Bab 3
Kemana Agung? Harusnya ia mengangkat teleponku dan tidak seperti ini.
Lalu aku janjian dengan temannya Ayah yang akan menempati rumah Bogor. Kata Ayah, Ia adalah teman lamanya, yang ingin tinggal sementara di Bogor. Namanya Om Agus dan Tante Tari. Kami janjian di lokasi.
***
Aku tiba di rumah Bogor. Rumahnya nampak sepi. Tapi kulihat rumah ini seperti baru ditinggal pengisinya. Agung pun tak ada di sini, rumahnya dekat sini padahal.
Aku coba mencari Agung di rumahnya. Ternyata ia luka-luka. Ketika kubertanya mengapa? Ia bilang dipukuli oleh orang-orang yang tak dikenal.
"Apa mungkin Mas Dafa curiga kamu membocorkan keberadaan mereka?" tanyaku.
"Bisa jadi, Bu. Tapi Pak Dafa tak punya bukti. Ponsel saya sampai rusak memang, mereka mencari sesuatu di ponsel ini. Untungnya semua riwayat sudah dihapus, Bu," jawabnya.
"Ya Allah, maafkan saya ya, Gung. Semoga kamu cepet sembuh, ini uang buat berobat kamu, ya!" Aku pamit dari rumah Agung. Ia sudah memiliki istri dan seorang anak.
"Terima kasih, ya, Bu. Doakan semoga suami saya cepat pulih."
"Iya, pasti. Oya, nanti pekan depan orang yang menempati rumah akan datang. Oya, kamu nggak lihat mereka pindah ya? Kapan ya pindahnya? Semalam atau tadi pagi?" tanyaku.
"Saya nggak lihat, Bu. Kan saya dipukuli kemarin sore. Jadi, saya nggak ke rumah ibu sejak kemarin sore. Istri saya pun tak ke sana, karena harus menjaga saya dan anak kami. Maaf ya, Bu!" katanya.
"Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu!"
Mas Dafa sungguh cerdik, ia sudah memindahkan Ranti dan keluarganya. Aku harus mencari tau kemana mereka pindah?
Aku kembali ke rumah, lalu Om Agus dan Tante Tari sudah di lokasi.
"Eh, Om sudah di sini?" tanyaku.
"Iya sudah. Salam kenal, Om, Tante. Saya Sarah anaknya Pak Satrio," ucapku sembari memberikan tangan pada mereka.
"Iya tau, karena kamu mirip Ayahmu," jawab Om Agus.
Lalu kami ke dalam bersama.
"Om, Tante. Kalian yang nyaman ya tinggal di sini! Semoga rumah ini bermanfaat buat kalian tinggal saat ini," ucapku.
"Terima kasih, ya, Sarah!"
"Aku harus permisi dulu, karena harus mencari tau kemana perginya pengisi rumah ini sebelumnya," kataku.
"Oh, tadi ada orang yang sudah mengantar pindah pengisi rumah ini. Tadi katanya pindah ke daerah Ciluar, kalau nggak salah. Coba tanya saja, rumah orangnya di sebrang!"
"Baiklah, Tante."
Aku bertanya pada orang yang disebutkan tadi. Aku pun mendapatkan alamat pastinya.
Dari situ aku menuju alamat yang diberikan tadi. Cukup sulit mendapatkan rumah kontrakan mereka yang ternyata di sebuah perumahan yang tak jauh dari tipe rumah kami sebelumnya.
'Enak saja mereka diberi fasilitas dari uangku!'
Lalu aku melihat ada mobil Mas Dafa di sana. Kuselidiki lebih lanjut, Mas Dafa dan Ranti sedang saling berpegangan tangan. Mereka duduk berdampingan di kursi luar rumah. Kepala Ranti menyender di bahu Mas Dafa.
Ingin sekali aku langsung menyergap mereka. Tapi ini belum waktunya. Lebih baik kufoto dulu sebagai bukti menguatkan semua perselingkuhannya.
Setelah itu aku menuju kost-kostan yang akan kubeli. Sepanjang jalan aku harus menahan tangis ini. Berkali-kali air mataku keluar. Aku tak bisa mencegahnya, sehingga kubiarkan saja mata ini basah.
***
"Anda Bu Sarah?" tanya seseorang di sebuah kost-kostan tujuanku.
"Ya, betul."
"Saya Ari--pemilik kost-kostan ini."
"Oh, ya? Boleh saya lihat ke dalam?" tanyaku.
"Boleh. Anda sendiri saja ya, karena ini kost perempuan. Ada beberapa mahasiswa juga yang sedang di kamarnya. Saya menjaga privasi mereka," katanya.
"Baiklah, Pak Ari."
Setelah kulihat-lihat ke dalam, ternyata kost-kostan ini sangat menjanjikan. Banyak kamarnya, penghuninya juga ramai. Letaknya tak jauh dari kampus. Selain itu bangunannya juga baru.
"Bagaimana, Bu?"
"Saya setuju. Untuk harga bagaimana?"
"Sudah saya sepakati dengan Pak Satrio," katanya.
"Apa? Anda bisa dipercaya memberi harga yang pas pada Ayah saya?" tanyaku.
"Iya, saya tak mau membohongi orang tua," katanya.
"Baiklah kalau begitu. Nanti anda hubungi saya berapa yang harus saya transfer dan nomor rekeningnya juga," jawabku tanpa basa-basi.
"Okey, saya belum tau nomor Bu Sarah," katanya.
"Jika anda berhubungan dengan Ayah saya, kenapa tak tanya langsung padanya?"
"Tak usah, karena orangnya sudah ada di depan saya sekarang. Baik, berapa nomor anda Bu Sarah?" tanyanya.
Akhirnya aku memberikan nomor ponselku. Kami segera berpisah karena aku harus segera sampai rumah.
***
Ketika sampai rumah, Mas Dafa masih belum kembali. Apa ia masih di Bogor? Ah sangat menyebalkan sekali orang itu.
Aku menunggunya hingga pukul sepuluh malam, ia masih belum kembali. Sehingga aku memutuskan untuk menghubunginya di telepon.
Saat nada panggilan berbunyi, aku gemetar. Kuhela napas dalam-dalam, agar perasaan ini kembali tenang.
Lalu terdengar suara Mas Dafa menyapa di telepon.
"Halo, Sayang. Maaf aku tak bisa pulang malam ini. Aku pulang ke rumah ibu di Bogor. Ibu sakit lagi, Dek!" katanya.
Lalu terdengar suara perempuan yang berkata 'Sayang, cepat!' pada Mas Dafa.
Ia langsung mengoreksinya.
"Maaf, itu suara istri kakakku. Mereka baru saja tiba," katanya.
Aku tau kamu berbohong, Mas!
Bersambung
Bab 4"Maaf, itu suara istri kakakku. Mereka baru saja tiba," katanya.Aku tau kamu berbohong, Mas! Kucoba menenangkan diri, lalu aku berkata lagi dengan tenang."Oh iya, Mas. Maaf ya, aku belum bisa jenguk Ibu mertua. Padahal kamu tadi hubungi aku. Kan aku sedang ke Bogor juga," kataku."Harusnya kamu tau diri, sebagai menantu rajin-rajinlah menengok Mertua. Tapi kamunya lupa, ya sudah lah!" katanya."Mas Dafa!" Ada suara yang memanggil suamiku.Mungkin itu si Ranti, karyawan tak tau diri! Besok aku akan mulai ngantor di percetakan. Biar kutau kemana Ranti berada. Apa yang akan dikatakan karyawan yang lai tentang wanita itu?"Maaf, Sayang. Aku dipanggil Kakak Ipar. Ibu katanya memanggilku," katanya."Baiklah, Mas. Kamu datangi saja ibumu. Kasihan dia," jawabku.Dasar laki-laki tak tau diri. Sudah diberi hati, minta jantung. Semoga aku masih bisa bertahan. Kamu tega khianati aku dan Reza, Mas!***Pagi-pagi sekali aku berangkat ke kantor. Reza aku titip lagi di rumah Ibu. Aku tak perc
Bab 5Kami mengakhiri rapat. Para karyawan kembali ke tempat masing-masing. Aku, Mas Dafa dan Ayah masih di ruangan rapat."Dafa, saya rasa saat ini kembali ke jabatan awal bisa membuatmu semakin berkembang nanti. Semoga omset usaha percetakan kita naik karena orang-orang di bagian produksi yang memiliki keterampilan dan kecekatan dalam bekerja," ucap Ayah tanpa menghakimi.Ayah memposisikan dirinya netral. Ia menurunkan jabatan Mas Dafa tanpa mengumbar aib laki-laki itu. Walau menurutku ini sudah membuat mental Mas Dafa down. Aku tau bagaimana karakter Ayah, ia bisa melawan lawan tanpa harus membuatnya jelek di depan banyak orang. Saat ini pun, ia tak berusaha memojokkan Mas Dafa. "Terima kasih, Yah. Aku akan berusaha menjalankan amanah pekerjaan baruku dengan baik. Mohon bimbingan dari Bu Sarah," katanya. Ia berkata sembari membulatkan matanya."Okey. Akupun jika butuh masukan darimu, mohon untuk dibantu ya, Pak Dafa!" jawabku dengan serius."Okey, silahkan kalian berperan dalam p
Bab 6DafaPernikahanku dengan Sarah cukup bahagia. Ia merupakan wanita yang cantik dan baik, anak kami baru satu berumur empat tahun. Pernikahan kami nyaris sempurna.Namun, aku tak suka dengan dirinya yang semakin kurus saat ini. Entah mengapa sejak melahirkan Reza, ia malah semakin kurus. Padahal aku suka wanita berisi.Aku selalu memintanya untuk banyak makan, tapi ia bilang sudah kenyang. Padahal anak kami cukup berisi, ia sangat telaten mengurusnya. Tapi, mengurus dirinya ia tak becus. Ia tak pernah mau berdandan untukku.Saat aku pulang, ia sangat hobi pakai daster. Padahal aku tak menyukainya. Di rumah pun sudah ada asisten rumah tangga untuk mengerjakan kerjaan rumah, tapi ia tak ada keinginan untuk memperbaiki dandanan saat dirumah. Ia akan berdandan, jika akan pergi saja. Itu sama saja bohong, karena jika diluar rumah, dandanannya dinikmati banyak orang, bukan hanya untukku.Sementara di kantor, para karyawan wanita itu terlihat bening dan berkilau. Apalagi ada satu orang
Bab 7DafaAku memutuskan untuk menyewa seorang perempuan berpura-pura menjadi istriku. Saat aku ke rumah Ranti membawa perempuan sewaanku, ibunya percaya. Ia sangat senang karena aku diizinkan menikah lagi oleh istriku.Sementara Ranti yang tau siapa istriku tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya diam dan sesekali berbicara. Mungkin karena rasa cintanya yang besar terhadapku, akhirnya ia menyetujui caraku ini.Dalam pertemuan itu, direncanakan tanggal pernikahan aku dan Ranti. Pernikahan akan diadakan pekan depan dengan mengundang warga sekitar saja. Aku rasa semua aman, karena di daerah Ranti tak ada yang mengenalku.Saat akan pulang, Ranti merasa khawatir mengenai ide gil*ku saat ini."Mas, hati-hati di jalan ya! Semoga caramu ini tidak menimbulkan masalah di kemudian hari," katanya.Aku hanya tersenyum dan pulang bersama wanita sewaanku malam itu.***Sebelum pernikahan, aku mengganti semua furniture di rumah Ranti. Akupun membeli ranjang baru untuknya karena itu pun untuk kenyamanank
Bab 8Seperti biasa, aku harus ke kantor hari ini juga. Kami akan mengadakan rapat dalam proyek percetakan cabang Bogor. Pagi ini, saat Mas Dafa mandi, kulihat ponselnya tergeletak di ranjang.Aku tertarik untuk membuka ponsel Mas Dafa, karena selama ini aku tak pernah sekalipun membukanya. Jadi, aku tak tau apa yang ia sembunyikan.Kucoba buka aplikasi hijaunya karena banyak pesan di layar.Ada pesan dari Agung.[Pak Dafa, anda salah tak memberikan uang lagi padaku. Sudah kulaporkan perbuatanmu pada Bu Sarah. Drama dipukuli sudah berhasil, bapak lihat saja nanti Bu Sarah pasti akan menindak Bapak.]Aku terkejut dengan Agung yang ternyata malah minta uang dan bilang kalau aku sudah tau. Segera kuhapus dan kublokir saja sekalian nomor Agung dari sini.Ternyata ia bermuka dua, bilang padaku kalau ia dipukuli Mas Dafa. Tapi ada benarnya juga ia memberitahuku karena kalau tak ada info darinya, aku tak tau apapun yang dilakukan Mas Dafa di luar.Lalu aku beranjak ke pesan berikutnya, di si
Dafa"Gimana, Sar? Kamu mau bantu kan?" tanyaku.Sarah tak mau menjawabku, ia sibuk dengan dirinya sendiri."Gimana mau bantu, buat kost-kostan aja aku masih kurang. Apalagi cuma sekedar buat tas yang nggak penting gitu. Kakakmu aneh, masa permintaan aneh gitu mau diturutin? Bilang sama kakakmu, Mas. Kalau beli apa-apa sesuai kemampuan. Kalau kita nggak mampu, ya jangan usaha buat beli, sampe mau pinjem segala." Ia tertawa puas.Seenaknya saja ia bicara seperti itu. Salahku juga sih pake bawa-bawa kakakku. Padahal kakakku tak mungkin istrinya ngidam begituan. Ia hanya seorang guru honorer, tak mungkin istrinya minta tas mahal.Ini permintaan istriku tercinta--Ranti. Aku ingin memanjakannya. Namun apadaya, uang yang kupunya ternyata cuma sejuta lagi. Gara-gara Sarah juga pake minta tambahin segala. Tanpa pikir panjang, akupun memberikan uangku tadi pagi.Sekarang aku kelimpungan saat Ranti minta tas branded KW. Walaupun KW, pasti harganya sekitar lima juta. Aku harus cari uang dimana l
"Kenapa harus dengan Sarah, Yah?" tanyaku heran."Karena Sarah juga sedang butuh uang."Tanpa pikir panjang, aku keluar dan mendatangi ruangan Sarah."Sar, dipanggil sama Ayah. Beliau ada di ruanganku."Sarah sedang fokus di laptopnya, ia menoleh sebentar, lalu fokus lagi ke laptopnya."Sar, ayo. Temui Ayahmu dulu!" kataku."Oke, sebentar," katanya.Lalu ia dan aku menuju ruanganku yang sempit dan hanya difasilitasi kipas angin saja. Berbeda dengan ruangan yang dipakai Sarah sekarang. Setibanya di ruanganku, kami duduk berdampingan. Ayah mulai berbicara."Begini, saat ini Ayah tau kamu masih butuh uang untuk menutupi harga kost-kostan yang akan kau beli. Ayah sebenarnya ingin menambahkan, tapi ini kan bisnis. Bagaimana jika semua tambahan biaya akan ayah tanggung, tapi ditukar dengan rumah dan salah satu mobil kalian pada Ayah!" Aku melongo dengan pernyataan Ayah mertuaku. Sarah bilang, Ayahnya yang akan menanggung kekurangannya. Ternyata ia tak mau rugi juga, minta rumah yang kami
"Dek, ayolah aku mau ikut numpang pake mobilmu. Lagipula kenapa mobilku yang dijual?""Nggak bisa, Mas. Aku harus nganterin Reza ke rumah Ibu. Lagipula aku ada urusan sebentar dengan beberapa orang. Kalau kamu ikut aku, bisa terlambat. Malu dong sama karyawan lain! Trus kenapa mobil yang Mas pake karena mobil yang kupakai memang sudah kupunya sejak gadis. Aku pantang untuk menjualnya. Lagipula sekarang aku pimpinan, masa aku naik angkutan umum. Ya nggak lah, kamu aja Mas, lebih cocok!" jelasku panjang lebar, mudah-mudahan bisa ditelannya matang-matang.Namun Mas Dafa malah balas membulatkan matanya."Kenapa lagi sih, Mas?" tanyaku karena tak terima dipelototi olehnya."Kenapa tiba-tiba aku jadi bawahanmu, Sarah? Apa salahku pada Ayah? Kurasa selama ini pekerjaanku baik-baik saja. Malah aku sangat berprestasi, kalian akan memiliki percetakan cabang Bogor. Setelah sukses, aku yang didepak. Aku jadi tau karakter Ayahmu sekarang," katanya.Aku menahan emosiku agar tidak meledak dihadapann
"Nggak, ah. Aku mau makan aja. Udah laper!" Kupegang perut ini yang sudah keroncongan. Mas Ari memegangi perutku juga."Ini isinya anak kita, Sayang," katanya.Aku tersipu. Anak? Rasanya aku lupa kalau menikah pasti ingin punya anak."Insya Allah, Mas. Nanti ada saatnya kita punya anak lagi," jawabku.Kami mengobrol sembari jalan ke arena bermain anak. Saat Reza melihatku, ia mengeluh laper. Padahal sudah ada bekal yang dibawanya tadi."Ra, bekalnya Reza dimakan kan?" "Iya, Bu. Ini udah habis, Bu," katanya."Alhamdulillah.""Iya, Ma. Udah abis, laper lagi," katanya.Kami mencari restoran yang cocok untuk lidah semuanya. Reza ingin makanan siap saji, kami pun ikuti keinginannya. Tak apalah sesekali.Reza memesan nasi, ayam, cola, kentang goreng dan burger. Kami hanya memesan nasi, ayam dan cola saja."Kamu bener akan menghabiskannya?" tanya Mas Ari ragu."Iya, pasti habis, dong."Lalu kami hanya memperhatikan ia makan setelah kami semua selesai. Tapi ia masih menyisakan burger dan ken
Mas Ari memberikan kejutan berupa reservasi sebuah vila di kawasan puncak. Katanya karena kami belum sempat bulan madu, jadi menginap di tempat dekat saja dulu.Mas Ari masih belum boleh melakukan perjalanan jauh. Kalau Jakarta-Bogor hanya sedikit jaraknya, jadi masih boleh."Terima kasih, Mas. Kejutan yang tak terduga bagiku. Rasanya aku benar-benar bahagia. Kamu sudah kembali seperti dulu. Mas Ari yang selalu berusaha membahagiakanku." Aku bersegera turun dari ranjang karena sudah waktunya pulang, kasihan Reza sudah ditinggal lama."Sama-sama, Dek. Sebagai permohonan maaf dan sejak menikah kita belum bulan madu, kamu pasti menantikan itu. Iya kan?" tanyanya.Aku tersenyum karena memang itu yang kurasakan kemarin. Hatiku benar-benar hancur saat tau Mas Ari kecelakaan, kehilangan ingatannya. Semua kujalankan dengan ikhlas."Iya, Mas. Kita pulang sekarang, yuk! Kasihan Reza pasti nungguin kita.""Siap, Dek. Ayo kamu bersiap saja dulu."Aku mencuci muka dan salat ashar dulu sebelum pula
"Nanti aku jelaskan, sekarang kita masuk saja. Kita ketemu sama adik-adik mahasiswa," katanya."Baiklah, Mas." Aku manut saja. Kami menemui penghuni kost.Mereka terkejut dengan kedatangan kami. Mas Ari mengingat orang-orang di kostan ini. Aku rasa dugaanku benar, Mas Ari sudah mengingat semuanya.Setelah berbincang cukup lama, kami meninggalkan kostan. Mas Ari membawaku ke restoran tempat ia menyatakan akan menikahiku pertama kali.Ketika mengingat peristiwa itu, ada berbagai rasa tercampur. Kami duduk di meja yang dulu kami tempati."Mas, ini kan tempat yang kita duduki saat itu?""Benarkah?" tanya Mas Ari."Mas ajak aku ke sini, pasti Mas sudah ingat semuanya. Makanya Mas Ari membawaku ke kost-kostan dan ke tempat ini.""Silahkan pesan makanannya dulu," katanya."Jawab dulu," jawabku."Nggak mau. Pesan dulu! Apa mau pilih pesanan saat itu?" tanyanya."Apa?""Eh, iya. Kamu mau pesan makanan seperti saat itu?" tanyanya lagi. Aku mengangguk dengan senyum mengembang di bibir ini."Kena
"Kamu belum tidur?" tanya Mas Ari."Enggak, Mas. Maafkan aku." Segera ku berbalik membelakanginya karena malu kepergok saat memperhatikan wajahnya."Hey! Kamu liat-liat wajah aku kenapa? Ganteng ya?" tanyanya. Aku pura-pura tidur dan tidak menggubrisnya. "Udah tidur?" Mas Ari bertanya lagi, aku tak menjawab. Akhirnya ia menyerah dan tak mau bertanya lagi padaku.***"Mas, mau sarapan apa?" tanyaku pada Mas Ari yang sedang duduk di meja makan."Apa saja, yang penting kamu siapkan," jawabnya."Oke." Alhamdulillah Mas Ari tidak merepotkanku. Dengan seperti itu, ia lebih memudahkanku.Reza datang dan langsung duduk di pangkuan Mas Ari. Aku takut suamiku marah, karena aku tau dia nggak suka menikah dengan orang yang sudah punya anak.Namun, setelah diperhatikan lagi, Mas Ari justru memegangi badan Reza yang sedang duduk di pangkuannya."Papa lama di rumah sakit," ucap Reza."Maafkan Papa, ya! Mungkin Papa harus sembuh dulu seperti ini, biar bisa main sama kamu," jawabnya."Iya, Pa. Papa ud
Aku bingung membawanya ke rumah sakit, itu tidak memungkinkan. Namun, Mas Ari bisa pulang kapan pun, aku tak tau."Nanti ya, tunggu papa pulang saja. Anak-anak nggak bisa jenguk ke rumah sakit," jawabku.Reza cemberut. Ia ingin mengunjungi papanya segera."Jangan cemberut ya, Sayang! Insya Allah nanti kita ketemu Papa." Reza sangat dekat dengan Mas Ari, aku jadi sedih kalau ia kangen sama Papanya seperti ini.Aku menghibur Reza dengan membawanya ke minimarket dekat sekolah. Membelikan makanan kesukaannya agar ia kembali tersenyum.***Sore ini, aku sedang bersenda gurau dengan Reza sembari menemaninya makan di depan rumah. Rere juga ada bersama kami. Tak lama ada mobil Ayah datang. Saat turun, ia membukakan pintu sebelahnya. Ketika turun, aku terkejut ternyata Mas Ari turun dari sana."Papa Ari!" Reza langsung menyambut papanya. Ia berlari untuk memeluk papanya.Mas Ari memandangi Reza dengan heran. Namun ia berusaha tersenyum ramah pada anakku. Mudah-mudahan itu pertanda baik ia aka
"Sarah, yakinlah aku pasti akan sembuh." Sebuah suara mirip suara Mas Ari terdengar di telingaku. Suara itu meyakinkanku kalau suamiku pasti akan sembuh.Dari situ, aku kembali bangkit untuk menghadapi semua kemungkinan yang terjadi. Mas Ari yang masih belum mengingatku, beberapa kali membuatku patah hati. Ia merasa yang paling menderita. Padahal justru ia yang membuatku memikirkannya.Lalu aku menitipkan pesan pada Ayah yang akan menemui Mas Ari. Kuhubungi Ayah melalui sambungan telepon."Yah, titip pesan buat Mas Ari kalau aku mencintainya," sahutku melalui sambungan telepon."Baiklah, nanti Ayah sampaikan."Aku bersiap untuk menemani Reza ke sekolahnya. Anakku masih belum bangun juga pagi ini. Segera aku membangunkannya."Eza, ayo kita berangkat ke sekolah!" ucapku."Ayo! Mama yan antar ya!""Iya, Mama antar ke sekolah. Kamu seneng?""Seneng, Ma."Reza kumandikan dan kami berangkat pagi-pagi sekali karena aku takut terlambat ke sekolah."Eza, seneng nggak diantar sama Mama?""Senen
"Iya, ayah masih di kantor. Sebentar lagi juga datang."Ayah mengagetkanku dari belakang. Seperti biasa Ayah selalu memelukku dari belakang."Ayaaaah!" Aku berbalik memeluknya dari depan."Ya, Sayang. Ada apa?"Tak bisa dicegah, air mata ini tumpah. Sejak di rumah sakit aku menahan untuk tidak meluber. Baru sekarang aku bisa menumpahkan air mata ini. "Keluarkanlah semua air matamu, Sarah. Tumpahkan semua, Ayah siap menampungnya.""Terima kasih, Yah. Aku sedang sangat sedih."Aku dibawa duduk oleh Ayah. Kami duduk bersebelahan di ruang tengah. Aku bersender di pundak ayahku. Ibu pun duduk di sampingku juga."Coba jelaskan semuanya pada kami. Apa yang terjadi pada Ari?" tanya Ayah.Aku masih terisak, mencoba menenangkan diri terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaan Ayah."Mas Ari sudah sadar, tapi ia kehilangan ingatannya. Ia malah ingat mantan kekasihnya yang sudah meninggal, Yah. Ia marah ketika tau ada aku, apalagi tadi setelah kutunjukkan surat nikah kami dan tau kalau aku punya s
Mengapa Mas Ari memperlakukan aku seperti ini? Sakit rasanya tak dikenali oleh suami sendiri."Mas, aku tak mau apa-apa. Aku hanya ingin berbakti pada suamiku. Kamu harus mengerti aku, Mas. Aku tak mau menjadi musuh bagimu, karena itu tidak mungkin, Mas."Mas Ari sudah tak membalas kata-kataku. Mungkin saat ini ia kehabisan kata-kata. Aku diam, dia juga diam. Tak ada kata lagi diantara kami."Maafkan aku, Mas. Tapi, aku punya bukti kalau kita memang sudah menikah.""Apa buktinya?"Kukeluarkan bukti surat nikah kami kemarin. "Ini, Mas. Surat nikah. Kota baru dua bulan ini menikah. Tapi pada hari pernikahan kita, anakku hilang. Kamu ikut mencarinya, tapi nyatanya kamu mengalami kecelakaan. Kamu sempat tak sadarkan diri, lalu kamu sadar jadi seperti ini, Mas."Mas Ari memperhatikan surat nikah yang kini berada di tangannya. Ia membuk isinya."Aaarrrggghhh! Semua tidak mungkin! Aku tak percaya, aku bisa menikahi wanita yang memiliki seorang anak," ujarnya.Mas Ari terus saja mengatai aku
"Ya udah, kamu siap-siap berangkat!"Reza segera berganti dengan pakaian seragamnya. Aku pun semangat segera mengantarnya.Di sekolah, Reza nggak mau ditinggalkan. Ia ingin aku menungguinya seperti Mama-mama yang lainnya. Sementara aku inginnya ke rumah sakit kali ini. Aku mau tau keadaan Mas Ari saat ini.Namun Reza selalu mencari Mamanya, walau ia ada di dalam kelas. Aku pun benar-benar tak bisa melarikan diri hingga akhirnya waktunya pulang bagi Reza. Aku harus mengantarkannya pulang."Ma, makasih udah ikut sekolah sama Eza," katanya."Sama-sama, Eza. Tapi Mama nggak bisa anter tiap hari, ya! Kamu hari lainnya sama Mbak Rara," ucapku."Ah, Mama. Sama Mama tiap hari, Ma!""Tapi Mama ada kesibukan juga di luar. Kamu harus nurut, ya! Pergi sama Mbak Rara, ya. Kalau sama Mama sesekali aja, oke!"Akhirnya Reza mengangguk, tapi wajah menahan tangisnya."Nggak usah nangis, Sayang. Kamu laki-laki loh, harus kuat dengan segala sesuatu. Oke!""Iya, Ma."Aku mengantarnya sampai rumah. Setelah