DafaSarah keterlaluan. Aku dikeluarkan hanya gara-gara nggak masuk dua hari tanpa izin. Harusnya ia nggak gitu karena aku suaminya. Tapi ternyata ia malah menendangku.Setelah dikeluarkan, aku kembali ke rumah. Di rumah rasanya selalu kepikiran soal pekerjaan yang dicabut paksa oleh Sarah.Daripada aku jadi pengangguran di rumah, lebih baik pulang ke Bogor. Di Bogor, Rianti lebih menghargaiku sebagai seorang suami. Aku sangat senang bila ia bermanja-manja denganku.Lagipula kasihan Ranti setelah kemarin sakit. Aku harus kembali untuk menghiburnya. Sangat pas, saat kupikirkan, ia pun menelepon."Mas gimana kabarmu? Kamu pulang ke Bogor nanti jangan lupa bawa mobilmu ya! Aku ingin berbelanja menghabiskan uang yang kau beri," katanya."Emang masih ada uangnya?""Justru itu, uangku habis. Ini aku mau minta lagi," katanya."Baiklah kalau gitu. Aku nanti pulang, tapi tak bawa uang," pancingku."Bawalah, Mas. Aku mau beli belanja mingguan. Pekan kemarin aku kan nggak keluar karena sakit pe
Didalam rumah sudah ada ibuku, sedang apa dia? Lalu ada juga Sarah? Apa? Sarah tau rumah ini? Itu berarti ia sudah tau pernikahanku dengan Ranti.Kali ini ibu dan Sarah marah besar. Ibu menamparku beberapa kali. Ia katanya malu memiliki anak model aku yang tak bertanggungjawab, sementara Sarah juga sama, ia menyalahkanku.Terlebih saat ia tau kalau aku mengambil perhiasannya karena Ranti memakai semua hari itu. Sebenarnya tadinya sudah kularang ia memakai perhiasan itu, tapi ia ngotot ingin terlihat tajir oleh para tetangga kami karena kami menghadiri sebuah pesta pernikahan tetangga.Aku lebih baik diam saat Sarah bertanya mengenai perhiasan itu. Hanya pertanyaan yang urgen yang kujawab. Sarah pun mengambil paksa perhiasan yang dikenakan Ranti, dan aku tak bisa berbuat apapun.Setelah Ibu dan Sarah pergi, aku lega. Sarah tak tau kalau aku mengambil sertifikat tanah yang sudah kugadaikan kemarin.Aku menalak Sarah. Biarkan saja aku kehilangan Sarah dan Reza, toh aku masih ada Ranti da
Kali ini aku sedang sibuk-sibuknya mengurusi jelang pembukaan cabang percetakan baru di Bogor. Sampai-sampai aku pergi pagi pulang malam setiap hari. Aku tak memikirkan hal lain selain ini.Masalah kost-kostan Ayahku yang mengurus. Semua akan aman setelah diurus oleh ayah dan Mas Ari. Aku hanya memberikan dataku untuk dibuatkan sertifikat hak milik.Banyak pekerjaan membuatku melupakan semuanya. Akupun sampai belum cerita tentang hilangnya sertifikat tanah milik kami pada Ayah. Ia pasti bisa memarahiku. Aku takut ia murka karena sertifikat itu memang atas nama Mas Dafa.Untuk urusan perceraian, aku menyerahkan pada pengacaraku. Setauku pengadilan sudah memberikan surat panggilan ke rumah kontrakan wanita itu.Jadi, aku tinggal tunggu info dan kalau dibutuhkan hadir, aku akan berusaha hadir. Namun, sampai saat ini sidang perdana belum dilakukan.***Hari ini kami mengadakan rapat terakhir sebelum pembukaan esok hari."Besok kita ke Bogor ya. Semua sudah ready. Untuk yang tetap di sini,
"Ya, sama Pak Satrio tuh," ucapku.Setelah itu, kami melaksanakan pembukaan dengan baik. Ada acara gunting pita yang dilakukan olehku. Saat itu ada beberapa kolega yang datang juga.Setelah itu syukuran dengan melibatkan warga setempat dan anak yatim. Di sesi ini, kami memberikan bingkisan bagi warga dan anak yatim yang hadir. Setelah itu makan siang bersama para karyawan dari Jakarta dan karyawan baru dari Bogor. Rencananya nanti karyawan lama akan mentrainer karyawan baru terlebih dulu agar mereka bisa bekerja dengan baik esok hari.Setelah itu, selesailah rangkaian acaranya. Kami kembali ke Jakarta. "Terima kasih, Ari. Kamu sudah berusaha dengan baik untuk acara ini pastinya!" ucap Ayah pada laki-laki yang mengantar kami ke depan."Sama-sama, Om. Semoga perjalanan pulang Om Satrio dan Sarah lancar ya ke Jakarta," katanya."Iya, terima kasih.""Iya, aku pun mengucapkan banyak terima kasih padamu, Mas! Oke sampai bertemu besok ya!" Kami memasuki mobil dan segera meninggalkan lokasi
Hari ini banyak sekali ucapan bela sungkawa yang datang ke rumahku. Mereka mengirimkan karangan bunga. Sementara aku masih di rumah orang tuaku."Bu, cepat pulang. Banyak karangan bunga. Saya bingung mau disuruh simpan dimana lagi. Coba ibu lihat sendiri ke sini," katanya.Setelah siap, aku pamit pada Ayah dan Ibu untuk pulang ke rumah dengan alasan tadi, banyak karangan bunga datang karena mereka melihat pemberitaan."Yah, aku pulang dulu, ya! Banyak ucapan belasungkawa ke rumah.""Ya sudah, Ayah sama Ibu ikut ke sana ya! Sepertinya kamu nggak usah masuk kantor dulu," kata Ayah. "Tadi Om dan Tantemu pada nelpon. Mereka ada yang nggak bisa datang, ada juga yang bilang mau datang," ucap Ayah."Iya, Yah. Aku nggak bakal ke kantor. Karena memang pasti banyak tamu," jawabku."Ayo, tunggu ayah dan ibu ya! Kita ke rumahmu bareng," katanya."Oke."Kami bersama-sama ke rumahku. Benar saja, sudah banyak karangan bunga yang berjejer rapi sejak masuk cluster perumahan.Saat turun dari mobil, beb
"Ya, Mbak. Ada teman sih yang selalu nginep," katanya."Oh ya sudah. Segitu aja ya!""Iya, Mbak. Aku ikut berbelasungkawa ya, Mbak. Semoga Mbak Sarah sama Reza kuat menghadapi semuanya," jawab Fania."Aamiiin."Kematian Mas Dafa tak membuat keluarganya khawatir dan sedih. Tapi kemarin kan Ibu yang menyuruhnya pergi. Harusnya ibu yang paling merasa bersalah atas itu.***Sebulan kemudian.Proses sidang perceraian kami tak diteruskan. Dengan kematian Mas Dafa otomatis statusku sudah cerai mati. Dengan mengurus berbagai dokumen kematiannya, semua selesai. Walau sebenarnya, saat itu ia sudah menalakku. Secara agama kami memang sudah cerai talak satu.Saat ini aku seorang single parent yang akan mengurusi anakku sendiri.Aku tak berpikiran untuk menikah lagi saat ini. Mengurus percetakan dengan dua kantor yang beroperasi, menyita waktuku. Namun aku suka dengan pekerjaanku saat ini.Aku lebih bisa mengembangkan diri. Menjadi seorang wanita karier yang sukses, Insya Allah."Sarah, kamu sedan
Setelah kejadian itu, aku segera melajukan lagi mobil ini hingga sampai di rumah Mama.Sampai sana, aku ceritakan kejadian tadi pada Ayah. Kami sedang duduk bersama di ruang keluarga."Orang Ayah datengnya telat. Aku udah keburu ditolong seseorang, Yah," kataku."Siapa?""Nggak tau, aku belum sempat kenalan," jawabku."Hati-hati kalau dibantu orang, takutnya ia malah pencuri atau perampok," kata Ayah."Nggak kok, Yah. Dia orang baik. Aku tau orangnya," jawabku sok tau."Kalau tau berarti kamu udah kenalan dong? Jangan sembarangan terima bantuan orang pokoknya kalau di jalan." Ayah menautkan kedua alisnya, ia heran dengan anaknya yang berbicara seolah asal bicara."Iya, Yah." Akhirnya aku mengiyakan, setuju dengan perkataannya.Setelah menjelang magrib, aku kembali ke rumah. Ternyata di tetangga sebelah yang kemarin sempat kosong, kali ini ada yang akan menempati.Mereka katanya mengontrak di sana. Aku tak begitu melihat penghuni baru di sebelah rumahku.***Pagi-pagi sudah ada yang da
"Eh, apa kita pernah bertemu?" tanyaku.Ia mengingat-ingat."Oh, anda yang kemarin mobilnya mogok kan?" tanyanya."Iya, betul. Tuh kan jadi inget. Saya belum bilang terima kasih pada anda. Siapa nama anda?" tanyaku walau sudah kutahu namanya dari biodata."Nama saya Geri, Bu.""Wah, kalian sudah saling kenal, aku jadi obat nyamuk di sini. Udah ah, aku pergi aja!" Mas Ari malah akan benar-benar pergi meninggalkan kami. Aku segera menarik tangannya. Nggak boleh dia pergi ketika belum selesai."Mas, masih satu orang lagi loh. Selesaikan tanggung jawabmu!" ucapku.Ia akhirnya menyerah, mengikuti apa kataku. Kami memulai untuk mewawancarai Geri.Ia ternyata cukup berwawasan, sepertinya ia cocok menjadi koordinator produksi."Sudah ya, terima kasih atas kedatangannya dan komitmen anda mengikuti tes wawancara ini. Semoga anda diterima nanti," harapku. Dan aku memang berharap ia diterima. Aku suka gaya bicaranya, tata bahasanya serta ia pun benar-benar tau semua. "Terima kasih, Bu Sarah. An