Mas Ari memberikan kejutan berupa reservasi sebuah vila di kawasan puncak. Katanya karena kami belum sempat bulan madu, jadi menginap di tempat dekat saja dulu.Mas Ari masih belum boleh melakukan perjalanan jauh. Kalau Jakarta-Bogor hanya sedikit jaraknya, jadi masih boleh."Terima kasih, Mas. Kejutan yang tak terduga bagiku. Rasanya aku benar-benar bahagia. Kamu sudah kembali seperti dulu. Mas Ari yang selalu berusaha membahagiakanku." Aku bersegera turun dari ranjang karena sudah waktunya pulang, kasihan Reza sudah ditinggal lama."Sama-sama, Dek. Sebagai permohonan maaf dan sejak menikah kita belum bulan madu, kamu pasti menantikan itu. Iya kan?" tanyanya.Aku tersenyum karena memang itu yang kurasakan kemarin. Hatiku benar-benar hancur saat tau Mas Ari kecelakaan, kehilangan ingatannya. Semua kujalankan dengan ikhlas."Iya, Mas. Kita pulang sekarang, yuk! Kasihan Reza pasti nungguin kita.""Siap, Dek. Ayo kamu bersiap saja dulu."Aku mencuci muka dan salat ashar dulu sebelum pula
"Nggak, ah. Aku mau makan aja. Udah laper!" Kupegang perut ini yang sudah keroncongan. Mas Ari memegangi perutku juga."Ini isinya anak kita, Sayang," katanya.Aku tersipu. Anak? Rasanya aku lupa kalau menikah pasti ingin punya anak."Insya Allah, Mas. Nanti ada saatnya kita punya anak lagi," jawabku.Kami mengobrol sembari jalan ke arena bermain anak. Saat Reza melihatku, ia mengeluh laper. Padahal sudah ada bekal yang dibawanya tadi."Ra, bekalnya Reza dimakan kan?" "Iya, Bu. Ini udah habis, Bu," katanya."Alhamdulillah.""Iya, Ma. Udah abis, laper lagi," katanya.Kami mencari restoran yang cocok untuk lidah semuanya. Reza ingin makanan siap saji, kami pun ikuti keinginannya. Tak apalah sesekali.Reza memesan nasi, ayam, cola, kentang goreng dan burger. Kami hanya memesan nasi, ayam dan cola saja."Kamu bener akan menghabiskannya?" tanya Mas Ari ragu."Iya, pasti habis, dong."Lalu kami hanya memperhatikan ia makan setelah kami semua selesai. Tapi ia masih menyisakan burger dan ken
"Apa? Jadi di rumahku di Bogor ada yang menempati?" tanyaku pada Agung--penjaga rumah kami di Bogor.Aku terperanjat mendengar kabar yang mengejutkan."Iya, Bu. Sudah sebulan. Wanita itu ... Istri kedua Bapak. Ia tinggal dengan adik dan ibunya. Sebenarnya, saya tak boleh bilang ini sama ibu. Saya diancam oleh Pak Dafa jika membocorkan semuanya sama ibu."Ini yang lebih membuatku syok. Istri kedua? Sejak kapan Mas Dafa menikah lagi?"Baiklah, terima kasih atas semua keteranganmu. Saya jamin, kamu tetap bekerja di sana nanti," ucapku."Baiklah, Bu. Terima kasih. Saat ini, Bu Ranti sedang hamil, Bu," katanya.Hamil? Mengapa aku sama sekali dan tak mencium perselingkuhan suamiku. Sampai ia menikah dengan Ranti aku tak tau.Tapi memang, Mas Dafa izin padaku untuk pulang ke rumah orang tuanya di Bogor. Mertua katanya sedang sakit, aku tak bisa ikut karena anak semata wayang kami juga sedang sakit.Mungkin saat itu ia menikahi Ranti. Aku tau Ranti, ia adalah salah satu karyawan di percetakan
Bab 2"Apa? Mengapa kamu menjualnya?" Mas Dafa membulatkan matanya padaku.Aku hanya tertawa dalam hati. Dengan begini saja kamu begitu kaget, Mas?"Ya ... karena aku telah tertarik bisnis kos-kosan di dekat kampus di Bogor. Nanti uangnya aku belikan kost-kostan ya ng lebih menguntungkan, pastinya," jawabku."Harga kost-kostan justru pasti lebih mahal, Dek! Lagipula yang mengontrak bagaimana?" kata Mas Dafa."Betul, Mas. Ayahku bersedia meminjamkan dana segar untuk ini, nanti kubayar dari pembayaran kost para mahasiswa. Buat yang mengontrak, besok akan kuberi pengertian baik-baik, biar mereka pergi baik-baik juga. Kamu kembalikan nanti kerugian mereka," jawabku."Ah ... kamu ini sok tau. Nanti kalau kostnya nggak laku gimana? Kita harus benar-benar punya pertimbangan matang untuk buka sebuah kost-kostan. Trus kamu tega sekali mengusir yang ngontrak," kata Mas Dafa.Pinter sekali dia ngeles. Padahal ia takut istri keduanya jadi gembel kalau nggak tinggal di rumah kami. Pokoknya aku har
Bab 3Kemana Agung? Harusnya ia mengangkat teleponku dan tidak seperti ini.Lalu aku janjian dengan temannya Ayah yang akan menempati rumah Bogor. Kata Ayah, Ia adalah teman lamanya, yang ingin tinggal sementara di Bogor. Namanya Om Agus dan Tante Tari. Kami janjian di lokasi.***Aku tiba di rumah Bogor. Rumahnya nampak sepi. Tapi kulihat rumah ini seperti baru ditinggal pengisinya. Agung pun tak ada di sini, rumahnya dekat sini padahal.Aku coba mencari Agung di rumahnya. Ternyata ia luka-luka. Ketika kubertanya mengapa? Ia bilang dipukuli oleh orang-orang yang tak dikenal."Apa mungkin Mas Dafa curiga kamu membocorkan keberadaan mereka?" tanyaku."Bisa jadi, Bu. Tapi Pak Dafa tak punya bukti. Ponsel saya sampai rusak memang, mereka mencari sesuatu di ponsel ini. Untungnya semua riwayat sudah dihapus, Bu," jawabnya."Ya Allah, maafkan saya ya, Gung. Semoga kamu cepet sembuh, ini uang buat berobat kamu, ya!" Aku pamit dari rumah Agung. Ia sudah memiliki istri dan seorang anak."Terim
Bab 4"Maaf, itu suara istri kakakku. Mereka baru saja tiba," katanya.Aku tau kamu berbohong, Mas! Kucoba menenangkan diri, lalu aku berkata lagi dengan tenang."Oh iya, Mas. Maaf ya, aku belum bisa jenguk Ibu mertua. Padahal kamu tadi hubungi aku. Kan aku sedang ke Bogor juga," kataku."Harusnya kamu tau diri, sebagai menantu rajin-rajinlah menengok Mertua. Tapi kamunya lupa, ya sudah lah!" katanya."Mas Dafa!" Ada suara yang memanggil suamiku.Mungkin itu si Ranti, karyawan tak tau diri! Besok aku akan mulai ngantor di percetakan. Biar kutau kemana Ranti berada. Apa yang akan dikatakan karyawan yang lai tentang wanita itu?"Maaf, Sayang. Aku dipanggil Kakak Ipar. Ibu katanya memanggilku," katanya."Baiklah, Mas. Kamu datangi saja ibumu. Kasihan dia," jawabku.Dasar laki-laki tak tau diri. Sudah diberi hati, minta jantung. Semoga aku masih bisa bertahan. Kamu tega khianati aku dan Reza, Mas!***Pagi-pagi sekali aku berangkat ke kantor. Reza aku titip lagi di rumah Ibu. Aku tak perc
Bab 5Kami mengakhiri rapat. Para karyawan kembali ke tempat masing-masing. Aku, Mas Dafa dan Ayah masih di ruangan rapat."Dafa, saya rasa saat ini kembali ke jabatan awal bisa membuatmu semakin berkembang nanti. Semoga omset usaha percetakan kita naik karena orang-orang di bagian produksi yang memiliki keterampilan dan kecekatan dalam bekerja," ucap Ayah tanpa menghakimi.Ayah memposisikan dirinya netral. Ia menurunkan jabatan Mas Dafa tanpa mengumbar aib laki-laki itu. Walau menurutku ini sudah membuat mental Mas Dafa down. Aku tau bagaimana karakter Ayah, ia bisa melawan lawan tanpa harus membuatnya jelek di depan banyak orang. Saat ini pun, ia tak berusaha memojokkan Mas Dafa. "Terima kasih, Yah. Aku akan berusaha menjalankan amanah pekerjaan baruku dengan baik. Mohon bimbingan dari Bu Sarah," katanya. Ia berkata sembari membulatkan matanya."Okey. Akupun jika butuh masukan darimu, mohon untuk dibantu ya, Pak Dafa!" jawabku dengan serius."Okey, silahkan kalian berperan dalam p
Bab 6DafaPernikahanku dengan Sarah cukup bahagia. Ia merupakan wanita yang cantik dan baik, anak kami baru satu berumur empat tahun. Pernikahan kami nyaris sempurna.Namun, aku tak suka dengan dirinya yang semakin kurus saat ini. Entah mengapa sejak melahirkan Reza, ia malah semakin kurus. Padahal aku suka wanita berisi.Aku selalu memintanya untuk banyak makan, tapi ia bilang sudah kenyang. Padahal anak kami cukup berisi, ia sangat telaten mengurusnya. Tapi, mengurus dirinya ia tak becus. Ia tak pernah mau berdandan untukku.Saat aku pulang, ia sangat hobi pakai daster. Padahal aku tak menyukainya. Di rumah pun sudah ada asisten rumah tangga untuk mengerjakan kerjaan rumah, tapi ia tak ada keinginan untuk memperbaiki dandanan saat dirumah. Ia akan berdandan, jika akan pergi saja. Itu sama saja bohong, karena jika diluar rumah, dandanannya dinikmati banyak orang, bukan hanya untukku.Sementara di kantor, para karyawan wanita itu terlihat bening dan berkilau. Apalagi ada satu orang
"Nggak, ah. Aku mau makan aja. Udah laper!" Kupegang perut ini yang sudah keroncongan. Mas Ari memegangi perutku juga."Ini isinya anak kita, Sayang," katanya.Aku tersipu. Anak? Rasanya aku lupa kalau menikah pasti ingin punya anak."Insya Allah, Mas. Nanti ada saatnya kita punya anak lagi," jawabku.Kami mengobrol sembari jalan ke arena bermain anak. Saat Reza melihatku, ia mengeluh laper. Padahal sudah ada bekal yang dibawanya tadi."Ra, bekalnya Reza dimakan kan?" "Iya, Bu. Ini udah habis, Bu," katanya."Alhamdulillah.""Iya, Ma. Udah abis, laper lagi," katanya.Kami mencari restoran yang cocok untuk lidah semuanya. Reza ingin makanan siap saji, kami pun ikuti keinginannya. Tak apalah sesekali.Reza memesan nasi, ayam, cola, kentang goreng dan burger. Kami hanya memesan nasi, ayam dan cola saja."Kamu bener akan menghabiskannya?" tanya Mas Ari ragu."Iya, pasti habis, dong."Lalu kami hanya memperhatikan ia makan setelah kami semua selesai. Tapi ia masih menyisakan burger dan ken
Mas Ari memberikan kejutan berupa reservasi sebuah vila di kawasan puncak. Katanya karena kami belum sempat bulan madu, jadi menginap di tempat dekat saja dulu.Mas Ari masih belum boleh melakukan perjalanan jauh. Kalau Jakarta-Bogor hanya sedikit jaraknya, jadi masih boleh."Terima kasih, Mas. Kejutan yang tak terduga bagiku. Rasanya aku benar-benar bahagia. Kamu sudah kembali seperti dulu. Mas Ari yang selalu berusaha membahagiakanku." Aku bersegera turun dari ranjang karena sudah waktunya pulang, kasihan Reza sudah ditinggal lama."Sama-sama, Dek. Sebagai permohonan maaf dan sejak menikah kita belum bulan madu, kamu pasti menantikan itu. Iya kan?" tanyanya.Aku tersenyum karena memang itu yang kurasakan kemarin. Hatiku benar-benar hancur saat tau Mas Ari kecelakaan, kehilangan ingatannya. Semua kujalankan dengan ikhlas."Iya, Mas. Kita pulang sekarang, yuk! Kasihan Reza pasti nungguin kita.""Siap, Dek. Ayo kamu bersiap saja dulu."Aku mencuci muka dan salat ashar dulu sebelum pula
"Nanti aku jelaskan, sekarang kita masuk saja. Kita ketemu sama adik-adik mahasiswa," katanya."Baiklah, Mas." Aku manut saja. Kami menemui penghuni kost.Mereka terkejut dengan kedatangan kami. Mas Ari mengingat orang-orang di kostan ini. Aku rasa dugaanku benar, Mas Ari sudah mengingat semuanya.Setelah berbincang cukup lama, kami meninggalkan kostan. Mas Ari membawaku ke restoran tempat ia menyatakan akan menikahiku pertama kali.Ketika mengingat peristiwa itu, ada berbagai rasa tercampur. Kami duduk di meja yang dulu kami tempati."Mas, ini kan tempat yang kita duduki saat itu?""Benarkah?" tanya Mas Ari."Mas ajak aku ke sini, pasti Mas sudah ingat semuanya. Makanya Mas Ari membawaku ke kost-kostan dan ke tempat ini.""Silahkan pesan makanannya dulu," katanya."Jawab dulu," jawabku."Nggak mau. Pesan dulu! Apa mau pilih pesanan saat itu?" tanyanya."Apa?""Eh, iya. Kamu mau pesan makanan seperti saat itu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan senyum mengembang di bibir ini."Kena
"Kamu belum tidur?" tanya Mas Ari."Enggak, Mas. Maafkan aku." Segera ku berbalik membelakanginya karena malu kepergok saat memperhatikan wajahnya."Hey! Kamu liat-liat wajah aku kenapa? Ganteng ya?" tanyanya. Aku pura-pura tidur dan tidak menggubrisnya. "Udah tidur?" Mas Ari bertanya lagi, aku tak menjawab. Akhirnya ia menyerah dan tak mau bertanya lagi padaku.***"Mas, mau sarapan apa?" tanyaku pada Mas Ari yang sedang duduk di meja makan."Apa saja, yang penting kamu siapkan," jawabnya."Oke." Alhamdulillah Mas Ari tidak merepotkanku. Dengan seperti itu, ia lebih memudahkanku.Reza datang dan langsung duduk di pangkuan Mas Ari. Aku takut suamiku marah, karena aku tau dia nggak suka menikah dengan orang yang sudah punya anak.Namun, setelah diperhatikan lagi, Mas Ari justru memegangi badan Reza yang sedang duduk di pangkuannya."Papa lama di rumah sakit," ucap Reza."Maafkan Papa, ya! Mungkin Papa harus sembuh dulu seperti ini, biar bisa main sama kamu," jawabnya."Iya, Pa. Papa ud
Aku bingung membawanya ke rumah sakit, itu tidak memungkinkan. Namun, Mas Ari bisa pulang kapan pun, aku tak tau."Nanti ya, tunggu papa pulang saja. Anak-anak nggak bisa jenguk ke rumah sakit," jawabku.Reza cemberut. Ia ingin mengunjungi papanya segera."Jangan cemberut ya, Sayang! Insya Allah nanti kita ketemu Papa." Reza sangat dekat dengan Mas Ari, aku jadi sedih kalau ia kangen sama Papanya seperti ini.Aku menghibur Reza dengan membawanya ke minimarket dekat sekolah. Membelikan makanan kesukaannya agar ia kembali tersenyum.***Sore ini, aku sedang bersenda gurau dengan Reza sembari menemaninya makan di depan rumah. Rere juga ada bersama kami. Tak lama ada mobil Ayah datang. Saat turun, ia membukakan pintu sebelahnya. Ketika turun, aku terkejut ternyata Mas Ari turun dari sana."Papa Ari!" Reza langsung menyambut papanya. Ia berlari untuk memeluk papanya.Mas Ari memandangi Reza dengan heran. Namun ia berusaha tersenyum ramah pada anakku. Mudah-mudahan itu pertanda baik ia aka
"Sarah, yakinlah aku pasti akan sembuh." Sebuah suara mirip suara Mas Ari terdengar di telingaku. Suara itu meyakinkanku kalau suamiku pasti akan sembuh.Dari situ, aku kembali bangkit untuk menghadapi semua kemungkinan yang terjadi. Mas Ari yang masih belum mengingatku, beberapa kali membuatku patah hati. Ia merasa yang paling menderita. Padahal justru ia yang membuatku memikirkannya.Lalu aku menitipkan pesan pada Ayah yang akan menemui Mas Ari. Kuhubungi Ayah melalui sambungan telepon."Yah, titip pesan buat Mas Ari kalau aku mencintainya," sahutku melalui sambungan telepon."Baiklah, nanti Ayah sampaikan."Aku bersiap untuk menemani Reza ke sekolahnya. Anakku masih belum bangun juga pagi ini. Segera aku membangunkannya."Eza, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucapku."Ayo! Mama yan antar ya!""Iya, Mama antar ke sekolah. Kamu seneng?""Seneng, Ma."Reza kumandikan dan kami berangkat pagi-pagi sekali karena aku takut terlambat ke sekolah."Eza, seneng nggak diantar sama Mama?""Senen
"Iya, ayah masih di kantor. Sebentar lagi juga datang."Ayah mengagetkanku dari belakang. Seperti biasa Ayah selalu memelukku dari belakang."Ayaaaah!" Aku berbalik memeluknya dari depan."Ya, Sayang. Ada apa?"Tak bisa dicegah, air mata ini tumpah. Sejak di rumah sakit aku menahan untuk tidak meluber. Baru sekarang aku bisa menumpahkan air mata ini. "Keluarkanlah semua air matamu, Sarah. Tumpahkan semua, Ayah siap menampungnya.""Terima kasih, Yah. Aku sedang sangat sedih."Aku dibawa duduk oleh Ayah. Kami duduk bersebelahan di ruang tengah. Aku bersender di pundak ayahku. Ibu pun duduk di sampingku juga."Coba jelaskan semuanya pada kami. Apa yang terjadi pada Ari?" tanya Ayah.Aku masih terisak, mencoba menenangkan diri terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Ayah."Mas Ari sudah sadar, tapi ia kehilangan ingatannya. Ia malah ingat mantan kekasihnya yang sudah meninggal, Yah. Ia marah ketika tau ada aku, apalagi tadi setelah kutunjukkan surat nikah kami dan tau kalau aku punya s
Mengapa Mas Ari memperlakukan aku seperti ini? Sakit rasanya tak dikenali oleh suami sendiri."Mas, aku tak mau apa-apa. Aku hanya ingin berbakti pada suamiku. Kamu harus mengerti aku, Mas. Aku tak mau menjadi musuh bagimu, karena itu tidak mungkin, Mas."Mas Ari sudah tak membalas kata-kataku. Mungkin saat ini ia kehabisan kata-kata. Aku diam, dia juga diam. Tak ada kata lagi diantara kami."Maafkan aku, Mas. Tapi, aku punya bukti kalau kita memang sudah menikah.""Apa buktinya?"Kukeluarkan bukti surat nikah kami kemarin. "Ini, Mas. Surat nikah. Kota baru dua bulan ini menikah. Tapi pada hari pernikahan kita, anakku hilang. Kamu ikut mencarinya, tapi nyatanya kamu mengalami kecelakaan. Kamu sempat tak sadarkan diri, lalu kamu sadar jadi seperti ini, Mas."Mas Ari memperhatikan surat nikah yang kini berada di tangannya. Ia membuk isinya."Aaarrrggghhh! Semua tidak mungkin! Aku tak percaya, aku bisa menikahi wanita yang memiliki seorang anak," ujarnya.Mas Ari terus saja mengatai aku
"Ya udah, kamu siap-siap berangkat!"Reza segera berganti dengan pakaian seragamnya. Aku pun semangat segera mengantarnya.Di sekolah, Reza nggak mau ditinggalkan. Ia ingin aku menungguinya seperti Mama-mama yang lainnya. Sementara aku inginnya ke rumah sakit kali ini. Aku mau tau keadaan Mas Ari saat ini.Namun Reza selalu mencari Mamanya, walau ia ada di dalam kelas. Aku pun benar-benar tak bisa melarikan diri hingga akhirnya waktunya pulang bagi Reza. Aku harus mengantarkannya pulang."Ma, makasih udah ikut sekolah sama Eza," katanya."Sama-sama, Eza. Tapi Mama nggak bisa anter tiap hari, ya! Kamu hari lainnya sama Mbak Rara," ucapku."Ah, Mama. Sama Mama tiap hari, Ma!""Tapi Mama ada kesibukan juga di luar. Kamu harus nurut, ya! Pergi sama Mbak Rara, ya. Kalau sama Mama sesekali aja, oke!"Akhirnya Reza mengangguk, tapi wajah menahan tangisnya."Nggak usah nangis, Sayang. Kamu laki-laki loh, harus kuat dengan segala sesuatu. Oke!""Iya, Ma."Aku mengantarnya sampai rumah. Setelah