“Bapak masih mau ngobrol sama Nak Alex! Kamu itu gak sopan ngusir tamu!” celotehnya sambil kemudian mempersilakan Alex untuk duduk kembali. Aku diam saja. Percuma berdebat dengan Bapak. Lalu masuk ke dalam sambil membawa kue untuk Alika. Bagaimana caraku agar Alex tidak mempengaruhi Bapak? Aku hanya takut, jika Alex berkata kalau dia menyukaiku dan ingin menjadikanku istrinya. Maka aku harus bersiap kembali berperang dengan Bapak yang keras kepala dan selalu membenci Mas Yasa.Kusimpan kue itu di ruang tengah. Memang selama beberapa pekan ini mengenalnya, aku bisa melihat jika dia begitu menyayangi Alika. Kuambil piring dan kusimpan beberapa potong kue itu ke atasnya lalu kubawa ke kamar Ibu. Siapa tahu nanti dia pas bangun merasa lapar. Dia tampak masih meringkuk. Kubetulkan selimutnya lalu kuusap punggung ringkihnya. “Aku tidak takut apapun lagi selama doa dan restu ibu bersamaku! Bukannya surga yang mulia saja ada di telapak kakimu, Bu?” lirihku sambil menatapnya beberapa lama.
Selamat Membaca! Besok aku akan pilih tiga komentar pertama di bab 22,ya! Masing-masing akan mendapatkan 50 koin emas! Setibanya di rumah nanti akan kubagikan saja sayuran yang masih banyak ini pada beberapa tetangga yang ekonominya memang susah juga. Setidaknya sayuran ini bisa bermanfaat untuk mengganjal perut mereka. Baru saja aku kembali. Seorang tukang paket baru saja keluar dari halaman rumah. Aku tidak sempat bertegur sapa dengannya. Semoga saja ada kiriman kembali dari Mas Yasa, jadi aku bisa menghubungi dia, kalau perlu aku bawa Ibu dan menyusulnya. Aku mengucap salam, tapi tidak ada yang menjawab. Langsung aku pergi ke dalam mencari Ibu. Berharap besar, paketan itu untukku dari Mas Yasa.Tampak wanita itu baru saja melipat mukena, sementara Alika tampak terlelap di atas ranjang. “Bu, tadi ada tukang paket, ya?” tanyaku. “Iya, sepertinya barusan pas ibu shalat, Mel! Mungkin Bapak yang terima!” ujar Ibu. “Di mana, Bapak?” tanyaku padanya. Aku bergegas meletakkan bakul ju
Hari ini aku berkeliling seperti biasa. Membawa bakul berisi sayuran. Masakan sudah kusiapkan di dalam tudung saji. Tidak lupa, aku sudah wanti-wanti agar Ibu tidak memakan ayam itu. Begitupun kusampaikan pada Ibu agar tidak memberi makan Alika dari ayam itu. Menjelang zuhur, aku sudah pulang. Seperti biasa aku bergegas membersihkan diri. Nanti sore sebelum ke pasar, aku akan berkeliling membagikan sayuran sisa. Padahal belanja sudah kukurangi, tapi tetap saja masih sisa. Kini balik modal saja sudah untung. Sisanya kami bisa makan dengan lauk. Kadang dapat beras juga ketika ada orang yang tidak punya uang, pembayaran barter pun masih aku terima. Ah, hidupku kini jadi seperti berputar-putar di tempat. Jualan, pulang, urus Ibu dan Alika, ke pasar, tidur. Begitulah setiap hari. Hanya terselip rindu dan rasa kosong di hati. Ketiadaan kabarnya benar-benar membuatku merasa kehilangan, sendirian, dan mulai pupus harapan. Kulihat tudung saji. Benar saja ayam yang kumasak sudah raib tanpa j
“Apakah benar aku menyerah saja, Mas? Namun apa arti pengorbananku selama ini jika harus berakhir sampai di sini?” “Kenapa kamu gak datang? Kenapa kamu mengabaikan aku dan Alika? Aku benci kamu, Mas! Aku benci!” ucapku menjerit dalam diam. Kupukul bantal melampiaskan rasa emosi, kesal, kecewa dan tidak tahu harus berbuat seperti apa. “Apa kamu masih saja akan diam kalau kamu tahu ada lelaki lain yang mengharapkanku?! Bicara, Mas?!” pekikku tertahan ditengah isak. Malam itu kuhabiskan dengan menangis. Pakaian dari Alex yang diberikan oleh Bapak masih tergeletak di lantai. Benci sekali aku dengan semua ini. Aku menjalani hari-hari seolah tanpa tujuan. Setiap pagi dan petang hanya mengengok ke arah jalan. Berharap Mas Yasa datang. Sudah lima hari aku di rumah dan membuat keripik. Menunggu tukang paket dan berharap membawa sepucuk surat darinya. Lagi pula jualan sayur pun sudah tidak selaku dulu, kini bertambah lagi satu orang yang keliling juga di kampung sebelah. Lahan jualanku sem
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Degub jantung berpacu hebat. Tampak seorang lelaki berkulit bersih dengan cambang halus pada kedua pipinya tengah menatap dingin ke arah kerumunan yang ada di teras. Kakiku seolah terpisah dengan tulangnya. Lemas lunglai tak bertenaga. Bibirku seakan kelu, hanya mampu menganga tanpa suara. Keseimbanganku mendadak hilang, hatiku tak kuasa menahan buncah bahagia yang luar biasa. Tubuhku terasa melayang, tapi tangan kekar itu secepat kilat menopangnya.“Dek, kamu kenapa?” lirihnya. Suara yang sama yang selama setahun ini kurinadukan. Netra penuh cinta itu kini hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahku. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya, harum aroma tubuhnya dan ini nyata, aku bisa menggenggam jemarinya. Tidak kuat aku berucap. Kubenamkan wajah ini pada dada bidangnya. Ini benar-benar suamiku. Mas Yasaku sudah kembali. Aku terus menangis melepas semua beban, semua kegamangan dan ketakutan! Kupeluk erat tubuhnya yang kini ada di depanku.
Aku menoleh ke arah datangnya suara. Degub jantung berpacu hebat. Tampak seorang lelaki berkulit bersih dengan cambang halus pada kedua pipinya tengah menatap dingin ke arah kerumunan yang ada di teras. Kakiku seolah terpisah dengan tulangnya. Lemas lunglai tak bertenaga. Bibirku seakan kelu, hanya mampu menganga tanpa suara. Keseimbanganku mendadak hilang, hatiku tak kuasa menahan buncah bahagia yang luar biasa. Tubuhku terasa melayang, tapi tangan kekar itu secepat kilat menopangnya.“Dek, kamu kenapa?” lirihnya. Suara yang sama yang selama setahun ini kurinadukan. Netra penuh cinta itu kini hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahku. Aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya, harum aroma tubuhnya dan ini nyata, aku bisa menggenggam jemarinya. Tidak kuat aku berucap. Kubenamkan wajah ini pada dada bidangnya. Ini benar-benar suamiku. Mas Yasaku sudah kembali. Aku terus menangis melepas semua beban, semua kegamangan dan ketakutan! Kupeluk erat tubuhnya yang kini ada di depanku.
Aku menatapnya. Hanya samar terdengar suaranya. Tampaknya dia sedang berbicara serius dengan seseorang.“Iya, nanti aku harus bilang dulu sama Mela! Maaf, ya … belum bisa kasih keputusan sekarang. Assalamu’alaikum!” ucapnya. Dia kembali mendekat lalu menutup panggilan itu. Dia menatap ragu padaku, aku menangkap itu dari sorot netranya. “Ada apa, Mas? Tadi katanya mau bicara padaku, ya?” Aku menatapnya. Dia tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng kepala."Nanti saja," lirih nya sambil menarik napas panjang. Kami kembali saling terdiam. Aku duduk di tepi tempat tidur dan turut tersenyum melihat bahagianya Alika bermain dengan boneka kelinci barunya.“Ma, nanti bobok di cini, ya!” ujar Alika sambil melompat ka pangkuanku dan membawa boneka kelincinya.“Iya, Sayang! Ini rumah kita sekarang,” jawabku sambil mengusap gemas pucuk kepalanya.“Wah asiiik, Ika boleh bobok di kasul empuknya, Mah?” tanyanya sambil mendongak ke arahku. “Iya, nanti Ika boleh bobo di sini!” ucapku. “Ehmm … kama
“Ya Allah, Dek! Ternyata kalian di sini tidak baik-baik saja! Maafkan, Mas, Dek!” Mas Yasa merengkuhku dan meminta maaf berulang. “Mas berjanji, akan membuat pelajaran untuk kakak ipar kamu yang kurang ajar itu! Berani sekali dia berbuat seperti itu pada istriku! Bersiaplah untuk menyesal, Hasim!” Kudengar Mas Yasa berbicara dengan geram. Aku menatapnya lalu mengangguk pelan. “Iya, Mas!” ucapku.“Kamu mau buat dia semenderita apa?” tanyanya menatapku tajam. Ada rasa sakit yang terbaca dari sorot netranya.“Buat saja dia jera, Mas! Bahkan jika waktu itu Alex tidak datang menolongku dan dia berhasil melecehkanku entah seperti apa, Mas! Mungkin aku lebih memilih mati karena tidak sanggup bertemu kamu lagi!” ucapku sambil menyeka sudut mata yang tiba-tiba hangat. Mas Yasa langsung mengambil gawai, lalu menelpon seseorang. Dia menjauh dariku, tampak dia melakukan pembicaraan serius. Tidak berapa lama, dia kembali dan menghampiriku.“Dek, Mas sudah menyuruh orang untuk menyelidiki semuan