalu dia mendorong sosok Mas Hasim hingga terja
“Kuncinya mana? Mumpung Alika ada yang jaga!” ucap Yesa lagi tegas sambil melirik pada ibuku yang kini tengah berjalan-jalan di halaman bersama Alika."Sudah mau maghrib lah, Ye! Besok aja!" tolak Mas Yasa. "Oke, besok aku ajak Mbak Mela keliling sekalian belanja! Kamu 'kan mau bikin konten baru Mas, jadi gak usah ikut!" tukas Yesa ringan sambil berlalu ke dalam. Karena hari sudah sore, Mas Yasa bergegas mengantar Ibu pulang. Esok dia akan menjemput Ibu lagi, karena Yesa sudah fix akan mengajakku perawatan di salon. Memang ada acara manggung, tapi besok malam dan di acara kecil saja. Jadinya santai. ***Pagi ini aku sudah rapi. Kami tengah sarapan bersama. Yesa baru saja selesai meneguk air putih pada gelasnya lalu menengadahkan tangan pada suamiku. "Kunci mobil!" ujar Yesa sambil mengangkat satu alisnya. Mereka sedekat ini, terkadang ada rasa cemburu juga di hatiku. Mas Yasa mengeluarkan kunci mobil dan memberikannya pada Yesa. Gadis itu langsung berjalan ke luar meninggalkan ka
“Ya Allah, berikan aku petunjuk seperti apa aku harus bersikap menghadapi semua ini?” batinku. Kakiku mengayun menuju gerbang. Hendak mencari sarapan yang sebetulnya hanya alibiku saja agar bisa memiliki waktu untuk sendirian. Aku berjalan pulang dengan membawa empat porsi bubur ayam. Rasa malas mendera, sebetulnya aku yang terlalu sensitif saja. Bahkan aku belum berbincang juga dengan Yesa.Kudorong pintu depan, ruang tengah masih kosong. Lalu kuberalih ke dapur dan merebus air. Namun dari arah kamar Yesa tampak Mas Yasa keluar tergesa. Wajahnya diliputi kecemasan. “Dek, kita ada obat penurun panas, gak?” tanyanya dengan khawatir.“Gak ada, Mas! Kenapa?” tanyaku sambil menoleh. Keempat porsi bubur sudah kusimpan di atas meja makan. “Yesa tadi nelpon aku, pas kulihat ke kamarnya dia demam, Dek! Panas banget! Ya sudah, Mas beli dulu obat ke apotek depan, ya!” ucap Mas Yasa dengan wajah panik. Aku tersenyum hambar.Rasanya kok sangat gak nyaman ketika suami memperhatikan orang lain.