Kali ini aku sedang sibuk-sibuknya mengurusi jelang pembukaan cabang percetakan baru di Bogor. Sampai-sampai aku pergi pagi pulang malam setiap hari. Aku tak memikirkan hal lain selain ini.Masalah kost-kostan Ayahku yang mengurus. Semua akan aman setelah diurus oleh ayah dan Mas Ari. Aku hanya memberikan dataku untuk dibuatkan sertifikat hak milik.Banyak pekerjaan membuatku melupakan semuanya. Akupun sampai belum cerita tentang hilangnya sertifikat tanah milik kami pada Ayah. Ia pasti bisa memarahiku. Aku takut ia murka karena sertifikat itu memang atas nama Mas Dafa.Untuk urusan perceraian, aku menyerahkan pada pengacaraku. Setauku pengadilan sudah memberikan surat panggilan ke rumah kontrakan wanita itu.Jadi, aku tinggal tunggu info dan kalau dibutuhkan hadir, aku akan berusaha hadir. Namun, sampai saat ini sidang perdana belum dilakukan.***Hari ini kami mengadakan rapat terakhir sebelum pembukaan esok hari."Besok kita ke Bogor ya. Semua sudah ready. Untuk yang tetap di sini,
"Ya, sama Pak Satrio tuh," ucapku.Setelah itu, kami melaksanakan pembukaan dengan baik. Ada acara gunting pita yang dilakukan olehku. Saat itu ada beberapa kolega yang datang juga.Setelah itu syukuran dengan melibatkan warga setempat dan anak yatim. Di sesi ini, kami memberikan bingkisan bagi warga dan anak yatim yang hadir. Setelah itu makan siang bersama para karyawan dari Jakarta dan karyawan baru dari Bogor. Rencananya nanti karyawan lama akan mentrainer karyawan baru terlebih dulu agar mereka bisa bekerja dengan baik esok hari.Setelah itu, selesailah rangkaian acaranya. Kami kembali ke Jakarta. "Terima kasih, Ari. Kamu sudah berusaha dengan baik untuk acara ini pastinya!" ucap Ayah pada laki-laki yang mengantar kami ke depan."Sama-sama, Om. Semoga perjalanan pulang Om Satrio dan Sarah lancar ya ke Jakarta," katanya."Iya, terima kasih.""Iya, aku pun mengucapkan banyak terima kasih padamu, Mas! Oke sampai bertemu besok ya!" Kami memasuki mobil dan segera meninggalkan lokasi
Hari ini banyak sekali ucapan bela sungkawa yang datang ke rumahku. Mereka mengirimkan karangan bunga. Sementara aku masih di rumah orang tuaku."Bu, cepat pulang. Banyak karangan bunga. Saya bingung mau disuruh simpan dimana lagi. Coba ibu lihat sendiri ke sini," katanya.Setelah siap, aku pamit pada Ayah dan Ibu untuk pulang ke rumah dengan alasan tadi, banyak karangan bunga datang karena mereka melihat pemberitaan."Yah, aku pulang dulu, ya! Banyak ucapan belasungkawa ke rumah.""Ya sudah, Ayah sama Ibu ikut ke sana ya! Sepertinya kamu nggak usah masuk kantor dulu," kata Ayah. "Tadi Om dan Tantemu pada nelpon. Mereka ada yang nggak bisa datang, ada juga yang bilang mau datang," ucap Ayah."Iya, Yah. Aku nggak bakal ke kantor. Karena memang pasti banyak tamu," jawabku."Ayo, tunggu ayah dan ibu ya! Kita ke rumahmu bareng," katanya."Oke."Kami bersama-sama ke rumahku. Benar saja, sudah banyak karangan bunga yang berjejer rapi sejak masuk cluster perumahan.Saat turun dari mobil, beb
"Ya, Mbak. Ada teman sih yang selalu nginep," katanya."Oh ya sudah. Segitu aja ya!""Iya, Mbak. Aku ikut berbelasungkawa ya, Mbak. Semoga Mbak Sarah sama Reza kuat menghadapi semuanya," jawab Fania."Aamiiin."Kematian Mas Dafa tak membuat keluarganya khawatir dan sedih. Tapi kemarin kan Ibu yang menyuruhnya pergi. Harusnya ibu yang paling merasa bersalah atas itu.***Sebulan kemudian.Proses sidang perceraian kami tak diteruskan. Dengan kematian Mas Dafa otomatis statusku sudah cerai mati. Dengan mengurus berbagai dokumen kematiannya, semua selesai. Walau sebenarnya, saat itu ia sudah menalakku. Secara agama kami memang sudah cerai talak satu.Saat ini aku seorang single parent yang akan mengurusi anakku sendiri.Aku tak berpikiran untuk menikah lagi saat ini. Mengurus percetakan dengan dua kantor yang beroperasi, menyita waktuku. Namun aku suka dengan pekerjaanku saat ini.Aku lebih bisa mengembangkan diri. Menjadi seorang wanita karier yang sukses, Insya Allah."Sarah, kamu sedan
Setelah kejadian itu, aku segera melajukan lagi mobil ini hingga sampai di rumah Mama.Sampai sana, aku ceritakan kejadian tadi pada Ayah. Kami sedang duduk bersama di ruang keluarga."Orang Ayah datengnya telat. Aku udah keburu ditolong seseorang, Yah," kataku."Siapa?""Nggak tau, aku belum sempat kenalan," jawabku."Hati-hati kalau dibantu orang, takutnya ia malah pencuri atau perampok," kata Ayah."Nggak kok, Yah. Dia orang baik. Aku tau orangnya," jawabku sok tau."Kalau tau berarti kamu udah kenalan dong? Jangan sembarangan terima bantuan orang pokoknya kalau di jalan." Ayah menautkan kedua alisnya, ia heran dengan anaknya yang berbicara seolah asal bicara."Iya, Yah." Akhirnya aku mengiyakan, setuju dengan perkataannya.Setelah menjelang magrib, aku kembali ke rumah. Ternyata di tetangga sebelah yang kemarin sempat kosong, kali ini ada yang akan menempati.Mereka katanya mengontrak di sana. Aku tak begitu melihat penghuni baru di sebelah rumahku.***Pagi-pagi sudah ada yang da
"Eh, apa kita pernah bertemu?" tanyaku.Ia mengingat-ingat."Oh, anda yang kemarin mobilnya mogok kan?" tanyanya."Iya, betul. Tuh kan jadi inget. Saya belum bilang terima kasih pada anda. Siapa nama anda?" tanyaku walau sudah kutahu namanya dari biodata."Nama saya Geri, Bu.""Wah, kalian sudah saling kenal, aku jadi obat nyamuk di sini. Udah ah, aku pergi aja!" Mas Ari malah akan benar-benar pergi meninggalkan kami. Aku segera menarik tangannya. Nggak boleh dia pergi ketika belum selesai."Mas, masih satu orang lagi loh. Selesaikan tanggung jawabmu!" ucapku.Ia akhirnya menyerah, mengikuti apa kataku. Kami memulai untuk mewawancarai Geri.Ia ternyata cukup berwawasan, sepertinya ia cocok menjadi koordinator produksi."Sudah ya, terima kasih atas kedatangannya dan komitmen anda mengikuti tes wawancara ini. Semoga anda diterima nanti," harapku. Dan aku memang berharap ia diterima. Aku suka gaya bicaranya, tata bahasanya serta ia pun benar-benar tau semua. "Terima kasih, Bu Sarah. An
"Siapa yang memberi Reza hadiah?" tanyaku pada Rara. Aku tak jadi mandi, langsung saja kuhempaskan tubuh ini di atas sofa."Maaf, Bu. Tadi tetangga sebelah ke sini. Katanya kebetulan ada mobil-mobilan buat ponakannya, tapi ponakannya keburu pindah. Jadi dikasih sama Reza," kata Rara.Aneh banget, baru kenalan udah main ngasih-ngasih aja. Aku takut mereka sebenarnya minta sesuatu dariku."Lain kali kalau mereka ngasih, nggak usah diterima ya, Ra! Soalnya saya juga nggak tau seperti apa orangnya." Aku memberi peringatan pada Rara agar jangan mudah menerima pemberian orang."Baik, Bu. Habisnya tadi maksa ngasihnya. Katanya daripada nggak ada yang mainin. Soalnya itu masih baru banget. Ya, saya akhirnya menerima ini karena bagus juga buat Reza," katanya.Rara benar-benar gadis polos. Dia menganggap setiap orang itu baik. Namun, tidak semua orang itu baik dan benar-benar tulus. "Ya sudah. Nanti lagi, main di dalam saja. Nggak usah keluar segala."Bukannya aku menjaga jarak dengan tetangg
"Iya. Aku habis main aja di Jakarta. Jadi kumampir ke sini. Kamu sama anakmu nggak ada," jawabnya."Ya udah, tunggu ya! Sebentar lagi aku cabut dari sini," kataku.Ia setuju untuk menunggu karena aku bilang kalau akan menitipkan hadiah buat para wisudawati penghuni kost-kostan milikku.***Sampai di rumah, Mas Ari sudah duduk manis di ruang tamu. Ia terlihat semringah. Entah apa yang membuatnya seperti itu."Mas, maaf ya kamu jadi nunggu lama!" ucapku."Nggak apa. Aku juga yang salah, nggak bilang-bilang dulu saat akan berkunjung. Jadi gini deh, kamunya nggak ada," katanya."Mbok, tamuku sudah diberi minum?""Udah ... Ini minum!" Ia mengangkat dua cangkir teh yang sudah habis."Pasti itu teh tanpa gula kan?" tanyaku."Iya dong. Makanya aku bisa meminum dua cangkir seperti ini," katanya."Ya sudah pesan lagi saja minumnya! Aku ganti baju dulu, ya!" ucapku."Silahkan, Sarah."Aku buru-buru ganti pakaian. Kasihan jika Mas Ari menunggu terlalu lama. Setelah itu, aku kembali ke ruang tamu