Part 45b
Damay tersenyum saat melihat suaminya menghidangkan bubur ke dalam mangkuk lalu menuangkan sayur soup ke atasnya."Ternyata Mas bisa masak juga ya," ucap Damay dengan mata berbinar."Sedikit-sedikit, tapi masih kalah jauh sama kamu. Ini juga rasanya gak tau gimana, tapi semoga cocok di lidahmu," jawab Saga."Makasih, Mas.""Mau disuapin?" tanya Saga dengan lembut."Tidak usah, Mas. Biar aku saja, badan aku sekarang udah jauh lebih baik kok."Saga mengangguk, ia masih menatap istrinya yang perlahan menyuapkan bubur itu ke mulut."Gimana rasanya?""Enak, Mas.""Suka gak?""Suka.""Hahah, iyalah aku menambahkan bumbu spesial pada masakan ini.""Bumbu spesial? Apa itu, Mas?""Bumbu spesial penuh cinta," jawabnya lalu terkekeh.Damay tersenyum malu-malu. "Kamu ini bisa aja menghiburku.""Iya dong, pokoknya kamu harus makan yang banyakPart 46 "Ya, itu karena langit, matahari dan aku ingin sama-sama menyapamu. Selamat pagiii, cantiiiikk. Semoga hari ini kita bisa membuat kenangan indah bersama, seperti warna-warni langit pagi ini yang mencerminkan kebahagiaan kita." Pipi Damay bersemu kemerahan saat mendengar kata romantis dari suaminya. "Mas Saga, kamu selalu punya cara unik untuk membuatku tersenyum," ucap Damay sambil tersenyum malu-malu. "Hmm karena saat kamu tersenyum, dunia terasa begitu sempurna bagiku," sahut Saga. Mereka berjalan kembali menuju bangku di taman, melihat beberapa tanaman bunga yang bermekaran warna-warni. Mereka duduk di bangku itu, menikmati kedamaian dan kebersamaan Di bawah sinar matahari yang hangat dan angin yang meniup lembut, rasanya tak ada tempat yang lebih baik selain berada di samping satu sama lain. "Menurutmu, apakah ada yang spesial pagi ini?" tanya Saga sambil menatap mata Damay dengan p
Part 46b"Saga, Damay, kalian kenal sama anak-anak ini?" tanya Bu Siti seraya mengerutkan keningnya."Iya, mereka anak-anak asuhku, Bu," jawab Saga yang membuat Bu Siti dan Mega terkejut."Adik-adik, ayo masuk dulu!" ajak Saga.Bu Siti mengalah, memberi mereka jalan untuk masuk ke halaman rumah. Saat mereka melangkah melewati Bu Siti, dia hanya menggelengkan kepala melihat penampilan anak-anak yang dekil itu. Kemudian berjalan di belakang anak-anak itu.Anak-anak itu berjalan dengan hati-hati, memandang heran keindahan di sekitar mereka. Taman yang rapi, kolam ikan dan airnya yang gemericik. "Kalian ke sini naik apa?""Jalan kaki, Kak, makanya kami pagi-pagi perginya.""Ya ampun, kan jauh banget, Dek.""Hehe, gak apa-apa, sambil olah raga pagi, Kak.""Hmm ..."Pintu rumah dibuka dengan lebar oleh Saga. "Adik-adik, ayo kita masuk!"Rizky dan anak-anak lainnya menggeleng pelan.
Part 47Seketika mata Nova membulat dengan mulut ternganga tak menyangka ternyata Saga, berdiri di hadapannya dengan tatapan yang tak bersalah dan juga penuh ketegasan. Nova merasa bingung, seolah dunianya tiba-tiba terbalik dalam sekejap."Sa-saga, ka-kau?!" suaranya tercekat, mencoba mengatasi kejutan yang melanda.Nova masih terdiam, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Hatinya berdebar keras, mencoba mencari pemahaman dalam kekacauan emosi yang melanda. "Kau yang melakukan ini semua, Saga?"Saga menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Ya."Raut wajah Nova berubah menjadi masam. "Mama benar-benar tidak percaya, ternyata anak mama sendiri yang melakukan hal ini pada Mama. Tega kamu, Saga! Kalau ayahmu tahu semua ini ulahmu, dia pasti akan marah besar!"Saga mengangguk pelan, tak menyangkal ucapan ibu tirinya. Ia tahu bahwa apa yang dilakukannya akan merusak hubungannya dengan sang ayah. "Aku tahu,"
Saga berjongkok di hadapan pria itu. Mencengkeram pundaknya. "Apa benar, kau tidak mengenal wanita ini, Pak?" tanya Saga mengintimidasi.Ya, penuh perjuangan untuk menangkap preman-preman itu. Hingga akhirnya para preman ditangkap setelah adu action dengan polisi dan juga anak buah suruhan Saga. Pria berbadan kekar tapi dengan wajah penuh luka lebam itu menatap Nova, akan tetapi Nova berusaha mengalihkan pandangannya. Pria itu menghela napas berat, ia merasa takut dibawah ancaman. "Dia ... dia yang menyuruhku untuk menculik Damay!"Sontak, Nova terkejut dengan pengakuan pria itu. "Hei, jangan menuduhku sembarangan!""Apa Nyonya lupa, Nyonya sudah membayarku, bahkan memintaku untuk menghabisi Damay!"Glek! Nova makin tercekat. Ia merasa sangat terpojok."Itu tidak mungkin! Jangan percaya dia! Dia hanya preman kampung yang butuh uang, pasti segala cara dia lakukan untuk memfitnahku!" seru Nova lagi membela diri.
Part 48Saga menghentikan langkahnya di atas treadmill, napasnya masih terengah-engah setelah sesi lari intensif yang baru saja dilakoninya. Dering telepon dari ayahnya, yang membuyarkan ketenangan sesaat dalam rutinitas olahraganya. "Hallo, Yah," sapanya dengan suara terengah-engah."Hallo Saga, apa mamamu sudah ketemu? Dia tidak menghubungi ayah lagi," suara ayahnya terdengar cemas."Sudah ada di rumah, Yah," jawab Saga sambil mencoba menenangkan ayahnya."Terima kasih atas bantuanmu, Nak. Hari ini ayah pulang," kata ayahnya, memberitahukan kabar bahwa dia akan segera kembali ke kota.Saga merasa lega mendengar kabar itu. Ayahnya sering bepergian untuk urusan bisnis, kadang sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu lamanya. Mereka memang jarang bertemu secara langsung. Pertemuan langsung itu menjadi kesempatan langka yang harus dimanfaatkan."Hmm Yah, bisakah kita bertemu sebentar sebelum ayah pulang ke ru
Part 48b Pukul dua siang, Saga sudah bersiap-siap dengan pakaian yang rapi. Seperti biasa jaket hitam tak pernah ketinggalan. Dia punya beberapa koleksi jaket-jaket simple tapi harganya cukup mahal itu. "Sayang, aku berangkat dulu. Bener, kamu gak mau ikut?" Damay mengangguk pelan sambil tersenyum. "Aku di rumah saja, Mas." "Kemungkinan aku pulang sampai malam." "Iya, tidak apa-apa, hati-hati di jalan ya, Mas." "Iya, Sayang. Kamu juga hati-hati di rumah. Jangan buru-buru buka pintu kalau bukan aku yang datang." "Baik, Mas." Sagaa mengambil kunci mobil dan berjalan menuju mobil yang terparkir manis di halaman. Mobil mulai bergerak pelan keluar dari halaman dan melesat di jalan raya menuju bandara. Perjalanan ke bandara cukup jauh dari rumah, ia harus melakukan perjalanan lebih dari dua jam. Saga menunggu di area kedat
Part 49 Saga kemudian bangkit. "Tapi satu hal lagi yang harus Ayah pahami. Jangan pernah menyuruhku bercerai dengan Damay. Aku akan tetap mempertahankan pernikahanku dengannya meski aku harus mati." Pak Biru masih terdiam, memikirkan kata-kata yang terucap dari mulut anaknya itu. "Aku akan pulang lebih dulu, Yah. Mungkin Ayah butuh waktu untuk berpikir." Kalau sopir ayah tak bisa menjemput, nanti kukirimkan Pak Jerry untuk datang ke sini." Saga melangkah perlahan menuju pintu utama villa mereka yang besar itu. Cahaya senja menyapu halaman, memberikan sentuhan keemasan pada rerumputan yang basah. Namun, langkahnya terhenti ketika suara ayahnya memanggil dari belakang. "Tunggu, Nak!" terdengar suara sang ayah, membuat Saga menoleh dengan cepat. Ia melihat sosok ayahnya, yang masih gagah dengan rambut putihnya yang sudah mulai tumbuh. Saga menghampiri ayahnya dengan wajah serius. "Ada apa, Yah?"
Part 49b Pikirannya kacau. Dia ingin berbicara dengan Nova, menghadapinya dengan bukti yang dia temukan. Namun, pikirannya juga penuh dengan pertanyaan. Mengapa Nova melakukan ini? Apa yang sebenarnya dia rencanakan? Dan yang lebih penting, apa lagi yang tidak diketahuinya tentang istrinya ini? Setelah beberapa saat berpikir, Pak Biru memutuskan untuk menenangkan diri dan tidur semalam di villa itu. Dia tahu dia perlu mempertimbangkan langkah-langkahnya dengan hati-hati. Ia tak ingin pikirannya bertambah runyam. *** Saga melajukan mobilnya melintasi tikungan-tikungan curam di jalan perbukitan. Hari sudah mulai petang. Seiring mobilnya melaju, pandangannya sesekali melirik ke arah pegunungan yang menjulang tinggi di kejauhan. Saga merasa sebuah beban besar telah terangkat dari pundaknya setelah berbicara dengan sang ayah. Apa yang ingin disampaikan sudah ia ungkapkan semua pada ayahnya. Dan mengenai keputusan
Sementara itu ...Di kantor, ponsel Saga kembali bergetar. Ia mengambilnya dan membaca pesan itu. Alisnya sedikit berkerut.Dia mengetik balasan dengan hati-hati.[Aidan, aku masih banyak pekerjaan. Nanti aku kabari lagi, ya.]Pesan terkirim. Tapi tak sampai lima menit, balasan dari Aidan masuk lagi.[Bro, nggak ada alasan untuk nggak luangin waktu buat sahabat lama. Lagian, aku sudah pesan meja di restoran favoritku. Aku janji, cuma makan santai kok. Kamu bisa bawa istri dan anak kamu. Aku penasaran lihat keluarga bahagiamu.]Saga menghela napas panjang. Ada sesuatu tentang Aidan yang selalu sulit ia tolak. Ia menutup matanya sejenak, lalu mengetik balasan.[Baiklah, aku akan datang. Tapi jangan buat kejutan aneh-aneh.]Balasan dari Aidan langsung muncul hanya beberapa detik kemudian.[Hahaha, tenang aja, Bro. Aku cuma mau ngobrol dan nostalgia. Nggak sabar ketemu kalian semua!][Kirim lokasi
"Maaf cari siapa ya?"Pria itu tersenyum lebar, senyuman yang tampaknya ingin mencairkan suasana. “Damay, kan?""Anda mengenal saya?"Pria itu tertawa. "Tentu saja. Bukankah kita pernah bertemu di Rumah Sakit Korea beberapa hari yang lalu? Nona yang mengembalikan dompet saya."Deg! Damay mulai mengingat insiden di RS kala itu. 'Jadi dia pria yang dompetnya jatuh? Kenapa penampilannya berbeda sekali?'Bukan hanya penampilan fisik tapi juga perangainya. Pria yang ada di hadapannya kini terlihat lebih ramah dan bersahabat, tak seperti waktu itu yang terlihat dingin dan kaku.'Lalu untuk apa dia datang ke sini dan kenapa bisa mengenalku?'"Hahaha, sepertinya nona kebingungan. Tentu saja saya tahu tentang Nona, karena Nona adalah istri sahabat saya. Kenalkan, saya Aidan," ucap lelaki itu seraya menyodorkan tangannya.Damay mengangguk, tapi tak membalas uluran tangannya. Ia hanya menangkupkan tangannya di depan dada. "Oh, maaf Mas Aidan. Tapi Mas Saga sudah berangkat ke kantor. Mungkin nan
Saga mengangguk. "Hmmm .... Jadi yang semalam telepon itu nomornya dia.""Oalah, terus?"Saga melirik arloji yang melingkar di tangannya. "Katanya dia mau datang ke sini. Mungkin sore nanti. Dia ingin bertemu, tapi aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus?"Damay terdiam sejenak melihat suaminya yang tengah bingung. "Ya udah yuk, kita sarapan dulu! Makanannya udah siap lho, Mas pasti suka!" ajak Damay mengalihkan perhatiannya.Sagara mengangguk. Mereka menikmati makan bersama sebelum akhirnya Pak Tom memberi tahu agar Saga segera datang ke kantor karena ada meeting darurat."Ya, aku segera datang!" ujar Sagara di ujung telepon. Ia meletakkan ponselnya ke dalam saku lalu berpamitan dengan sang istri."Sayang, aku berangkat dulu ya!""Hmmm, iya mas, semoga pekerjaanmu lancar," ucap Damay sambil tersenyum manis.Saga langsung mengecup kening istrinya dengan lembut."Terima kasih, Sayang. Jaga dir
“Aku tidak tahu, panggilan dari nomor asing.”"Abaikan saja.""Iya, Mas."Damay mendekat ke arah sang suami lalu menatap Rain yang sudah tertidur kembali di pelukan ayahnya."Dia sudah tidur lagi," ucap Saga sambil tersenyum.Damay tersenyum lalu mengecup pipi mungil Rain. "Hmmm .... cuma Rain aja nih yang dicium? Ayahnya enggak?"Damay menoleh menatap wajah sang suami, ia tertawa pelan. "Untuk ayahnya tidak perlu, kan udah sering!"Saga tersenyum lebar, senang melihat Damay kembali ceria. "Ah, jadi aku harus bersaing dengan baby Rain sekarang, ya?" gurau Saga sambil menggoda.Damay tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya pada Saga, memberikan kecupan hangat di pipinya. "Mas," Damay memulai lagi, suaranya sedikit lebih serius"Hmmm, kenapa Sayang?" Saga menatapnya dengan penuh perhatian.Saga menaruh kembali baby Rain dalam boks bayi, setelah Rain tertidur dengan tenang. "
Kenangan itu membekas di hati Saga. Sejak saat itu, Pak Jerry menjadi lebih dari sekadar pendamping; dia adalah teman, pengganti figur keluarga yang hilang. Tapi kini, saat nama Pak Jerry disebut dalam masalah besar perusahaan, kenangan itu terasa seperti pisau yang menusuk hati Saga lebih dalam.***Sementara di tempat lain ...Pak Tom pulang ke markas sendirian, disambut oleh anak-anak pilihan. "Akhirnya yang ditunggu-tunggu pulang juga. Pak, saya bawa oleh-oleh liburan buat Pak Tom, Pak Jerry, dan anak-anak," seru Lanang menghampirinya dengan senyum yang lebar. Anak-anak pilihan mengangguk dengan ceria, senyuman tulus terpancar dari binar matanya.Tapi tidak dengan Pak Tom yang ekspresi wajahnya terlihat muram. "Mana Pak Jerry? Kok belum muncul juga? Apa masih di mobil?" tanya Lanang kembali seraya tolah toleh ke belakang."Pak Jerry gak pulang.""Oh, masih ada tugas dari Mas Bos?"Pak Tom menggele
Damay mematung di tempatnya, memandang Saga dengan tatapan sedih, mencoba memahami ucapan suaminya. Tapi Saga tetap terdiam, hanya menunduk sambil memutar cangkir kopinya yang sudah dingin.Baby Rain bergerak sedikit, gumaman lembut suara bayi terdengar samar. Damay menoleh, tatapannya beralih ke sosok mungil itu sejenak, lalu kembali ke Saga. Ia meraih pundaknya perlahan, mencoba memecahkan kebekuan di antara mereka.“Mas,” bisiknya, suaranya nyaris pecah. “Kenapa bilang Pak Jerry terlibat? Apa ada bukti?”Saga mengangkat wajahnya, mata merahnya bertemu dengan tatapan istrinya. Ia membuka mulut, namun tak ada kata-kata yang keluar. Hanya napas berat yang terdengar, mengisi ruang yang terasa semakin sempit.“Semua datanya mengarah ke dia,” gumamnya akhirnya, pelan, nyaris tak terdengar. Jari-jarinya mengusap wajahnya yang penuh kelelahan. “Aku nggak bisa mengerti… bagaimana bisa? Aku selalu percaya sama dia, Damay. Aku selalu melihat dia seba
Pak Jerry membuka mulutnya, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Tubuhnya sedikit gemetar, ia menatap Saga, Pak Tom serta Pak Riko bergantian, tatapan matanya tampak berkaca-kaca. “Saya… saya tidak tahu apa-apa, Pak. Seseorang pasti menyabotase saya.” Saga tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya tajam. Hening di ruangan itu begitu tegang, hingga detik jam dinding terdengar seperti pukulan palu. “Pak Riko,” ujar Saga akhirnya, tanpa melepaskan tatapannya dari Pak Jerry, “amankan semua akses Pak Jerry. Jangan biarkan dia menyentuh sistem apa pun sampai kita tahu kebenarannya. Dan Pak Jerry…” Dia mendekat, suaranya rendah tapi dingin. “Kalau Bapak benar-benar tidak bersalah, buktikan. Tapi kalau Bapak berbohong…” Saga berhenti sejenak, matanya menyipit. “Bapak tahu akibatnya.” Pak Jerry tertunduk. "Pak Bos, Anda tahu sendiri, saya sudah mengabdi pada Pak Bos dan perusahaan ini bukan satu tahun dua tahun, tapi lebih dari itu.
“Pak Saga, kami punya kabar baik dan buruk,” suara Pak Riko terdengar tergesa-gesa di ujung telepon.“Apa itu?” “Kabar baiknya, kami berhasil melacak sebagian besar transaksi ilegal itu. Kami menemukan aliran dana mengarah ke sebuah akun di luar negeri. Tapi buruknya, ada indikasi bahwa pelaku masih memiliki akses ke beberapa sistem kami. Kami menduga mereka sedang menunggu momen berikutnya untuk menyerang.”Saga mengerutkan kening. “Sudahkah kalian memutus semua akses yang mencurigakan?”“Sudah, Pak, tapi pelaku ini sangat terampil. Mereka bisa menggunakan backdoor lain kapan saja. Kami juga mencurigai adanya aktivitas mencurigakan dari beberapa karyawan yang memiliki akses tinggi.”Saga terdiam sesaat. Curiga ini semakin menguatkan dugaan adanya orang dalam yang terlibat.“Baik,” katanya akhirnya. “Saya akan segera ke kantor. Pastikan semua data cadangan aman dan awasi aktivitas siapa pun yang mencurigakan. Jangan ambil risiko
Damay tersenyum tipis, matanya tak lepas dari wajah Saga. Dia tahu, meski suaminya mengatakan akan terus berjuang, ada sesuatu yang belum sepenuhnya lepas dari pikirannya. “Mas,” bisiknya sambil menyandarkan kepala di bahu Saga, “kalau terlalu berat, Mas bisa ceritakan semuanya ke aku. Aku mungkin nggak bisa bantu banyak, tapi aku selalu ada untuk Mas.” Saga terdiam, tatapannya masih pada Baby Rain. Detik-detik berlalu tanpa jawaban, sampai akhirnya dia berbicara, pelan tapi tegas. “Di kantor tadi, kami diserang. Sistem keuangan kita diretas. Uang perusahaan hilang dalam hitungan menit, dan datanya sekarang dienkripsi. Mereka meminta tebusan.” Damay membeku. Tubuhnya kaku sesaat, tapi dia berusaha tetap tenang. “Berapa yang hilang, Mas?” Saga menghela napas panjang, pandangannya jatuh ke lantai. “Dua puluh lima miliar,” jawabnya lirih. “Dan aku curiga ada orang dalam yang terlibat.” Damay menut