Share

Bab 6

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas bisa kasih kamu uang kalau kamu tutup mulut! Lagian ‘kan kamu pasti kesepian juga! Yasa bukannya sudah diusir Bapak, ya?” seringainya.

“Istighfar, Mas! Aku gak serendah itu! Kumohon Mas, cepat pergi dari kamar ini!” ucapku sambil berjalan menggeser langkah. Aku tidak boleh terus mundur atau akan terpojok olehnya.

“Ayolah Mel, Mas sudah gak tahan! Sudah lama Mas suka sama kamu sebetulnya!” ucapnya sambil membuka kancing kemejanya.

Aku segera berlari menuju pintu yang kuncinya masih menggantung di sana. Namun tangan Mas Hasim menarik kain dasterku dari samping. Beberapa kancing depan terlepas.

“Jangan, Mas!” Aku menepis lengannya tapi tidak merubah posisi. Mas Hasim semakin mendekat ke arahku.

“Mau lari ke mana, Mela! Layanin Mas dulu, sebentar saja!” bisiknya. Menjijikan.

Kusiku perutnya tapi dia malah terkekeh. Dia mendorong tubuhku sehingga terjatuh di antara tumpukan pakaian.

“Mas, Lepas! Tol--,” satu tangannya membekap mulutku.

Air mataku sudah mengalir. Kulirik semprotan pewangi untuk menyetrika tergeletak tidak jauh dariku. Segera kuraih dengan satu tangan dan kusemprotkan pada matanya.

“Awww!” Bekapan tangannya terlepas. Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Berhasil, aku terlepas darinya.

Kuraih setrikaan yang masih panas dan kuarahkan padanya. Aku mundur mendekat ke arah pintu.

“Mela!” hardiknya ketika aku sudah memutar anak kunci. Dia tidak berani mendekat. Kalau saja berani akan kusetrika wajahnya.

Pintu berhasil kubuka. Setrikaan panas itu kutarik paksa. Bagaimanapun aku masih khawatir dia menangkapku kembali dan mengunci pintu depan. Agis benar sudah tidak ada, sudah pergi bermain rupanya.

“Mela! Jangan berani mengadu pada siapapun kalau tak ingin kamu menyesal!” ancamnya dengan napas turun naik.

Dia berjalan mendekat padaku yang sedang membuka pintu depan. Setrikaan masih kupegang di tangan.

Aku melempar setrikaan ke arahnya ketika pintu sudah berhasil terbuka. Aku berlari pulang sambil menangis. Tidak menyangka kakak iparku sendiri akan berbuat serendah itu.

“Kamu kenapa Mel? Baju kok pada lepas kancingnya gitu!” Ibu menatapku. Alika masih tertidur di ayunan.

Tidak kujawab. Aku langsung memeluk tubuh ringkihnya. Kutumpahkan semua rasa takut dan kesal atas kejadian yang kualami hari ini.

“Mas Hasim, Bu! Di—dia mau melecehkanku,” ucapku disela isak.

“Astagfirulloh!” Ibu mengucap istighfar sambil mengeratkan pelukannya padaku. Diusapnya punggungku dan ditenangkannya.

Namun belum selesai aku melepas semua rasa trauma ini. Tiba-tiba terdengar pintu dibuka dengan kencang.

“Mela! Anak gak tahu diuntung! Malu-maluin, Bapak saja kamu kerjanya!” teriaknya. Bapak datang dengan Murka.

Aku melepas pelukanku pada Ibu. Kumenoleh pada Bapak yang datang bersama Mbak Miranda ternyata.

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipiku. Mbak Miranda menatap nyalang.

“Dasar gatel kamu, ya! Baru saja ditinggal beberapa hari sama suamimu sudah godain suami orang! Gak ada ahlak, gak tahu diri emang! Kamu sadar, Mas Hasim itu siapa? Dia suamiku! Dia kakak iparmu! Dasar lont*!” pekiknya kemudian.

Menambah sakit luar dalam. Bukan hanya pipiku yang pedih panas, tapi hatiku hancur remuk redam.

Kupejamkan mata. Membiarkan air mata merembes begitu saja. Setelah sedikit tenang aku mengatur napas lalu menatap wajah Mbak Miranda yang memerah.

“Mbak, yang gak tahu diri itu siapa? Aku atau suamimu?!” ucapku dengan suara gemetar. Meskipun mungkin percuma membela diri tapi setidaknya aku sudah menyampaikan kebenaran.

“Tuh, Pak! Sudah pandai berkilah rupanya! Bapak dengar sendiri ‘kan tadi Mas Hasim bilang apa? Dia yang menggoda suamiku dan meminta Mas Hasim melayaninya! Kini dengan ringan lidah, dia hendak memutar balikan fakta!” ucap Mbak Miranda berapi-api.

“Salah, Mbak! Dia yang menggodaku! Dia yang mendatangiku di kamar belakang ketika aku sedang menyetrika! Bukan aku yang gak ada akhlak, Mbak! Bukan aku tapi suamimu! Demi Allah … aku berkata benar!” pekikku tidak terima.

Sejahat itu rupanya Mas Hasim. Karena keinginannya tidak kulayani kini semua kesalahannya dilimpahkan padaku.

“Mela! Jangan fitnah Hasim! Dia itu orang pintar, orang berpendidikan dan pergaulannya luas! Kalau kamu tidak menggodanya, tidak mungkin dia melakukannya!” bela lelaki tua yang sudah menyebabkan Mas Yasa menghilang jauh dari hidupku.

“Bapak, Mira! Sudah … kalian jangan asal menuduh juga kalau tidak ada barang bukti. Asal kalian tahu, Mela pulang dengan menangis dan ketakutan! Berikan dia waktu untuk menenangkan diri! Masalah siapa yang salahnya bisa dibahas nanti! Toh, semua pihak gak memiliki saksi dan bukti!” ucap Ibu mencoba menjadi penengah.

“Ibu belain terus saja Mela, Bu! Memang aku ini bukan anak kandung ibu, makanya dari dulu yang ibu sayang cuma Mela! Mela lagi, Mela terus! Sekarang, giliran anak kesayangan Ibu itu berbuat salah masih saja ibu bela?” celoteh Mbak Miranda. Tidak kusangka pikirannya terhadapku ternyata seperti itu.

“Mbak! Tolong tinggalkan rumah ini! Jangan buat ibu jadi sedih! Tolong, pergi!” teriakku sudah tidak terkendali.

Bapak dan Mbak Miranda terlonjak kaget. Baru kali ini dia mendengar aku bersuara keras dan berani membentak. Aku sudah lelah, aku tidak bisa dipojokkan dan diam saja. Meskipun aku yakin, mereka berdua akan lebih percaya pada Mas Hasim daripada percaya padaku.

“Pergi!” teriakku.

Kulempar apa saja yang ada didekatku pada mereka berdua. Mbak Miranda dan Bapak tampak kalang kabut dan berjalan keluar.

Suara tangisan Alika yang terbangun oleh keributan ini membuatku menoleh pada ayunan. Segera kuhampiri dia dan kugendong. Kutarik napas perlahan untuk menenangkan hati.

“Sayang, nanti kita telepon ayah, ya, Nak!” ujarku sambil menciumi pipinya dan kubawa dia ke kamar belakang.

Bab terkait

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 7

    “Sayang, nanti kita telepon ayah, ya, Nak!” ujarku sambil menciumi pipinya dan kubawa dia ke kamar belakang.Kututup pintunya. Kupeluk Alika sambil berbaring di atas ranjang. Gadis kecilku menggeliat dan menatapku heran. Air mata ini terus mengalir. Sakit, sesak dan tak tahu harus mengadu pada siapa lagi sekarang. Kuraba gawai yang tak bernyawa ini. Gawai ini ponsel lama yang hanya bisa menerima panggilan telepon dan sms. Belum bisa akses internet.Semenjak menikah, gak pernah aku memakainya. Kusimpan saja di dalam lemari karena ini kubeli waktu lajang dulu dari hasil nguli. Baru ketika Mas Yasa pergi, kupergi ke counter dan membeli kartu sim. Aku sudah menghubungi pada nomornya kemarin agar dia menghubungi balik. Sepertinya telepati di antara kami masih terpatri. Ponsel jadulku berdering. Mas Yasa menelpon. Dengan binar bahagia aku segera mengangkat panggilan darinya. Berharap mendapat kabar baik dari seberang sana. “Hallo, Assalamualaikum, Mas!” sapaku.“Wa’alaikumsalam … kalian

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 8

    “Mira, Ibu kasih tahu! Mela di sini memang numpang tidur. Namun bukan numpang, tepatnya ini memang rumah Mela karena rumah ini dibangun dari hasil ibu menjual tanah … tapi asal kamu tahu, dia tak pernah merepotkan kami. Mela tidak menumpang makan seperti yang kamu tuduhkan! Justru semua nasi dan lauk pauk yang kami makan itu hasil dari jerih payah Mela berjualan! Bukan dia yang numpang tapi Ibu dan Bapak yang selama ini numpang makan rejekinya Mela!” Aku menoleh. Ibu datang dan menjabarkan semua itu pada Mbak Miranda. Dulu dia tidak pernah berbicara seperti itu karena takut Mbak Miranda yang memang bukan anak kandungnya akan tersinggung. Benar saja, Mbak Miranda meletakkan semua makanan itu kembali ke atas meja dengan setengah dibantingnya. Dia menoleh pada Ibu.“Jadi, ibu mau bilang kalau aku selama ini meski rumah terpisah tapi tetap numpang makan di sini? Jadi ibu kini mau banding-bandingkan Mela sama aku, kalau Mela itu lebih baik di mata Ibu?” ucapnya dengan napas naik turun se

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 9

    Iseng kuklik gambar mic pada gawai jadulku yang sering error sendiri. Eh, tapi ini ada beberapa file rekaman? Apa tidak sengaja tertekan waktu aku terjatuh akibat ulahnya? Coba nanti aku periksa usai shalat maghrib saja.Gegas kutunaikan tiga rakaat. Kulakukan dengan khidmat. Rasanya ada kedamaian menyusup pada relung kalbu setiap kali lantunan kalimat suci itu terucap perlahan dari bibirku. “Robbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’afini wa’fu ‘annii.”“Wahai Tuhanku! Ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkanlah segala kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rezeki padaku, berilah aku petunjuk, berilah kesehatan padaku dan berilah ampunan kepadaku.”Kuhayati setiap bacaan shalat yang kulantunkan dengan khidmat. Memohon pada sang pemilik kehidupan. Kadang ingin menyerah dan pasrah, tapi setiap kali menghayati setiap makna dari rangkaian kalimat yang setiap lima kali sehari aku lantunkan, hati ini segar kembali. Selalu ada pucuk harapan yang terbayang indah

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 10

    “Fina, boleh pinjam pengeras suara?” Aku menoleh pada Safina. Dia mengangguk. Beruntung dia memang cukup aktif dan dipandang juga dalam setiap perkumpulan ibu-ibu. Jadi tidak ada yang berani menentangnya juga. Bisa dikatakan Safina ini salah satu kader dari kampung kami.“Bismillah …,” gumamku lirih ketika mengeluarkan gawai jadul dari saku gamisku. Kutekan file rekaman yang tadi sudah kuperiksa. Meski tidak lantang, tapi cukup terdengar jelas percakapan yang terjadi sebelum kejadian menjijikan itu kualami.Obrolan antara aku dan Mas Hasim mulai terdengar. Semua hadirin kini terdiam dan mendengarkan. Sementara Mbak Miranda memandangku penu kebencian.“Astagfirulloh! Istighfar, Mas! Aku ini adik iparmu!” terdengar suaraku mengawali rekaman ini. “Sebentar doang, Mel! Lagipula kamu baru punya anak satu, pasti rasanya beda!” Kali ini ucapan Mas Hasim terdengar jelas. “Mas, jangan macam-maca atau aku akan teriak?!” Nada suaraku penuh ancaman.“Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas b

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 11

    Dia menarik jilbabku hingga lepas. Seringanya tampak menyeramkan dibawah remang cahaya rembulan.“Kita bersenang-senang di sini saja, adik iparku yang manis!” bisiknya di dekat telingaku. Disibaknya rambutku dengan kasar. Satu tangannya masih sibuk hendak melepaskan gamis yang kukenakan. Aku masih berusaha mencari cara agar bisa terlepas dari bekapannya. Semakin jijik ketika dia sudah mulai menjamah bagian dari tubuhku. Sedikit kesempatan tangannya terangkat. Aku berteriak semampuku.“Tolooo-“ Mulutku kembali dibekapnya. Tenaganya sangat luar biasa hingga aku tidak bisa berkutik sama sekali. Bugh!Suara pukulan keras kudengar diiringi dengan tubuh Mas Hasim yang terjungkal. Ketika kulirik tengah berdiri seseorang dalam remang. Aku menutup bagian tubuhku yang terbuka dengan kerudung yang tersampir pada semak. Lelaki itu kembali memburu Mas Hasim dan menghadiahinya sebuah pukulan. Aku masih terisak. Otakku seakan berhenti berjalan hingga saat tampak Mas Hasim berlari dan menyalakan s

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 12

    “Mas, Yasa … cari kami segera!” batinku memanggil namanya. Diluar masih terdengar suara obrolan mereka. Aku menggendong Alika yang masih terlelap. Tidak kubiarkan dia bangun takutnya nanti tidak mau kuajak berangkat. “Mel, mau pergi ke mana malam-malam begini?” Ibu semakin kencang menangis. “Sudahlah, Bu! Yang jelas sekarang aku harus pergi! Nanti kalau aku sudah punya tempat tinggal, aku akan memberitahukan alamatnya pada Ibu,” ucapku. Hatiku sudah terlanjur sakit atas sikap Bapak yang bahkan tidak bertanya dan tidak hendak mendengarkan pembelaanku. “Ya Allah, cucu Ibu ….” Ibu kembali menangis sesenggukan sambil menciumi wajah Alika. Aku pun sebetulnya bingung mau pergi ke mana. Hanya membawa sedikit uang untuk berjualan sayuran nanti di tempat baru dan sedikit tabungan untuk biaya makanku. Bahkan belum ada jatah untuk mencari kontrakan juga. Hati remuk redam membayangkan Alika harus meringkuk bersamaku di emperan. Terkena sapuan dinginnya angin malam. Sepedih ini nasib kita se

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 13

    “Mas, pamit ya, Dek! Tunggu Mas ke sini jemput kamu sama Alika! Biaya dokter biar Mas yang bayar nanti! Mas pergi! Assalamu’alaikum!” ucapku pada Mela---istriku. Setelah semua kejadian itu dan kemurkaan Bapak Mertuaku yang sudah pada puncaknya, aku tidak punya pilihan. Malam ini aku harus merelakan luka tergores pada hati istriku---Mela. Ya, aku tahu, dia sangat terluka atas semua kejadian ini.“Wa’alaikumsalam! Mas …,” lirihnya. Tampak tatapan matanya yang tergenang cairan bening mengantarkanku. Aku melangkah perlahan membawa tanggung jawab besar dalam pundakku. Aku sudah berjanji akan menjemputnya dengan kendaraan terbaik yang kumiliki dan membawanya pulang pada rumah masa depan kami. Menyusuri jalanan berkerikil kecil yang menghubungkan jalanan kampung dengan jalanan raya yang ada di depan sana. Pulang ke Surabaya, kali ini tujuanku.Ya, meskipun tak pasti apakah keluarga besar masih menerimaku. Namun aku sadar, ada restu Ibu yang harus kupinta. Meskipun dulu berkeras dia menola

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 14

    POV YASAAku duduk di posko security sambil meluruskan kaki. Perjalanan panjang tadi cukup melelahkan. Suara halus seorang perempuan menyapaku.“Mas Abi ‘kan? Masih inget gak sama aku? Ini Yesa, Mas!” ujarnya dengan netra berbinar. “Yesa? Kamu yang dulu jadi model itu ‘kan?” tanyaku mengingat-ingat.“Iya, Mas! Aku Yesa adiknya Mas Ilham! Btw ngapain di sini? Mas Ilham ada lho di rumah! Ayo maen, Mas! Kasian dia lagi gabut baru putus ama ceweknya!” ucapnya. Ilham, teman kuliahku dulu. Dulu aku sering main ke rumahnya waktu kuliah hingga kenal dengan Yesa---adiknya, yang waktu itu baru masuk semester satu kuliah.Aku berpikir sejenak, sepertinya tidak ada salahnya aku mampir ke rumah Ilham sekalian numpang istirahat sebentar. “Oh, Ilham ada di rumah, Yes? Ya udah Mas mampir bentar, deh! Rumahnya masih yang lama ‘kan?” tanyaku sambil menoleh padanya. Wanita itu mengangguk. Lalu aku berjalan mengikutinya. Kami mengobrol ringan hingga tiba di depan rumah dua lantai miliknya. "Hay, Bro

Bab terbaru

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 37

    Bapak dari Mela sudah kembali dibawa pulang, keadaannya masih belum ada perubahan. Penyakit stroke bukan hal yang bisa cepat diobati. Butuh waktu, butuh biaya dan butuh kesabaran. Utang Miranda pada Mela dan Yasa sudah dilunasi, kini dia membeli satu buah rumah kecil dari bambu untuknya tinggal. Tidak jauh dari rumah orang tuanya hingga bisa bolak balik juga menjenguk kondisi Bapaknya bergantian dengan Mela.Kini, Miranda mau tidak mau harus berpikir untuk menapkahi kehidupannya karena Hasim masih mendekam dalam penjara. Jika dulu dia selalu mencibir Mela dan merendahkannya karena suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap dan status Mela harus kerja keras menjual sayuran, kini berbalik. Miranda kini berjualan sayur keliling dengan mengambil sayur-mayur dari kebun Mela, nanti setiap mengambil yang baru dia akan setor uang penjualan tadi pagi.Seminggu dua kali, Yasa mengantar mertuanya ke rumah sakit untuk berobat, bagaimanapun ini sudah jadi tanggung jawab dia untuk berbakti, seburuk

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 36

    Lelaki sepuh itu segera dibopong oleh Yasa---menantu yang selama ini dinistakannya. Menantu yang selalu dihina karena tidak memiliki pekerjaan tetap, menantu yang bahkan diusir dan tidak dianggap.Ada tetesan bening mengalir di sudut netra lelaki tua itu. Dia mencoba bicara tetapi tidak jelas.Di dalam mobil, Mela memangku kepala sang Bapak sambil tak henti berdoa. Dipijatnya lembut tangan keriput yang tiba-tiba menjadi kaku itu. “Bapak, sabar, ya … sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit,” lirih Mela sambil menghapus air mata. Anak mana yang tega melihat orang tuanya terkapar seperti itu. Bu Tati---sang istri duduk dan memijat bagian kaki. Beruntung Alika mau duduk sendiri di kursi depan. Dia sesekali nemplok pada sandaran kursi dan melihat semua yang terjadi di belakang.“Kakek kok bobok, Mah?” tanyanya sambil menatap Mela. “Iya, Sayang … Kakek lagi sakit,” jawab Mela singkat. “Nenek sama Mama kenapa nangis?” tanya Alika lagi.“Mama lagi berdoa biar Allah sembuhkan kakek,” j

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 35

    “Mbak, bolehkah aku berada di dekat suamimu sebentar, saja!” batin Yesa merangkai kata. Namun gegas dia menepisnya. Tidak mungkin berkata demikian karena pasti akan menyakiti Mela.“Aku tidak akan merebut Mas Abi, Mbak! Aku hanya ingin tinggal satu atap dengan dia.” Lagi-lagi batinnya menepisnya. Meskipun perasaannya sudah terlanjur tumbuh tetapi logikanya masih berjalan. Yesa masih menggunakan rasa empatinya. Jika dia berada di posisi Mela, pasti akan sakit mendengarnya. Namun apakah jika Mela berada di posisinya akankah berpikir sama juga? “Kami pulang dulu, Bro!” Suara Ilham membuyarkan pikiran Yesa yang sedang kacau tak karuan. “Ya sudah hati-hati, salam buat keluarga di Surabaya,” ucap Yasa. “Oke, maen lah sono! Nyokap Lu pasti seneng jika bisa melihat cucu cantiknya,” ucap Ilham sambil mencubit gemas pipi Alika. “Iya, nanti pasti mereka akan gue ajak ke Surabaya, kok!” ucap Yasa datar. Bahkan dia pun belum tahu kapan. “Pulang dulu, ya, Mbak! Makasih sudah menampung adikku y

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 34

    “Aku harus sudah pulang, semuanya sudah selesai di sini … padahal aku enggan, ingin tinggal di sini lebih lama lagi!” gumam Yesa sambil membereskan pakaiannya. “Jika di Surabaya nanti, aku hanya bisa menatapnya lewat layar kaca, tetapi jika di sini setidaknya aku bisa sesekali bercengkrama dengannya meski aku hanya memposisikan diri sebagai adiknya agar mereka tidak curiga.Ah, andai waktu bisa berputar, dulu aku ikut saja dengannya merantau! Semenjak hari itu, bahkan aku belum pernah lagi merasakan jatuh cinta pada lelaki lain! Trauma itu menyisakkan sesuatu yang janggal dan ketika bertemu dengannya kembali hati ini terasa aman dan damai!” ucap Yesa sambil menatap pantulan wajahnya pada cermin. “Ye, kita makan siang dulu!” Suara Mela membuatnya menoleh. Perempuan itu tengah berdiri di depan kamarnya. “Iya, Mbak!” jawab Yesa datar. Sementara itu, Mela sudah kembali menghilang. Gadis itu masih meneruskan mengemasi pakaian. “Mas, Abi … maaf jika di hati ini terselip sesuatu yang sa

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 33

    Yasa sudah pulang dari acara manggungnya. Kini dia dan Ilham tengah mengusut tentang beberapa foto yang tersebar pada Instagram Yesa. Ternyata benar, jejaring sosial media Yesa dihacker orang yang tidak bertanggung jawab.Sementara itu, Yesa dan Mela tengah bersiap karena sebentar lagi mereka akan melaksanakan konferensi pers. Meskipun hanya lewat media youtube akan tetapi mereka tetap harus tampil maksimal. “Mbak Mela, aku ajarin cara make up saja, ya! Produk perawatan kulitnya dipakai tiap hari ‘kan?” selidik Yesa yang sudah rapi dengan gaya casualnya.“Dipake, Ye!” jawab Mela singkat. “Mbak Mela ke salon, gak? Kayaknya ini kulit wajahnya pada kering lagi? Emang gak maskeran?” Yesa memegang pipi Mela yang hendak dia polesi make up. “Mana sempat Mbak ke salon, Ye! Kan kalian pergi, gak ada yang jagain Alika!” ucap Mela sejujurnya. “Hadeuh dasar ibu-ibu ngeyelan, suruh rawat diri saja males kayak gitu! Nih, Mbak … Mas Abi itu setiap hari banyak bertemu dengan wanita-wanita cantik,

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 32

    “Kita lihat siapa yang akan menyesal, Mbak?” gumamku dalam dada. Aku bergegas ke luar meninggalkannya yang berada di dapur. Toh niatku ke sini untuk berkunjung pada Ibu, bukan untuk bertengkar dengan Mbak Miranda. Sementara itu, dari dalam rumah tampak Mbak Miranda membawa sayuran yang kubawa untuk ibu dan dua ekor ikan mentah dalam plastiknya. Rupanya tidak ada yang matang, maka yang mentah pun jadi. Setidaknya, kini dia mau membawa bahan masakan mentah meskipun sama-sama mengeruk dari sini juga. Tanpa basa-basi, apalagi ucapan terima kasih atas bahan makanan yang kubawa tadi. Dia tergesa berlalu meninggalkan kami. Bu Sari dan Bu Wati saling melempar pandang lalu melirik ke arahku.“Sabar, ya, Mbak Mela … sudah suaminya seperti itu, saudara satu-satunya seperti ini,” ujar Bu Sari. “Iya, ditambah Bapak Mbak Mela juga sejak dulu sudah seperti itu,” tambah Bu Wati.“Mungkin kalau Bapaknya Mbak Mela, sih karena udah tua makanya jadi pemarah. Mbak Mela sabarin saja, ya!” titah Bu Sari

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 31

    “Mbak, kalau memang berkeras dengan prinsif Mbak dan tidak mau mengembailkan uangnya! Jangan salahkan saya kalau kita akan bertemu di pengadilan!” ujar Mas Yasa penuh penekanan. “Yasa, kamu jangan sok, ya! Mentang-mentang sudah punya rumah sama mobil sekarang! Kalau kamu memang sudah kaya gak bakal permasalahin tuh uang kecil yang dipakai oleh saudara sendiri! Paling kamu itu cuma ngaku-ngaku kaya doang, ya? Palingan itu mobil sama rumah juga kamu ngutang ke Bank, terus nebeng sama si tuh perempuan selingkuhan kamu itu biar bisa punya uang ngalir buat bayar cicilan 'kan?” Mas Hasim tersenyum miring merendahkan. Aku menoleh pada Mas Yasa. Tampak giginya gemelutuk menahan kesal. Dia berdiri, tanpa kusangka, Mas Yasa menarik kerah Mas Hasim sambil melotot.“Mas Hasim! Mela sudah menceritakan semuanya padaku tentang perbuatan bejatmu! Kamu jangan pikir bisa lari dariku. Akan ada waktunya kamu meraung menyesali perbuatanmu!” geram Mas Yasa. Lalu dia mendorong sosok Mas Hasim hingga terja

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 30

    “Kuncinya mana? Mumpung Alika ada yang jaga!” ucap Yesa lagi tegas sambil melirik pada ibuku yang kini tengah berjalan-jalan di halaman bersama Alika."Sudah mau maghrib lah, Ye! Besok aja!" tolak Mas Yasa. "Oke, besok aku ajak Mbak Mela keliling sekalian belanja! Kamu 'kan mau bikin konten baru Mas, jadi gak usah ikut!" tukas Yesa ringan sambil berlalu ke dalam. Karena hari sudah sore, Mas Yasa bergegas mengantar Ibu pulang. Esok dia akan menjemput Ibu lagi, karena Yesa sudah fix akan mengajakku perawatan di salon. Memang ada acara manggung, tapi besok malam dan di acara kecil saja. Jadinya santai. ***Pagi ini aku sudah rapi. Kami tengah sarapan bersama. Yesa baru saja selesai meneguk air putih pada gelasnya lalu menengadahkan tangan pada suamiku. "Kunci mobil!" ujar Yesa sambil mengangkat satu alisnya. Mereka sedekat ini, terkadang ada rasa cemburu juga di hatiku. Mas Yasa mengeluarkan kunci mobil dan memberikannya pada Yesa. Gadis itu langsung berjalan ke luar meninggalkan ka

  • SUAMIKU YANG BAPAK HINA   Bab 29

    “Ya Allah, berikan aku petunjuk seperti apa aku harus bersikap menghadapi semua ini?” batinku. Kakiku mengayun menuju gerbang. Hendak mencari sarapan yang sebetulnya hanya alibiku saja agar bisa memiliki waktu untuk sendirian. Aku berjalan pulang dengan membawa empat porsi bubur ayam. Rasa malas mendera, sebetulnya aku yang terlalu sensitif saja. Bahkan aku belum berbincang juga dengan Yesa.Kudorong pintu depan, ruang tengah masih kosong. Lalu kuberalih ke dapur dan merebus air. Namun dari arah kamar Yesa tampak Mas Yasa keluar tergesa. Wajahnya diliputi kecemasan. “Dek, kita ada obat penurun panas, gak?” tanyanya dengan khawatir.“Gak ada, Mas! Kenapa?” tanyaku sambil menoleh. Keempat porsi bubur sudah kusimpan di atas meja makan. “Yesa tadi nelpon aku, pas kulihat ke kamarnya dia demam, Dek! Panas banget! Ya sudah, Mas beli dulu obat ke apotek depan, ya!” ucap Mas Yasa dengan wajah panik. Aku tersenyum hambar.Rasanya kok sangat gak nyaman ketika suami memperhatikan orang lain.

DMCA.com Protection Status