"Ya, Mbak. Ada teman sih yang selalu nginep," katanya."Oh ya sudah. Segitu aja ya!""Iya, Mbak. Aku ikut berbelasungkawa ya, Mbak. Semoga Mbak Sarah sama Reza kuat menghadapi semuanya," jawab Fania."Aamiiin."Kematian Mas Dafa tak membuat keluarganya khawatir dan sedih. Tapi kemarin kan Ibu yang menyuruhnya pergi. Harusnya ibu yang paling merasa bersalah atas itu.***Sebulan kemudian.Proses sidang perceraian kami tak diteruskan. Dengan kematian Mas Dafa otomatis statusku sudah cerai mati. Dengan mengurus berbagai dokumen kematiannya, semua selesai. Walau sebenarnya, saat itu ia sudah menalakku. Secara agama kami memang sudah cerai talak satu.Saat ini aku seorang single parent yang akan mengurusi anakku sendiri.Aku tak berpikiran untuk menikah lagi saat ini. Mengurus percetakan dengan dua kantor yang beroperasi, menyita waktuku. Namun aku suka dengan pekerjaanku saat ini.Aku lebih bisa mengembangkan diri. Menjadi seorang wanita karier yang sukses, Insya Allah."Sarah, kamu sedan
Setelah kejadian itu, aku segera melajukan lagi mobil ini hingga sampai di rumah Mama.Sampai sana, aku ceritakan kejadian tadi pada Ayah. Kami sedang duduk bersama di ruang keluarga."Orang Ayah datengnya telat. Aku udah keburu ditolong seseorang, Yah," kataku."Siapa?""Nggak tau, aku belum sempat kenalan," jawabku."Hati-hati kalau dibantu orang, takutnya ia malah pencuri atau perampok," kata Ayah."Nggak kok, Yah. Dia orang baik. Aku tau orangnya," jawabku sok tau."Kalau tau berarti kamu udah kenalan dong? Jangan sembarangan terima bantuan orang pokoknya kalau di jalan." Ayah menautkan kedua alisnya, ia heran dengan anaknya yang berbicara seolah asal bicara."Iya, Yah." Akhirnya aku mengiyakan, setuju dengan perkataannya.Setelah menjelang magrib, aku kembali ke rumah. Ternyata di tetangga sebelah yang kemarin sempat kosong, kali ini ada yang akan menempati.Mereka katanya mengontrak di sana. Aku tak begitu melihat penghuni baru di sebelah rumahku.***Pagi-pagi sudah ada yang da
"Eh, apa kita pernah bertemu?" tanyaku.Ia mengingat-ingat."Oh, anda yang kemarin mobilnya mogok kan?" tanyanya."Iya, betul. Tuh kan jadi inget. Saya belum bilang terima kasih pada anda. Siapa nama anda?" tanyaku walau sudah kutahu namanya dari biodata."Nama saya Geri, Bu.""Wah, kalian sudah saling kenal, aku jadi obat nyamuk di sini. Udah ah, aku pergi aja!" Mas Ari malah akan benar-benar pergi meninggalkan kami. Aku segera menarik tangannya. Nggak boleh dia pergi ketika belum selesai."Mas, masih satu orang lagi loh. Selesaikan tanggung jawabmu!" ucapku.Ia akhirnya menyerah, mengikuti apa kataku. Kami memulai untuk mewawancarai Geri.Ia ternyata cukup berwawasan, sepertinya ia cocok menjadi koordinator produksi."Sudah ya, terima kasih atas kedatangannya dan komitmen anda mengikuti tes wawancara ini. Semoga anda diterima nanti," harapku. Dan aku memang berharap ia diterima. Aku suka gaya bicaranya, tata bahasanya serta ia pun benar-benar tau semua. "Terima kasih, Bu Sarah. An
"Siapa yang memberi Reza hadiah?" tanyaku pada Rara. Aku tak jadi mandi, langsung saja kuhempaskan tubuh ini di atas sofa."Maaf, Bu. Tadi tetangga sebelah ke sini. Katanya kebetulan ada mobil-mobilan buat ponakannya, tapi ponakannya keburu pindah. Jadi dikasih sama Reza," kata Rara.Aneh banget, baru kenalan udah main ngasih-ngasih aja. Aku takut mereka sebenarnya minta sesuatu dariku."Lain kali kalau mereka ngasih, nggak usah diterima ya, Ra! Soalnya saya juga nggak tau seperti apa orangnya." Aku memberi peringatan pada Rara agar jangan mudah menerima pemberian orang."Baik, Bu. Habisnya tadi maksa ngasihnya. Katanya daripada nggak ada yang mainin. Soalnya itu masih baru banget. Ya, saya akhirnya menerima ini karena bagus juga buat Reza," katanya.Rara benar-benar gadis polos. Dia menganggap setiap orang itu baik. Namun, tidak semua orang itu baik dan benar-benar tulus. "Ya sudah. Nanti lagi, main di dalam saja. Nggak usah keluar segala."Bukannya aku menjaga jarak dengan tetangg
"Iya. Aku habis main aja di Jakarta. Jadi kumampir ke sini. Kamu sama anakmu nggak ada," jawabnya."Ya udah, tunggu ya! Sebentar lagi aku cabut dari sini," kataku.Ia setuju untuk menunggu karena aku bilang kalau akan menitipkan hadiah buat para wisudawati penghuni kost-kostan milikku.***Sampai di rumah, Mas Ari sudah duduk manis di ruang tamu. Ia terlihat semringah. Entah apa yang membuatnya seperti itu."Mas, maaf ya kamu jadi nunggu lama!" ucapku."Nggak apa. Aku juga yang salah, nggak bilang-bilang dulu saat akan berkunjung. Jadi gini deh, kamunya nggak ada," katanya."Mbok, tamuku sudah diberi minum?""Udah ... Ini minum!" Ia mengangkat dua cangkir teh yang sudah habis."Pasti itu teh tanpa gula kan?" tanyaku."Iya dong. Makanya aku bisa meminum dua cangkir seperti ini," katanya."Ya sudah pesan lagi saja minumnya! Aku ganti baju dulu, ya!" ucapku."Silahkan, Sarah."Aku buru-buru ganti pakaian. Kasihan jika Mas Ari menunggu terlalu lama. Setelah itu, aku kembali ke ruang tamu
"Maaf Mas, aku butuh penjelasan darimu," kataku."Kalau memang kamu setuju, aku akan melamarmu dan kita segera menikah," katanya.Seketika aku menyemburkan minuman yang baru saja masuk mulutku."Kenapa tiba-tiba, Mas?" "Memangnya tidak boleh?" tanyanya. "Boleh saja. Tapi ... aku tak tau mau jawab apa kalau ada hal seperti ini," kataku."Sekarang aku benar-benar serius, Sarah. Aku benar-benar ingin menikahimu. Kamu benar-benar berarti buatku," katanya."Tapi, Mas. Aku ini janda loh. Kamu tak pantas mendapatkan wanita sepertiku. Masih banyak gadis cantik dan muda yang lebih dariku, Mas," ucapku."Tidak, Sarah. Aku benar-benar sudah memikirkan ini. Mudah-mudahan aku mendapat jawaban yang memuaskan nanti," ucap Mas Ari.Aku bergeming, kemudian meminum lagi cappucino yang ada di hadapanku. Memikirkan jawaban apa yang harus kuberikan padanya saat ini."Baiklah, akan kupertimbangkan ya, Mas!" jawabku pada akhirnya.Karena posisi kami makan dekat dengan rumah Ibu Almarhum Mas Dafa, aku bern
"Bukan, maksud ibu. Di daerah itu, ibu nggak kenal siapapun kecuali teman ibu. Itu pun udah lama nggak ketemu. Lagian, tak mungkin juga teman ibu ketemu dengan Dafa saat itu," kata ibu.Sepertinya ibu benar-benar menutupi sesuatu. Aku sangat penasaran, tapi tak mungkin kudesak terus. Lebih baik aku mundur saja dulu, biar Ayah yang melanjutkan penyelidikan."Ya sudah, Bu. Karena sudah malam, aku permisi dulu kalau gitu," ucapku."Ya sudah. Kamu pulang sama siapa? Udah malam loh ini," katanya."Ada teman di depan, Bu.""Eh, kamu nggak ibu suguhi. Ya sudah, sebentar. Ibu punya asinan di belakang, kamu bawa ya buat oleh-oleh!" "Aku juga baru bawakan oleh-oleh buat Ibu. Tak usah ibu membawakan untukku, buat ibu saja, Bu," ucapku.Tapi ibu memaksa, ia tetap masuk ke dalam. Otomatis aku menunggunya dulu.Lalu, aku fokus pada ponsel ibu yang tergeletak di meja. Aku tergoda untuk membuka ponsel ibu. Lalu, kusiapkan ponselku untuk memotret jika ada bukti yang bisa kuambil.Saat kulihat di pang
"Sarah, kamu sedang di sini?" ternyata suara Ayah yang membuatku tergerak untuk menengok.Ayah turun dari mobilnya bersama Ibu."Kenapa turun? Ayo jalan terus, sebentar lagi kan sampai rumah," kataku."Nggak, Ayah mau ketemu cucu Ayah di sini," katanya.Kulihat Geri sudah menghilang, tadi dia ada di sini. Oh, mungkin dia sungkan dan langsung pulang."Ya sudah, Yah. Biar kita numpang mobil ayah buat pulang."Kami pun naik mobil Ayah bersama menuju rumahku."Sudah sarapankah ayah dan ibu?" tanyaku karena mereka datang terlalu pagi."Sudah," jawabnya."Sarapan lagi. Aku ada roti Unyil dari Bogor. Ada juga asinan, tapi mungkin nanti saja dimakannya, ya! Agak siangan, maknyus kayaknya," ucapku."Wah, kamu dapet dari mana?" tanya Papa."Asinan dari ibu. Kalau roti beli dijalan saat mau pulang," jawabku.Ayah mengerutkan keningnya, ia mengubah posisi duduk, semakin mendekat padaku."Maksudmu kamu mengunjungi ibunya Dafa?" tanya Ayah."Ya. Tau nggak Yah, Bu, apa yang aku temukan?" "Apa? Duh
"Nggak, ah. Aku mau makan aja. Udah laper!" Kupegang perut ini yang sudah keroncongan. Mas Ari memegangi perutku juga."Ini isinya anak kita, Sayang," katanya.Aku tersipu. Anak? Rasanya aku lupa kalau menikah pasti ingin punya anak."Insya Allah, Mas. Nanti ada saatnya kita punya anak lagi," jawabku.Kami mengobrol sembari jalan ke arena bermain anak. Saat Reza melihatku, ia mengeluh laper. Padahal sudah ada bekal yang dibawanya tadi."Ra, bekalnya Reza dimakan kan?" "Iya, Bu. Ini udah habis, Bu," katanya."Alhamdulillah.""Iya, Ma. Udah abis, laper lagi," katanya.Kami mencari restoran yang cocok untuk lidah semuanya. Reza ingin makanan siap saji, kami pun ikuti keinginannya. Tak apalah sesekali.Reza memesan nasi, ayam, cola, kentang goreng dan burger. Kami hanya memesan nasi, ayam dan cola saja."Kamu bener akan menghabiskannya?" tanya Mas Ari ragu."Iya, pasti habis, dong."Lalu kami hanya memperhatikan ia makan setelah kami semua selesai. Tapi ia masih menyisakan burger dan ken
Mas Ari memberikan kejutan berupa reservasi sebuah vila di kawasan puncak. Katanya karena kami belum sempat bulan madu, jadi menginap di tempat dekat saja dulu.Mas Ari masih belum boleh melakukan perjalanan jauh. Kalau Jakarta-Bogor hanya sedikit jaraknya, jadi masih boleh."Terima kasih, Mas. Kejutan yang tak terduga bagiku. Rasanya aku benar-benar bahagia. Kamu sudah kembali seperti dulu. Mas Ari yang selalu berusaha membahagiakanku." Aku bersegera turun dari ranjang karena sudah waktunya pulang, kasihan Reza sudah ditinggal lama."Sama-sama, Dek. Sebagai permohonan maaf dan sejak menikah kita belum bulan madu, kamu pasti menantikan itu. Iya kan?" tanyanya.Aku tersenyum karena memang itu yang kurasakan kemarin. Hatiku benar-benar hancur saat tau Mas Ari kecelakaan, kehilangan ingatannya. Semua kujalankan dengan ikhlas."Iya, Mas. Kita pulang sekarang, yuk! Kasihan Reza pasti nungguin kita.""Siap, Dek. Ayo kamu bersiap saja dulu."Aku mencuci muka dan salat ashar dulu sebelum pula
"Nanti aku jelaskan, sekarang kita masuk saja. Kita ketemu sama adik-adik mahasiswa," katanya."Baiklah, Mas." Aku manut saja. Kami menemui penghuni kost.Mereka terkejut dengan kedatangan kami. Mas Ari mengingat orang-orang di kostan ini. Aku rasa dugaanku benar, Mas Ari sudah mengingat semuanya.Setelah berbincang cukup lama, kami meninggalkan kostan. Mas Ari membawaku ke restoran tempat ia menyatakan akan menikahiku pertama kali.Ketika mengingat peristiwa itu, ada berbagai rasa tercampur. Kami duduk di meja yang dulu kami tempati."Mas, ini kan tempat yang kita duduki saat itu?""Benarkah?" tanya Mas Ari."Mas ajak aku ke sini, pasti Mas sudah ingat semuanya. Makanya Mas Ari membawaku ke kost-kostan dan ke tempat ini.""Silahkan pesan makanannya dulu," katanya."Jawab dulu," jawabku."Nggak mau. Pesan dulu! Apa mau pilih pesanan saat itu?" tanyanya."Apa?""Eh, iya. Kamu mau pesan makanan seperti saat itu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan senyum mengembang di bibir ini."Kena
"Kamu belum tidur?" tanya Mas Ari."Enggak, Mas. Maafkan aku." Segera ku berbalik membelakanginya karena malu kepergok saat memperhatikan wajahnya."Hey! Kamu liat-liat wajah aku kenapa? Ganteng ya?" tanyanya. Aku pura-pura tidur dan tidak menggubrisnya. "Udah tidur?" Mas Ari bertanya lagi, aku tak menjawab. Akhirnya ia menyerah dan tak mau bertanya lagi padaku.***"Mas, mau sarapan apa?" tanyaku pada Mas Ari yang sedang duduk di meja makan."Apa saja, yang penting kamu siapkan," jawabnya."Oke." Alhamdulillah Mas Ari tidak merepotkanku. Dengan seperti itu, ia lebih memudahkanku.Reza datang dan langsung duduk di pangkuan Mas Ari. Aku takut suamiku marah, karena aku tau dia nggak suka menikah dengan orang yang sudah punya anak.Namun, setelah diperhatikan lagi, Mas Ari justru memegangi badan Reza yang sedang duduk di pangkuannya."Papa lama di rumah sakit," ucap Reza."Maafkan Papa, ya! Mungkin Papa harus sembuh dulu seperti ini, biar bisa main sama kamu," jawabnya."Iya, Pa. Papa ud
Aku bingung membawanya ke rumah sakit, itu tidak memungkinkan. Namun, Mas Ari bisa pulang kapan pun, aku tak tau."Nanti ya, tunggu papa pulang saja. Anak-anak nggak bisa jenguk ke rumah sakit," jawabku.Reza cemberut. Ia ingin mengunjungi papanya segera."Jangan cemberut ya, Sayang! Insya Allah nanti kita ketemu Papa." Reza sangat dekat dengan Mas Ari, aku jadi sedih kalau ia kangen sama Papanya seperti ini.Aku menghibur Reza dengan membawanya ke minimarket dekat sekolah. Membelikan makanan kesukaannya agar ia kembali tersenyum.***Sore ini, aku sedang bersenda gurau dengan Reza sembari menemaninya makan di depan rumah. Rere juga ada bersama kami. Tak lama ada mobil Ayah datang. Saat turun, ia membukakan pintu sebelahnya. Ketika turun, aku terkejut ternyata Mas Ari turun dari sana."Papa Ari!" Reza langsung menyambut papanya. Ia berlari untuk memeluk papanya.Mas Ari memandangi Reza dengan heran. Namun ia berusaha tersenyum ramah pada anakku. Mudah-mudahan itu pertanda baik ia aka
"Sarah, yakinlah aku pasti akan sembuh." Sebuah suara mirip suara Mas Ari terdengar di telingaku. Suara itu meyakinkanku kalau suamiku pasti akan sembuh.Dari situ, aku kembali bangkit untuk menghadapi semua kemungkinan yang terjadi. Mas Ari yang masih belum mengingatku, beberapa kali membuatku patah hati. Ia merasa yang paling menderita. Padahal justru ia yang membuatku memikirkannya.Lalu aku menitipkan pesan pada Ayah yang akan menemui Mas Ari. Kuhubungi Ayah melalui sambungan telepon."Yah, titip pesan buat Mas Ari kalau aku mencintainya," sahutku melalui sambungan telepon."Baiklah, nanti Ayah sampaikan."Aku bersiap untuk menemani Reza ke sekolahnya. Anakku masih belum bangun juga pagi ini. Segera aku membangunkannya."Eza, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucapku."Ayo! Mama yan antar ya!""Iya, Mama antar ke sekolah. Kamu seneng?""Seneng, Ma."Reza kumandikan dan kami berangkat pagi-pagi sekali karena aku takut terlambat ke sekolah."Eza, seneng nggak diantar sama Mama?""Senen
"Iya, ayah masih di kantor. Sebentar lagi juga datang."Ayah mengagetkanku dari belakang. Seperti biasa Ayah selalu memelukku dari belakang."Ayaaaah!" Aku berbalik memeluknya dari depan."Ya, Sayang. Ada apa?"Tak bisa dicegah, air mata ini tumpah. Sejak di rumah sakit aku menahan untuk tidak meluber. Baru sekarang aku bisa menumpahkan air mata ini. "Keluarkanlah semua air matamu, Sarah. Tumpahkan semua, Ayah siap menampungnya.""Terima kasih, Yah. Aku sedang sangat sedih."Aku dibawa duduk oleh Ayah. Kami duduk bersebelahan di ruang tengah. Aku bersender di pundak ayahku. Ibu pun duduk di sampingku juga."Coba jelaskan semuanya pada kami. Apa yang terjadi pada Ari?" tanya Ayah.Aku masih terisak, mencoba menenangkan diri terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Ayah."Mas Ari sudah sadar, tapi ia kehilangan ingatannya. Ia malah ingat mantan kekasihnya yang sudah meninggal, Yah. Ia marah ketika tau ada aku, apalagi tadi setelah kutunjukkan surat nikah kami dan tau kalau aku punya s
Mengapa Mas Ari memperlakukan aku seperti ini? Sakit rasanya tak dikenali oleh suami sendiri."Mas, aku tak mau apa-apa. Aku hanya ingin berbakti pada suamiku. Kamu harus mengerti aku, Mas. Aku tak mau menjadi musuh bagimu, karena itu tidak mungkin, Mas."Mas Ari sudah tak membalas kata-kataku. Mungkin saat ini ia kehabisan kata-kata. Aku diam, dia juga diam. Tak ada kata lagi diantara kami."Maafkan aku, Mas. Tapi, aku punya bukti kalau kita memang sudah menikah.""Apa buktinya?"Kukeluarkan bukti surat nikah kami kemarin. "Ini, Mas. Surat nikah. Kota baru dua bulan ini menikah. Tapi pada hari pernikahan kita, anakku hilang. Kamu ikut mencarinya, tapi nyatanya kamu mengalami kecelakaan. Kamu sempat tak sadarkan diri, lalu kamu sadar jadi seperti ini, Mas."Mas Ari memperhatikan surat nikah yang kini berada di tangannya. Ia membuk isinya."Aaarrrggghhh! Semua tidak mungkin! Aku tak percaya, aku bisa menikahi wanita yang memiliki seorang anak," ujarnya.Mas Ari terus saja mengatai aku
"Ya udah, kamu siap-siap berangkat!"Reza segera berganti dengan pakaian seragamnya. Aku pun semangat segera mengantarnya.Di sekolah, Reza nggak mau ditinggalkan. Ia ingin aku menungguinya seperti Mama-mama yang lainnya. Sementara aku inginnya ke rumah sakit kali ini. Aku mau tau keadaan Mas Ari saat ini.Namun Reza selalu mencari Mamanya, walau ia ada di dalam kelas. Aku pun benar-benar tak bisa melarikan diri hingga akhirnya waktunya pulang bagi Reza. Aku harus mengantarkannya pulang."Ma, makasih udah ikut sekolah sama Eza," katanya."Sama-sama, Eza. Tapi Mama nggak bisa anter tiap hari, ya! Kamu hari lainnya sama Mbak Rara," ucapku."Ah, Mama. Sama Mama tiap hari, Ma!""Tapi Mama ada kesibukan juga di luar. Kamu harus nurut, ya! Pergi sama Mbak Rara, ya. Kalau sama Mama sesekali aja, oke!"Akhirnya Reza mengangguk, tapi wajah menahan tangisnya."Nggak usah nangis, Sayang. Kamu laki-laki loh, harus kuat dengan segala sesuatu. Oke!""Iya, Ma."Aku mengantarnya sampai rumah. Setelah